TARBIYAH ONLINE: puasa

Fiqh

Tampilkan postingan dengan label puasa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label puasa. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 09 Mei 2020

Bagaimana Hukum Menggosok Gigi Setelah Waktu Matahari Tergelincir?

Mei 09, 2020

Fiqh Puasa | Menggosok gigi adalah bagian dari sunah yang sangat dianjurkan sebagai bagian dari perintah menjaga kebersihan. Kondisi sedang berpuasa tidak menghalangi kesunnahan bagi seseorang menggosok gigi. Ia tidak membatalkan puasa selama tidak sampai memasukkan sesuatu ke dalam tenggorokan. Karena sedang berpuasa, tidak selayaknya dijadikan alasan untuk tidak menjaga kebersihan, termasuk kebersihan mulut. Hanya saja, perlu ada kehati-hatian dalam melaksanakan gosok gigi agar jangan sampai saat berkumur, ada air yang tertelan.

Disamping itu, perlu adanya pengaturan waktu dalam melaljkan aktivitas ini. Pertama dilakukan dimasa setelah sahur, sebelum imsak. Dengan tujuan, sela-sela gigi sudah bersih dari sisa makanan Karena jika ada sisa makanan yang tetelan, bisa menyebabkan batal puasa. Sedangkan apabila dilakukan setelah imsak, harus adanya pejagaan ekstra, agar tidak ada sisa bekas odol atau bulu sikat yang tertelan.

Setelah imsak, masih boleh terus menggosok gigi dan berkumur. Agar nafas tetap segar, gigi dan mulut pun sehat terawat. Namun jika waktunya sudah Zhuhur, para ulama menganjurkan agar aktivitas siwak atau gosok gigi ini dihentikan bagi orang yang menjalankan puasa.

Mayoritas ulama berpendapat, bersiwak termasuk menggosok gigi setelah Zhuhur hukumnya makruh.Hal ini disampaikan Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani dalam Nihayatuz Zain sebagai berikut:

ومكروهات الصوم ثلاثة عشر: أن يستاك بعد الزوال

Artinya, “Hal yang makruh dalam puasa ada tiga belas. Salah satunya bersiwak setelah zhuhur,” (Nihayatuz Zein fi Irsyadil Mubtadi’in, Cetakan Al-Maarif, Bandung, Hal. 195).

Pernyataan tersebut juga diperkuat dengan ungkapan Al-Habib Abdulah bin Husein bin Thahir dalam karyanya Is‘adur Rafiq wa Bughyatut Tashdiq:

 ويكره السواك بعد الزوال للصائم لخبر "لخلوف" أي لتغير "فم الصائم يوم القيامة أطيب عند الله من رائحة المسك

Artinya, “Bagi orang berpuasa, makruh bersiwak setelah zhuhur berdasarkan hadits, ‘Perubahan aroma mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah pada hari Kiamat daripada wangi minyak misik,’” ( Kitab Is‘adur Rafiq, Cetakan Al-Hidayah, Surabaya, Juz I, Hal. 117).

Hal ini didasarkan pada pemahaman  diatas, secara eksplisit adanya anjuran untuk tidak lagi menggosok gigi setelah waktu Zhuhur juga dimaksudkan sebagai langkah preventif agar tidak dijadikan sarana untuk menyegarkan diri yang bisa jadi membatalkan puasa. Disamping itu terdapat pendapat yang menyebutkan tidak makruh hukumnya menggosok gigi setelah tergelincir matahari apabila ada hal yang menghendaki untuk bolehnya bersiwak (Kitab Syarkawi, jld 1, h. 446).

Penjelasan ini juga diungkapkan dalam kitab Kifayatul Akhyar Jld. 1 hal 16-17:

و هل يكره للصائم بعد الزوال فيه خلاف؟ الراجح فى الرافعى و الروضة انه يكره لقوله عليه الصلاة و السلام لخلوف فم الصائم الطيب عند الله من الريح المسك رواه البخارى.و فى رواية مسلم يوم القيامة. و الخلوف بضم الخاء واللام هو التغييرو خص بما بعده الزوال لان تغيير الفم بسبب الصوم حينئذ يظهر، فلو تغير فمه بعد الزوال بسبب اخر كنوم او غيره فاستاك لاجل ذلك لا يكره و قيل لا يكره الا ستياك مطلقا و به قال الائمة الثلاثة و رجحه النووى فى الشرح المهذبكفاية الاخيار ١/١٦_١٧

Apakah makruh bagi orang yg berpuasa bersiwak setelah lingsir matahari? Hal ini terjadi perbedaan pendapat. Pendapat yang rajih dari Imam Rafi'i adalah makruh hal ini didasarkan atas hadis dari imam Bukhari dan Imam Muslim. "Bahwasanya perubahan bau mulut orang yg berpuasa disisi Allah adalah lebih wangi dibanding misik." Dikhususkan dengan lingsir matahari, karena pada waktu itu perubahan bau mulut karena berpuasa akan tampak. Apabila perubahan bau mulut sesudah matahari tergelincir disebabkan oleh hal lain semisal karena habis tidur maka bersiwak tidak dimakruhkan. Pendapat yang kedua menghukuminya tidak makruh secara mutlak. Dan ini adalah pendapat tiga Imam Madzhab. Dan Imam Nawawi merajihkan dalam kitabnya Syarah al-Muhadzab. (Kifayatul Akhyar: 1;16-17)


Teungku Helmi Abu Bakar El Lamkawi, Dewan Guru Dayah MUDI Mesra Samalanga.
Read More

Kamis, 07 Mei 2020

Ternyata Mandi di Siang Hari Bisa Menyebabkan Batal Puasa

Mei 07, 2020

Fiqh Puasa | Salah satu aktifitas yang sering dilakukan saat siang Ramadhan melakukan mandi atau berwudhu. Sehingga air kadang dapat masuk ke lubang terbuka, selain rongga mulut, ada lubang hidung dan telinga. Lantas bagaimana hukum puasanya, apakah batal atau tidak?

Masuknya air ke telinga orang yang sedang puasa atau lubang-lubang yang ada di tubuhnya kemasukan air secara tidak disengaja, baik ketika berkumur atapun membersihkan lubang hidung, maka hukumnya ada tiga:

Pertama, orang tersebut puasanya tidak batal. Ini apabila mandi orang tersebut mandi wajib atau mandi sunat, kemudian ada hal yang masuk ke dalam tubuh orang tersebut baik melalui telinga atau mulut dan lainnya. Maka hal ini tidak membahayakan puasanya dengan syarat dia tidak berlebihan ketika berkumur atau membersihkan hidungnya.

Kedua, apabila mandi orang tersebut bukanlah mandi wajib dan juga bukan mandi sunat tapi mandi untuk menghilangkan najis. baik itu dari telinganya atau yang lainnya kemudian sampai kemasukan air tanpa di sengaja, maka hal ini tidak mebatalkan puasanya dengan syarat air atau benda tersebut masuk dengan tanpa disengaja.

Ketiga, mandi orang tersebut bukan mandi wajib, bukan juga sunat, tetapi hanya untuk mendinginkan diri saja karena gerah. Apabila kemasukan air dari sebab berkumur atau membersihkan hidung maupun telinganya, maka hukum puasanya batal. Adakah dengan berlebihan dalam berkumur atau membersihkan hidung juga telinganya, ataupun secara tidak berlebihan. Namun jika mandinya dengan cara menyelam maka puasanya batal, karena menyelam ketika puasa hukum dasarnya makruh. Tetapi kalau mandinya bukan dengan cara menyelam melainkan dengan cara digayung airnya atau melalui pancuran maka hal ini tidak membatalkan puasanya. Dengan syarat dia tidak menyengaja memasukkan air dengan cara memiringkan telinganya atau memang sudah kebiasaan baginya kalau mandi pasti kemasukan air.

Kalau memang sudah kebiasaannya kemasukan air maka para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini diantara mereka ada yang memperbolehkan dan ada juga yang tidak memperbolehkan.

Tiga perincian di atas berdasarkan keterangan dalam Kitab I’anatut Thalibin sebagai berikut:

والحاصل) أن القاعدة عندهم أن ما سبق لجوفه من غير مأمور به، يفطر به، أو من مأمور به - ولو مندوبا - لم يفطر.ويستفاد من هذه القاعدة ثلاثة أقسام: الاول: يفطر مطلقا - بالغ أو لا - وهذا فيما إذا سبق الماء إلى جوفه في غير مطلوب كالرابعة، وكانغماس في الماء - لكراهته للصائم - وكغسل تبرد أو تنظف.الثاني: يفطر إن بالغ، وهذا فيما إذا سبقه الماء في نحو المضمضة المطلوبة في نحو الوضوء.الثالث: لا يفطر مطلقا، وإن بالغ، وهذا عند تنجس الفم لوجوب المبالغة في غسل النجاسة على الصائم وعلى غيره لينغسل كل ما في حد الظاهر. 

Artinya, “Kesimpulannya, kaidah menurut ulama adalah, air yang tidak sengaja masuk ke dalam rongga tubuh dari aktivitas yang tidak dianjurkan, dapat membatalkan puasa, atau dari aktivitas yang dianjurkan meski anjuran sunah, maka tidak membatalkan. Dari kaidah ini, dapat dipahami tiga pembagian perincian hukum. Pertama, membatalkan secara mutlak, baik melebih-lebihkan (dalam cara menggunakan air) atau tidak. Ini berlaku dalam permasalahan masuknya air dalam aktivitas yang tidak dianjurkan seperti basuhan ke empat, menyelam ke dalam air, karena makruh bagi orang yang berpuasa, mandi dengan tujuan menyegarkan atau membersihkan badan. Kedua, membatalkan jika melebih-lebihkan, ini berlaku dalam aktivitas semacam berkumur yang dianjurkan saat berwudhu. Ketiga tidak membatalkan secara mutlak meski melebih-lebihkan, ini berlaku ketika mulut terkena najis karena wajibnya melebih-lebihkan dalam membasuh najis bagi orang yang berpuasa dan lainnya agar anggota zhahir terbasuh (suci dari najis),” ( Syekh Abu Bakr bin Syatha, I’anatut Thalibin, juz II, hal 265).


Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi, Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga
Read More

Selasa, 05 Mei 2020

Apakah Menyuntikkan Nutrisi Makanan Dapat Membatalkan Puasa?

Mei 05, 2020

Fiqh Puasa | Salah satu yang membatalkan puasa adalah memasukkan sesuatu ke dalam rongga terbuka, baik berupa makanan maupun bukan. Maka bila suntikan tersebut di lakukan pada bagian yang bisa menyebabkan sampai sesuatu secara langsung ke dalam rongga terbuka maka bisa membatalkan puasa. Sedangkan suntikan pada lengan atau daerah lain yang tidak sampai ke dalam rongga maka tidaklah membatalkan puasa, sama seperti masuk air dalam badan melalui pori-pori kulit.

Maka dapat diklarifikasi ada dua pendapat tentang suntikan nutrisi makanan yaitu: Pertama, batal puasa. Sebagian ulama berpendapat bahwa menyuntikkan zat yang bisa mengenyangkan bisa membatalkan puasa. Pendapat ini di anggap kuat oleh Habib Hasan bin Ahmad bin Muhammad al-Kaf dalam kitab Taqrirat as-Sadidah fi Masail Mufidah hal 452 Dar Mirats an-Nabawi. Bahkan Habib Muhammad bin Ahmad asy-Syathiri dalam kitab Yaqut an-Nafis jilid 1 hal 467 Dar Hawi, mengatakan ijmak para ulama bahwa suntik zat yang bisa mengenyangkan bisa membatalkan puasa. Namun kutipan ijmak ini rasanya sangat perlu ditinjau kembali karena pada pengarang Taqrirat Sadidah menyebutkan adanya khilaf para ulama.

Kedua, tidak batal puasa. Dalam penjabaran para ulama dalam kitab terdahulu yang menjelaskan tidak batal puasa apabila memasukkan sesuatu ke selain rongga terbuka tanpa merinci lebih lanjut bahwa yang masuk tersebut zat yang mengeyangkan atau tidak. Sehingga dapat ada kesimpulan, hal ini berlaku umum baik yang masuk tersebut adalah zat yang bisa mengenyangkan ataupun bukan, keduanya sama-sama tidak membatalkan puasa. Bahkan juga ditemukan penjelasan Syeikh Ali Jum’ah yang mengutip penjelasan Syeikh bakhit al-Muthi`i setelah beliau membawa nash-nash para ulama dari empat mazhab:

ومن هذا يُعلَم أن الحقنة تحت الجلد لا تفسد الصوم باتفاق المذاهب الأربعة، سواء كانت للتداوي أو للتغذية أو للتخدير، وفي أي موضع من ظاهر البدن؛ لأن مثل هذه الحقنة لا يصل منها شيء إلى الجوف من المنافذ المعتادة أصلاً، وعلى فرض الوصول فإنما تصل من المَسَامّ فقط، وما تصل إليه ليس جوفًا ولا في حكم الجوف، وليست تلك المَسَامُّ مَنْفَذًا منفتحًا لا عُرفًا ولا عادةً

Artinya : Dan dari ini semua bisa diketahui bahwa suntik di bawah kulit tidak membatalkan puasa berdasarkan kesepakatan Mazhab yang empat. Baik suntikan itu untuk berobat atau mengenyangkan ataupun untuk pembiusan, dan dimana saja (disuntik tetap puasanya tidak akan batal) dari dhahir badan karena suntikan ini sama sekali tidak menyampaikan sesuatu ke dalam rongga dari jalur yang biasa. Kalaupun kita katakan sampai, maka hanya sampai (ke dalam rongga) melalui pori-pori kulit, tempat (pori-pori) tidak di namakan jauf (rongga) ataupun pada kedudukan jauf. Dan pori-pori kulit tidaklah termasuk dalam rongga terbuka secara uruf dan adat.

Dalam mazhab Syafii, illat batal puasa adalah masuk sesuatu ke dalam rongga terbuka, tanpa ada perbedaan pada zat yang masuk itu apakah bisa mengenyangkan atau tidak. Adapun masalah ia tidak merasakan lapar di siang harinya, sehingga menghilangkan maksud syara` dari disyariatkannya puasa, hal ini hanya menyebabkan hilangnya hikmah dar puasa tersebut.

Hikmah tidak sama seperti illat yang memiliki keterikatan erat dengan hukum (muththarid). Ketika hilangnya hikmah dari satu hukum ibadat belum tentu hukum tersebut akan ikut berubah. Sama halnya dengan seseorang yang berendam dalam air selama puasa sehingga masuk air ke dalam badannya melalui pori-pori kulitnya. Dan ia tidak merasakan lapar dan haus sedikitpun, puasanya tersebut tetap tidak batal.

Maka atas dasar pemahaman terhadap nash-nash kitab Fiqh Syafiiyah yang mu`tabarah dan dengan didukung penjelasan Syeikh Bakhit al-Muthi`i yang juga di kutip oleh Syeikh Ali Jumah maka kami tidak sependapat dengan penjelasan kitab Yaqut Nafis yang mengatakan bahwa ijmak ulama suntik zat makanan bisa membatalkan puasa dan juga keterangan kitab Taqrirat as-Sadidah bahwa pendapat yang kuat suntikan dengan memakai zat yang mengenyangkan membatalkan puasa.

Kami sependapat dengan penjelasan Syeikh Bakhit al-Muthi`y bahwa bahwa suntik zat makanan tidak membatalkan puasa. Bahkan beliau mengatakan hal tersebut berdasarkan kesepakatan mazhab yang empat. Hal ini juga dikuatkan dengan fatwa Abuya Muda Waly dalam Kitab Fatawa beliau, dimana beliau menjawabnya tanpa membedakan antara suntikan zat makanan dengan bukan zat makanan.

Teungku Helmi Abu Bakar El Lamkawi, dikutip dari: LBM MUDI
Read More

Batalkah Puasa Karena Suntik dan Menetes Obat dalam Mata dan Telinga?

Mei 05, 2020

Fiqh Puasa | Kita sebagai manusia terkadang mengalami kondisi kurang sehat alias sakit termasuk kondisi seperti ini terjadi di bulan Ramadhan yang merupakan bulan yang sangat dinantikan oleh umat Islam. Kita mengetahui bahwa bulan ini menjadi istimewa karena berbagai keberkahan dan kemulian bahkan malam lailatul qadar juga terjadi di syahrul Mubarak ini.

Puasa pada bulan Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam, sehingga umat Islam wajib untuk berpuasa.   Seseorang yang sakit dalam bulan Ramadhan kemudian berobat ke dokter dan diputuskan harus dilakukan suntikan. Lalu apakah puasa si pasien batal karenamendapatkan tindakan suntik?

Berdasarkan catatan, bahwa terdapat 5 lubang bagi laki-laki dan 6 bagi perempuan, jika masuk sesuatu yang kelihatan (ainiyah) ke dalamnya, maka batal lah puasanya. Lubang tersebut yaitu lubang hidung, telinga, mulut, dubur, kemaluan, susu (bagi perempuan). Dalam kitab Sabilul Muhtadin juga disebutkan tiada batal puasanya karena memasukkan jarum suntik, karena kulit tidak termasuk lubang yang terbuka yang 5 atau 6 ini. Ini mazhab Imam Syafi’i ‘alaihi ridhwanullah wa ardhah. Sedang dalam mazhab Imam Maliki terdapat tambahan satu lagi, yaitu mata. Maka bercelak di siang hari pada bulan ramadhan dapat membatalkan puasa menurut mazhab beliau ‘alaihi ridhwanullah wa ardhah.

Adapun hukum suntik bagi orang yang berpuasa, puasanya tidak batal, sebab obat yang dimasukan melalui injeksi itu adalah ke dalam daging, dan tidak ke dalam rongga badan. Hal ini berdasarkan redaksi kitab Al-Mahalli berbunyi;

 ﻭَﻟَﻮْ ﺍَﻭْﺻَﻞَ ﺍﻟﺪَّﻭَﺍﺀَ ﻟِﺠَﺮَﺍﺣَﺔٍ ﻋَﻠَﻰ ﺍﺳَّﺎﻕِ ﺍِﻟَﻰ ﺩَﺍﺧِﻞِ ﺍﻟَّﻠﺨْﻢِ ﺍَﻭْ ﻏَﺮَﺯَ ﻓِﻴْﻪِ ﺳِﻜَّﻴْﻨًﺎ ﻭَﺻَﻠَﺖْ ﻣُﺤَّﻪُ ﻟَﻢْ ﻳُﻔْﻄِﺮْ ﻷَِﻧَّﻪُ ﻟَﻴْﺲَ ﺑِﺠَﻮْﻑٍ

Artinya: “Andaikata seseorang menyampaikan obat bagi luka betis sampai luka ke dalam daging, atau menancapkan pisau pada betis tersebut sampai ke sumsum, maka hal itu tidak sampai membatalkan puasanya, daging itu bukan rongga badan." (Kitab Al Mahali, Hamisy dari Kitab Al Qalyubi juz 2 hal,56)

Penjelasan ini diperkuat dengan pendapat Abuya Muda waly al-Khalidi salah seorang ulama besar Aceh dalam “Fatawa Abuya Muda Waly al-Khalidy” berbunyi: “Dipahami dari ini segala nash tidak terbuka/ batal puasa dengan sebab berjarum atau berinjeksi asal jangan dijarum di tempat rongga yang terbuka seperti tentang perut dan tentang zakar umpamanya. Walaupun tidak terbuka/batal puasa pada yang selain dari rongga terbuka tetapi hukumnya khilaf aula karena illat mendhaifkan (bisa membuat fisik lemah- pen). (Fatawa Abuya Muda Waly al-Khalidy hal 96 Cet. Nusantara, Bukit Tinggi).

Sedangkan memasukan obat tetes ke dalam telinga hukumnya membatalkan puasa. Namun memasukkan obat tetes mata tidak membatalkan puasa. Ini berdasarkan Kitab Al Fiqhul Manhaji ala Madzahibil Imam Asy Syafi’I  berbunyi:

 ﻓَﺎ ﻗَﻄْﺮَﺓُ ﻣِﻦَ ﺍﻷُﺫُﻥِ ﻣُﻔْﻄِﺮَﺓٌ, ﻷَﻧَّﻬَﺎ ﻣَﻨْﻔَﺪٌ ﻣَﻔْﺘُﻮْﺡٌ. ﻭَﺍﻟْﻘَﻄْﺮَﺓُ ﻓِﺂ ﺍﻟْﻌَﻴْﻦِ ﻏَﻴْﺮُ ﻣُﻔْﻄِﺮَﺓٍ ﻷَِﻧَّﻪُ ﻣَﻨْﻔَﺪٌ ﻏَﻴْﺮُ ﻣَﻔْﺘُﻮْﺡٍ

“Maka tetesan ke dalam lubang dari telinga adalah membatalkan puasa, karena telinga itu adalah lubang yang terbuka. Dan tetesan ke dalam mata itu tidak membatalkan puasa, karena mata itu lubang yang tidak terbuka.” (Kitab Al Fiqhul Manhaji ala Madzahibil Imam Asy Syafi’I hal, 84)


Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi, Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga
Read More

Kamis, 30 April 2020

Hukum Menelan Bekasan Gosokan Gigi Bagi yang Sedang Berpuasa

April 30, 2020

Fiqh Puasa | Dalam rutinitas berpuasa dibulan Ramadhan, nafas menjadi sedikit lebih bau daripada hari biasanya. Maka dari itu banyak yang menambah rutinitas sikat gigi. Selain menjaga kesehatan dan kebersihan mulut dari sisa-sisa makanan yang tertinggal di sela-sela gigi.

Lantas apakah hal tersebut bisa membatalkan puasa?

Sebagaimana kita ketehui bahwa menjaga kebersihan gigi dan mulut bagi sebagian orang sudah menjadi suatu kebiasaan. Namun, dibulan puasa seperti saat ini, banyak yang bertanya-tanya terkait dengan penggunaan obat kumur dan juga pasta gigi atau odol saat puasa Ramadhan. Menjawab pertanyaan tersebut, dalam kitab al-Majmuk syarah Muhazzab disebutkan:

‘لو استاك بسواك رطب فانفصل من رطوبته أو خشبه المتشعب شئ وابتلعه افطر بلا خلاف صرح به الفورانى وغيره

Artinya: Jika ada orang yang memakai siwak basah. Kemudian airnya pisah dari siwak yang ia gunakan, atau cabang-cabang (bulu-bulu) kayunya itu lepas kemudian tertelan, maka puasanya batal tanpa ada perbedaan pendapat ulama. Demikian dijelaskan oleh al-Faurani dan lainnya. (Abi Zakriya Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, juz 6, hal. 343)

Berdasarkan penjelasan diatas dapat kita pahami, apabila air yang bukan barang inti atau bahkan bulu kayu yang merupakan salah satu bagian inti dari siwak (sikat gigi) itu sendiri, dapat membatalkan puasa apalagi pasta gigi dan obat kumur yang keduanya bukan baranga yang diperintahkan syara’.

Beranjak dari itu, bagi orang yang berpuasa dan menggosok gigi menggunakan pasta gigi setelah imsak, kemudian tertelan, walaupun tanpa sengaja bekas bulu sikat dan juga odol, maka puasanya batal. Namun jika tidak ada bekasan air atau pasta yang masuk tenggorokan sama sekali, puasanya tidak batal, masih tetap sah.

Solusi bagi orang yang berpuasa, demi kehati-hatian hendaknya menggosok gigi dahulu sebelum waktu imsak tiba. Jika sudah siang, cukup gosok gigi dengan kayu siwak (arok) atau dengan sikat gigi tanpa menggunakan pasta. Jadi kesimpulannya bisa membatalkan puasa apabila kita menelan bekas dari gosokan gigi berodol.

Teungku Helmi Abu Bakar El Lamkawi, Guru Pengajar di Dayah MUDI Mesra Samalanga
Read More

Rabu, 29 April 2020

Benarkah Menelan Dahak Dapat Membatalkan Puasa?

April 29, 2020


Fiqh Puasa | Dalam keseharian menjalankan ibadah puasa, kita sangat berhati-hati dalam mejaga diri terhadap perkara-perkara yang membatalkan puasa. Diantaranya adalah perihal dahak. Terlebih saat kondisi tubuh sedang kurang sehat, seperti sedang terkena flu atau pilek. Lantas apakah jika menelan dahak dapat membatalkan puasa?

Kita telah memaklumi bersama bahwa salah satu hal yang membatalkan puasa adalah masuknya sesuatu kedalam rongga terbuka. Dan kerongkongan termasuk dalam salah satu rongga terbuka. Dahak, kadang masih berada dalam kerongkongan, belum keluar ke batasan dhahir. Atau kadang juga sudah berada di luar kerongkongan, tapi sulit dikeluarkan.

Terlebih dahulu, kita harus kenal dengan jenis dahak. Yaitu dahak yang turun dari kepala dan dahak yang keluar dari dada. Pertama, dahak yang tidak sampai pada batasan dhahir pada mulut, dari kepala langsung turun ke kerongkongan, tidak melalui batasan dhahir, atau bila dahak dari dada, masih berada dalam kerongkongan, belum sapai batasan dhahir. Hukum untuk kedua jenis dahak ini adalah sah (tidak batal puasa).

Lalu dahak yang telah sampai pada batasan dhahir dalam mulut. Apabila telah sampai batasan dhahir, ada dua kondisi yang akan dihadapi; Adakalanya ia sanggup meludahnya dan adakalanya tidak. Jika tidak sanggup dikeluarkan dengan cara meludahnya dan dahak itu turun kembali ke dalam kerongkongan, maka hal tersebut tidak membatalkan puasa. Sedangkan jika ia mampu mengeluarkan dahak, maka wajib dikeluarkan dengan cara meludahnya dan dibuang. Dan jika tidak dikeluarkan, lalu tertelan kembali, maka dapat membatalkan puasa.

Lalu dimana batasan dhahir yang dimaksud? Oleh para ulama menyebutkan batasan dhahir adalah batasan makhraj Ha (ح). Sedangkan hukum menarik/mengeluarkan dahak dari dalam dada adalah boleh dan tidak membatalkan puasa karena dahak ini tidak disamakan dengan muntah. Muntah secara sengaja bisa membatalkan puasa, sedangkan mengeluarkan dahak secara sengaja tidak membatalkan puasa.

Sementara itu Syekh Ali Jum'ah Muhammad pernah ditanya tentang ini, beliau menjawab: "Apabila dahak itu melewati batas atau keluar dari batas anggota bathin di dalam tenggorokan (tempat keluarnya huruf Hamzah dan Haa`, bukan Kha` menurut Imam al-Zayyadi, dan bukan pula Ha` menurut Imam Nawawi), maka menelannya membatalkan puasa. Dan apabila belum melewati batas anggota bathin dalam tenggorokan maka menelannya tidak membatalkan puasa. Sedangkan menurut pendapat bahwa menelan dahak itu tidak membatalkan puasa; yakni selagi dahak itu tidak keluar ke mulut atau masih ada di dalam rongga mulut." (Darul Ifta-Piss-ktb)

Referensi Kitab Fiqh Shiyam Syeikh Hasan Hitu, hal 78
:ابتلاع النخامة
ومما يؤدى الى الفطر ويجب الاحتراز عنه النخامة سواء أكانت نازلة من الرأس او خارجة من الصدر ولها حالتان
الحالة الاولى ان لا تصل ألى حد الظاهر من الفم وإنما تنزل من الرأس إلى الحلق دون أن تخرج إلى حد الظاهر من الفم وهذه لا تضر بالاتفاق
والحالة الثانية أن تصل ألى حد الظاهر من الفم وقد ضبطه الفقهاء بكخرج الحاء فإن وصلت حد الظاهر وهو مخرج الحاء فإما أن يقدر على قطعها ومجها وإما أن لا يقدر.
فإن لام يقدر على قطعها ومجها حتى نزلت إلى جوفه لم تضر لعدم تقصيره . وإن قدر على قطعها ومجها إلا أنه إبتلعها فإنه يفطر على ما ذهب إليه الجمهور

Wallahu a'lam bisshawab
Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi, Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga
Read More

Puasa Batal Karena Keluar Mani di Siang Hari?

April 29, 2020

Fiqh Puasa | Bulan Ramadhan merupakan bulan untuk menahan diri dari hal yang dilarang dalam syariat. Tidak hanya hal yang dilarang pada bulan selain Ramadhan, beberapa perkara mubah bahkan sunnah pun terlarang dan menyebabkan batalnya puasa. Salah satunya diantaranya yang membatalkan puasa adalah jima’ (bersetubuh) dengan istri. Adakah itu sampai keluar mani atau tidak. Demikian juga jika sengaja mengeluarkan mani, baik itu dengan cara masturbasi, bercumbu rayu dengan istri tanpa penghalang atau cara lainnya. Istimna’ atau dalam bahasa kita biasa disebut dengan onani atau masturbasi saat puasa menyebabkan puasa batal.

Dalam kitab al-Fiqh al-Manhaji karya Musthafa Khan dan Musthafa al-Bugha disebutkan bahwa onani saat puasa dapat membatalkan puasa jika disengaja.

الاستمناء: وهو استخراج المني بمباشرة تقبيل ونحوه، أو بواسطة اليد، فإن تعمد ذلك الصائم أفطر. أما إن غلب على أمره فلا يفطر.
“Istimna’ (onani) adalah berusaha mengeluarkan mani secara langsung atau dengan tangan. Jika dilakukan secara sengaja oleh orang yang berpuasa, maka membatalkan puasa. Adapun jika tidak disengaja, maka tidak membatalkan puasa.”

Dalam I’anatut Thalibin, Syekh Abu Bakar Syatha juga menjelaskan bahwa melakukan onani saat puasa itu termasuk hal yang membatalkan puasa sebagaimana keterengan berikut.

ويفطر باستمناء، وهو استخراج المني بغير جماع – حراما كان كإخراجه بيده، أو مباحا كإخراجه بيد حليلته أو بلمس لما ينقض لمسه بلا حائل
“Puasa itu batal sebab melakukan onani, yaitu berusaha mengeluarkan mani tanpa melalui jimak atau hubungan intim. Adakah itu onani yang memang haram, seperti mengeluarkan mani dengan cara menggerakkan kemaluan dengan tangannya sendiri, atau onani yang mubah, seperti meminta tolong istri melakukan onani dengan tangan istri. Atau juga hanya dengan sekedar menyentuh kulit seseorang yang membatalkan wudhu bila persentuhannya tanpa penghalang (maninya keluar).”

Sementara itu, keluar mani dengan tidak sengaja karena menghayal, bercumbu rayu dengan istri menggunakan penghalang (berpakaian) dan keluar mani karena bermimpi saat tidur, maka itu tidak membatalkan puasa, karena tidak terdapat unsur kesengajaan di dalamnya. Dan keluarnya mani adalah hal yang berada diluar kemampuannya.

Sebagaimana tersebut dalam kitab Hasyiah Syarqawi Ala Tahrir: 1/435: “Walhasil bahwa mengeluarkan mani secara muthlak dan keluar mani dengan menyentuh tanpa penghalang, sekalipun tanpa syahwat dikala terjaga (tidak tidur), adalah membatalkan puasa. Lain halnya kalau keluar mani pada saat tidur (bermimpi), menghayal bersentuhan dengan ada penghalang, maka sesungguhnya tidak membatalkan puasa walaupun dengan syahwat.”

Wallahu a'lam bis shawab.

Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi, Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga
Read More

Selasa, 28 April 2020

Sahkah Puasa Wanita yang Sengaja Menunda Haid dengan Mengkonsumsi Obat?

April 28, 2020

Fiqh Puasa | Ramadhan merupakan bulan kewajiban berpuasa kepada mereka yang telah difardhukan untuk melaksanakan termasuk mereka kaum wanita. Namun mereka kaum hawa ada masa liburnya. Yaitu  disaat haid atau sejenisnya. Maka kewajiban tersebut berubah menjadi hal terlarang.

Dalam hal ini Al-Imam Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Habib al-Mawardi (w.450H);

لا اختلاف بين الفقهاء أن الحائض لا صوم عليها في زمان حيضها بل لا يجوز لها، ومتى طرأ الحيض على الصوم أبطله، إلا طائفة من الحرورية تزعم أن الفطر لها رخصة فإن صامت أجزأها

“Tidak ada perbedaan pendapat ulama fikih tentang larangan berpuasa bagi wanita selama mereka haid. Bahkan ketika haid muncul saat berpuasa otomatis puasa tersebut batal, kecuali menurut pendapat satu kelompok Harûriyyah (khawarij) yang menganggap berbuka bagi wanita haid hanyalah sebuah rukhshah, dan tetap sah apabila mereka tetap memilih berpuasa”. (Al-Mawardi, al-Hâwî al-Kabîr Syarh Mukhtashar al-Muzanî, vol.3, hal.962)

Keberadaan wanita tidak wajib berpuasa merupakan ijmak ulama, hal ini sebagaimana diungkapkan Al-Imam Abu Muhammad Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah al-Maqdisi (w.630H), ia berkata: 

أجمع أهل العلم على أن الحائض والنفساء لا يحل لهما الصوم وإنهما يفطران رمضان ويقضيان وإنهما إذا صامتا لم يجزئهما الصوم
“Ulama berijma‘ tidak halal berpuasa bagi wanita haid dan nifas karena mereka harus tidak berpuasa Ramadhan dan harus mengqadha puasa tersebut. Apabila mereka tetap berpuasa maka puasanya belum sah”. (Ibn Qudamah, al-Mughnî Syarh Mukhtashar al-Kharqî, vol.3, hal.83)

Haid sudah menjadi kodrat wanita. Namun dewasa ini keinginan wanita untuk beribadah dibulan ini begitu menggebu. Sehingga ada sebagian mereka menunda haid demi bisa berpuasa sebulan penuh dengan mengkonsumsi obat anti haid. Lantas bagaimana syari'at Islam memandang yang demikian?

Menurut kalangan Syafi'iyyah diperbolehkan asalkan tidak menimbulkan bahaya pada dirinya. Berikut juga pendapat kalangan madzhab selain syafiiyyah tentang wanita yang minum obat pencegah datangnya haid.

"Dalam Fatawa Al Qammaath (Syeikh Muhammad ibn al Husein al Qammaath) disimpulkan diperbolehkannya menggunakan obat untuk mencegah datangnya haid." (Ghayatut Talkhis: 196).

Sementara itu dalam kalangan Malikiyyah berpendapat: "Haid adalah darah yang yang keluar dari alat kelamin wanita pada usia yang ia bisa hamil menurut kebiasaan umum. Bila wanita menjalani puasa akibat obat yang mencegah haid hadir dalam masanya, menurut pendapat yang zhahir masa-masa tidak dikatakan haid dan tidak menghabiskan masa iddahnya, berbeda saat ia menjalani haid dan meminum obat untuk menghentikan haidnya diselain waktu kebiasaannya, maka ia dinyatakan suci namun iddahnya dapat terputus karena sesungguhnya tidak boleh bagi seorang wanita mencegah atau mempercepat keluarnya darah haid bila membahayakan kesehatannya. Karena menjaga kesehatan wajib hukumnya." (Kitab Fiqh ‘alaa Madzaahib al-Arba’ah I/103).


Berdasarkan pembahasan di atas, sah puasa seorang wanita yang menunda haid dengan minum obat selama tidak mendatangkan kemudharatan terhadap dirinya.

oleh

Artikel ini telah tayang di Theglobal.id
Read More

Batalkah Puasa Dengan Sebab Menghimpun Air Liur Lalu Menelannnya?

April 28, 2020

Fiqh Puasa | Salah satu kondisi yang sering terjadi selama bulan Ramadhan adalah menelan liur. Keadaan ini terkadang menjadi problema tersendiri bagi yang sedang berpuasa. Apakah hal tersebut bisa membatalkan puasa ataupun tidak?

Menjawab pertanyaan ini, Imam Nawawi menjelaskan tentang hukum menelan air liur:

ابتلاع الريق لا يفطر بالاجماع إذا كان على العادة لانه يعسر الاحتراز منه 

Artinya: “Menelan air liur itu tidak membatalkan puasa sesuai kesepakan para ulama. Hal ini berlaku jika orang yang berpuasa tersebut memang biasa mengeluarkan air liur. Sebab susahnya memproteksi air liur untuk masuk kembali.” (Abi Zakariya Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’, juz 6, hal, 341)

Tentunya liur yang ditelan itu merupakan liur murni tanpa bercampur dengan benda asing lain. Liur yang masih berada dalam rongga mulut (belum keluar dari mulut) adalah liur yang masih murni, maka bila ditelan tidak membatalkan puasa. Menelan liur yang masih ada dalam mulut bila liur tersebut suci atau tidak najis, misalnya karena bercampur dengan darahnya gusi, dan liur tersebut tidak bercampur zat lain maka tidak membatalkan puasa.

Ringkasnya, setidaknya ada tiga syarat tidak membatalkan puasa menelan air liur. Pertama, air liur harus murni. Tentunya air liur yang tidak boleh ada benda lain yang merubah warna dan rasa air liur itu sendiri. Seperti penjahit yang memasukkan benang ke dalam mulut. Kemudian pewarna benang tersebut ada yang mengontaminasi warna air liur sehingga tidak lagi putih atau bening. Maka hal itu membatalkan puasa.  Atau ada pula yang air liurnya terkontaminasi oleh darah sebab luka pada gusi kemudian ditelan, maka itu juga bisa membatalkan puasa. 

Kedua, air liur yang masuk ke tubuh adalah air liur yang keluar dari tubuhnya sendiri dan tidak keluar dari batas ma’fu, yaitu bibir bagian luar. Disinilah terdapat sedikit kemiripan antara batas dhahir wudhu dan shalat yang terjadi pada bab puasa. Jadi, air liur yang sudah keluar dari tenggorokan –yang semula dianggap sudah bagian luar- namun karena hajat, selama tidak melewati bibir luar, tidak membatalkan puasa.  Ketiga, menelan liur secara wajar sebagaimana adat umumnya , yakni ia terkumpul dan tertelan secara alamiah tanpa sadar.

Mengumpulkan Air Liur Dan Menelannya

Sementara itu, ada sebagian masyarakat kita yang kesehariannya mengumpulkan liur dalam mulut dan masih murni, tidak tercampur zat lain, kemudian menelan kembali. Kondisi seperti inilah yang menjadi pertanyaan, apakah membatalkan puasa atau tidak?

Menghimpun liur dengan sengaja dan menelannya terdapat khilaf pendapat ulama. Namun pendapat yang kuat menyatakan tidak membatalkan puasa. Sementara menghimpun liur tanpa sengaja seperti akibat banyak berbicara, para ulama sepakat bahwa bisa batal puasanya. Hal ini sebagaimana diungkapakan dalam kitab Majmuk Syarah Muhazzab berbunyi:

 فَلَوْ جَمَعَهُ قَصْدًا ثُمَّ ابْتَلَعَهُ فَهَلْ يُفْطِرُ فِيهِ وَجْهَانِ مَشْهُورَانِ ذَكَرَهُمَا الْمُصَنِّفُ بِدَلِيلِهِمَا (أَصَحُّهُمَا) لَا يُفْطِرُ وَلَوْ اجْتَمَعَ رِيقٌ كَثِيرٌ بِغَيْرِ قَصْدٍ بِأَنْ كَثُرَ كَلَامُهُ أَوْ غَيْرُ ذَلِكَ بِغَيْرِ قَصْدٍ فَابْتَلَعَهُ لَمْ يُفْطِرْ بِلَا خِلَافٍ

Artinya: "Jikalau seorang secara sengaja menghimpun liur kemudian menelannya ,apakah membatalkaan puasanya? Ada dua pendapat yang masyhur dan musannif menyebut dalill  keduanya serta pendapat yang paling ashah dari kedua pendapat tersebut tidak membatalkan puasa.  Dan jikalau menghimpun liurnya yang banyak tanpa ada renacana bisa jadi dengan banyak berbicara atau lainnya tanpa renacana, maka ia menelannya tidak membatalkan puasa dengan tiada perbedaan pendapat ulama." (Kitab Majmuk Syarah Muhazzab, Jld.6, hal. 317-318).

oleh Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi, Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga

Artikel ini telah tayang di Theglobal.id
Read More

Senin, 27 April 2020

Ketahuilah 40 Sunnah di Bulan Ramadhan, Biar Puasa mu Tambah Berkah (4 Akhir)

April 27, 2020

Fiqh Puasa | Al Habib Segaf bin Ali Alaydrus dalam kitabnya “Ithaful Ikhwan” menyebutkan 40 sunah di Bulan Ramadhan. Berikut intisarinya:

31. Mandi pada malam- malam Ramadhan

Disunahkan mandi setiap malam di sepuluh malam terakhir Ramadhan, sebagian ulama menyunahan mandi setiap malam Ramadhan sejak awal sampai akhir. Ini untuk menambah semangat beribadah.

Nabi SAW dan para sahabat telah melakukan hal ini. Diriwayatkan dari Sayidah Aisyah RA:

كان رسول الله صلى الله عليه و سلم إذا كان رمضان قام و نام فإذا دخل العشر شد المئزر و اجتنب النساء و اغتسل بين الأذانين و جعل العشاء سحور

Apabila datang Ramadhan, Rasulullah SAW shalat dan tidur. Dan jika telah datang sepuluh hari terakhir, beliau mengeratkan sarungnya, menjauhi istri-istrinya, mandi antara dua adzan dan mengakhirkan makan malamnya di waktu sahur (HR Ibnu Abi Ashim )

Imam Ibnu Jarir Ra mengatakan: Para ulama menyunahkan mandi setiap malam di sepuluh malam terakhir Bulan Ramadhan. Imam An Nakhai melakukan itu setiap malam-malam itu.

32. Berhias dan memakai wewangian untuk ibadah

Sunah membersihkan diri, berhias dan memakai wewangian untuk beribadah pada sepuluh malam terakhir Bulan Ramadhan, terlebih di malam-malam yang diharapkan adalah malam Lailatul Qadar.

Telah datang atsar dari para salaf, sahabat dan tabiin bahwa mereka mandi, membersihkan diri, berhias dan kadang mewangikan masjid di malam-malam ini.

Dinukilkan perbuatan ini dari Sahabat Annas, Zur bin Hubaisy, Tamim ad Dari, Ayub as Sakhtiyani, Tsabit al Banani, Humaid at Thowil dan para salaf lainnya. Al-Hafidz Ibnu Rajab menukilkan perbuatan mereka itu kemudian beliau berkata, “Menjadi jelas dengan ini semua kesunahan untuk membersihkan diri, berhias mewangikan diri dengan mandi dan wewangian, memakai pakaian indah pada malam-malam yang diharapkan adalah malam Lailatul Qodar sebagaimana disyariatkan di hari Jumat dan dua hari Id.”

33. Puasa bagi yang bepergian

Jika ia memulai bepergian setelah Waktu Shubuh di Bulan Ramadhan, maka wajib untuk berpuasa dan tidak boleh membatalkannya kecuali setelah ia tidak mampu lagi menahan lapar atau haus.

Jika ia memulai bepergian sebelum Waktu Shubuh, maka ia boleh memilih untuk tetap berpuasa atau tidak berpuasa dan menggantikannya di hari lain. Disunahan bagi yang kuat untuk tetap berpuasa, ini berdasarkan firman Allah SWT:

وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ

Dan berpuasa lebih baik bagimu. (QS al Baqarah: 184)

Jika ia termasuk orang yang lemah, dan puasa dapat memberatkannya maka lebih utama untuk tidak berpuasa berdasarkan hadits:

 لَيْسَ مِنْ الْبِرِّ الصِّيَامُ فِي السَّفَرِ

Bukan termasuk kebaikan memaksakan berpuasa ketika dalam perjalanan (bagi yang tidak kuat)(HR Abu Dawud)

34. Menahan (imsak) bagi yang hilang udzurnya di tengah hari puasa

Apabila seorang tidak berpuasa karena suatu udzur, kemudian di tengah hari udzurnya hilang, maka sunah baginya untuk berprilaku seperti orang yang berpuasa dengan tidak makan, tidak minum dan lainnya sampai Maghrib.

Seperti jika ada anak kecil tidak berpuasa kemudian ia menjadi baligh di tengah hari, atau wanita yang tidak puasa karena haid kemudian ia suci di tengah hari, atau orang sakit yang sembuh di tengah hari puasa, atau orang yang bepergian kemudian sampai tujuan mukim di tengah hari puasa, semuanya itu sunah untuk menahan diri (imsak) dan berprilaku seperti orang berpuasa sampai Mahgrib. Ini adalah bentuk penghormatan kepada Bulan Ramadhan juga agar ia menyerupai orang puasa sehingga menghilangkan prasangka tidak baik dari orang yang tidak mengetahui udzurnya.

35. Meninggalkan kesenangan nafsu

Disunahkan bagi yang berpuasa untuk meninggalkan kesenangan nafsu yang tidak membatalkan puasa seperti wewangian, pandangan kepada yang indah, mendengar suara yang indah dan lainnya. Allah SWT mensifati orang yang berpuasa dalam Hadits Qudsi:

 يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي

Ia meninggalkan makanannya, minumannya dan kesenangan syahwatnya karena Aku. (HR Bukhari)

Syahwat adalah semua yang disukai nafsu bik yang dipandang oleh mata, yang didengar oleh telinga atau yang dicium dengan hidung. Imam Nawawi dalam Minhaj mengatakan, “Hendaknya ia (orang yang berpuasa) menjaga dirinya dari kesenangan syahwat.”

36. Memperbanyak sedekah

Sunah memperbanyak sedekah baik dengan harta, makanan, pakaian atau lainnya. Nabi SAW pernah ditanya, “Sedekah apa yang paling utama?”
Beliau SAW menjawab:

 صَدَقَةٌ فِي رَمَضَانَ

Sedekah di bulan Ramadhaan (HR Turmudzi)

Imam Nawawi dalam kitab Majmu` mengatakan, “Ulama Syafiiyah mengatakan, sunah banyak memberi dan berderma di bulan Ramadhan dan lebih utama lagi di sepuluh hari terakhir untuk meneladani Rasulullah SAW dan para salaf. Juga karena ini adalah bulan mulia, kebaikan di bulan ini lebih utama dari selainnya.  Selain itu, pada bula ini banyak manusia sibuk dengan puasanya dan menambah ibadah dan meninggalkan pekerjaannya sehingga mereka butuh untuk dibantu dan ditolong.”

37. Mengajarkan anak-anak berpuasa

Sunah untuk memerintahkan anak-anak kecil baik lelaki maupun perempuan untuk berpuasa sehingga mereka akan terbiasa berpuasa jika sudah baligh.

Para sahabat SAW biasa mengajak anak-anak mereka berpuasa. Ketika ada seorang yang mabuk di Bulan Ramadhan dan dihadapkan kepada Sayidina Umar RA untuk dihukum, Beliau Ra mengingkari perbuatannya itu seraya berkata:

وَيْلَكَ وَصِبْيَانُنَا صِيَامٌ

Celaka engkau! (Engkau mabuk) padahal anak-anak kami berpuasa?” (HR Bukhari)


38. Disunahkan untuk tidak mengatakan setelah sempurna puasa Ramadhan dan tarawihnya

“Aku telah puasa sebulan penuh” atau “Aku telah melaksanakan tarawih sebulan penuh”

Ini karena itu adalah bentuk memuji diri sendiri yang tercela. Nabi SAW bersabda:

لَا يَقُولَنَّ أَحَدُكُمْ إِنِّي صُمْتُ رَمَضَانَ كُلَّهُ وَقُمْتُهُ كُلَّهُ

Jangan salah satu dari kalian mengatakan “aku telah berpuasa Ramadhan secara sempurna dan Shalat tarawih secara sempurna.”  (HR Abu Dawud)

39. Puasa enam hari Syawal

Disunahkan bagi orang yang telah Berpuasa Ramadhan untuk melanjutkan puasa enam hari di Bulan Syawal setelah Id. Nabi SAW menganjurkan puasa ini dan mengabarkan bahwa orang yang berpuasa enam hari di Bulan Syawal setelah Ramadhan seperti berpuasa setahun. Ulama mengatakan kesunahan puasa ini didapat baik dengan berpuasa enam hari berturut-turut atau terpisah-pisah di Bulan Syawal. Dan sama saja apakah puasa itu dilakukan langsung setelah hari Id atau dipisah beberapa hari. Tapi yang lebih utama hendaknya berpuasa langsung setelah hari Id secara berturut-turut.

40. Meninggalkan Maksiat dan melakukan taat

Orang yang berpuasa hendaknya melakukan ketaatan yang paling utama yaitu meninggalkan dosa dan maksiat. Hindari dosa yang kecil dan yang besar, yang zahir atau yang batin. Dikatakan bahwa ketaatan yang paling utama adalah meninggalkan maksiat.

Rasulullah SAW juga bersabda:

فَاتَّقُوا شَهْرَ رَمَضَانَ فَإِنَّ الْحَسَنَاتِ تُضَاعَفُ فِيهِ وَكَذَلِكَ السَّيِّئَاتُ

Hati-hati di bulan Ramadhan sebab kebaikan-kebaikan di dalamnya dilipat-gandakan begitupula keburukannya. (HR Abu Qosim)

Secara umum hendaknya kaum muslim bersemangat melakukan semua amal shaleh dan ketaatan dan memperbanyaknya. Di dalam hadits dikatakan:

من تقرب فيه بخصلة من الخير كان كمن أدى فريضة فيما سواه ومن أدى فيه فريضة كان كمن أدّى سبعين فريضة فيما سواه

Siapa yang melakukan satu kebaikan (sunah) di dalamnya (Ramadhan) maka ia seperti orang yang melakukan perbuatan wajib di bulan lain. Dan siapa yang melakukan perbuatan wajib maka ia seperti orang yang melakukan tujuh puluh perbuatan wajib di bulan lain. (HR Ibnu Khuzaimah)

Semoga Allah memberikan petunjuk agar kita dapat melakukan perbuatan yang dicintai Allah dan membuat-Nya ridho. Semoga Allah menyampaikan kita ke puncak keridhoan-Nya. Semoga Allah mengajarkan kepada kita apa yang bermanfaat bagi kita, dan memberikan manfaat kepada kita atas apa yang telah diajarkan oleh-Nya. Aamiin Ya Rabbal `alamin.. Dan semoga shalawat serta salam terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW, para sahabatnya, keluarganya serta yang mengikuti mereka dalam kebaikan sampai hari kiamat. Aamiin.
Read More

Ketahuilah 40 Sunnah di Bulan Ramadhan, Biar Puasa mu Tambah Berkah (3)

April 27, 2020

Fiqh Puasa | Al Habib Segaf bin Ali Alaydrus dalam kitabnya “Ithaful Ikhwan” menyebutkan 40 sunah di Bulan Ramadhan. Berikut intisarinya:

21. Mencari-cari dan memperhatikan orang yang membutuhkan 

Rasulullah SAW mensifati Bulan Ramadhan dengan Syahr Muwasah, bulan untuk saling membantu sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya. Mencari-cari dan memperhatikan fakir miskin dan memenuhi kebutuhan orang yang membutuhkan orang yang membutuhkan adalah ketaatan yang paling utama dan kebaikan yang paling indah. Di dalam hadits dikatakan:

وَأَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ سُرُورٍ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ ، أَوْ تَكْشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً ، أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دِينًا ، أَوْ تُطْرَدُ عَنْهُ جُوعًا ،

Amalan yang paling dicintai oleh Allah SWT adalah kebahagiaan yang engkau masukan ke dalam hati seorang muslim, atau engkau menyingkirkan darinya kesusahanya, atau engkau mengusir rasa lapar darinya, atau engkau melunasi hutangnya. (HR Thabrani)

22. Bagi lelaki disunahkan beritikaf di masjid

Kesunahan itikaf baik di siang atau malam Ramadhan lebih ditekankan. Termasuk petunjuk Nabi SAW adalah bahwa beliau bertikaf dan menganjurkan untuk melaksanakannya. Sahabat Anas RA mengatakan bahwa ia mendengar Nabi SAW bersabda:

من اعتكف يوما ابتغاء وجه الله جعل الله بينه وبين النار ثلاث خنادق ، كل خندق أبعد مما بين الخافقين

Siapa yang beritikaf sehari karena mengharapkan keridhoan Allah SWT, maka Allah akan menjadikan tiga parit yang menghalanginya dari neraka. Setiap parit lebarnya melebihi dua ufuk langit. (HR Thabrani dalam Ausath, al Baihaqi, dan Hakim beliau mengatakan isnadnya shahih)

Para ulama mengatakan kesunahan itikaf di sepuluh malam terakhir dari Ramadhan lebih ditekankan dan lebih utama untuk meneladani Nabi SAW dan mencari malam Lailatul Qodar.

23. Meninggalkan perdebatan, perselisihan dan saling caci

Semua itu disunahkan di setiap saat tapi di saat berpuasa kesunahannya menjadi lebih kuat. Di dalam hadits dikatakan:

الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَجْهَلْ وَإِنْ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ

Puasa adalah benteng. Jika salah seorang dari kalian berpuasa maka janganlah berkata kasar, jangan pula berbuat bodoh. Jika ada seorang yang berselisih dengannya atau mencelanya katakanlah “Aku tengah berpuasa” dua kali. (HR Bukhari-Muslim)

Dalam hadits lain dikatakan:

ليس الصيام من الأكل والشرب ، إنما الصيام من اللغو والرفث

Puasa itu bukanlah sekedar dari makan dan minum, melainkan dari ucapan sia-sia dan ucapan kotor. (HR Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)

Para ulama berkata: Seyogyanya bagi seorang muslim untuk meninggalkan ucapan mubah yang tidak berfaidah dan tidak bermanfaat bagi agama dan dunianya, hendaknya ia menyibukan lisannya dengan dzikir dan istigfar.

24. Meninggalkan perbuatan yang tidak berguna

Sebagaimana dianjurkan meninggalkan ucapan yang tidak berfaidah walaupun mubah, begitupula dianjurkan meninggalkan perbuatan mubah yang tidak bermanfaat dan tidak ada kebaikan di dalamnya. Nabi SAW bersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Siapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan perbuatannya maka Allah tidak peduli ia meningalkan makanan dan minumannya. (HR Bukhari )

25. Meninggalkan berbekam dan cantuk

Ini karena bekam dan cantuk dapat membuat lemas orang yang berpuasa. Sahabat Anas RA pernah ditanya, “Apakah kalian tidak menyukai berbekam bagi orang puasa?”  Beliau menjawab:

لَا إِلَّا مِنْ أَجْلِ الضَّعْفِ

Beliau menjawab “Tidak, kecuali bahwa itu dapat menyebabkan lemah.” (HR Bukhari)

Termasuk hal itu adalah pengambilan darah (donor) dikatakan itu akan melemaskan orang yang berpuasa.

26. Segera mandi junub sebelum shubuh

Disunahkan bagi yang akan berpuasa agar segera mandi junub sebelum masuk Waktu Shubuh. Ini adalah sunah bukan wajib untuk keluar dari khilaf ulama yang mengatakan bahwa puasa batal karena junub dengan dalil hadits Nabi SAW:

مَنْ أَدْرَكَهُ الْفَجْرُ جُنُبًا فَلَا يَصُمْ

Siapa yang datang waktu fajar dalam keadaan junub maka tidak ada puasa baginya. (HR Bukhari-Muslim)

Hadits ini hukumnya telah dihapus. Dalil bolehnya mengakhirkan mandi junub setelah masuk waktu shubuh adalah hadits Sayidah Aisyah dan Ummu Salamah RA, keduanya berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ غَيْرِ احْتِلَامٍ فِي رَمَضَانَ ثُمَّ يَصُومُ

Pernah Nabi SAW berpagi hari dalam keadaan junub karena bersetubuh bukan karena mimpi di Bulan Ramadhan kemudian beliau berpuasa. (HR Bukhari-Muslim)

27. Tidak berlebihan dalam makan dan minum

Hendaknya orang yang berpuasa memperhatikan kesederhanaan dalam berbuka dan makan sahur jangan sampai terlalu kenyang. Sebab maksud dari puasa adalah agar kita dapat menahan syahwat terhadap makanan, minuman dan lainnya.

28. Berumrah di Bulan Ramadhan jika mampu

Dalam Hadits disebutkan bahwa Nabi SAW bersabda:

فَإِنَّ عُمْرَةً فِي رَمَضَانَ تَقْضِي حَجَّةً أَوْ حَجَّةً مَعِي

Umrah di bulan ramadhan sebanding dnegan haji, dalam riwayat lain :sebanding dengan haji bersamaku. (HR Bukhari)

Renungkan bagaimana umrah yang perbuatannya sangat mudah dan sedikit dapat sebanding dengan haji yang hanya sebagian saja yang mampu. Terlebih bahwa di dalamnya terdapat anjuran yang agung dengan disebutkan sebanding dengan haji bersama Rasulullah SAW.

29. Disunahkan berusaha untuk mendapatkan malam Lailatul Qadar

Dalam hadits dikatakan:

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

Carilah malam Lailatul Qodar di sepuluh malam terakhir dari Ramadhan (HR Bukhari-Muslim)

Mencarinya dengan cara bersemangat memakmurkan sepuluh malam itu dengan ibadah dengan memperhatikan shalat tarawih di masjid sampai selesai, dan juga dengan melaksanakan Shalat Isya dan Shubuh secara berjamaah disertai melazimi dzikir-dzikir, doa-doa dan tilawah al Quran. Jika ia melakukan itu setiap malamnya pasti ia mendapatkan malam Lailatul Qodar.

30. Disunahkan memperbanyak doa di bulan Ramadhan secara umum, dan di sepuluh hari terakhir secara khusus

Terlebih doa :

اللَّهُمَّ إِنَّكَ عُفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf dan mencintai maaf maka maafkanlah kami. (HR Turmudzi)

Ini adalah doa yang dianjurkan oleh Nabi SAW kepada Sayidah Aisyah RA untuk diperbanyak di Malam Lailatul Qadar. Maka perbanyaklah doa ini terutama di sepuluh malam terakhir Ramadhan.


Secara umum hendaknya kaum muslim bersemangat melakukan semua amal shaleh dan ketaatan dan memperbanyaknya. Di dalam hadits dikatakan:

من تقرب فيه بخصلة من الخير كان كمن أدى فريضة فيما سواه ومن أدى فيه فريضة كان كمن أدّى سبعين فريضة فيما سواه

Siapa yang melakukan satu kebaikan (sunah) di dalamnya (Ramadhan) maka ia seperti orang yang melakukan perbuatan wajib di bulan lain. Dan siapa yang melakukan perbuatan wajib maka ia seperti orang yang melakukan tujuh puluh perbuatan wajib di bulan lain. (HR Ibnu Khuzaimah)


Semoga Allah memberikan petunjuk agar kita dapat melakukan perbuatan yang dicintai Allah dan membuat-Nya ridho. Semoga Allah menyampaikan kita ke puncak keridhaan-Nya. Semoga Allah mengajarkan kepada kita apa yang bermanfaat bagi kita, dan memberikan manfaat kepada kita atas apa yang telah diajarkan oleh-Nya. Aamiin Ya Rabbal `alamin. Dan semoga shalawat serta salam terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW, para sahabatnya, keluarganya serta yang mengikuti mereka dalam kebaikan sampai hari kiamat. Aamiin.
Read More

Ketahuilah 40 Sunnah di Bulan Ramadhan, Biar Puasa mu Tambah Berkah (2)

April 27, 2020

Fiqh Puasa | Al Habib Segaf bin Ali Alaydrus dalam kitabnya “Ithaful Ikhwan” menyebutkan 40 sunah di Bulan Ramadhan. Berikut intisarinya:

11. Memberi makanan berbuka bagi yang berpuasa 

Sunah menyediakan makanan berbuka (takjil) untuk orang yang berpuasa. Sahabat Zaid bin Khalid al Juhani RA meriwayatkan sabda Nabi SAW:

 مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

Siapa yang memberikan makanan berbuka bagi orang yang berpuasa maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang berpuasa itu tanpa mengurangi sedikit pun pahalanya. (HR Turmudzi dan Nasai)

Para ulama mengatakan, pahala ini didapatkan walaupun dengan hanya memberikan makanan yang sedikit untuk orang yang berpuasa, namun lebih sempurna lagi jika ia memberikan makanan yang dapat mengenyangkannya. Di dalam hadits dikatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ فَطَّرَ فِيهِ صَائِماً كَانَ مَغْفِرَةً لِذُنُوبِهِ وَعِتْقَ رَقَبَتِهِ مِنَ النَّارِ ، وَكَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْتَقِصَ مِنْ أَجْرِهِ شَيْءٌ » ، قَالُوا : لَيْسَ كُلُّنَا نَجِدُ مَا يُفَطِّرُ الصَّائِمَ ، فَقَالَ : « يُعْطِي اللهُ هَذَا الثَّوَابَ مَنْ فَطَّرَ صَائِماً عَلَى تَمْرَةٍ ، أَوْ شُرْبَةِ مَاءٍ ، أَوْ مِذْقَةِ لَبَنٍ

“Siapa yang menyediakan makanan berbuka untuk orang yang berpuasa maka itu adalah penghapus dosanya, dapat memerdekakannya dari api neraka, dan ia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang berpuasa itu tanpa mengurangi sedikit pun pahalanya.”

Para sahabat bertanya, “Tidak semua dari kita mampu memberikan makanan untuk orang yang berpuasa.” Maka Nabi SAW bersabda: “Allah memberikan pahala ini bagi orang yang menyediakan makanan berbuka untuk orang yang berpuasa walau pun hanya dengan sebutir kurma, seteguk air atau sehisap susu.” (HR Ibnu Khuzaimah)

Usahakan dengan sungguh-sungguh agar niatnya dalam memberi makanan itu adalah untuk mengikuti sunah Nabi SAW dan mendapatkan pahala bukan sekedar  adat yang berlangsung setiap tahun.

12. Disunahkan bagi yang berbuka di rumah atau tempat orang lain, untuk mendoakan pemilik rumah

Doakan dengan doa yang datang dalam hadits Nabi SAW. Nabi SAW pernah berbuka di kediaman Sahabat Saad bin Ubadah RA, maka Nabi SAW berdoa:

أَفْطَرَ عِنْدَكُمْ الصَّائِمُونَ وَأَكَلَ طَعَامَكُمْ الْأَبْرَارُ وَصَلَّتْ عَلَيْكُمْ الْمَلَائِكَةُ

Orang-orang yang berpuasa telah berbuka di tempat kalian, orang-orang yang baik telah memakan makanan kalian, dan semoga malaikat bershalawat kepada kalian. (HR Abu Dawud)

13. Menghidupkan malam Ramadhan dengan ibadah

Disunahkan menghidupkan malam-malam Ramadhan dengan ibadah, yaitu dengan shalat Tarawih dan Witiir. Ini adalah ibadah yang sangat agung pahalanya dan termasuk salah satu dari syiar (symbol) dari syiar-syiar Ramadhan. Rasulullah SAW selalu menganjurkan para sahabatnya untuk shalat di malam Ramadhan. Beliau SAW bersabda:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Siapa yang shalat (tarawih) di bulan Ramdhan karena dasar iman dan mengharapkan pahala maka dosa-dosanya yang terdahulu akan diampuni. (HR Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits lain disebutkan bahwa Nabi SAW bersabda:

إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فَرَضَ صِيَامَ رَمَضَانَ عَلَيْكُمْ وَسَنَنْتُ لَكُمْ قِيَامَهُ فَمَنْ صَامَهُ وَقَامَهُ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا خَرَجَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

Sesungguhnya Allah mewajibkan puasa Ramadhan dan aku sunahkan bagi kalian shalatnya (Tarawih). Siapa yang berpuasa Ramadhan dan melaksanakan shalatnya karena iman dan mengharapkan pahala maka ia keluar dari dosa-dosanya seperti hari ketika ibunya melahirkannya. (HR Nasai)

Para ulama mengatakan bahwa pahala ini dikhususkan hanya untuk mereka yang melaziminya setiap malam. Maka tidak selayaknya bagi orang yang bersemangat memburu kebaikan untuk meninggalkan shalat tarawih. Jika ia tidak mampu melakukannya secara sempurna di satu dari malam-malanya karena suatu udzur, sakit atau bepergian maka shalatlah semampunya walau hanya delapan rakaat. Di dalam hadits dikatakan:

إذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Jika aku memerintahkan kalian dengan suatu perintah, laksanakanlah semampu kalian. (HR Bukhari dan Muslim)

14. Membaca Al-Quran

Disunahkan untuk memperbanyak membaca Al-Quran di sepanjang Bulan Ramadhan yang mulia ini, sebab ini adalah Bulan Al Quran. Hendaknya ia dapat mengkhatakamkan Al-Quran di dalam bulan ini beberapa kali sebagaimana yang dilakukan para salaf. Imam Manshur bin Zadan RA dalah satu Tabiin yang ahli ibadah mengkhatamkan al Quran dua kali lebih di waktu antara Maghrib dan Isya. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dengan sanad shahih bahwa Imam Mujahid RA mengkhataman Al Quran di Bulan Ramadhan di antara Maghrib dan Isya. Begitulah sebagaimana dituliskan dalam kitab Al Adzkar karya Imam Nawawi.

15. Tadabbur AlQuran dan Tartil dalam membacanya

Hendaknya ia memperhatikan agar merenungi makna al Quran yang dibacanya dan membacanya dengan tartil. Sebab maksud dari membaca al Quran adalah untuk merenungi maknanya dan mengambil pelajaran dan nasihat yang terkandung di dalamnya. Allah SWT berfirman:

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آَيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran. (QS Shaad: 29)

Ibu Abbas RA mengatakan: “Membaca satu Surat dengan tartil lebih aku sukai daripada membaca seluruh al Quran tanpa tartil.”

Imam Mujahid RA pernah ditanya mengenai dua orang lelaki. Yang pertama membaca surat Al Baqarah dan Ali Imran sedangkan yang satu hanya membaca Al Baqarah saja. Waktu membacanya sama, rukuk keduanya sama, sujud keduanya sama, duduk keduanya sama. Maka beliau mengatakan, “Yang membaca al Baqarah saja itu yang lebih utama.”

16. Mudarasah/ Tadarus (Saling menyimak al Quran)

Nabi SAW menyodorkan bacaan Al Qurannya kepada Malaikat Jibril AS setiap malam di bulan Ramadhan. Imam Nawawi dalam kitab Majmuknya mengatakan, “Ulama Syafiiyah mengatakan bahwa hukumnya sunah untuk memperbanyak membaca al Quran di bulan Ramadhan dan mudarasah Al Quran. Mudarosah adalah membacakan al Quran kepada orang lain, lalu orang itu membacakan al Quran untuknya.”

Hikmah disunahkannya mudarasah adalah karena lebih dapat mentadaburi al Quran dan memahami makna-maknanya yang agung.

17. Istiqamah menghadiri majlis ilmu

Hendaknya orang yang berpuasa melazimi untuk selalu hadir dalam majlis ilmu, dzikir dan fiqih. Pahalanya sangat besar dan agung. Ibnu Abbas Ra mengatakan:

وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ وَكَانَ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ

Rasulullah SAW lebih dermawan di Bulan Ramadhan ketika bertemu dengan Jibril. Dan Jibril menemuninya setiap malam kemudian melakukan mudarosah al Quran. (HR Bukhari-Muslim)

Para ulama mengambil kesimpulan dari hadits ini disyariatkannya pula berdiskusi dalam kebaikan dan ilmu.

18. Menjaga waktu untuk dzikir

Hendaknya orang yang berpuasa sangat memperhatikan waktunya dan memakmurkanya dengan dzikir kepada Allah. Hendaknya ia menentukan wakktu-waktu untuk beristigfar, bertasbih, bertahlil, berhamdalah, bershalawat kepada Nabi SAW dan lainnya. Termasuk dzikir-dzikir yang diajarkan Nabi adalah:

أَشْهَدُ أَلَّا إِلَهَ إِلَّا اللهُ أَسْتَغْفِرُ اللهَ نَسْأَلُكَ الْجَنَّةَ وَنَعُوذُ بِكَ مِنَ النَّارِ

Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, aku memohon ampunan kepada Allah. Kami memohon surga kepada-Mu dan meminta perlindungan kepada-Mu dari neraka.

Dalam hadits dikatakan bahwa Nabi SAW bersabda:

وَاسْتَكْثِرُوا فِيهِ مِنْ أَرْبَعِ خِصَالٍ: خَصْلَتَيْنِ تُرْضُونَ بِهِمَا رَبَّكُمَ ، وَخَصْلَتَيْنِ لَا غِنَى بِكُمْ عَنْهُمَا ، فَأَمَّا الْخَصْلَتَانِ اللَّتَانِ تُرْضُونَ بِهِمَا رَبَّكُمْ : فَشَهَادَةُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ ، وَتَسْتَغْفِرُونَهُ ، وَأَمَّا اللَّتَانِ لَا غِنَى بِكُمْ عَنْهُمَا : فَتَسْأَلُونَ اللهَ الْجَنَّةَ ، وَتَعُوذُونَ بِهِ مِنَ النَّارِ

Perbanyaklah di dalamnya (di dalam Ramadhan) empat hal. Dua hal dapat membuat Tuhan kalian ridho dan dua hal lain adalah hal yang pasti kalian butuhan. Dua hal pertama yang dapat membuat Tuhan kalian Ridho adalah bersyahadat bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan beristigfar kepada-Nya. Dan dua hal yang pasti kalian butuhkan adalah kalian meminta surga kepada Allah dan berlindung kepada-Nya dari neraka. (HR Ibnu Khuzaimah)

19. Berdoa di malam dan siang hari

Hendaknya orang yang berpuasa banyak berdoa di siang hari Ramadhan dan di malam harinya. Orang yang berpuasa termasuk salah satu dari orang yang tidak tertolak doanya. Dalam hadits dikatakan:

Ada tiga hal yang merupakan kepastian bagi Allah untuk tidak menolak doa mereka. Orang yang berpuasa sampai berbuka, orang yang dizalimi sampai mendapatkan haknya, orang yang bepergian sampai kembali. (HR Bazzar)

Puasa juga termasuk kondisi dimana doa disunahan, begituمah pula bulan Ramadhan bulan dikabulkannya doa. Nabi SAW bersabda:

أتاكم رمضان شهر بركة ، فيه خير يغشيكم الله  فيه ، فتنزل الرحمة ، وتحط الخطايا ، ويستجاب فيه الدعاء ،

Telah datang kepada kalian Ramadhan, bulan penuh berkah yang Allah limpahkan kebaikan kepada kalian di dalamnya. Bulan dimana rahmat diturunkan, kesalahan-kesalahan dihapus dan doa di dalamnya dikabulkan. (HR Thabrani)

Imam Nawawi RA dalam Majmu menyebutkan:

“Disunahkan bagi orang yang berpuasa untuk berdoa ketika ia berpuasa dengan hal-hal penting yang terkait dengan akhirat dan dunnianya untuk dirinya sendiri dan untuk orang yang ia cintai serta untuk umat Islam.”

20. Melebihkan nafkah untuk keluarga

Disunahkan bagi seorang muslim untuk melebihkan nafkah keluarganya di Bulan Ramadhan jika Allah membuatnya mampu. Nabi SAW adalah manusia yang paling dermawan, dan beliau lebih dermawan di Bulan Ramadhan.

Ibnu Abbas mengatakan:

كَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ

Rasulullah SAW lebih dermawan di Bulan Ramadhan ketika bertemu dengan Jibril. (HR Bukhari-Muslim)

Imam Nawawi dalam Majmu mengatakan:

“Al Mawardi mengatakan: disunahan bagi lelaki untuk melebihkan nafkah bagi keluarganya di Bulan Ramadhan. Dan berbuat baik kepada kerabat serta tetangga-tetangganya terlebih di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. “

Orang islam ketika ia berderma di bulan Ramadhan dan memberikan nafakah yang lebih banyak kepada keluarganya ia tengah mengikuti tuntunan Nabi SAW.

Secara umum hendaknya kaum muslim bersemangat melakukan semua amal shaleh dan ketaatan dan memperbanyaknya. Di dalam hadits dikatakan:

من تقرب فيه بخصلة من الخير كان كمن أدى فريضة فيما سواه ومن أدى فيه فريضة كان كمن أدّى سبعين فريضة فيما سواه

Siapa yang melakukan satu kebaikan (sunah) di dalamnya (Ramadhan) maka ia seperti orang yang melakukan perbuatan wajib di bulan lain. Dan siapa yang melakukan perbuatan wajib maka ia seperti orang yang melakukan tujuh puluh perbuatan wajib di bulan lain. (HR Ibnu Khuzaimah)

Semoga Allah memberikan petunjuk agar kita dapat melakukan perbuatan yang dicintai Allah dan membuat-Nya ridha. Semoga Allah menyampaikan kita ke puncak keridhaan-Nya. Semoga Allah mengajarkan kepada kita apa yang bermanfaat bagi kita, dan memberikan manfaat kepada kita atas apa yang telah diajarkan oleh-Nya. Aamiin Ya Rabbal `alamin. Dan semoga shalawat serta salam terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW, para sahabatnya, keluarganya serta yang mengikuti mereka dalam kebaikan sampai hari kiamat.

Aamiin.
Read More