Sya’ban adalah nama
bulan ke delapan dari dua belas bulan dalam penanggalan tahun Hijriah. Terdapat
banyak kemuliaan dalam bulan ini. Terutama disaat malam pertengahan bulan Sya’ban
atau sering disebut lailatun nisfu sya’ban atau lailatul baraah. Mayoritas umat
Islam meyakini Nisfu Sya’ban memiliki banyak keutamaan, berdasarkan apa yang
disampaikan oleh para ulama. Pada malam ini sangat dianjurkan menghidupkan
malam berbagai macam ibadah.
Banyak sekali dalil-dalil dan anjuran baik yang ada di dalam kitab Ihya' Ulumiddin karya Al-Ghazali, atau kitab Qutut Al-Qulub karya Abu Talib Al-Makki.
Namun demikian, belakanganmuncul pendapat di kalangan umat Islam yang menganggap malam Nisfu Sya’ban
layaknya malam-malam lain. Tidak ada yang istimewa, bahkan menghukumi bid’ah bagi yang
mengkhususkan malam nisfu sya’ban dengan memperbanyak ibadah lebih dari yang
biasa dilakukan oleh umat islam.
Perbedaan pandangan ini tidak dapat dilepaskan dari pendapat para
ulama yang menjadi panutannya. Dalam perjalanan sejarah keilmuan islam, ulama
terbagi ke dalam dua kelompok menyikapi keutamaan malam Nisfu Sya’ban. Terutama
ulama ahlul hadits. Namun, bagi ulama ahlul fiqh yang pastinya mensumberkan
kajian fiqhnya kkepada berbagai riwayat hadits, menyatakan sikap yang pro/
mengiyakan bahkan ikut merayakan malam Lailatul Baraah atau malam nisfu Sya’ban
ini.
Ustad Ahmad Syarwat pengasuh rumahfiqih.com, berikut adalah daftar
ulama yang mengeluarkan pendapat tentang keutamaan malam Nisfu Sya’ban.
Ibnu Rajab, dalam kitab Lathaif al-Ma’arif, berkata,
“Ada dua pendapat para ulama negeri Syam tentang menghidupkan malam Nisfu
Sya’ban. Pendapat pertama menyatakan dianjurkan menghidupkannya secara
bersama-sama dalam masjid. Pada malam itu, Khalid bin Mi’dan, Lukman bin ‘Amir
dan lainnya memakai pakaian terbaiknya, menggunakan minyak wangi dan celak mata
lalu berdiam di dalam masjid. Ishaq bin Rahawaih menyetujui amalan itu. Dia
juga menyatakan bahwa melaksanakan salat secara berjamaah pada malam itu di masjid
bukan termasuk amalan bid’ah. Hal ini sebagaimana dinukil oleh Harb al-Kirmani
dalam kitab al-Masail. Pendapat kedua menyatakan bahwa berkumpul di masjid pada
malam Nisfu Sya’ban untuk melakukan salat, memberikan nasehat dan berdoa adalah
perbuatan makruh. Tapi, jika seseorang melakukan salat secara sendiri maka
tidak dimakruhkan. Ini adalah pendapat Awza’i, pemimpin ulama dan ahli fikih
negeri Syam.”
Al-Qasthalani dalam
kitabnya, Al-Mawahib Alladunniyah jilid 2 halaman 59, menuliskan bahwa para
tabiin di negeri Syam seperti Khalid bin Mi'dan dan Makhul telah ber-juhud
(mengkhususkan beribadah) pada malam nisfu sya'ban. Maka dari mereka berdua
orang-orang mengambil panutan.
Namun disebutkan terdapat kisah-kisah Israiliyat dari mereka.
Sehingga hal itu diingkari oleh para ulama lainnya, terutama ulama dari hijaz,
seperti Atha' bin Abi Mulkiyah, termasuk para ulama Malikiyah yang mengatakan
bahwa hal itu bid'ah.
Al-Qasthalany kemudian meneruskan di dalam kitabnya bahwa para
ulama Syam berbeda pendapat dalam bentuk teknis ibadah di malam nisfu sya'ban.
Dilakukan di malam hari di masjid secara berjamaah. Ini adalah
pandangan Khalid bin Mi'dan, Luqman bin 'Amir. Dianjurkan pada malam itu untuk
mengenakan pakaian yang paling baik, memakai harum-haruman, memakai celak mata
(kuhl), serta menghabiskan malam itu untuk beribadah di masjid.
Praktek sepertiini disetujui oleh Ishaq bin Rahawaih dan beliau
berkomentar tentang hal ini, "Amal seperti ini bukan bid'ah." Dan
pendapat beliau ini dinukil oleh Harb Al-Karamani dalam kitabnya.
Pendapat ini didukung oleh Al-Auza'i dan para ulama Syam
umumnya. Bentuknya bagi mereka cukup dikerjakan saja sendiri-sendiri di rumah
atau di mana pun. Namun tidak perlu dengan pengerahan masa di masjid baik
dengan doa, dzikir maupun istighfar. Mereka memandang hal itu sebagai sesuatu
yang tidak dianjurkan.
Jadi di pihak yang mendukung adanya ritual ibadah khusus di
malam nisfu sya'ban itu pun berkembang dua pendapat lagi.
Duktur Al Ustadz 'Athiyah Shaqr
Beliau adalah kepala Lajnah Fatwa di Al-Azhar Mesir di masa
lalu. Dalam pendapatnya beliau mengatakan bahwa tidak mengapa bila kita
melakukan shalat sunnah di malam nisfu sya'ban antara Maghri dan Isya' demi
untuk bertaqarrub kepada Allah. Karena hal itu termasuk kebaikan. Demikian juga
dengan ibadah sunnah lainnya sepanjang malam itu, dengan berdoa, meminta ampun
kepada Alla. Semua itu memang dianjurkan.
Syekh Ali Jumu'ah
Beliau adalah mantan mufti Mesir yang juga merupakan ulama besar dari Al-Azhar, kairo menyebutkan Keutamaan malam itu disebutkan dalam banyak
hadis yang saling menguatkan. Mengadakan peringatan dan menghidupkan malam
Nisfu Sya’ban adalah amalan yang sesuai dengan tuntunan agama. Hadis-hadis
tentang keutamaan malam tersebut tidak termasuk hadis-hadis yang sangat dha’if
atau maudhu’. Juga tidak apa-apa membaca surat Yasin sebanyak
tiga kali setelah salat Magrib dengan suara keras dan bersama-sama. Karena, hal
itu masuk dalam perintah menghidupkan malam Nisfu Sya’ban tersebut. Terdapat
kelapangan dalam tata cara berzikir.
Dr. Yusuf al-Qaradawi
Ulama yang sering dijadikan rujukan oleh para aktifis dakwah
berpendapat tentang ritual di malam nasfu sya'ban bahwa tidak pernah
diriwayatkan dari Nabi SAW dan para sahabat bahwa mereka berkumpul di masjid
untuk menghidupkan malam nisfu Sya'ban, membaca doa tertentu dan shalat
tertentu seperti yang kita lihat pada sebahagian negeri orang Islam.
Juga tidak ada riwayat untuk membaca surah Yasin, shalat dua
rakaat dengan niat panjang umur, dua rakaat yang lain pula dengan niat tidak
bergantung kepada manusia, kemudian mereka membaca do`a yang tidak pernah
dipetik dari golongan salaf (para sahabah, tabi`in dan tabi’ tabi`in).
Selebihnya ulama-ulama kerajaan Saudi yang dikenal menganut paham Wahabiyah memang sangat anti dan kontra kepada perayaan dan pengkhususan malam Nisfu Sya'ban dengan berbagai kegiatan ibadah.
Pada situs harakahislamiyah.com terdapat tabel yang memudahkan untuk melihat siapa saja ulama yang berbeda pendapat tentang nisfu sya'ban seperti berikut.
Dan memang masalah ini adalah mahallun-khilaf' sepajang zaman.
Tidak akan ada penyelesaiannya, karena masing-masing pihak berangkat dengan
ijtihad dan dalil masing-masing, di mana kita pun ber husnudzhan bahwa mereka
punya niat yang baik serta mereka memiliki kapasitas dan otoritas dalam berijtihad.
Semoga tidak ada pertengkaran dan saling membid'ahkan apalagi menyesatkan sesama kaum muslim atas perbedaan pendapat diantara para ulama. kita yang awam hanya dituntut untuk belajar, dan beribadah semampunya berdasarkan ilmu dan keyakinan yang telah kita miliki. Taklid kepada pemahaman para ulama yang terkenal kealiman, kezuhudan dan kewara'annya bukanlah aib, melainkan sebuah perbuatan baik.
Wallahu a'lam.
Sumber dari
rumahfiqih.com dar-alifta.org dan berbagai sumber lainnya.