TARBIYAH ONLINE

Fiqh

Senin, 29 April 2024

Syeikh Al Ghazali, Antara Musik, Fikih dan Hadits

April 29, 2024


Tarbiyah Online | Ini adalah poto Syekh Muhammad Al-Ghazali (1917-1996 M.) saat mendengarkan putranya, Alauddin Al-Ghazali, bermain piano. Alauddin Al-Ghazali sendiri adalah Guru Besar Ilmu Komputer dan Sistem Informasi, yang pernah menjabat sebagai Presiden Akademi Ilmu Administrasi Sadat di Kairo, Mesir.


Dalam sebuah kesempatan, Syekh Muhammad Al-Ghazali pernah ditanya tentang sikap Islam terhadap musik, ia pun menjawab:


"...Mungkin ada yang memahami bahwa saya memerangi lagu, musik dan hiburan. Tidak, akan tetapi saya menyadari bahwa bangsa Arab dan Umat Islam ingin sedikit bekerja dan banyak bernyanyi. Sedangkan hiburan dan rekreasi adalah hak orang-orang yang kelelahan, bukan hak orang-orang yang hidup dengan santai!"


Ia melanjutkan, "Lagu hanyalah sebuah susunan kata-kata bermakna. Kata yang mengandung makna baik, maka baik. Dan yang mengandung makna buruk, maka buruk. Orang yang bernyanyi atau mendengar nyayian dengan makna yang baik serta irama yang indah, maka tidak ada masalah baginya! Kita tidaklah memerangi kecuali nyayian picisan yang mengandung makna dan irama murahan." (Lih: 100 Pertanyaan tentang Islam, Muhammad Al-Ghazali, Jil. 1, hal. 247-256)


Semasa hidupnya, Syekh Muhammad Al-Ghazali senantiasa berada di garda terdepan dalam menghadapi pemikiran-pemikiran ekstrem, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Guru Syekh Yusuf Al-Qaradhawi (penulis buku "Fikih Lagu dan Musik") yang sangat produktif menulis ini, kata-katanya selalu tajam dan kritikannya selalu menghujam ke dalam nalar orang-orang yang kerap menyitir Hadits namun tidak diiringi dengan piranti Fikih dalam memahami teks-teks Nabawi tersebut. 


Fenomena itulah yang kemudian mendorong Syekh Muhammad Al-Ghazali untuk menulis buku berjudul "As-Sunnah An-Nabawiyyah Baina Ahl Al-Fiqh wa Ahl Al-Hadits" (Sunnah Nabi, antara Pakar Fikih dan Pakar Hadits). Buku ini pun mendapat beragam respons, mulai dari pujian hingga kecaman.


Namun ternyata Allah punya cara lain dalam menolong dakwah Syekh Al-Ghazali, di akhir hayatnya, Syekh Al-Ghazali ditakdirkan wafat di Arab Saudi, yaitu saat ia mengisi seminar, lalu ada yang menuduhnya bahwa ia telah memerangi Sunnah Nabi. Maka Syekh Al-Ghazali pun membantahnya, dan ketika dia mengatakan: "Kita ingin mewujudkan di dunia ini, Laa Ilaaha Illallaah..." seketika napasnya berhenti, dan itulah kalimat yang diucapkannya sebelum akhirnya dia mengembuskan napas terakhirnya.


Lalu, atas instruksi dari pangeran Abdullah (Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi saat itu), dan juga rekomendasi dari Syekh Abdullah Bin Baz (Mufti Kerajaan Arab Saudi kala itu), maka jasad Syekh Muhammad Al-Ghazali pun diperintahkan untuk dimakamkan di Baqi', Madinah Al-Munawwarah. Uniknya, setiap kali digali kuburan untuknya, tanahnya selalu keras dan tidak bisa digali. Hingga akhirnya ditemukanlah tanah yang mudah digali untuk memakamkan jasadnya, dan tanah itu terletak di antara makam Nafi' Maula Ibnu Umar (Ahli Hadits dari kalangan Tabi'in) dan Imam Malik (Ahli Fikih pendiri Mazhab). 


Sebagaimana diketahui, dalam Ilmu riwayat (dan ini adalah pendapat Imam Bukhari), apabila ada sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik, dari Nafi', dari Ibnu Umar, maka itu adalah sanad riwayat yang disebut sebagai "Silsilah Dzahabiyah" (mata rantai emas, atau sanad sahih dengan kualitas premium grade-1). Seakan-akan di sini terdapat isyarat, bahwa Syekh Muhammad Al-Ghazali semasa hidupnya telah berkiprah dalam memadukan antara Hadits dan Fikih secara harmonis, sehingga di akhir hayatnya dia mendapat kemuliaan untuk dimakamkan di antara dua Imam mulia yang dikenal dalam sejarah Umat Islam itu.

 

Wallahu A'lam. (Ust. Yusuf Al Amien

Read More

Rabu, 24 April 2024

Download Buku Bahagia Tanpa Jeda, Mencerdaskan Jiwa Cara Sufi

April 24, 2024




Download | Kebahagiaan atau kedamaian diperoleh karena adanya keselarasan. Ketidaktenangan, sebaliknya, muncul akibat ketaksesuaian; antara harapan dan kenyataan, antara diri dan lingkungan, atau antara hati, kata, dan perbuatan. Maka, untuk bisa bahagia, kita perlu membuat segalanya serasi dan sejalan satu sama lain. Tipsnya: jangan terikat oleh keinginan. Semakin kita terbelenggu oleh keinginan, semakin besar peluang kita untuk menjumpai ketidakselarasan dan, karenanya, merasakan kepedihan.

Buku ini memandu pembaca memahami segi-segi terdalam dan hakiki dari kehidupan. Pikiran kita dibuka, kesadaran kita disentak. Penulis berhasil membeberkan rahasia di balik kecenderungan serta perilaku hidup manusia, dan akhirnya merekomendasikan pentingnya keberserahan diri dan pengamalan Islam sebagai "Jalan".

Download



Read More

Senin, 22 April 2024

"Tajsim dan Mujassim", Istilah Ilmiah, Tidak Perlu Merasa Diserang

April 22, 2024

 


Tarbiyah Online | Ilmu aqidah tidak bisa dilepaskan dari pembahasan tentang alam semesta, karena dari alam semesta lah manusia bisa mengetahui bahwa apakah alam semesta ini butuh pada penciptaan atau tidak. Makanya ulama aqidah dalam 𝘵𝘢𝘳𝘪𝘲𝘢𝘩 Mutakalimin selalu membahas alam semesta terlebih dahulu sebelum membahas tentang penciptanya.


Nah, untuk mengetahui apakah alam semesta membutuhkan penciptanya, maka ulama harus lebih dahulu mencari tahu apa hakikat alam semesta dan apa saja yang ada di dalamnya. Setelah melihat (𝘪𝘴𝘵𝘪𝘲𝘳𝘢') pada segala yang ada di alam semesta, ulama akhirnya mengambil satu kesimpulan bahwa, segala yang ada di alam semesta ini pada hakikatnya bisa diklasifikasikan menjadi dua kategori.


Pertama, sesuatu yang mengambil tempat/ruang, ini yang dinamakan dengan zat atau materi, seperti batu, angin, air, cahaya, bintang, materi gelap, blackhole, api, planet, dll. Ulama ilmu kalam menamakannya sebagai 𝗝𝗮𝘂𝗵𝗮𝗿, kadang mereka juga memakai istilah 𝗝𝗶𝘀𝗺 atau 𝗝𝗶𝗿𝗺. Kedua, sesuatu yang menjadi sifat dari Jauhar, seperti warna gelap, terang, bersatu, terpisah, bergerak, diam, cepat, lambat, lembut, keras, panas, dingin, cair, padat, bisa disentuh, tidak bisa disentuh, berubah, tetap, panjang, kecil, pipih, tebal, keberadaan di tempat tertentu, di waktu tertentu, dll. sifat itu semua dinamakan dengan 𝗔𝗿𝗮𝗱𝗵.


Misal praktisnya, sebuah benda dinamakan batu alam, dia sendiri dinamakan dengan Jauhar, karena dia mengambil ruang/space dari semesta, adapun sifatnya keras, padat, mengeluarkan energi dingin, berada di gunung, tidak bergerak, ukuran sekian meter, dll, itu dinamakan dengan Aradh. Gas misalnya, dia mengambil ruang tertentu, gas itu dinamakan Jauhar, sedangkan ringannya, warna bening tak terlihat, bau menyengat, bergerak, dll, itu dinamakan dengan aradh. Qiyaskan ini pada benda lain, mulai matahari, blackhole, atom, partikel cahaya, bumi, air, kudis, kurap, dll.


Kemudian ulama mencoba sedikit memerincikan klasifikasi terhadap materi, secara logika materi itu ada dua kemungkinan. Pertama, materi yang paling kecil yang dengannya terbentuk benda-benda besar. Jika dia sendiri dan tidak bisa dibagi/dipecah lagi maka itu dinamakan dengan 𝗝𝗮𝘂𝗵𝗮𝗿 𝗙𝗮𝗿𝗱 bahasa jakselnya jauhar yang lagi jomblo ahhaha. Kedua, gabungan dua Jauhar Fard atau lebih yang membentuk materi yang lebih besar, dinamakan dengan 𝗝𝗶𝘀𝗺. Kadang Jism itu bisa kita lihat dengan mata telanjang seperti debu, bola, bumi, bintang, dll. Kadang harus pakai alat bantu seperti atom, virus, sel, dll. Kadang kita belum punya alat bantu untuk melihatnya, seperti atom di masa lalu, bakteri sebelum ditemukan mikroskop, dll.


Dari kesimpulan di atas kita bisa pahami bahwa kata "Jism" bagi ulama kalam hanya sebuah istilah yang dipakai untuk mengungkapkan atau menamakan bagi "sesuatu" yang mengambil ruang/tempat. Jadi murni penamaan, kita bisa menamakannya dengan nama lain, dengan menerjemahkannya, atau apa saja tergantung disiplin ilmu, tapi ulama aqidah/ilmu kalam  menamakanya sebagai Jism. Jadi gak ada tendensi apa-apa dalam penamaan itu, murni istilah ilmiyah.


Kemudian ulama kita ketika membahas tentang ketuhanan, mereka menyimpulkan bahwa semesta secara logika wajib ada yang menciptakan, dengan dalil/argumen yang bukan sekarang pembahasannya. Lalu mereka juga menyimpulkan melalui dalil, bahwa pencipta semesta yang kita namakan dengan Tuhan tidak boleh sama dengan alam semesta ciptaannya (𝘭𝘢𝘪𝘴𝘢 𝘬𝘢𝘮𝘪𝘴𝘭𝘪𝘩𝘪 𝘴𝘺𝘢𝘪𝘶𝘯), jika tidak maka dia juga butuh pencipta sebagaimana alam semesta juga butuh pencipta, karena ada kesamaan.


Karena tidak boleh ada kesamaan antara alam semesta dan Tuhan, maka ulama mengatakan bahwa tuhan pencipta alam ini bukan, bahkan tidak boleh Aradh, tidak boleh juga Jism/Jauhar, karena keduanya adalah semesta itu sendiri. Jadi, jika ada yang berpikir kalau Tuhan itu mempunyai tangan yang mengambil ruang sebagaimana jism, atau duduk di atas arasy besar yang mempunyai batas ruang, atau berada di atas secara fisik dari sebuah tempat/ruangan, maka itu semua dianggap sebuah bentuk 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘪𝘴𝘪𝘮𝘬𝘢𝘯 atau 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘶𝘩𝘢𝘳𝘬𝘢𝘯 Tuhan yang seharusnya berbeda segalanya dengan alam semesta.


Nah, perbuatan yang 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘪𝘴𝘪𝘮𝘬𝘢𝘯 Tuhan dinamakan dengan 𝗧𝗮𝗷𝘀𝗶𝗺, dan orang yang menjisimkan Tuhan dinamakan Mujasimah. Jadi, Mujasimah bagi ulama Mutakalimin adalah penamaan bagi orang yang menganggap bahwa Tuhan itu punya bentuk fisik, atau bertempat secara fisik, bisa ditunjuk arahnya, punya ukuran fisik, dll, yang intinya punya kesamaan dengan jism atau dia punya sifat Jism/Aradh seperti bergerak, diam, dll. Jadi Mujasimah itu lintas agama, bukan tuduhan bagi kelompok tertentu karena rivalitas, bukan sekedar label karena membenci. Tapi itu murni istilah ilmiyah untuk orang yang berkeyakinan bahwa Tuhan 𝘣𝘦𝘳𝘫𝘪𝘴𝘮 atau punya kesamaan dengan jism, di mana hal itu ditolak oleh ulama Ahlussunnah wa al-Jama'ah.


Jadi, istilah "Mujasim" bukan label, stempel, apalagi tuduhan karena kebencian pada kelompok atau orang tertentu. Tapi murni term/isitilah ilmiyah. Jadi tinggal dilihat aja apakah aqidah kita, kelompok yang kita ikuti, ustazd yang kita ikuti, kelompok lain atau agama lain tentang Tuhan seperti Mujasim atau tidak? Kalau iya, berarti orang/kelompok itu ya Mujasim, walau mereka mengaku Ahlusunnah dan menuduh orang lain sebagai Mujasim. Kalau tidak, maka mereka bukan Mujasim, walau seluruh dunia menuduh mereka Mujasim, bahkan jika mereka melabeli nama kelompok mereka sebagai Mujasim tetap aja mereka bukan Mujasim menurut term ulama ilmu kalam.


Jika kita memahami istilah itu, maka kita akan paham kapan seorang sedang menyifati suatu pemahaman aqidah dengan tajsim sesuai istilah dengan benar, kapan mereka sedang menuduh dan salah pakai istilah, atau bahkan tidak paham dengan istilah, atau hanya ikut-ikutan saja jadi gak serampangan. Nah, kalau ada sebagian orang membolehkan sifat jism bagi Tuhan, dia tidak mengangapnya salah, ya bebas saja, itu hak dia, berarti dia menganggap aqidah tajsim benar, walaupun dia tidak terima dinamakan Mujasim, bahkan menuduh orang lain sebagai Mujasim, orang seperti itu hanya tidak paham istilah saja, tapi aqidahnya tajsim dalam istilah Mutakalimin atau ulama aqidah.


Pada akhirnya aqidah dia berbeda dengan ulama yang menganggap Tajsim adalah sebuah kesalahan, dan dia berhak berbeda dan membela argumennya di dunia, tapi istilah jism, tajsim, dan mujasimah bagi ulama kalam tidak akan berubah, jism artinya ya sesuatu yang ngambil tempat. Seringkali orang gak paham istilah seperti ini berargumen untuk membela aqidah tajsimnya, walau dia tidak terima dinamakan mujasim, dalam debat dan diskusi ini agak aneh memang, tapi itu kenyataan yang sering kita temui.


Tapi jika aku boleh memberi saran, sebelum membela membabi buta atau menyerang lawan habis-habisan, aku menyarankan untuk sedikit merenung sendirian dengan istilah itu, apa benar aqidahku Mujasimah menurut istilah mereka? Atau orang yang aku bela Mujasimah? Atau mazhab yang aku bela Mujasimah? Ibnu Taimiyah Mujasimah? Karamiyah Mujasimah? Dst, bisa jadi memang iya, bisa jadi nggak. Jawabannya didapatkan hanya dengan perlu jujur pada diri sendiri, dan membuang ego, perhatikan istilah itu, lalu lihat apa yang ditulis dan diyakini orang/kelompok yang dituduh sebagai Mujassim.


Jawabannya ada dua, bisa jadi tuduhan itu salah, maka kita harus membela habis-habisan yang benar, dan membela yang dituduh karena itu bentuk membela kezaliman. Tapi bisa jadi juga tuduhan itu benar, maka kenapa kita harus membela sesuatu yang salah, egokah? Fanatikkah? Gengsikah? Bukankah ini perkara akhirat? Kenapa harus gengsi mengaku salah? Mau sampai kapan membela ego dan taashub? Nah, pada akhirnya semua orang punya hak dan bebas dalam memilih aqidah dan membela aqidahnya dengan argumen, kita cuma bisa mengatakan, bagiku agamaku dan bagimu agamamu. 

Ustadz Fauzan Inzaghi

Read More

Selasa, 20 September 2022

Tidak Hanya Disetir Penguasa, Ulama Juga Tidak Boleh Ikuti Awam

September 20, 2022

Syeikh Buthy


Tarbiyah Online - Thalibul ilm dan orang alim itu tidak boleh disetir oleh penguasa, disatu waktu dia juga tidak boleh disetir oleh umat dan jamaah. Walau seluruh umat memprotes dan memprovokasi agar pak ustadz memfatwakan sesuai keinginan mereka, maka itu tidak boleh, walau resikonya dihujat, dibully, bahkan lebih dari itu.


Tekanan publik tidak boleh membuat seorang alim merubah suatu hukum, walau nanti akan disebut pengecut, disebut penjilat,  disebut ulama suu`, disebut liberal, bahkan jika dibunuh. Sebagaimana tekanan penguasa, tidak boleh membuat seorang ulama merubah hukum, walau nantinya dipenjara, dikekang, diancam, dikatakan radikal, bahkan dibunuh.


Karena seharusnya merekalah yang mengikuti penjelasan para ulama dan thalibul ilm tentang agama, bukan sebaliknya. Jadi mereka mau mengatakan apapun, itu urusan mereka, urusan para thalibul ilm, ustadz dan ulama hanya menyampaikan risalah, baik sesuai nafsu atau keingingan mereka maupun tidak.


Itu bentuk tanggungjawab ilmiah, tidak perlu terganggu dengan opini yang bukan spesialis dibidang itu, karena mereka tidak sedang beropini pada suatu pendapat berdasarkan agama, tapi menurut pendapat sendiri. Lihatlah dalam kejadian beberapa waktu lalu, berapa banyak dari mereka berpendapat dan beropini, bahkan dengan bawa embel-embel alquran dan hadis?


Tapi dari banyaknya "menurutku", ada berapa dari mereka yang menguasai alat untuk berfatwa dan berijtihad?


Atau minimal ilmu alat yang berfungsi agar seorang bisa memahami suatu kejadian berdasarkan ajaran agama? Berapa orang? Berapa orang bersabar untuk bisa ke tahap itu? Dan apakah orang yang tidak menguasai alat itu bisa beneran menjelaskan ajaran agama pada suatu kejadian? Tidak!


Yang mereka lakukan adalah berpendapat dengan pendapat sendiri dengan mengatas-namakan islam!!  Baik penguasa atau publik itu awam. Awam tidak punya kapasitas dalam berbicara agama kecuali dalam masalah "ma ulima minaddin biddharurah". Diluar itu, mereka berbicara tidak pada kapasitasnya sebagai awam.


Berpendapat memang gampang, semua orang bebas, tapi berpendapat berdasarkan ilmu? Siapa yang mau istiqamah untuk belajar? Jadi jangan terlalu terpengaruh dengan opini atau desakan netizen, disuruh ngomong, disuruh kritik, dll. Mereka setuju atau tidak, orang alim hanya harus menjelaskan sesuatu secara ilmiah saja!! 


Saat ulama diam pada suatu permasalahan mereka kerap memaksa ulama berbicara  dengan alasan jangan diam pada kezaliman. Padahal kalau ternyata pendapat ulama tidak sesuai dengan yang dia inginkan, ngamuk!!ketika mereka meminta tidak diam sebenarnya mereka ingin mengatakan "berbicaralah dengan sesuatu yang sesuai dengan keinginan kami!!".


Ini persis dokter dipaksa untuk mengatakan bahwa covid tidak ada, berdasarkan pendapat awam, jika tidak mau akan dihujat, kemudian awam yang tidak tahu apa-apa tentang kedokteran itu mulai menjelaskan virus, obat, dll. Seolah mereka sangat pakar dalam kedokteran. Bukankah ini bahaya? Jadi apa yang mau diikuti dari pendapat mereka!!! Wallahualam.


Oleh: Ustad Fauzan Inzaghi

Read More

Senin, 19 September 2022

Filsafat; Ilmu atau Pendapat Para Filsuf yang Bermasalah

September 19, 2022


Tarbiyah Online - Salah satu sebab kenapa ulama melarang pembelajaran filsafat adalah karena buku-buku filsafat yang lebih cenderung menjelaskan pendapat para filsuf, sehingga dalam pembelajar tersebut sangat sulit membedakan mana filsafat murni yang dibahas sebagai ilmu dan mana mazhab filsafat yang merupakan pendapat pribadi para filsuf ketika melihat hakikat sesuatu. 


Hal ini berlangsung sampai datangnya Imam ar-Razy yang mulai mentanqih ilmu filsafat, sehingga kita pun dengan mudah dapat membedakan antara pembahasan filsafat murni dan pendapat kelompok filsuf dalam pembahasan itu. Makanya, setelah era ar-Razy kitab-kitab filsafat mulai diajarkan dalam dunia Islam tanpa perlu khawatir lagi terhadap murid yang mempelajarinya akan mudah terpengaruh dengan pendapat para filsuf. Karena mereka sudah lebih dahulu diajarkan alat-alat untuk mentanqih sendiri mana filsafat yang diajarkan sebagai ilmu dan mana yang dipelajari sebagai pendapat.


Ada beberapa kitab populer yang mendapat khidmah besar di dunia Islam, karena sering dijadikan kurikulum untuk membuka kunci ilmu filsafat, di antaranya Hidayah Atsiriyah  dan al-Hikmahnya al-Katiby. Kitab-kitab ini diajarkan secara berjenjang, jadi, thalib memang beneran bisa memahaminya. Makanya jangan heran, ketika filsafat Barat menyebar ke seluruh dunia melalui imperialisme di abad 19 M, yang paling sedikit terkena dampak pemikiran adalah dunia Islam dan madrasah-madrasah Islam yang waktu itu menjadikan filsafat sebagai kurikulum pendidikan.


Padahal waktu itu, sebagian dunia malah seperti mensucikan filsafat orang Barat, dan itu terjadi di mana saja, seperti di negara-negara Asia Timur, Anak Benua, Afrika Barat, Latin, Eropa Timur, dst. Bahkan para intelektual di sana menganggap itulah puncak ilmu pengetahuan, sehingga perjuangan-perjuangan kebebasan ala liberal, kesetaraan ala komunis atau sosialis, dll, menyebar di kalangan intelektual di seluruh dunia, bahkan ada yang rela mati untuk nilai-nilai itu. 


Di dunia Islam tentu saja ada yang terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran itu, tapi mereka yang terpengaruh kebanyakannya adalah orang-orang yang sebelumnya tidak pernah mempelajari filsafat yang sudah ditanqih. Sedangkan ulama yang sudah mempelajari filsafat secara berjenjang, mereka biasa saja melihat pemikiran-pemikiran itu, sama sekali tidak silau. Mereka mampu memilah mana yang benar dan mana yang salah, sebagian bahkan mengkonternya. Hal yang demikian sering terjadi, kita bisa membaca kisah-kisah perdebatan para ulama terhadap filsafat Barat, seperti perdebatan ulama al-Azhar ketika masa penjajahan prancis misalnya.


Tentu saja kita sedang membicarakan para ulama Mutakalimin yang mengkonternya setelah memahami mazhab yang dihadapinya tersebut. Bukan seperti sebagian dai yang mengkonter hanya dengan modal doktrin dan fanatisme terhadap perbedaan akidah, biasanya mereka mengkonter narasi pemikiran filsafat dengan retorika, di mana retorika -apalagi jika dilakukan oleh yang bukan ahli- seringkali tidak memakai argumen akal yang kuat, walaupun mampu mempengaruhi pemikiran pendengar, tapi nilai ilmiahnya sering berkurang.


Tentunya berbeda dengan para Mutakalimin seperti Asyraf Ali Tahanawi, Mustafa Shabry, dll, yang merupakan spesialis ilmu akliyat (logika). Mereka berhasil menjawab narasi mazhab yang disebarkan Barat dengan argumen logis yang kuat, sebagaimana ar-Razy dulu menjawabnya, dan sampai sekarang hujjah dan argumen mereka masih susah dilihat celah fallacynya. Kenapa mereka mampu? Karena mereka memahami apa yang dibicarakan, itu memang spesialis para Mutakalimin.


Mereka benar-benar menguasai ilmunya, ilmu yang sudah ditanqih, dipelajari secara berjenjang dan dipersiapkan memang agar mampu menghadapi segala aliran pemikiran baru secara ilmiah, tanpa perlu mengandalkan emosi. Hal ini disebabkan karena mereka sudah tahu apa itu filsafat, tahu cara kerjanya, tahu mana filsafat sebagai ilmu dan sebagai pendapat, mengetahui celah pendapat jika melihat fallacy atau kesalahan berpikir dalam suatu tesis atau argumen pada sebuah teori.


Karena, mereka begitu mengerti tentang tabiat filsafat, sampai ada perumpamaan masyhur di kalangan mereka. Ilmu filsafat diibaratkan sebagai lautan, lautan yang berbeda dengan lautan lainnya, di mana lautan filsafat itu pinggirnya dalam dan sering membuat orang tenggelam, tapi tengahnya dangkal dan bisa menjadi tempat rekreasi seperti pantai, jadi filsafat itu tidak bisa dinikmati saat kita berada di pantainya. Makanya, kalau mau menikmati filsafat, kita harus lebih dulu mempersiapkan sekoci penolong melalui kitab-kitab munaqahah, sehingga kita bisa mencapai tengah lautan dan berekreasi di sana, di pantai tengah laut.


Jadi, teman-teman yang mau mempelajari filsafat, tidak perlu terburu-buru mencobanya, kadang gak penting juga dipelajari, karena gak semua orang membutuhkannya. Kita bisa hidup dan berfilsafat tanpa perlu mempelajari dan membacanya, karena dalam menjalani hidup sehari-hari sebenarnya kita sudah berfilsafat. Adapun jika memang harus mempelajarinya, pasti karena ada kaitan dengan spesialisasi ilmu, seperti karena kita masuk jurusan ilmu sosial atau jurusan hukum, politik, dll, atau karena beberapa pembahasan sains yang membutuhkan filsafat sebagai landasan argumen keilmuan yang logis, atau karena harus mengurus negara. 


Atau karena masuk jurusan ilmu agama, dll, di mana kadang membutuhkan ilmu filsafat sebagai landasan keilmuan dan argumen, agar mampu membuktikan keilmiahan suatu dakwa. Jika memang harus mempelajarinya, maka pelajarilah secara berjenjang melalui buku-buku yang sudah ditanqih. Insyaallah, kita bisa berpikir filosofis atau bisa berfilsafat tanpa harus terpengaruh dengan pemikiran para filsuf yang sebenarnya cuma hasil buah pikir manusia. Walaupun mereka manusia pintar, tapi tetap saja manusia yang bisa salah dan yang tidak perlu diikuti mentah-mentah, apalagi sampai mempertahankannya mati-matian. Biasa saja lah. Wallahualam.


Oleh: Ustad Fauzan Inzaghi

Read More

Minggu, 18 September 2022

"Pembunuh Filsafat" Imam Al Ghazali Mengharamkan Filsafat

September 18, 2022


Tarbiyah Online - Imam Ghazali tidak pernah anti filsafat, yang beliau bantah adalah aliran pemikiran dalam filsafat, alias pemikiran seorang tentang beberapa permasalahan yang dibahas dalam ilmu filsafat. Karena filsafat hanyalah sebuah ilmu dan sebuah disiplin ilmu tidak mungkin dibantah. Membantah filsafat sama dengan membantah matematika sebagai sebuah ilmu, itu konyol untuk dilakukan, yang mungkin dilakukan hanyalah membantah kesalahan seorang dalam menjelaskan ilmu tersebut dan inilah yang dilakukan oleh ulama-ulama kita. 


Lalu, kenapa sebagian ulama ada yang melarang kita membaca buku filsafat? Ada banyak alasan untuk itu:


Pertama, ada banyak ilmu lain yang lebih penting bagi seorang muslim untuk dipelajari sebagai fardhu ain dibanding dengan ilmu filsafat, jadi memilih mana yang lebih prioritas dan bermanfaat bagi kehidupan kita terlebih dahulu. Jangan sampai, gara-gara masalah fardhu kifayah kita melupakan fardhu ain, jangan sampai gara-gara yang sunnah kita melupakan yang wajib. Jadi, 𝘢𝘸𝘭𝘢 𝘧𝘢 𝘢𝘸𝘭𝘢, yang terbaik dalam masalah ini adalah spesialisasi.


Kedua, ilmu filsafat itu ilmu yang detail dan rumit, di mana tujuan kita mempelajarinya untuk mengetahui hakikat sesuatu, jadi butuh beberapa alat untuk bisa memahaminya dengan benar. Sering kali thalibul ilmi ingin mempelajari filsafat tanpa alat yang memadai, karena ingin buru-buru memahaminya, akhirnya dia tidak bisa memahami filsafat dengan benar, yang ada dia hanya menjadi pembebek pendapat para filsuf tanpa nalar kritis. Kenapa? Karena dia tidak mempunyai alat yang memadai, paham filsafat enggak, ujung-ujungnya malah nyasar.


Ketiga, kurikulum atau buku filsafat biasanya ditulis dengan mazhab filsafat tertentu atau perbandingan antar mazhab filsafat. Tentu ini akan menjadi bumerang bagi murid yang belum bisa membedakan mana filsafat sebagai ilmu dan mana pendapat para filsuf. Di beberapa masa, jarang ada buku filsafat yang ditulis dengan membedakan mana pendapat filsuf dan mana ilmu filsafat murni, keadaan ini ditakutkan akan membuat murid kebingungan. Tak jarang si murid tersesat dari akidah yang benar dan malah mengikuti pendapat filsuf, itu akan menjadi masalah baru.


Nah, karena kurangnya buku seperti itu dan  rumit pula dalam mempelajarinya sebab perlunya alat berjenjang untuk memahami filsafat, maka sebagian para ulama berpendapat sebaiknya diharamkan saja membaca dan mempelajari buku filsafat bagi para murid, kecuali bagi yang sudah mempunyai dasar keilmuwan yang kuat. Masalahnya lagi, jika dikatakan demikian, banyak pula murid yang menganggap bahwa dirinya sudah memiliki dasar yang kuat, padahal belum. Maka dari itu, para ulama memutuskan bahwa lebih baik mengharamkannya secara keras.


Tapi pada masa mutaakhirin, saat para ulama mulai membersihkan kitab-kitab dasar (muqarar) filsafat dari pendapat filsuf, akhirnya para ulama punya solusi dan alternatif. Jangankan dibolehkan, bahkan kitab filsafat seperti al-Hidayah malah diajarkan dan dimasukan dalam kurikulum, sehingga setelah itu, para murid dibebaskan saja untuk membaca dan mempelajari filsafat semaunya. Karena kurikulum yang ada berhasil mencetak mereka untuk siap dalam membaca buku filsafat serta membahas permasalahannya, dan itu yang terjadi di era mutaakhirin sampai sekarang.


Jadi, apakah ulama Islam melarang filsafat? Jawabannya, ya dan tidak? Jika dilihat kembali, ulama-ulama yang ketat dalam hukum belajar filsafat pasti berasal dari daerah yang dalam kurikulum madrasahnya tidak ada pelajaran kitab-kitab filsafat yang ditulis oleh ulama kita seperti al-Hidayah. Dan, jika melihat kepada ulama yang membolehkannya, kebanyakan mereka berasal dari daerah di mana kitab seperti al-Hidayah dijadikan kurikulum. Jadi, murid lebih siap dalam mempelajarinya.


Apalagi ulama-ulama ilmu kalam seperti Imam al-Ghazali, ar-Razi dan imam-imam lain, mereka tidak anti filsafat. Jika mereka membantah, maka mereka sedang membantah pendapat para filsuf dengan ilmu alat yang menjadi timbangan ilmiyah, makanya nama kitabnya Tahafut Falasifah, bukan Tahafut Falsafah. Karena, sekali lagi, yang namanya ilmu tidak mungkin bisa dibantah. Jadi salah besar jika mengatakan Madrasah Sunniyah membuat ilmu filsafat mati, yang mati adalah hujjah para filsuf, karena hujjahnya lemah, sehingga dia tidak mampu bertahan. 


Lagian kita mau tanya, tanpa Imam Ghazali dan Imam Razi, apakah buku Ibnu Sina atau al-Farabi yang menjadi penghubung antara filsafat Yunani dan filsafat modern bisa bertahan dan bisa dipahami? Bacalah sejarah filsafat Islam, kita akan menemukan apa yang telah dilakukan dua imam besar ini.


Oleh: Fauzan Inzaghi


Read More

Sabtu, 17 September 2022

Jangan Buru-Buru Menyelesaikan Masalah Umat, Bahaya!

September 17, 2022


Tarbiyah Online - Sebagian 𝘵𝘩𝘢𝘭𝘪𝘣 𝘪𝘭𝘮, terlalu fokus pada kampanye mengajarkan agama Islam yang bisa menyelesaikan problematika umat di era modern, bahkan sampai di level dia tidak lagi fokus pada apa yang semestinya ia lakukan sebagai seorang 𝘵𝘩𝘢𝘭𝘪𝘣 𝘪𝘭𝘮. Dia sibuk pada sesuatu yang bukan tugasnya. Akhirnya masalah tidak terselesaikan, kemampuan dasar keilmuwan pun tidak terbentuk.


Dia mulai membaca dan membahas permasalahan modern, mulai dari atheisme, takfiry, mujasimah, Islam politik, islamisasi pendidikan, persatuan umat, kontekstualisasi hukum, pluralisme, rafidhah, worldview Islam dalam ilmu pengetahuan, dll, yang intinya masalah yang dihadapi umat hari ini, dengan alasan ingin memahami masalah dan menyelesaikannya.


Salah satu sebabnya, dia mempunyai senior, guru atau ulama yang mampu menyampaikan ajaran Islam yang relevan untuk permasalahan hari ini, jadi dia ingin menjadi seperti mereka. Ingin jadi seperti mereka baik, tapi jangan sampai semangat membaca dan membahas masalah itu membuat 𝘵𝘩𝘢𝘭𝘪𝘣 𝘪𝘭𝘮 melupakan kewajiban utamanya. Apa itu? Asas atau dasar ilmu Islam!!


Tanpa dasar keilmuwan yang baik, kita tidak akan bisa memahami suatu permasalahan dengan baik secara islami. Lah, bagaimana caranya kita mau memahami pandangan Islam pada suatu permasalahan dengan benar, kita sendiri tidak menguasai dasar ajaran dan ilmu keislaman itu sendiri!!


Akibatnya apa? Kita menjawab permasalahan itu bukan sesuai dengan ajaran Islam, tapi sesuai dengan logika kita sendiri. Lebih bahayanya lagi, kita mempercayai logika itu sebagai ajaran Islam, dan saat kita menyampaikannya pada orang lain, kita mengatakan bahwa inilah ajaran Islam. Apanya yang ajaran Islam? kita bahkan tidak menguasai keilmuwan Islam!! Apalagi jika itu disampaikan oleh orang pandai berbicara, tentunya akan makin celaka dan mencelakakan. Adakah penipuan atas dasar Islam lebih besar dari ini?


Jadi solusinya apa? Ada dua. Pertama, katakanlah itu pendapat Anda pribadi, jadi seluruh pengikut mazhab berlepas dari Anda. Jadi, Anda hanya menjadi teman diskusi, tanpa berbaju mereka dari segi keilmuwan. Maka tidak ada penipuan terhadap awam di sini, karena Anda jujur kalau itu pendapat pribadi Anda, bukan ajaran yang ingin dipahami oleh umat atau 𝘴𝘢𝘸𝘢𝘥𝘶𝘭 𝘢'𝘻𝘢𝘮 dari umat Islam. Anda telah jujur secara ilmiyah dan tidak melakukan penipuan pada umat di sini. Masalah kemudian diterima atau tidak, itu urusan umat, yang penting Anda tidak melakukan penipuan.


Kedua, belajarlah dari dasar dengan berjenjang, sebagaimana ulama umat selama ini belajar, sehingga Anda memahami betul ajaran seperti apa yang dibawa oleh ulama kita dan ajaran seperti apa yang selama ini diterima umat. Dengan memahami itu, ketika berbicara - selama Anda iltizam dengan pandangan itu - maka Anda bisa mengatakan inilah pandangan Islam berdasarkan ajaran ulama yang selama ini diikuti umat pada permasalahan tertentu. Dengan begitu, kita telah jujur secara ilmiah.


Dan percayalah, itulah jalan yang ditempuh para ulama umat, para ustadz, para senior Anda yang menguasai ilmu agama dalam menjelaskan permasalahan kontemporer. Jadi, ketika pandangan Islam pada sebuah permasalahan aktual, itu beneran berdasarkan manhajnya para ulama, sehingga tidak bertentangan dengan apa yang selama ini umat yakini dan ikuti sebagai ajaran Islam.


Jadi, agar tetap relevan dan tidak keluar dari rel keilmuwan ulama, yang harus dilakukan adalah fokus lebih dahulu pada penguasaan ilmu dasar keislaman dengan menguasai kitab-kitab mu'tamad, seperti  Ushul Baidhawi, Akidah Sanusy, Mustalah Ibnu Salah, Itqan Suyuthi, dst. Itulah jalur yang benar. Tanpa menguasainya, maka jawaban Anda hanya akan menganggu tugas ulama, walaupun Anda berniat baik membantu mereka.


Setelah menguasai itu, baru mulai membaca dan mempelajari masalah kontemporer. Dengan begitu, kita bisa memahami bagaimana pandangan Islam yang dipahami ulama dalam menghadapi permasalahan kontemporer. Kalau tidak percaya, lihatlah betapa banyak orang yang selama ini mempunyai niat baik membantu ulama, malah jadi masalah baru bagi ulama. Dia bercita-cita tinggi, tapi sampai tua dia tidak pernah menjadi ulama


Kenapa seperti itu? Karena cara dia melihat permasalahan, selalu berkutat pada polemik, bukan pada inti masalah. Sebab apa? Dia tidak pernah belajar secara berjenjang, selamanya pandangan agama seperti itu akan jadi masalah bagi umat dan tidak akan pernah jadi solusi. Oh, jalan berjenjang ulama sulit? Ya, memang sudah seperti itu jalan keilmuwan, tidak ada yang mudah.


Lakukan saja tugas sesuai kewajibanmu, masalah rumit serahkan pada ahlinya. Ada waktunya bagimu untuk ikut bergabung dan membantu. Jangan terburu-buru menyelesaikan masalah umat, jika tidak, malah nambah masalah baru. Kita sudah cukup pusing dengan permasalahan yang ada, sekarang malah ditambah kamu. Tak selamanya niat baik menghasilkan yang baik, semua ada caranya kok. Wallahu a'lam.


Oleh: Ustad Fauzan Inzaghi

Read More