TARBIYAH ONLINE: Thaharah

Fiqh

Tampilkan postingan dengan label Thaharah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Thaharah. Tampilkan semua postingan

Selasa, 29 September 2020

Adakah Dengan Mandi Wajib, Hadats Kecil Ikut Hilang?

September 29, 2020


Fiqh Bersuci | Secara bahasa, hadats artinya sesuatu yang baru. Menurut istilah fikih, disebutkan Imam asy-Syarbaini dalam al-Iqna fi Halli Alfazh Abi Matn Abi Syuja‘, hadats adalah:

أمر اعتباري يقوم بالأعضاء يمنع من صحة الصلاة حيث لا مرخص

Suatu perkara yang tidak bisa diindera, yang ada pada anggota tubuh, yang menegah sahnya shalat, sekira tak ada keringanan.


Karena hadats tidak bisa diindera, maka para ulama hanya menjelaskan penyebab seseorang berhadats. Ada dua kategori hadats, yaitu hadats kecil dan hadats besar. Termasuk bersuci dalam syariat Islam bertujuan mengangkat hadats, baik hadats kecil maupun hadats besar. Bersuci dari hadats kecil adalah dengan berwudhu. Sementara bersuci dari hadats besar dengan cara mandi Wajib.


Hadats kecil, disebabkan oleh:

-Keluar sesuatu dari qubul (kemaluan) dan dubur.

-Hilang akal (termasuk tidur).

-Bersentuhan kulit lawan jenis yang tidak semahram.

-Menyentuh kemaluan dengan telapak tangan.


Adapun hadats besar, disebabkan oleh:

-Meninggal dunia.

-Haidh.

-Nifas.

-Melahirkan.

-Berhubungan seks.

-Keluar air mani.


Syekh Badruddin Al-Bakri dalam al-I’tina di al-Furuq wa al-Istitsna menegaskan bahwa setiap orang yang berhadats besar, niscaya ia juga berhadats kecil, terkecuali:

-Berhubungan seks dengan binatang.

-Membungkus kemaluannya ketika berhubungan seks, sehingga tidak bersentuhan kulit dengan perempuan.

-Menyetubuhi dubur pria.

-Keluar air mani karena mengkhayal.

-Mimpi basah dan keluar air mani, namun dalam kondisi tidur berduduk yang tetap kedudukannya.


Masalahnya kemudian adalah, apakah dengan mandi janabat sudah langsung otomatis suci dari hadats kecil?


Ada sebuah hadits yang diriwayatkan dari Sayyidatina Aisyah, bahwa Nabi -shallallahu ‘alaih wa aalih wa sallam- tidak berwudhu setelah mandi (janabat).

Hadits yang ditakhrij oleh Imam Ahmad, Abu Daud, an-Nasai, Ibn Majah, dan At-Tirmidzi ini dipandang hasan shahih oleh Imam at-Tirmidzi. Hadits ini memberi petunjuk bahwa seseorang yang telah mandi janabat tidak perlu lagi berwudhu.


Pertanyaannya, apakah Rasulullah shallallahu ‘alaih wa aalih wa sallam tidak berwudhu lagi lantaran sudah berwudhu sebelum mandi janabat, ataukah karena memang secara otomatis terangkat hadats kecil dengan mandi janabat?


Imam Nafi’ meriwayatkan dari Ibn ‘Umar, bahwa beliau pernah ditanya tentang wudhu setelah mandi, jawabnya, “adakah wudhu (mengangkat hadats) yang lebih umum selain mandi?”.


Dalam kaidah fikih, ulama menetapkan:

إذا اجتمع أمران من جنس واحد، ولم يختلف مقصودهما، دخل احدهما فى الآخر غالبا

Bila terhimpun dua perkara sejenis, yang tidak berbeda tujuannya, maka biasanya salah satunya masuk ke yang lain.


Kendati demikian, orang mandi janabat disunnahkah berwudhu. Wudhu boleh dilakukan sebelum, pertengahan, atau setelah selesai mandi.


Sayyid Hasan bin Ahmad al-Kaf dalam at-Taqrirat as-Sadidah:

الحدث الأصغر يندرج ويرتفع، ولو لم ينو، إذا اغتسل غسلا واجبا (كغسل الجنابة) ولم ينتقض وضوؤه أثناء الغسل، ولا يندرج ولا يرتفع الحدث الأصغر إذا اغتسل غسلا مسنونا، فلا بدّ أن يتوضّأ قبل الغسل أو بعده او فى أثنائه، مع ملاحظة الترتيب

Hadats kecil masuk dan terangkat, meski tidak diniatkan secara khusus, bila seseorang mandi wajib (seperti mandi janabat) dan tidak batal wudhu (tidak melakukan yang membatalkan wudhu) di pertengahan mandi. Namun, tidak masuk dan tidak terangkat hadats kecil bila seseorang mandi sunnah. Maka (ketika mandi sunnah) mestilah seseorang (yang ingin hadats kecilnya terangkat) berwudhu sebelum, atau sesudah, atau pertengahan mandi, dengan melaksanakan tertib wudhu.


Dengan demikian, orang yang telah mandi janabat, tidak wajib lagi berwudhu, karena hadats kecilnya sudah ikut suci. Hanya saja, tetap disunnahkan untuk berwudhu. Terkecuali ia mengerjakan sesuatu yang menyebabkannya berhadats kecil di saat mandi. Bila demikian, wajib berwudhu kembali.


Wallahul Muwaffiq Ilaa Aqwamith Thariiq.

Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org pada September 2109 oleh Ust. Khairullah Zainuddin.

Pengurus at LDNU Kab. Banjar, Alumni Pondok Pesantren Hidayaturrahman, Jurusan Fiqhiyyah Ma'had 'Aly Darussalam Martapura | Mulazamah Talaqqi Kajian Ilmu Tasawuf di Majelis Ar-Raudhah (KH. Muhammad Zaini Bin Abdul Ghani al-Banjari) 1994-2004

Read More

Kamis, 17 September 2020

Mudah Tapi Wajib Tahu! Begini Tata Cara Mandi Wajib yang Benar

September 17, 2020


Fiqh Bersuci | Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa hadats besar merupakan hadats yang mewajibkan pelakunya mandi besar. Dalam istilah akrabnya adalah mandi wajib.


Jenis mandi ini diwajibkan apabila seorang yang berhadats hendak melaksanakan ibadah yang diwajibkan untuk suci dari hadats besar dalam pelaksanaannya, seperti shalat, membaca Alquran dan lainnya.


Seperti ibadah yang lainnya, mandi wajib juga memiliki beberapa ketentuan dan tata cara yang menjadi keharusan bagi pelaksananya. Syekh Muhammad Hasan pengarang Syarh Matan Abi Syuja’ menyebutnya sebagai rukun. Dalam kitab Fiqh lain diistilahkan dengan fardhu.


Baik rukun maupun fardhu, keduanya merupakan istilah yang sama dalam bab ini. Jika salah satunya tidak ditunaikan, jelas tidak sah mandi wajibnya. Dengan demikian, seseorang harus mengulangnya.


Adapun fardhu/rukun mandi wajib ada tiga. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Syekh Muhammad Hasan Abdul Ghaffaar dalam kitab Syarh Matan Abu Syuja 21/1-3.

ﻭﻓﺮاﺋﺾ اﻟﻐﺴﻞ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﺷﻴﺎء: اﻟﻨﻴﺔ، ﻭﺇﺯاﻟﺔ اﻟﻨﺠﺎﺳﺔ ﺇﻥ ﻛﺎﻧﺖ ﻋﻠﻰ ﺑﺪﻧﻪ، ﻭﺇﻳﺼﺎﻝ اﻟﻤﺎء ﺇﻟﻰ ﺟﻤﻴﻊ اﻟﺸﻌﺮ ﻭاﻟﺒﺸﺮﺓ

Artinya: Fardhu mandi wajib ada 3 macam, yaitu niat; menghilangkan najis dari badan; membasahi seluruh rambut dan kulit dengan air secara merata.


Agar tidak terjadi kesalahpahaman, tentu penulis akan membahasnya satu persatu tata cara mandi wajib tersebut:

1. Niat

Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab juz 1 hal 222 menjelaskan bahwa niat ini tergantung pada hal apa yang mewajibkan pelakunya mandi wajib, seperti karena junub, haid, nifas dan sebagainya.


Berikut ini contoh-contoh minimal lafaz niat mandi wajib bagi laki-laki dan perempuan, disarikan dari kitab al-Majmu’ Imam Nawawi:

نويت رفع الجنابة

Nawaitu raf’al jinaabati

Artinya: Aku berniat menghilangkan hadats junub


نويت الغسل لاستباحة الصلاة

Nawaitul ghusla tistibaahatishshalaati

Artinya: Aku berniat mandi agar diperbolehkan melaksanakan shalat


ﻧﻮﺕ ﺭﻓﻊ ﺣﺪﺙ الحيض

Nawaitu raf’a hadatsil haidhi

Artinya: Aku berniat menghilangkan hadats haid


نويت الغسل لاستباحة الوطء

Nawaitul ghusla listibaahatil wath i

Artinya: Aku berniat mandi agar diperbolehkan untuk disetubuhi


2. Menghilangkan najis dari badan dan membasahi seluruh rambut dan kulit dengan air secara merata.

Penulis menggabungkan fardhu yang kedua dengan fardhu yang ketiga karena dalam teknisnya kedua fardhu ini dilaksanakan secara bersamaan, atau  saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya.


Oleh karenanya, tidak heran jika Syekh Muhammad Hasan menggabungkan pembahasan kedua fardhu ini dalam sebuah interpretasi yang perinci.

ﺗﻌﻤﻴﻢ اﻟﺠﺴﺪ ﺑﺎﻟﻤﺎء، ﻭﻫﻮ ﺇﻓﺎﺿﺔ اﻟﻤﺎء ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﻋﻀﻮ ﻭﺇﺭﻭاء اﻟﺒﺸﺮﺓ ﺑﺎﻟﻤﺎء، ﻓﻠﻮ ﻗﺎﻡ اﻟﺮﺟﻞ ﻣﻦ ﻧﻮﻣﻪ ﺟﻨﺒﺎ، ﻓﺪﺧﻞ اﻟﺒﺤﺮ ﻣﺜﻼ ﻭﻧﻮﻯ ﺭﻓﻊ اﻟﺤﺪﺙ ﻭﻋﻤﻢ ﺟﺴﺪﻩ ﺑﺎﻟﻤﺎء ﻭﺃﺭﻭﻯ ﺑﺸﺮﺗﻪ ﺑﺎﻟﻤﺎء، ﻓﻠﻪ ﺃﻥ ﻳﺨﺮﺝ ﻓﻴﺼﻠﻲ، ﻭﻗﺪ ﺭﻓﻊ ﺣﺪﺛﻪ

Artinya: Memeratakan seluruh tubuh dengan air maksudnya menyebarluaskan/ mengguyurkan/ menyiramkan air ke seluruh permukaan tubuh dan kulit (membasahinya). Apabila seseorang bangun tidur dan kedapatan dalam bahwa dirinya junub, kemudia ia menveburkan diri ke laut misalnya disertaj niat menghilangkan hadats, maka yang demikian hadatsnya dianggap hilang dan apabila ia melaksanakan shalat, maka sah shalatnya. Dengan catatan, seluruh anggota tubuh dan kulitnya terbasahi oleh air laut tersebut. Dalam arti lain, dari ujung kepala hingga ujung kaki harus terbasahi oleh air secara merata.


Lantas, anggota tubuh bagian yang terlebih dahulu terkena air? Menurut Syekh Muhammad Hasan dalam kitab yang sama bahwa tertib dalam memeratakan air (mendahulukan sesuatu terhadap sesuatu yang lain) tidak berlaku.

ﻓﻲ ﻏﺴﻞ ﺃﻋﻀﺎء اﻟﻐﺴﻞ ﺃﻭ ﺃﻋﻀﺎء اﻟﻐﺴﻞ ﻛﻠﻬﺎ ﻛﻌﻀﻮ ﻭاﺣﺪ, ﻭاﻟﺘﺮﺗﻴﺐ ﺳﺎﻗﻂ ﻓﻲ ﻣﺴﺄﻟﺔ اﻻﻏﺘﺴﺎﻝ

Artinya: Dalam membasuh anggota mandi atau seluruh anggota mandi itu seperti halnya satu anggota tubuh saja. Dengan demikian, maka tertib gugur dengan sendirinya dalam masalah mandi ini.


Kalau begitu, berarti tidak disyaratkan menggosoknya dengan bath spon/spons mandi atau dengan tangan? Tidak, karena menggosok badan saat mandi wajib hukumnya sunnah.

ﺇﻓﺎﺿﺔ اﻟﻤﺎء ﺩﻭﻥ اﻟﺪﻟﻚ ﺗﻜﻔﻲ، ﻭاﻟﺪﻟﻚ ﻣﺴﺘﺤﺐ ﻭﻟﻜﻨﻪ ﻻ ﻳﺸﺘﺮﻁ

Artinya: Memeratakan air ke seluruh bagian tubuh tanpa menggosoknya telah dianggap cukup, karena menggosok tubuh pada saat mandi hukumnya sunnah dan tidak disyaratkan.


Kesunnahan menggosok tersebut merupakan pandangan madzhab Syafi’i. Adapun menurut madzhab Maliki, hukum menggosoknya adalah disyaratkan dalam mandi wajib.


Demikian, semoga bermanfaat. Wallaahu a’lam bishshawaab.

Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org pada Oktober 2019 oleh Azis Arifin, Alumni Ponpes Assyafe'iyyah Purwakarta, Jawa Barat | Lulusan UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Read More

Selasa, 22 Oktober 2019

Begini Tata Cara Tayamum Yang Benar Sesuai Syarat dan Ketentuannya

Oktober 22, 2019
Image result for tayamum

Tarbiyah.online -  Fiqih, Salah satu syarat sahnya shalat adalah berwudhu. Sementara wudhu hanya bisa dilakukan dengan air. Pertanyaannya, bagaimana mau berwudhu sulit untuk menggunakan air, baik karena tidak ada atau karena sakit, maupun sebab yang lain?

Dalam kondisi yang tidak dapat menggunakan air seperti pertanyaan diatas, Islam telah memberikan kemudahan kepada untuk untuk bertayamum.

Tayamum ialah mengusap muka dan kedua belah tangan dengan debu yang suci. Dan pada suatu ketika tayamum dapat menggantikan wudhu dan mandi dengan syarat-syarat tertentu.

Hukum bertayamum tersebut berdasarkan firman Allah surat An-Nisa ayat 43 yang artinya sebagaimana berikut:

“Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu,” (Q.S. an-Nisa’ [4]: 43).

Dari keterangan ayat diatas, setidaknya terdapat beberapa sebab dibolehkannya tayamum, yaitu saat kondisi sakit dan ketiadaan air, dalam keadaan bepergian, sepulang dari buang air, atau junub.

Selain itu tayamum tidak saja bisa untuk menggantikan wudhu, tetapi juga mandi besar, berdasarkan penafsiran sebagian ulama yang memaknai ungkapan “lamastumunnis” maksudnya berhubungan suami-istri, seperti yang ditunjukkan dalam riwayat Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Qatadah, Ubay ibn Ka‘b, ‘Amar ibn Yasir, dan yang lain.

Sebab-sebab bertayamum

Para ulama fiqih menjelaskan sebab-sebab bertayamum. Syekh Mushthafa al-Khin dalam kitab al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzahib al-Imam al-Syafi‘i (Terbitan Darul Qalam, Cetakan IV, 1992, Jilid 1, hal. 94) menyebutkan di antaranya ada empat alasan yang dibolehkan:

Ketiadaan air, Baik ketiadaan air secara kasat mata misalnya dalam keadaan bepergian dan benar-benar tidak ada air, dan ketiadaan air secara syara‘ misalnya air yang ada hanya mencukupi untuk kebutuhan minum.
Jauhnya air, yang keberadaannya diperkirakan di atas jarak setengah farsakh atau 2,5 kilometer.

Sulitnya menggunakan air, baik itu sulit secara kasat mata contohnya airnya dekat, tetapi tidak bisa dijangkau karena ada musuh, karena binatang buas, karena dipenjara, dan seterusnya. Adapun sulit menggunakan air secara syara‘ contohnya karena khawatir datangnya penyakit, takut penyakitnya kambuh, atau takut jika sakitnya lama sembuh.

Hal ini berdasarkan riwayat seorang sahabat yang meninggal setelah mandi, sedangkan kepalanya terluka. Kala itu, Rasulullah SAW. bersabda,
“Padahal, cukuplah dia bertayamum, membalut lukanya dengan kain, lalu mengusap kain tersebut dan membasuh bagian tubuh lainnya.” (H.R. Abu Dawud)

Kondisi sangat dingin. Artinya, jika menggunakan air, kita akan kedinginan karena tidak ada sesuatu yang dapat mengembalikan kehangatan tubuh. Akan tetapi, dengan sebab terakhir ini jika sudah ada air, seseorang harus mengqadha shalatnya lagi.

Al-Ghazali dalam salah satu kitabnya Ihya Ulumuddin menjelaskan secara ringkas dan jelas, sebab-sebab bertayamum sebagaimana berikut:
“Siapa saja yang kesulitan menggunakan air, baik karena ketiadaannya setelah berusaha mencari, maupun karena ada yang menghalangi, seperti takut hewan buas, sulit karena dipenjara, air yang ada hanya cukup untuk minim dirinya atau minum kawannya, air yang ada milik orang lain dan tidak dijual kecuali dengan harga yang lebih mahal dari harga sepadan (normal), atau karena luka, karena penyakit yang menyebabkan rusaknya anggota tubuh atau justru menambah rasa sakit akibat terkena air, maka hendaknya ia bersabar sampai masuk waktu fardhu.” (Al-Ghazali, Ihyâ ‘Ulumiddin, Terbitan Darut Taqwa lit-Turats, Jilid 1, Tahun 2000, hal. 222)

Syarat-syarat Tayamum
Ada beberapa hal yang wajib diperhatikan pada saat bertayamum.

Tayamum harus dilakukan setelah masuk waktu shalat.
Menggunakan debu yang suci. Artinya, tidak basah, tidak bercampur tepung, kapur, batu, dan kotoran lainnya.
Terlebih dahulu menghilangkan najis, karena tayamum hanya pengganti wudhu bukan berfungsi untuk menghilangkan najis.
Mengusap wajah dengan kedua tangan.
Tayamum hanya bisa dipergunakan untuk satu kali shalat fardhu. Jika shalat sunnah boleh beberapa kali.

Rukun Tayamum
Jika wudhu ada enam rukun yang harus dipenuhi, maka tayamum hanya ada empat rukun yaitu:
Niat dalam hati.
Mengusap wajah.
Mengusap kedua tangan,
Tertib.

Tata cara tayamum
Ucapkan basmalah lalu letakkan kedua telapak tangan pada debu dengan posisi jari-jari tangan dirapatkan.
Lalu usapkan kedua telapak tangan pada seluruh wajah disertai dengan niat dalam hati, salah satunya dengan redaksi niat berikut:

نَوَيْتُ التَّيَمُّمَ لِاسْتِبَاحَةِ الصَّلَاةِ للهِ تَعَالَى
Artinya: Aku berniat tayamum agar diperbolehkan shalat karena Allah.

Lain dengan wudhu, dalam tayamum tidak disyaratkan untuk menyampaikan debu pada bagian-bagian yang ada di bawah rambut atau bulu wajah. Yang dianjurkan hanyalah berusaha mengusap ratakan debu pada seluruh bagian wajah. Dan itu cukup dengan satu kali menyentuh debu.

Letakkan kembali telapak tangan pada debu, kemudian mengusap dua belah tangan hingga siku dengan sekali usapan dimulai dari tangan kanan.

Tertib (berurutan). Yaitu urut di antara kedua usapan tersebut (wajah dahulu kemudian kedua tagan).

Terakhir, setelah tayamum juga dianjurkan untuk membaca doa bersuci seperti halnya doa setelah wudhu.

Keterangan: Yang dimaksud mengusap bukan sebagaimana menggunakan air dalam berwudhu, tetapi cukup menyapukan debu saja dan bukan mengoles-oles sehingga rata seperti menggunakan air. Demikian semoga bermanfaat. Wallahua’lam Bisshawab.

Oleh: Arif Rahman Hakim, Telah tayang juga di Pecihitam.org
Read More

Jumat, 18 Oktober 2019

5 Kesalahan Yang Paling Sering Terjadi Dalam Wudhu

Oktober 18, 2019

Tarbiyah.online - Fiqih, Setiap umat muslim yang akan menunaikan ibadah shalat, sudah wajib tentunya berwudhu terlebih dahulu sebagai sarana penyucian diri.

Wudhu adalah cara bersuci bagi umat muslim selain mandi dan tayamum. Oleh sebab itu, ilmu tentang wudhu sudah diketahui kebanyakan muslim mengenai rukun dan sunnahnya.

Akan tetapi, ternyata ada banyak kalangan yang terkadang masih luput dalam wudhunya. Banyak yang tanpa sadar melupakan hal-hal kecil yang terlihat remeh namun sebetulnya mempengaruhi keabsahan wudhu itu.

Dalam sebagian hal, ada juga yang melakukan kemakruhan wudhu dengan melakukan hal yang dilarang. Misalnya terlalu banyak menggunakan air sampai mubazir dan lain sebagainya.

Berikut ini merupakan 5 kesalahan dalam berwudhu yang jarang diketahui oleh orang.

1. Mengucap Basmalah di dalam Kamar Kecil
Setiap hal baik disunnahkan membaca basmalah sebelum melakukannya. Itulah mengapa, disunnahkan menbaca basmalah juga sebelum berwudhu.

Nah yang menjadi problem adalah, kerap kali orang yang melakukan wudhu di kamar kecil atau kamar mandi yang menyebabkan basmalah tidak sunnahkan diucapkan. Biasanya ini terjadi bagi mereka yang tidak menemukan tempat khusus untuk wudhu.

Bagi yang sudah terbiasa melafalkan basmalah, bacaan ini seakan sudah lekat dibibir. Namun mungkin juga kadang luput sehingga masih atau tidak sengaja melakukannya di dalam kamar kecil atau kamar mandi. Padahal hal ini tidak diperbolehkan, karena di dalam basmalah terkandung nama Allah.

Hal ini juga terkait dengan adab di dalam kamar mandi, yakni tidak diperbolehkan bicara dan bersuara. Maka dari itu, basmalah cukup hanya dibatin dalam hati dan tidak perlu diucapkan dengan lisan. (Hasyiyah asy-Syibramalsi Nihayatul Muhtaj, juz I, hal 55).

2. Kaki Tidak Terangkat Saat Dibasuh
Dalam sebuah hadis dijelaskan, “Sempurnakanlah wudhu.” (HR. Muslim)

Rukun wudhu yang kelima ialah membasuh kedua kaki hingga mata kaki. Basuhan air harus merata sampai ke sela-sela jari dan telapak kaki.

Kasus terjadi ketika seorang berwudhu menggunakan bak atau wadah yang bukan pancuran. Ketika membasuh kaki, orang tersebut tidak mengangkat kakinya yang masih menempel di lantai.

Akibatnya, bagian bawah telapak kaki tidak terbasuh, padahal ini wajib. Ia merasa kakinya sudah basah dan mengira bahwa basuhan sudah merata. Padahal basah tersebut adalah karena lantainya yang sudah basah, bukan hasil dari basuhan. (al-Hawi fi Fiqhis Syafi’I, juz I, hal 363)

3. Hitungan Satu Kali dalam Berwudhu
Rasulullah SAW berwudhu tiga-tiga, lalu bersabda, “Beginilah wudhu. Barangsiapa yang menambah atau mengurangi, maka ia telah mencacat wudhunya dan dzalim.” (HR. Abu Dawud).

Di dalam wudhu disunnah juga tatslits (melakukan tiga kali) dalam mengusap dan membasuh. Sebagaimana yang diterangkan hadis di atas, menambah dan mengurangi hitungan maka hukumnya makruh.

Jika seseorang membasuh tangan tiga kali, air baru merata, maka itu belum disebut tastslits. Akan tetapi, hitungan satu kali basuhan ialah ketika air sudah merata di seluruh permukaan tangan. Baru kemudian basuhan kedua juga merata, dan basuhan ketiga. (Asnal Mathalib, juz I, hal 206)

4. Kuku yang Kotor ketika Berwudhu
Memanjangkan kuku merupakan hal yang tidak disunnahkan. Memotong kuku justru menjadi ajaran Nabi terlebih ketika Hari Jumat. Namun banyak saja oranng yang masih memanjangkan kukunya entah dengan dengan alasan apa.

Memang ada yang merawat dan membersihkan kuku secara rutin, ada juga yang membiarkan kotoran hitam bersarang di bawahnya. Lalu, apakah wajib membersihkan kuku sebelum berwudhu?

Hal wajib yang musti dilakukan dalam wudhu ialah meratakan air ke seluruh permukaan kulit yang wajib dibasuh. Dan orang yang berwudhu juga wajib menghilangkan segala sesuatu yang menghalangi masuknya air kedalam kulit, seperti lem, lilin, cat dan lain sebagainya.

Begitu pula dalam masalah kotoran kuku, harus dibersihkan jika itu menghalangi masuknya air ke bawah kuku. Apalagi jika kotoran tersebut termasuk benda yang najis, maka sudah barang tentu wajib dihilangkan. (Mughnil Muhtaj, juz I, hal 240)

5. Tidak Mencelupkan Kaki
Ini adalah fenomena yang terjadi pada banyak orang, terutama yang tidak menyadari keberadaan najis di telapak kakinya. Dan ternyata masjid yang sering menjadi korban ketidaktahuan mereka, apalagi masjid yang tempat wudhunya berdampingan dengan tempat buang air kecil.

Seringkali orang yang hendak masuk ke dalam masjid tidak mencelupkan kakinya terlebih dahulu ke dalam bak atau kolam yang telah disediakan. Ini penting, karena bak tersebut nantinya bisa menghilangkan keraguan suci tidaknya kaki.

Selain itu ada juga, orang yang sengaja melompati dan melewatkan bak kolam tersebut tersebut. Hal ini berakibat kemungkinan najis yang dibawanya pada kaki, walaupun tidak disadarinya, tersebar ke mana-mana.

Oleh sebab itu, sebaiknya setiap ada kolam cuci kaki (kobokan) hendaknya mutawadhi’ (orang yang wudhu) terlebih dahulu mencelupkan kaki di situ, sebagai kehati-hatian wudhunya. Demikian semoga bermanfaat. Wallahua’lam Bisshawab.

Oleh: Arif Rahman Hakim, Telah tayang juga di Pecihitam.org
Read More

Senin, 01 Juli 2019

Kencing Berdiri, Pengaruh Bagi Kesehatan dan Hukum Halal - Haramnya

Juli 01, 2019

Tarbiyah.online Banyak orang bertanya-tanya ketika mendengar beberapa pernyataan tentang kencing sambil berdiri. Hingga ada yang memberikan analisa dari berbagai sisi dan dimensi. Termasuk hikmah dibalik kesehatan.

Diakui, kencing sambil berdiri lebih berpotensi menyebabkan gangguan kesehatan dengan penyakit prostat atau gangguan kantong kemih.

Dalam situs Hello Sehat yang sering dijadikan rujukan bacaan tentang kesehatan disebutkan:

Para periset di Departemen Urologi di Leiden University Medical Center Belanda, mengumpulkan dan menganalisis 11 studi yang membandingkan efek posisi kencing sambil duduk atau jongkok dengan posisi kencing berdiri. Ada tiga hal yang dibandingkan, pertama adalah kecepatan laju air kencing, waktu yang dibutuhkan untuk kencing, dan terakhir adalah jumlah air kencing yang tersisa di kandung kemih.

Hasilnya, untuk para pria sehat, tidak ditemukan adanya perbedaan atau bahaya mencolok antara posisi kencing berdiri dengan kencing jongkok. Namun, ada sebuah laporan analisis yang menyatakan bahwa pria yang mengidap LUTS (lower urinary tract symptoms) atau gejala gangguan saluran kemih bawah, justru akan lebih bisa mengosongkan kandung kemihnya, meningkatkan kecepatan laju air kencing, dan mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk kencing jika ia kencing sambil jongkok dibanding dengan kencing berdiri.

Dan juga kelebihan atau pun manfaat dari posisi kencing dengan jongkok membuat panggul dan pinggul semakin rileks yang memberi manfaat bagi tubuh manusia.

Demikian halnya status hukum dalam agama. Pertanyaan halal haram pun mencuat. Hingga kemungkinan-kemungkinan potensi terganggunya ibadah dan kesucian. Adakah itu percikan kencing yang mengenai pakaian, hingga sisa kencing (urin) dalam tabung batang kemaluan.

Berikut ini jawaban gamblang namun bernas dari Prof. Quraisy Shihab:

Terdapat sekian banyak hadis yang mengandung larangan kencing berdiri. Hal ini dinilai sebagai tidak sopan, begitu penilaian beberapa riwayat. Istri Nabi, ‘Aisyah, bahkan mengatakan, “Siapa yang berkata bahwa Nabi saw. pernah kencing sambil berdiri, jangan percaya! Beliau tidak pernah buang air kecil kecuali sambil duduk.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, dan an-Nasa’i.

Walaupun demikian, agaknya pernyataan ‘Aisyah di atas hanya sepanjang yang beliau ketahui. Oleh karena itu, ada juga riwayat lain dari sejumlah perawi hadis -termasuk al-Bukhari dan Muslim- yang menginformasikan bahwa Nabi pernah melakukannya sambil berdiri. Boleh jadi karena ketika itu beliau sakit atau untuk menunjukkan bahwa kencing berdiri bukanlah haram.

Mengenai terperciknya kencing atau najis saat berdiri melakukan kencing di depan uriner, memang merupakan satu kemungkinan. Namun, kemungkinan itu belum sampai mengantar untuk mengharamkan kencing berdiri. Bahkan belum sampai ke tingkat menajiskan pakaian. Dalam konteks semacam ini, ulama mengemukakan kaidah yang menyatakan, “Keyakinan tidak dapat dibatalkan oleh adanya keraguan.”

Dengan demikian, jika sebelum buang air kecil, seseorang yakin bahwa pakaiannya suci, dan setelah itu dia ragu, apakah terkena najis atau tidak, pakaiannya tetap dinilai suci berdasarkan kaidah tersebut.

Demikian, wallahu a’lam.

Sumber: M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, h. 832-833.
Dikutip dari: PanritaID
Read More