Fiqh Bersuci | Secara bahasa, hadats artinya sesuatu yang baru. Menurut istilah fikih, disebutkan Imam asy-Syarbaini dalam al-Iqna fi Halli Alfazh Abi Matn Abi Syuja‘, hadats adalah:
أمر اعتباري يقوم بالأعضاء يمنع من صحة الصلاة حيث لا مرخص
Suatu perkara yang tidak bisa diindera, yang ada pada anggota tubuh, yang menegah sahnya shalat, sekira tak ada keringanan.
Karena hadats tidak bisa diindera, maka para ulama hanya menjelaskan penyebab seseorang berhadats. Ada dua kategori hadats, yaitu hadats kecil dan hadats besar. Termasuk bersuci dalam syariat Islam bertujuan mengangkat hadats, baik hadats kecil maupun hadats besar. Bersuci dari hadats kecil adalah dengan berwudhu. Sementara bersuci dari hadats besar dengan cara mandi Wajib.
Hadats kecil, disebabkan oleh:
-Keluar sesuatu dari qubul (kemaluan) dan dubur.
-Hilang akal (termasuk tidur).
-Bersentuhan kulit lawan jenis yang tidak semahram.
-Menyentuh kemaluan dengan telapak tangan.
Adapun hadats besar, disebabkan oleh:
-Meninggal dunia.
-Haidh.
-Nifas.
-Melahirkan.
-Berhubungan seks.
-Keluar air mani.
Syekh Badruddin Al-Bakri dalam al-I’tina di al-Furuq wa al-Istitsna menegaskan bahwa setiap orang yang berhadats besar, niscaya ia juga berhadats kecil, terkecuali:
-Berhubungan seks dengan binatang.
-Membungkus kemaluannya ketika berhubungan seks, sehingga tidak bersentuhan kulit dengan perempuan.
-Menyetubuhi dubur pria.
-Keluar air mani karena mengkhayal.
-Mimpi basah dan keluar air mani, namun dalam kondisi tidur berduduk yang tetap kedudukannya.
Masalahnya kemudian adalah, apakah dengan mandi janabat sudah langsung otomatis suci dari hadats kecil?
Ada sebuah hadits yang diriwayatkan dari Sayyidatina Aisyah, bahwa Nabi -shallallahu ‘alaih wa aalih wa sallam- tidak berwudhu setelah mandi (janabat).
Hadits yang ditakhrij oleh Imam Ahmad, Abu Daud, an-Nasai, Ibn Majah, dan At-Tirmidzi ini dipandang hasan shahih oleh Imam at-Tirmidzi. Hadits ini memberi petunjuk bahwa seseorang yang telah mandi janabat tidak perlu lagi berwudhu.
Pertanyaannya, apakah Rasulullah shallallahu ‘alaih wa aalih wa sallam tidak berwudhu lagi lantaran sudah berwudhu sebelum mandi janabat, ataukah karena memang secara otomatis terangkat hadats kecil dengan mandi janabat?
Imam Nafi’ meriwayatkan dari Ibn ‘Umar, bahwa beliau pernah ditanya tentang wudhu setelah mandi, jawabnya, “adakah wudhu (mengangkat hadats) yang lebih umum selain mandi?”.
Dalam kaidah fikih, ulama menetapkan:
إذا اجتمع أمران من جنس واحد، ولم يختلف مقصودهما، دخل احدهما فى الآخر غالبا
Bila terhimpun dua perkara sejenis, yang tidak berbeda tujuannya, maka biasanya salah satunya masuk ke yang lain.
Kendati demikian, orang mandi janabat disunnahkah berwudhu. Wudhu boleh dilakukan sebelum, pertengahan, atau setelah selesai mandi.
Sayyid Hasan bin Ahmad al-Kaf dalam at-Taqrirat as-Sadidah:
الحدث الأصغر يندرج ويرتفع، ولو لم ينو، إذا اغتسل غسلا واجبا (كغسل الجنابة) ولم ينتقض وضوؤه أثناء الغسل، ولا يندرج ولا يرتفع الحدث الأصغر إذا اغتسل غسلا مسنونا، فلا بدّ أن يتوضّأ قبل الغسل أو بعده او فى أثنائه، مع ملاحظة الترتيب
Hadats kecil masuk dan terangkat, meski tidak diniatkan secara khusus, bila seseorang mandi wajib (seperti mandi janabat) dan tidak batal wudhu (tidak melakukan yang membatalkan wudhu) di pertengahan mandi. Namun, tidak masuk dan tidak terangkat hadats kecil bila seseorang mandi sunnah. Maka (ketika mandi sunnah) mestilah seseorang (yang ingin hadats kecilnya terangkat) berwudhu sebelum, atau sesudah, atau pertengahan mandi, dengan melaksanakan tertib wudhu.
Dengan demikian, orang yang telah mandi janabat, tidak wajib lagi berwudhu, karena hadats kecilnya sudah ikut suci. Hanya saja, tetap disunnahkan untuk berwudhu. Terkecuali ia mengerjakan sesuatu yang menyebabkannya berhadats kecil di saat mandi. Bila demikian, wajib berwudhu kembali.
Wallahul Muwaffiq Ilaa Aqwamith Thariiq.
Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org pada September 2109 oleh Ust. Khairullah Zainuddin.
Pengurus at LDNU Kab. Banjar, Alumni Pondok Pesantren Hidayaturrahman, Jurusan Fiqhiyyah Ma'had 'Aly Darussalam Martapura | Mulazamah Talaqqi Kajian Ilmu Tasawuf di Majelis Ar-Raudhah (KH. Muhammad Zaini Bin Abdul Ghani al-Banjari) 1994-2004