TARBIYAH ONLINE: Fiqih

Fiqh

Tampilkan postingan dengan label Fiqih. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiqih. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 11 Mei 2024

Halal Haramnya Musik dan Alat Musik dalam Pandangan Ulama Islam

Mei 11, 2024




Tarbiyah Online | Kondisi umat Islam baru-baru ini kembali dihadapkan dengan polemik yang terus mengundang perdebatan hingga saling klaim kebenarn antar penganutnya. Salah satu yang santer saat ini perihal hukum terhadap alat musik, memainkan musik dan juga musik itu sendiri.


Secara umum, pandangan Islam terhadap musik bisa dibilang bervariasi. Hal ini bisa kita lihat dari perbedaan pandangan di antara para ulama dan mazhab-mazhab fikih dalam Islam. Kita bisa mengelompokkan nyan menjadi tiga pandangan umum:

1. Perspektif Pertama

Bagi yang Memperbolehkan Musik: Beberapa ulama berpendapat bahwa musik tidak dilarang secara eksplisit dilarang dalam sumber dalil utama dalam Islam yaitu Al-Qur'an atau Hadis. Maka dari itu bagi mereka yang membolehkan musik, memberi batasan-batasan tertentu agar ia bisa dianggap halal atau boleh.


Hal utama yang menjadi syaratnya adalah, tidak menjadikan musik sebagai sumber atau wasilah pengantar untuk melakukan maksiat dan alasan kelalaian, hingga membuat umat menjadi lupa beribadah kepada Allah. Seperti lirik-lirik lagu atau instrumen musik yang melalaikan dan memicu jiwa untuk berbuat kerusakan (bagi dirinya atau pun orang lain).


2. Perspektif Kedua

Bagi yang Membatasi atau Menyekat Musik: Sebagian ulama berpendapat bahwa musik dalam beberapa konteks tertentu dapat memiliki dampak negatif, seperti memicu emosi negatif atau mengalihkan perhatian dari ibadah kepada Allah. Maka dari itu, mereka lebih menyarankan untuk menghindari musik. Terlebih, banyak alternatif lain untuk menenangkan jiwa dan juga menambah semangat, selain musik.


Diantara alasan lain, melalui berbagai kejadian dan penelitian yang ditemukan, musik dianggap mampu mengalihkan fokus menghafal Alquran dan fokus belajar agama. Dianggap, mudharat yang diberikan oleh musik lebih banyak dalam konteks ibadah kepada Allah.


3. Perspektif Ketiga

Bagi  yang Melarang Musik Secara Mutlak: Sebagian ulama dan mazhab menganggap bahwa musik secara umum adalah haram atau dilarang dalam Islam secara. Mereka mengutip hadis dan ayat Al-Qur'an yang menekankan pentingnya menjauhi hal-hal yang dapat mengganggu ketakwaan atau memicu perilaku negatif.


Bahkan berpijak pada sebuah hadis yang menggambarkan keharamannya, bersamaan dengan haramnya zina dan khamar (mabuk). Bagi mereka, redaksi hadis yang berbarengan dengan hal-hal yang jelas keharamannya (zina dan khamar), tentu menjadikan musik juga mendapatkan status yang sama. Yaitu mutlak haram.


Yang perlu kita pahami, pendapat-pendapat yang berbeda di kalangan para 'alim ulama ini bisa dipengaruhi oleh konteks budaya, zaman dan sejarah. Hal tersebut membentuk pemikiran serta interpretasi terhadap teks-teks agama yang beragam.


Namun, penting untuk diingat bahwa pandangan individual terhadap musik dalam Islam dapat bervariasi, dan setiap individu atau komunitas mungkin memiliki pendapat yang berbeda tentang hal ini. Selain itu, dalam memahami pandangan Islam terhadap musik, penting untuk memahami prinsip-prinsip Islam yang lebih luas tentang keadilan, moralitas, dan spiritualitas.


Wallahu a'lam


Bagi yang ingin mengetahui berbagai perspektif ulama terhadap musik secara ringkas, boleh unduk file di bawah. 

Download

Read More

Selasa, 20 September 2022

Tidak Hanya Disetir Penguasa, Ulama Juga Tidak Boleh Ikuti Awam

September 20, 2022

Syeikh Buthy


Tarbiyah Online - Thalibul ilm dan orang alim itu tidak boleh disetir oleh penguasa, disatu waktu dia juga tidak boleh disetir oleh umat dan jamaah. Walau seluruh umat memprotes dan memprovokasi agar pak ustadz memfatwakan sesuai keinginan mereka, maka itu tidak boleh, walau resikonya dihujat, dibully, bahkan lebih dari itu.


Tekanan publik tidak boleh membuat seorang alim merubah suatu hukum, walau nanti akan disebut pengecut, disebut penjilat,  disebut ulama suu`, disebut liberal, bahkan jika dibunuh. Sebagaimana tekanan penguasa, tidak boleh membuat seorang ulama merubah hukum, walau nantinya dipenjara, dikekang, diancam, dikatakan radikal, bahkan dibunuh.


Karena seharusnya merekalah yang mengikuti penjelasan para ulama dan thalibul ilm tentang agama, bukan sebaliknya. Jadi mereka mau mengatakan apapun, itu urusan mereka, urusan para thalibul ilm, ustadz dan ulama hanya menyampaikan risalah, baik sesuai nafsu atau keingingan mereka maupun tidak.


Itu bentuk tanggungjawab ilmiah, tidak perlu terganggu dengan opini yang bukan spesialis dibidang itu, karena mereka tidak sedang beropini pada suatu pendapat berdasarkan agama, tapi menurut pendapat sendiri. Lihatlah dalam kejadian beberapa waktu lalu, berapa banyak dari mereka berpendapat dan beropini, bahkan dengan bawa embel-embel alquran dan hadis?


Tapi dari banyaknya "menurutku", ada berapa dari mereka yang menguasai alat untuk berfatwa dan berijtihad?


Atau minimal ilmu alat yang berfungsi agar seorang bisa memahami suatu kejadian berdasarkan ajaran agama? Berapa orang? Berapa orang bersabar untuk bisa ke tahap itu? Dan apakah orang yang tidak menguasai alat itu bisa beneran menjelaskan ajaran agama pada suatu kejadian? Tidak!


Yang mereka lakukan adalah berpendapat dengan pendapat sendiri dengan mengatas-namakan islam!!  Baik penguasa atau publik itu awam. Awam tidak punya kapasitas dalam berbicara agama kecuali dalam masalah "ma ulima minaddin biddharurah". Diluar itu, mereka berbicara tidak pada kapasitasnya sebagai awam.


Berpendapat memang gampang, semua orang bebas, tapi berpendapat berdasarkan ilmu? Siapa yang mau istiqamah untuk belajar? Jadi jangan terlalu terpengaruh dengan opini atau desakan netizen, disuruh ngomong, disuruh kritik, dll. Mereka setuju atau tidak, orang alim hanya harus menjelaskan sesuatu secara ilmiah saja!! 


Saat ulama diam pada suatu permasalahan mereka kerap memaksa ulama berbicara  dengan alasan jangan diam pada kezaliman. Padahal kalau ternyata pendapat ulama tidak sesuai dengan yang dia inginkan, ngamuk!!ketika mereka meminta tidak diam sebenarnya mereka ingin mengatakan "berbicaralah dengan sesuatu yang sesuai dengan keinginan kami!!".


Ini persis dokter dipaksa untuk mengatakan bahwa covid tidak ada, berdasarkan pendapat awam, jika tidak mau akan dihujat, kemudian awam yang tidak tahu apa-apa tentang kedokteran itu mulai menjelaskan virus, obat, dll. Seolah mereka sangat pakar dalam kedokteran. Bukankah ini bahaya? Jadi apa yang mau diikuti dari pendapat mereka!!! Wallahualam.


Oleh: Ustad Fauzan Inzaghi

Read More

Jumat, 16 Oktober 2020

Wajib Tahu! Bagaimana Hukum Berdandan Bagi Wanita dalam Islam

Oktober 16, 2020

sumber foto: Umma

Fiqh Wanita | Bicara mengenai tentang hukum berdandan bagi wanita, banyak sekali pertanyaan yang keluar berkenaan dengan pembahasan kita kali ini. Mulai dari pengertian tabarruj? Samakah tabarruj dengan bersolek atau berhias? Kalau pengertiannya sama, apakah larangan bertabarruj itu bersifat mutlak?


Kemudian sudah pasti amankah bagi seorang muslimah yang mengenakan pakaian panjang dan berkerudung? Dan masih ada deretan pertanyaan yang belum terjawab.


Allah Swt berfirman:

وَقَرۡنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجۡنَ تَبَرُّجَ ٱلۡجَٰهِلِيَّةِ ٱلۡأُولَىٰۖ

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu”. (QS. Al-Ahzab: 33)


Hukum berdandan dan larangan bertabarruj bagi wanita muslimah itu setelah adanya perintah untuk menetap di dalam rumah. Ini berarti jika seorang mereka terpaksa keluar rumah untuk suatu keperluan yang tidak bisa ditinggalkan, maka tidak boleh dengan penampilan tabarruj.


Sebenarnya apa pengertian dari tabarruj itu?

Dalam kitab Lisan al-Arabi dijelaskan bahwa tabarruj adalah sesuatu yang tampak jelas dan menonjol. Sedangkan dalam kitab Al-Jadwal fi I’rab Al-Qur’an wa Sharfihi disebutkan bahwa tabarruj adalah memaksakan diri dan bersusah payah untuk menampakkan sesuatu yang tersembunyi.


Imam Al-Raghib berkata dalam Al-Mufradat, al-buruj artinya adalah istana-istana. Kalau dikaitkan dengan perempuan maka pengertiannya adalah seorang wanita menyerupakan diri dengan istana dalam menampakkan berbagai keindahannya sehingga mengundang orang-orang untuk mengerumuninya.


Sedangkan menurut Imam Al-Jauhari dalam Ashihah, tabarruj adalah perilaku menampakkan perhiasan dan berbagai keindahan wanita kepada kaum laki-laki yang bukan mahramnya.


Dari beberapa pengertian tersebut kita bisa mengambil kesimpulan bahwa tabarruj adalah segala usaha untuk menampakkan keindahan dan bagian-bagian yang menonjol dari tubuh seorang wanita di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya.


Sikap itu tentu saja sangat berpotensi menarik hasrat dan membangkitkan nafsu syahwat kaum laki-laki yang melihatnya. Karenanya Allah Swt sangat melarangnya dan haram bagi wanita melakukannya.


Bahkan wanita lansia yang dibolehkan menanggalkan pakaian luarnya pun tetap dengan syarat tidak bermaksud menampakkan perhiasannya. Bahkan Allah Swt memerintahkan mereka untuk berlaku sopan dan menjaga diri dengan tetap mengenakan pakaian luarnya demi menjaga kehormatan dirinya dan mengetahui hukum berdandan yang sebenarnya.


Di antara bentuk tabarruj (berdandan) di masa kini adalah:

1. Memukulkan atau menghentakkan kaki-kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan (gelang kaki). Seperti yang tergambar dalam firman Allah berikut:

“Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan dan bertaubatlah kalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”. (QS. An-Nur: 31)


2. Mengenakan wangi-wangian saat bepergian atau keluar rumah. Banyak alasan yang dibuat untuk melegalkan tindakan itu, meskipun kita tahu bahwa memakai wewangian merupakan hal terlarang.


3. Mengenakan benda-benda palsu untuk mempercantik diri dan menipu agar terlihat lebih muda dari usia sebenarnya. Seperti memakai bulu mata palsu, menambahkan emas atau perak pada gigi.


4. Memakai aneka aksesoris yang menempel pada baju dan kerudung, bahkan menempel pada tubuh yang turut pula meramaikan penampilan kita yang tampak oleh lelaki yang bukan mahram.


5. Menyambung rambut.

“Rasulullah Saw melaknat wanita yang menyambung rambutnya dengan rambut lain, dan wanita yang meminta agar rambutnya disambung”.


6. Menggundul kepala.

Rasulullah Saw bersabda, “Aku berlepas diri dari wanita yang menggundul rambut kepalanya, berteriak dengan suara keras, dan merobek-robek pakaiannya (ketika mendapat musibah)”.


7. Membuat tato pada bagian tubuhnya, mencukur alis, dan mengikir sela-sela gigi depan.


8. Menyemir rambut dengan semir hitam.


Rasulullah Saw bersabda, “Pada akhir zaman nanti, akan ada suatu kaum yang mewarnai (rambutnya) dengan warna hitam, seperti dada burung merpati. Mereka tidak akan mencium baunya surga”.


Seorang muslimah yang ideal selalu menyelaraskan kecantikan lahir dan batinnya. Cantik lahir berarti peduli terhadap penampilan, cerdas menilai situasi dan kondisi. Artinya dalam berpenampilan, harus memperhatikan rambu-rambu yang telah ditetapkan syar’i. Di mana kita berada, dengan siapa, kapan, untuk apa, dan bagaimana?


Semua itu adalah pertanyaan yang harus kita jawab sebelum berpenampilan menemui orang-orang. Jika mampu menjawab dengan benar dan tampil dengan tepat sesuai syar’i, maka berarti sudah tampil cantik secara lahiriyah. Meski secara nafsu tidak menarik. Tetapi ada perkara yang tidak boleh di tinggalkan:

- Kebersihan badan, mulut, rambut, pakaian, dan lingkungan.

- Penampilan yang rapi, serasi, dan alami.

- Santun, ramah, dan supel.


Bila tiga poin tersebut benar-benar diperhatikan, insya Allah sudah tampil cantik, menawan, dan memikat bagi siapapun yang halal kita jumpai. Apalagi jika dipadukan dengan kecantikan batin, benar-benar mengagumkan tampil dengan jati diri muslimah sejati. Kecantikan batin dapat kita miliki dengan memberikan nutrisi bagi hati.


Apa saja nutrisi yang penuh gizi bagi hati kita?


Beberapa resep berikut menjadi menu utama bagi hati kita agar tetap tampil bugar dan pancaran kesegarannya dapat dirasakan oleh orang-orang di sekitar kita. Di antaranya adalah:


- Menjaga hati agar terbebas dari berbagai fitnah syahwat dan fitnah syubhat.

- Menigkatkan kualitas iman dan amal shalih.

- Menyibukkan diri dengan Al-Qur’an.

- Melazimi dzikir.

- Tingkatkan kepedulian kita pada sesama.


Demikian lah hukum berdandan bagi wanita dan lima tips untuk mewujudkan kecantikan batiniyah. Mari bekerja keras dan terus berusaha, karena nasib kita terletak pada usaha akhir yang kita lakukan. Jangan pernah menyerah, jangan pula cepat puas.


Selagi kesempatan masih ada, jangan pernah sia-siakan. Kesempatan yang sama tak akan pernah datang untuk kedua kalinya. Kita sudah mengetahui hukum berdandan yang sebenarnya. Yakinlah! Wallahu A’lam.


Sumber tulisan merujuk pada buku: Dosa-Dosa Yang Digemari Wanita Indonesia, Pustaka Arafah, 2014

Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org pada Mei 202oleh Khoirul Aini, Santri Ponpes Al Islah Kebagusan Ampelgading, Pemalang.

Read More

Rabu, 07 Oktober 2020

Jangan Sembarang! Ada 3 Hukum Membatalkan Tunangan dalam Islam

Oktober 07, 2020

Fiqh Nikah | Salah satu hal kesunahan sebelum melakukan pernikahan adalah adanya khitbah atau lamaran atau tunangan. Tunangan adalah sebuah janji untuk melaksanakan pernikahan. Namun demikian perlu dijelakan bahwa pernikahan dan tunangan itu berbeda.


Pernikahan adalah ikatan janji antara suami dan istri yang dilaksanakan dengan memenuhi rukun-rukun pernikahan. Sedangkan pertunangan belum ada ikatan resmi secara agama dan masih hanya sebatas lamaran saja. Sehingga Ketika seseorang sudah melakukan lamaran bukan berarti semua hal dapat dilakukan. Tidak boleh melakukan perbuatan yang mendekati zina. Hal ini penting untuk ditekankan karena sering kali disalahpahami bahwa setelah lamaran maka sudah boleh melakukan apapun.


Terkadang setelah melalakukan lamaran seiring berjalannya waktu dari kedua calon mempelai merasa ragu dan tidak cocok sehingga ingin membatalkan lamaranya. Lantas bolehkan membatalkan lamaranya dalam Islam..?


Membatalkan Tunangan dalam Islam

Imam Al Buhuti dalam hal ini secara terperinci menjelaskan hukum membatalkan pernikahan


( وَلاَ يُكْرَهُ لِلْوَلِيِّ ) الْمُجْبِرِ الرُّجُوْعُ عَنِ اْلإِجَابَةِ لِغَرَضٍ ( وَلاَ ) يُكْرَهُ ( لِلْمَرْأَةِ ) غَيْرَ الْمُجْبَرَةِ ( الرُّجُوْعُ عَنْ اْلإِجَابَةِ لِغَرَضٍ) صَحِيْحٍ ِلأَنَّهُ عَقْدُ عُمْرٍ يَدُوْمُ الضَّرَرُ فِيْهِ فَكَانَ لَهَا اْلاحْتِيَاطُ لِنَفْسِهَا وَالنَّظَرُ فِيْ حَظِّهَا وَالْوَلِيُّ قَائِمٌ مَقَامَهَا فِيْ ذَلِكَ (وَبِلاَ غَرَضٍ ) صَحِيْحٍ ( يُكْرَهُ ) الرُّجُوْعُ مِنْهُ وَمِنْهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ إخْلاَفِ الْوَعْدِ وَالرُّجُوْعِ عَنِ الْقَوْلِ وَلَمْ يَحْرُمْ ِلأَنَّ الْحَقَّ بَعْدُ لَمْ يَلْزَمْ

Artinya: “Tidak dimakruhkan bagi pihak wali yang memiliki kuasa atas perempuan untuk menarik kembali lamaran yang sudah disetujui sebab sebuah tujuan. Tidak pula dimakruhkan bagi perempuan yang independen. Keduanya itu jika dengan tujuan yang dibenarkan. Sebab pernikahan merupakan ikatan berkelanjutan yang dampaknya akan dirasakan selamanya. Maka seorang perempuan atau wali bisa lebih berhati-hati dalam mempertimbangkannya. Dan bila tanpa adanya tujuan yang dibenarkan, maka dimakruhkan menarik kembali dari khitbah yang sudah disetujui. Sebab hal ini termasuk bentuk pengingkaran terhadap janji ataupun menarik kembali kata-kata yang telah terucap. Namun tidak sampai mencapai taraf haram, sebab hak yang ada dalam khitbah yang telah disetujui itu bukanlah hak yang mengikat.” (Kasyaf Al Qana’, V/20).


Dari sini bisa diperinci mengenai hukum membatalkan tunangan.

Pertama, membatalkan pertunangan itu diperbolehkan ketika ada alasan dan sebab yang bisa dibenarkan. 

Kedua, membatalkan pertunangan apabila tidak disertai dengan alasan dan sebab maka hukumnya makruh, karena hal ini sama saja mengingkari sebuah kesepakatan. 

Ketiga, membatalkan pertunangan ini tidak sampai jatuh kepada keharaman karena pada dasarnya pertunangan itu bukanlah hal yang mengikat.

Wallahu A’lam Bisshawab


Khalwani Ahmad, Pemerhati Sejarah Peradaban Islam Nusantara

Artikel ini telah tayang di Harakatuna.org pada September lalu.

Read More

Selasa, 06 Oktober 2020

Status dan Hak Anak dari Orangtua yang Bercerai Secara Li’an

Oktober 06, 2020

Fiqh Nikah | Seperti yang kita tahu, sumpah li’an adalah sebuah problema dari sepasang kekasih, dalam artian suami istri. Setelah sumpah li’an dikeluarkan, maka itu adalah akhir dari hubungan antar keduanya.


Namun bagaimana jika sepasang kekasih tersebut adalah seorang ayah dan ibu? Bagaimana nasib anak-anaknya? Berikut penjelasannya


Status Anak Terhadap Mantan Suami Dari Istri yang Dicerai Li’an

Pada dasarnya anak istri itu dibangsakan kepada suami dengan tanpa pengakuan, apakah suami itu meninggal atau hidup selama dia tidak menafikannya dan ber-lian dan itu (anak) lazim bagi yang kurang akal dan tidak membutuhkan kepada dakwaan anak dari istri.


Dan anak itu tidak dinafikan dari suami kecuali dari keadaan yang dinafikan daripadanya oleh Rasulullah saw, bahwa Ajlany menuduh istrinya dan mengingkari kehamilan istrinya lalu dia mendatangi Rasulullah saw, dan nabi meli`ankan diantara keduanya dan nabi menafikan anak diantara keduanya.


Jika seorang laki-laki tidak mengakui anaknya karena li`an, hubungan nasab antara bapak dan anaknya terputus, anak tersebut dinisbatkan kepada ibunya.


“Dari ibnu umar ra. Meriwayatkan bahwa seorang laki-laki meli`an istrinya pada masa Rasulullah saw, lalu Rasulullah saw menceraikan keduanya dan mengikutkan anak mereka kepada ibunya.”


“Ibn Umar ra. berkata : Nabi saw telah menyumpah li`an antara seorang suami dengan istrinya, dengan membebaskannya dari anak itu (anak itu tidak bernasab kepadanya), dan memisahkan diantara keduanya dan melanjutkan nasab anak itu kepada ibunya”. (HR. Bukhari).


“Dari Umar bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya, berkata. Rasulullah memutuskan tentang anak dari suami istri yang berli`an, bahwa anak itu menjadi ahli waris ibunya dan ibu mewarisi harta anaknya, orang yang menuduh ibunya berzina dihukum cambuk 80 kali” (HR. Ahmad).


Hadits ini dikuatkan oleh dalil lain yang menyatakan bahwa anak hanya dinisbatkan kepada suami yang setempat tidur,


“Dari Abi Hurairah r.a. dari nabi saw beliau bersabda: anak itu untuk tikar dan bagi orang yang zina mendapat batu” (Muttafaq Alaih).


Berdasarkan hadits ini, anak itu menjadi hak bagi orang yang memiliki tempat tidur, yakni suami. Dan orang yang zina mendapat bagian batu, yakni dirajam dengan batu. Sehingga jika terjadi suatu sengketa tentang anak ini, apakah anak ini dari suaminya si istri atau dari orang lain, maka menurut ketentuan harus di hak kan kepada suami. Sedangkan disini tidak ada suami yang setempat tidur tersebut karena suami telah menyangkalnya.


Hukum menempatkan si anak sebagai anak anak ayahnya, untuk ikhtiyat (hati-hati), karenanya anak tersebut tidak boleh menerima zakat yang dikeluarkan ayahnya. Seandainya ayahnya tersebut membunuhnya, tidak ada hukuman qishasnya.


Antara anak tersebut dan anak-anak dari ayahnya menjadi mahram. Tidak boleh saling menjadi saksi di pengadilan, anak ini tidak boleh dianggap bahwa nasabnya tidak ada. Dan karenanya tidak boleh menasabkan anak tersebut kepada orang lain.


Hak Anak dari Istri yang Dicerai Li’an

“Dari Umar bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya, berkata. Rasulullah memutuskan tentang anak dari suami istri yang berli`an, bahwa anak itu menjadi ahli waris ibunya dan ibu mewarisi harta anaknya, orang yang menuduh ibunya berzina dihukum cambuk 80 kali” (HR. Ahmad).


Anak yang telah dinafi`kan dari ayahnya itu terhalang warisnya dari sudut ayahnya, pada waktu hidupnya karena anak itu dinafi`kan dari warisan yang dicegahnya karena asal urusannya adalah nasabnya, maka sesungguhnya anak itu ternafi` selama ayahnya berli`an yang menetapkan atas penafi`anya dengan li`an.


Menurut Sayid Syabiq, seseorang dapat mewarisi harta peninggalan karena tiga hal yaitu sebab hubungan kerabat/nasab, perkawinan, dan wala` (pemerdekaan budak). Adapun pada literatur hukum islam lainnya disebutkan ada empat sebab hubungan seseorang dapat menerima harta warisan dari seseorang yang telah meninggal dunia yaitu;

Perkawinan

Kekerabatan/nasab

Wala` (pemerdekaan budak)

Hubungan sesama islam.


Namun karena anak tersebut telah dinafikan oleh suami (ayahnya) maka hubungan nasab antara ayah dan anak terputus, sehingga ayah tidak wajib memberi nafkah, tidak boleh saling mewarisi, sedangkan antara anak dan ibu boleh saling mewarisi.


Ash-Shawabu Minallah A'lam


Mochamad Ari Irawan, Alumni Pondok Pesantren Qomaruddin | Sarjana Hukum Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prodi Perbandingan Madzhab.

Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org pada Agustus lalu.

Read More

Dasar Hukum Haram untuk Menikah Kembali Bagi Pasangan yang Berli’an

Oktober 06, 2020

Fiqh Nikah | Li'an adalah masalah yang serius dalam rumah tangga, bagaimanapun problemnya hendaknya kita menghindari li’an sebagai jalan keluar.


Diantara hal yang menjadikan li’an ini dikatakan “serius”,  adalah larangan atau keharaman pasangan yang berli’an untuk menikah lagi untuk selama-lamanya. Tentunya hal ini melalui beberapa ketentuan hukum dan pertimbangan yang mengakibatkan keharaman tersebut.


Secara tegas fikih menetapkan konsekuensi hukum tersebut melalui sabda Nabi Muhammad SAW dan beberapa nilai penting dalam perkawinan yang notabene telah dilanggar melalui sumpah li’an yang dijatuhkan.


Adapun penjelasannya akan lebih detail penulis sampaikan melalui pendapat Syaikh Abu Syujak berikut ini.


Dasar Keharaman Menikah Pasangan Berli’an Menurut Syaikh Abu Syujak

Dasar keharaman untuk menikah kembali selama-lamanya antara suami istri yang telah berli'an sebagaimana Syaikh Abu Syujak berkata :

Dan ada lima ketentuan hukum yang berkaitan dengan li`an dari orang laki-laki, yaitu;

Gugur hukuman (had) pada si lelaki

Wajib had atas si perempuan

Hilang tikar (cerai antara suami istri)

Kalau ada anak, anak itu tidak dapat diakui suami

Haram (kawin) selama-lamanya.


Apabila suami meli`an istrinya dan sudah melengkapi hal-hal yang berkenaan dengan li`an, berlakulah hukum berturut-turut sebagai berikut;

Gugur hukuman/pukulan (had) atas suami

Si istri wajib dihukum (had), apabila suami menuduhnya berzina yang dihubungkannya pada keadaan suami istri, sedangkan istri seorang muslimah, sesuai dengan firman Allah Ta`ala dalam al-Qur`an surat an-Nur, ayat 8 :

“Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta


Terjadi perceraian antara suami istri. Perceraian ini terjadi lahir batin, baik si istri benar maupun si suami yang benar. Ada yang mengatakan kalau si istri benar tidak terjadi perceraian batin.


Kalau ada anak, anak itu tidak dapat diakui suami, sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang artinya :

“Ibnu umar r.a. berkata: Nabi saw. Telah menyumpah li`an antara seorang suami dengan istrinya, dan membebaskannya dari anak itu (anak itu tidak bernasab kepadanya), dan memisahkan diantara keduanya dan melanjutkan nasab anak itu kepada ibunya”


Haram selama-lamanya antara kedua suami istri apabila terjadi perceraian dengan sumpah li`an karena al-Ajlany berkata sesudah berli`an, “Aku berdusta kepadanya jika aku masih menahannya, dia di talak tiga”, kemudian Rasulullah saw, bersabda :

“Ibnu Umar r.a. berkata: Nabi saw. bersabda kepada kedua suami istri yang berli`an : perhitunganmu berdua ditangan Allah, salah satu kamu ada yang dusta, dan kamu (suami) tidak ada hak untuk kembali kepada istrimu (yang dili`an)”. (HR. Bukhari)


Nabi meniadakan jalan secara mutlak. Kalau suami telah mentalaknya dengan talak bain sebelum li`an, kemudian ia meli`annya, maka juga menjadi haram selamalamanya.


Ketentuan-ketentuan ini tergantung semata-mata kepada li`an dari suami dan ketentuan-ketentuan tersebut sedikitpun tidak tergantung atas li`an dari istri.


“Dari ibn abbas, Rasulullah bersabda : suami istri yang telah bermula`anah bila telah berpisah, mereka tidak dapat kembali lagi selama-lamanya”.


“Ali dan Ibnu Mas`ud berkata, menurut sunnah dua orang suami istri yang telah bermula`anah tidak dapat kembali lagi untuk selamanya.”


Hal ini karena antara suami istri yang bermula`anah sudah terjadi saling benci dan memutus hubungan yang bersifat selama-lamanya, sementara kehidupan rumah tangga memerlukan dasar ketenangan, kasih sayang dan cinta. Jadi mereka telah kehilangan dasar-dasar tersebut, karena itu mereka harus berpisah untuk selamalamanya.


Ash-Shawabu Minallah A'lam


Mochamad Ari Irawan, Alumni Pondok Pesantren Qomaruddin | Sarjana Hukum Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prodi Perbandingan Madzhab.

Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org pada Agustus lalu.

Read More

Senin, 05 Oktober 2020

Jangan Asal, Begini Tatacara Sumpah Li’an yang Benar dalam Hukum Islam

Oktober 05, 2020

Fiqh Nikah | Para pakar hukum islam mengingatkan agar para hakim dalam menerapkan sumpah li`an ini terlebih dahulu memperingatkan dan menasihati agar para pihak tidak melaksanakan li`an sebab resikonya besar sekali baik di dunia maupun di akhirat nanti.


Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Nasai, Ibnu Majah, dan disahihkan oleh Ibnu hiban dan al Hakim ;

“Dari Abi Hurairah ra. Beliau mendengar Rasulullah saw bersabda ketika telah turun ayat mutala`inain. Manakala seorang perempuan masuk kedalam suatu kaum yang bukan keluarganya, maka ia tidak akan mendapat bagian apapun dari AllahSWT dan ia tidak akan masuk ke surga. Manakala seorang laki-laki menyangkal anak padahal ia tahu anak itu adalah anaknya, maka Allah akan menjauh daripadanya, Allah akan menghinakannya dihadapan orang-orang terdahulu maupun yang akan datang.” (HR. Abu Daud, Nasai, Ibnu Majah)


Tatacara Melakukan Sumpah Li’an

Para ulama` sepakat bahwa menurut sunnah dalam li`an, laki-laki didahulukan yaitu dia mengucapkan kesaksian sebelum istrinya. Tapi, para ulama juga berselisih pendapat tentang keharusan mendahulukan ini.


Syafi`i dan lainnya berkata, “wajib laki-laki dahulu”. Jika perempuan mengucapkan li`an lebih dulu maka li`an nya tidak sah. Alasan mereka karena li`an itu untuk menolak tuduhan suami.

Syafi’i berkata: “Dan laki-laki memulai ber-li`an hingga dia sempurnakan li`an itu, maka apabila telah ia sempurnakan lima kali maka ber-li`an-lah perempuan”.


Karenanya, kalau istri mendahului mengucapkan li`an, berarti menolak perkara yang belum ada. Akan tetapi, Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa kalau istri memulai li`an, hukumnya sah.


Alasan mereka bahwa dalam al-Qur`an, Allah memakai kata penghubung wawu (dan) berarti tidak mengharuskan mendahulukan yang satu dari yang lain, bahkan menunjukkan “gabungan” yaitu secara umum saja.


Menurut Imam Syafi`i, li`an itu ialah bahwa imam berkata kepada suami: ”Katakanlah saya naik saksi dengan nama Allah bahwa saya ini orang-orang yang benar mengenai apa yang saya tuduhkan kepada istriku si fulanah binti fulan mengenai perbuatan zina”


Lalu dia mengisyaratkan kepada wanita itu kalau wanita itu hadir. Kemudian dia mengulang lagi lalu dia mengucapkannya lagi hingga sempurna yang demikian itu empat kali.


Dan apabila telah selesai empat kali, maka imam menghentikannya dan mengingatkan laki-laki kepada Allah ta`ala dan imam berkata “Saya takut jika kamu tidak benar, engkau ditimpa laknat Allah”.


Kalau imam melihat laki-laki itu mau meneruskan (ucapannya), maka imam memerintahkan seseorang untuk meletakan tangannya pada mulut laki-laki itu dan berkata:

”Bahwa ucapanmu atasku laknat Allah, jika saya dari orang yang berdusta itu mewajibkan kalau engkau berdusta”, jika laki-laki itu enggan (untuk meneruskan ucapannya) maka dia meninggalkannya.


Dan imam berkata: ”Katakan atasku laknat Allah jika saya berdusta mengenai yang saya tuduh si fulanah dari perbuatan zina”.


Jika laki-laki menuduh wanita dengan dengan salah seorang laki-laki yang ditentukan namanya (apakah) laki-laki (yang dituduh itu) satu atau dua orang atau lebih banyak, pada setiap syahadah hendaknya laki-laki itu mengucap:

”Saya bersaksi kepada Allah bahwa saya itu benar mengenai yang saya tuduhkan mengenai zina kepada wanita dengan si fulan atau fulan dan fulan”, kemudian dia mengucap waktu dia ber-li`an “Atas saya laknat Allah kalau saya berdusta mengenai yang saya tuduhkan kepada wanita tentang zina dengan fulan atau fulan dan fulan”.


Kalau perempuan itu mempunyai anak lalu dia menafikan anak itu atau dia mengandung lalu dia menafikan kandungan itu, hendaklah dia berkata pada setiap kali syahadah:

”Saya bersaksi dengan Allah bahwa saya ini benar mengenai yang saya tuduhkan kepada wanita daripada zina, dan anak ini adalah anak zina bukan anak dari saya”.


Dan kalau anak itu masih dalam kandungan, hendaklah laki-laki berkata: ”Dan bahwa kehamilan ini (kalau wanita dalam keadaan hamil) adalah hamil yang disebabkan zina bukan dari saya”.


Dan dia berkata pada saat li`an: ”Atas saya laknat Allah jika saya dari orang yang dusta mengenai yang saya tuduhkan kepada wanita daripada zina, dan anak ini adalah anak zina bukan dari anak saya”. Kalau laki-laki telah mengucapkan ini berarti dia telah selesai berli`an.


Apabila imam bersalah dan tidak menyebutkan tentang menafikan anak atau menafikan kandungan didalam li`an, lalu imam itu berkata kepada suami: ”Jika kau ingin menafikan anak itu maka saya mengulangi li`an atasmu”.


Dan wanita tidak mengulangi li`an sesudah li`an suami, kalau wanita selesai berli`an setelah li`an suami, dimana imam itu lalai mengenai penafikan anak atau kehamilan dan kalau imam bersalah dimana laki-laki telah menuduh wanita dengan seorang laki-laki dan ia tidak berli`an dari tuduhannya itu, maka laki-laki yang dituduh itu menjatuhkan hukuman had atasnya, maka imam harus mengulangi li`an, kalau tidak laki-laki itu dijatuhi hukuman had jika tidak berli`an.


Setelah laki-laki selesai berli`an, kemudian disuruh berdiri wanita (yang dituduh) lalu dia mengucapkan:

”Saya naik saksi dengan nama Allah bahwa suami saya si fulan (dan dia mengisyaratkan kepadanya kalau dia hadir) adalah orang yang dusta mengenai tuduhan zina kepada saya”,


Lalu wanita itu mengulang yang demikian itu sampai empat kali, lalu dihentikan oleh imam dan imam mengingatkan wanita itu kepada Allah ta`ala dan imam berkata: ”Hindarilah (hai wanita) dari kemarahan Allah kalau engkau tidak benar mengenai sumpahmu”.


Dan kalau imam melihat wanita itu mau meneruskan ucapannya dan disitu hadir wanita lain lalu imam menyuruh wanita itu untuk meletakan tangannya atas mulut perempuan, dan kalau tidak ada wanita lain yang hadir, lalu imam melihat bahwa wanita itu mau meneruskan ucapannya, lalu imam berkata kepada wanita itu:

”Katakan hai wanita, atas saya murka Allah kalau laki-laki itu benar mengenai tuduhannya kepada saya daripada zina”. Dan apabila telah selesai mengucapkan itu maka dia selesai berli`an.


Ash-Shawabu Minallah.


Mochamad Ari Irawan, Alumni Pondok Pesantren Qomaruddin | Sarjana Hukum Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prodi Perbandingan Madzhab.

Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org pada Agustus lalu.

Read More

Sumpah Li’an: Pengertian, Tuduhan–Sanggahan dan Hikmahnya

Oktober 05, 2020

Fiqh Nikah | Li`an adalah kata dasar (mashdar) dari kata laa`ana. Kata tersebut berasal dari kata la`an, artinya terjauh dari rahmat Allah. Dua orang yang ber-li`an disebut demikian karena ia akan mengakibatkan dosa dan terjauh dari rahmat Allah.

Dan karena salah satu diantara keduanya berdusta, maka ia menjadi mal`un (yang dikutuk). Arti menurut syarak ialah suatu ungkapan kata-kata tertentu yang dijadikan alasan bagi orang yang terpaksa menuduh karena tikarnya dikotori, menyusul malu yang akan dialaminya.


Sedangkan menurut al Hamdani, li`an adalah sumpah seorang suami apabila ia menuduh istrinya berbuat zina. Sumpah itu diucapkan empat kali bahwa tuduhannya itu benar dan pada sumpah yang kelima itu ia meminta kutukan kepada Allah swt jika ia berdusta.

Pihak istri juga bersumpah empat kali bahwa dirinya tidak berbuat sebagaimana yang dituduhkan suaminya, pada sumpah yang kelima ia bersedia menerima kutukan Allah swt jika ternyata tuduhan suaminya itu benar.

Dan dalam ensiklopedia islam disebutkan, li`an dalam istilah fiqh ialah kesaksian atau sumpah yang diucapkan suami yang menuduh istrinya berbuat zina.


Tuduhan dan Sanggahan dalam Li’an

Apabila suami menuduh istri berbuat zina dan istrinya menyangkal tuduhan, wajib bagi suami untuk membuktikan dengan empat orang sebagai saksi.

Bila dia tidak mampu membuktikan dengan empat orang saksi, suami diancam dengan hukuman dera delapan puluh kali, lantaran berani menuduh istri berbuat zina secara qadzaf atau tanpa alat bukti.

Cuma untuk menghindari hukuman dera tersebut, hukum memberi jalan keluar melalui upaya li`an sebagai pengganti qadzaf.


Begitu pula pihak istri, untuk menghindari diri dari ancaman hukuman dera (rajam) dibenarkan hukum melakukan li`an sebagai pengganti bukti atas penyanggahannya terhadap tuduhan zina.

Namun sekiranya istri mengaku, suami terbebas dari beban menghadirkan empat orang saksi atau jika dalam keadaan qadzaf, suami tidak perlu dibebani melakukan li`an apabila istri mengakui tuduhan perbuatan zina.


Suami yang menuduh istrinya berzina tanpa dapat menghadirkan empat orang saksi, haruslah ia bersumpah empat kali yang menyatakan bahwa ia benar. Pada kali yang kelima ia mengucapkan bahwa ia akan dilaknat oleh Allah kalau tuduhannya itu dusta.

Istri yang menyanggah tuduhan tersebut lalu bersumpah juga empat kali bahwa suaminya telah berdusta. Pada kali yang kelima ia mengucapkan bahwa ia akan dilaknat Allah kalau ternyata ucapan suaminya itu benar.


Dasar hukum pengaturan li`an bagi suami yang menuduh istrinya berzina ialah firman Allah SWT dalam QS. an-Nur ayat 6-7 yang artinya:

“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta.”


Terhadap tuduhan suami itu, istri dapat menyangkalnya dengan sumpah kesaksian sebanyak empat kali bahwa suami itu berdusta dalam tuduhannya, dan pada sumpah kesaksiannya yang kelima disertai pernyataan bahwa ia bersedia menerima marah dari Allah swt jika suami benar dalam tuduhannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. an-Nur ayat 8-9 yang artinya:

“Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.”

Dengan terjadinya sumpah li`an ini maka terjadilah perceraian antara suami istri tersebut dan diantara keduanya tidak boleh terjadi perkawinan kembali untuk selama-lamanya.


Hikmah Li’an

Menurut al-Jurjawi dalam sumpah li`an terkandung beberapa hikmah antara lain :

Suatu pernikahan dan fungsi wanita sebagai istri bagi suami tidak akan sempurna kecuali dengan adanya keserasian dan saling menyayangi antara keduanya. Tetapi apabila sudah terdapat tuduhan zina dan melukai istri dengan kekejian, maka dada mereka akan sempit dan hilanglah kepercayaan dari istri sehingga mereka berdua hidup dalam kedengkian yang tentu akan membawa akibat jelek.

Melarang dan memperingatkan suami istri agar jangan melakukan perlakuan buruk yang akan mengurangi kemuliaan itu.

Menjaga kehormatannya dari kehinaan pelacuran yang tidak pernah hilang pengaruhnya siang dan malam.

Apabila laki-laki menuduh istrinya berzina, maka wajib atas laki-laki dihukum qadzaf, kecuali ia dapat mendatangkan saksi atau berli`an. Begitupula pihak istri, untuk menghindarkan diri dari ancaman dera dibenarkan hukum melakukan upaya li`an, sebagai bukti penyanggahannya atas tuduhan zina.


Namun, sekiranya istri mengaku, suami/laki-laki terbebas dari beban menghadirkan bukti 4 orang saksi atau jika dalam keadaan qadzaf, suami tidak perlu dibebani melakukan li`an apabila istri mengakui tuduhan perbuatan zina.

Ash-Shawabu Minallah A'lam


Mochamad Ari Irawan, Alumni Pondok Pesantren Qomaruddin | Sarjana Hukum Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prodi Perbandingan Madzhab.


Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org pada Agustus lalu

Read More

Minggu, 04 Oktober 2020

Bagaimana Hukumnya bagi Suami Meminum Air Susu Istri?

Oktober 04, 2020

Fiqh Nikah | Berbagai pertanyaan seputar rumah tangga sering terbayang-bayang dalam pikiran seseorang. Rasa ingin tahu mengenai hukum boleh tidaknya sesuatu inilah yang mengharuskan seseorang untuk belajar.


Islam merupakan agama yang sangat terbuka. Hal-hal yang tabu di ruang umum pun jika itu memang perlu ditanyakan atau dibicarakan, juga dapat dilakukan demi mencapai pemahaman yang baik.


Termasuk pertanyaan hukum suami yang minum air susu istrinya dalam Islam, sepanjang tidak terkait dengan deskripsi praktik dan rinciannya, maka semua bisa terbuka, dan dibolehkan untuk dibicarakan. Hal ini bertujuan untuk mencapai kemaslahatan, serta tahu mana yang boleh, mana yang tidak.


Hubungan suami istri memang banyak hal yang bersifat sensitif, private hingga komunikasi dalam berbagai hal yang semuanya telah diatur oleh agama.


Bahkan dalam hubungan suami istri atau percumbuan pun tidak dapat terelakkan. Baik itu sebelum maupun ketika melakukan hubungan suami istri yang menurut agama dinilai sebagai ibadah. Maka tidak heran jika sering kita dengar bahwa, ‘ibadah yang paling mudah adalah menikah.’


Perdebatan Ulama Mengenai Hukum Suami Meminum Susu Istri

Sering menjadi kegusaran dalam hubungan rumah tangga mengenai hukum suami meminum susu istri. Bolehkah?


Islam mengenal istilah hukum mahram atau saudara sepersusuan dimana dilarang menikahi saudara sepersusuan. Lalu bagaimana jika ada seorang suami yang meminum air susu istrinya saat bercumbu?


Untuk menjawab beberapa pertanyaan tersebut, perlu kami jelaskan juga bahwa variasi dalam hubungan suami istri hal yang wajar, sebab teknik yang itu-itu saja terkadang membuat pasangan jenuh dan akhirnya hubungan intim terasa stagnan dan monoton.


Cumbuan-cumbuan suami terhadap istri adalah hal yang biasa dilakukan dalam ajang bercinta. Misalnya, mencumbu payudara istri.


Mempraktikkan bermacam-macam teknik bercinta sah-sah saja. Hal itu dibolehkan selama senggama tidak dilakukan saat istri haid atau lewat ‘jalan belakang’ atau dubur. Hal ini berdasarkan firman Allah Swt. yang tertera dalam surat al-Baqarah ayat 222: 

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid itu adalah suatu kotoran’. Oleh karena itu hendaklah engkau menjauhkan diri dari  wanita di waktu haid,dan janganlah kamu mendekati mereka,sampai mereka suci. Apabila mereka telah suci,maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu”.


Dalam Islam, ketika bercumbu, suami diperbolehkan menghisap puting istrinya. Adapun jika saat mencumbu payudara sang istri, lalu air susunya ikut tertelan, maka hal tersebut tidak serta merta menyebabkan berlakunya hukum mahram dan merusak ikatan pernikahan


Bahkan menurut beberapa ulama hal ini dianjurkan, namun dengan catatan jika dalam rangka memenuhi kebutuhan biologis sang istri. Sebagaimana pihak laki-laki yang juga menginginkan agar istrinya memenuhi kebutuhan biologis dirinya.


Berbeda halnya ketika kondisi istri sedang menyusui bayi, kemudian suami ikut minum air susu istrinya. Terjadi selisih pendapat dalam Madzhab Hanafi. Ada yang mengatakan boleh dan ada yang me-makruh-kan.


Dalam Kitab Al-Fatawa al-Hindiyah juga disebutkan,

وَفِي شُرْبِ لَبَنِ الْمَرْأَةِ لِلْبَالِغِ مِنْ غَيْرِ ضَرُورَةٍ اخْتِلَافُ الْمُتَأَخِّرِينَ كَذَا فِي الْقُنْيَةِ

Artinya: “Tentang hukum minum susu wanita, untuk laki-laki yang sudah baligh tanpa ada kebutuhan mendesak, termasuk perkara yang diperselisihkan ulama belakangan. Demikian keterangan dari al-Qunyah.”


Kitab Fathul Qadir juga membahasnya, disebutkan pertanyaan dan jawaban, “Bolehkah menyusu setelah dewasa? Ada yang mengatakan tidak boleh. Karena susu termasuk bagian dari tubuh manusia, sehingga tidak boleh dimanfaatkan, kecuali jika terdapat kebutuhan yang mendesak.


Ada juga yang menghukumi makruh. Imam Malik dalam kitab Muwaththa’ menjelaskan bahwa suami yang pernah minum air susu istrinya, tidak menyebabkan dirinya menjadi anak persusuan bagi istrinya.


Hal yang menyebabkan adanya hubungan persusuan adalah menyusui sebanyak lima kali atau lebih dan dilakukan di masa anak itu belum usia disapih. Bayi yang lapar hanya akan meminum air susu ibunya, karena memang belum diperbolehkan mengonsumsi makanan kasar.


Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 233,

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ

Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.”


Dalam kitab Tafsir al-Baghawi dijelaskan bahwa dua tahun merupakan batas menyusu bagi seorang anak. Sehingga dapat dipahami bahwa setelah dua tahun, hukum persusuan tidak berlaku.. Maka dalam hal ini suami tidak bisa menjadi anak susuan istri dan lantas merusak ikatan pernikahan.


Hal tersebut juga ditegaskan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, dari Aisyah ra. bahwa suatu ketika saat Nabi Muhammad Saw. masuk ke dalam rumah di sampingnya terdapat seorang lelaki.


Lalu Air mukanya terlihat berubah sekan ia tidak menyukainya. Lalu Aisyah berkata, “Ia adalah saudara sepersusuanku.” Lalu Rasul Saw. menimpali, “Perhatikanlah siapa saudara sepersusuanmu itu. Karena sesungguhnya sepersusuan itu karena lapar.”


Adapun jika sudah dewasa, hal tersebut tidak mempengaruhi hubungan persusuan dan tidak memberi dampak apapun. Oleh karena itu, suami yang minum air susu istrinya tidak menjadi anak sepersusuannya.


Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mughni juga menjelaskan hal senada, bahwa meminum ASI yang menyebabkan berlakunya hukum hanya jika dilakukan oleh anak kecil di bawah umur dua tahun, dan inilah pendapat mayoritas fuqaha.


Lebih lanjutnya, mari kita simak atsar dan hadis berikut:

عَنِ ابْنٍ لِعَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ، أَنَّ رَجُلا كَانَ مَعَهُ امْرَأَتُهُ وَهُوَ فِي سَفَرٍ فَوَلَدَتْ فَجَعَلَ الصَّبِيُّ لا يَمُصُّ فَأَخَذَ زَوْجُهَا يَمُصُّ لَبَنَهَا وَيَمُجُّهُ حَتَّى وَجَدَ طَعْمَ لَبَنِهَا فِي حَلْقِهِ فَأَتَى أَبَا مُوسَى فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ ” حُرِّمَتْ عَلَيْكَ امْرَأَتُكَ ” , فَأَتَى ابْنَ مَسْعُودٍ فَقَالَ: أَنْتَ الَّذِي تُفْتِي هَذَا بِكَذَا وَكَذَا وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” لاَ رَضَاعَ إِلاَّ مَا شَدَّ الْعَظْمَ وَأَنْبَتَ اللَّحْمَ “؟

Artinya: Seorang putra Abdullah bin Mas’ud meriwayatkan bahwa seorang suami membawa istrinya dalam sebuah perjalanan, dan istrinya melahirkan. Si bayi tidak mau menyusu, maka sang suami menyedot susu isterinya dan memberikannya untuk si bayi, hingga ia mendapatkan ada rasa susu di tenggorokannya. Dia lalu datang dan bertanya kepada Abu Musa al-Asy’ari, maka Abu Musa mengatakan, “Istrimu menjadi haram atas dirimu.” Kemudian sang suami datang kepada Abdullah bin Mas’ud, dan Abdullah berkata kepada Abu Musa, “Engkau yang berfatwa demikian, sedangkan Rasulullah saw telah bersabda, ‘Persusuan tidak berpengaruh kecuali jika menguatkan tulang dan menumbuhkan daging’? (HR. al-Baihaqi)


Maksudnya, persusuan hanya berpengaruh jika dilakukan saat anak masih kecil dan membutuhkan susu.  Kelemahan atsar ini tidak berpengaruh pada permasalahan kita, karena tidak ada dalil yang mengharamkan suami meminum susu istri. Sedangkan tidak berpengaruhnya persusuan di atas umur dua tahun didukung oleh banyak dalil lain.


Kesimpulannya, boleh bagi suami untuk meminum susu isterinya, dan jika itu dilakukan, isterinya tetap menjadi istri yang sah dan halal baginya.


Demikianlah pendapat beberapa ulama mengenai suami yang menyusu pada istrinya, semoga kita selalu memberikan petunjuk kebenaran dan kebaikan oleh Allah.

Ash-Shawabu Minallah.


Mohammad Mufid Muwaffaq, Santri Pondok Pesantren Qomaruddin, Sarjana Theologi Islam di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Jjurusan Ilmu al-Quran dan Tafsir, Mahasiswa Magister di jurusan Studi Quran Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org pada Mei lalu.

Read More

Jumat, 02 Oktober 2020

Khulu’, Syarat dan Rukun Menurut Syeikh Abdur Rahman al-Juzairi

Oktober 02, 2020

Fiqh Nikah | Segala perilaku hukum tidak ada satupun hal yang bisa dilakukan dengan seenaknya, semua telah di atur dalam ikatan yang bertujuan untuk menjaga nilai dan maksud dari hukum itu dibentuk.


Termasuk dalam hal ini, pengajuan khulu’ yang diakukan oleh perempuan, haruslah melewati beberapa prosedur, apa saja itu? Berikut penjelasannya.


Syarat dan Rukun Khulu’ Menurut Syeikh Abdur Rahman al-Juzairi


Khulu’ dianggap sah dan jatuh apabila telah memenuhi beberapa unsur, diantaranya rukun dan syarat. Adapun dalam setiap rukun khulu’ mempunyai syarat yang masing-masing harus ada pada rukun tersebut.


Sesuai dengan akibat daripada khulu’ adalah sebagai talak ba’in, Sehingga suami tidak diperbolehkan meruju’ kembali, kecuali setelah mantan istri dan mantan suami mengadakan pernikahan lagi melalui proses akad nikah yang baru.


Adapun Syarat dan rukun dari khulu’ itu menurut Abdur Rahman al- Juzairi mengatakan ada 5 yaitu:


1.) Seseorang yang wajib baginya tebusan (menebus)

Yaitu seseorang yang wajib harta atasnya, adapun seseorang tersebut istri atau selain istri.


2.) Kemaluan

Yaitu kemaluan istri yang dimiliki suami untuk bersenang-senang dengan kemaluan itu, yaitu kemaluan istri jika suami mentalak istrinya dengan talak bain maka hilanglah kepemilikan suami atas kemaluan istri.


3.) Al-Iwadh 

Dengan syarat harta tersebut tidak berbahaya, suci dan milik sah.

Iwadh yaitu sesuatu uang tebusan atau barang ganti rugi yang diberikan istri kepada suami agar suami mau menceraikan istrinya. Tentang iwadh ini para ulama berbeda pendapat, mayoritas ulama menempatkan iwadh itu sebagai rukun yang tidak boleh ditinggalkan untuk syah nya khulu’, pendapat lain diantara satu riwayat dari Ahmad dan Imam Malik mengatakan boleh terjadi khulu’ tanpa iwadh.


Alasannya adalah bahwa khulu’ merupakan salah satu bentuk dari putusnya perkawinan, oleh karena itu boleh tanpa iwadh, sebagaimana berlaku dalam talak.


Adapun tolok ukurnya menurut Jumhur Ulama adalah kelayakan benda tersebut untuk dijadikan mahar. Dengan demikian, apa yang boleh dijadkan mahar, maka juga diperbolehkan dijadikan kompensasi khulu’.


Dalam hal ini para Ulama berbeda pendapat, Menurut Hanafiyyah dan Malikiyyah, khulu’ sah meskipun tidak memakai iwadh, misalnya si istri mengatakan “Khulu’ lah saya ini,” lalu si suami mengatakan “Saya telah mengkhulu’ kamu”, tanpa menyebutkan adanya iwadh. Di antara alasannya adalah;


Khulu’ adalah pemutus pernikahan, karenanya boleh-boleh saja tanpa iwadh, sebagaimana talak yang tidak memakai iwadh.


Pada dasarnya khulu’ ini terjadi lantaran si istri sangat membenci suaminya lantaran perbuatan suaminya itu sehingga ia memintanya untuk menceraikannya.

Ketika si istri meminta untuk dikhulu’ lalu si suami mengabulkannya, maka hal demikian sah-sah saja meskipun tidak memakai iwadh.


Adapun demikian, dikalangan ulama juga masih terjadi perbedaan dengan hal-hal yang berkaitan dengan iwadh, tetapi para ulama Madzhab sepakat bahwasanya tentang segala sesuatu yang bisa dijadikan mahar, boleh pula dijadikan iwadh atau sesuatu yang berharga dan dapat dinilai sebagaimana yang dimaksud dalam hadis nabi tentang istri Tsabit yang disebutkan diatas dan bahwa jumlahnya boleh sama, kurang atau lebih banyak daripada mahar.


4.) Az-Zauju (suami)

Dengan syarat orang tersebut sudah cakap untuk melakukan talak, seperti tidak bodoh, berakal dan baligh.


Bahwasanya orang yang dikhulu’ atau suami hendaknya orang yang mempunyai hak untuk mentalak. Syarat suami yang menceraikan istrinya dalam bentuk khulu’ sebagaimana yang berlaku dalam talak adalah seseorang yang ucapannya telah dapat diperhitungkan secara syara’, yaitu ‘aqil, baligh, dan bertindak atas kehendaknya sendiri dan dengan kesengajaan.


Berdasarkan syarat ini, bila suami masih belum dewasa atau dalam keadaan gila maka yang akan menceraikan dengan khulu’ adalah walinya. Demikian pula bila keadaan seseorang yang berada di bawah pengampuan karena kebodohannya (mahjur ‘alaih) yang menerima permintaan khulu’ istri adalah walinya.


Dalam hal ini, seluruh ulama Madzhab sepakat bahwa baligh dan berakal merupakan syarat yang wajib dipenuhi oleh laki-laki yang melakukan khulu’, sedang Hambali mengatakan khulu’ sebagaimana halnya talak, dianggap sah bila dilakukan oleh orang yang mumayyiz (telah mengerti sekalipun belum baligh).


5.) Sighat

Shigat ini adalah sebuah syarat yang pasti, karena dalam ini sighat menjadi tanda dari sebuah penegasan atas khulu’nya.


Sedangkan syarat khulu’menurut Abdur Rahman al-Juzairi ada 3, yaitu :

Disyaratkan pada tiap-tiap orang yang wajib atasnya ’iwad, yaitu orang yang ahli menasarufkannya, adapun orang yang wajib atasnya ’iwadh harus tergolong orang yang memiliki hak untuk menjatuhkan talak, dan orang tersebut berakal, mukallaf, rasyid. Tidak sah bagi kanak-kanak wanita, gila, atau safih mengkhulu’ suaminya dengan harta.

’Iwadh khulu’, ada beberapa syarat, diantaranya ’iwad adalah harta yang berharga, maka tidak sah khulu’dengan sesuatu yang tidak ada harganya, seperti sebiji dari gandum. Dan barang harus barang yang suci yang dapat dimanfaatkan, maka tidak sah (’iwadh) dengan khamar, babi, bangkai dan darah. Sah khulu’dengan harta, baik berupa uang, tunai atau hasil pertanian, atau mahar. Atau dengan memberi nafkah, atau upah menyusui, atau mengasuh anak.

Tidak dapat khulu’ tanpa sighat, tidak sah khulu’ dengan cara pemberian, seperti ucapan ’khulu’lah saya dengan itu”, maka suami berkata kepada istri saya khulu’engkau atas itu, maka ijab dan qabul tidak menyertai hal itu, adapun perbuatan demikian tidaklah jatuh khulu’dan perbuatan tersebut tergolong talak.

Ash-Shawabu Minallah A'lam


Mochamad Ari Irawan, Alumni Pondok Pesantren Qomaruddin | Sarjana Hukum Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prodi Perbandingan Madzhab.

Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org pada Agustus lalu.

Read More

Pernah Dengar Khulu’/Talak Tebus? Ini Maksud dan Dasar Hukumnya

Oktober 02, 2020

Fiqh Nikah | Hubungan rumah tangga memang kadang tidak selamanya berjalan sesuai dengan keinginan kedua pasangan, banyak hal yang berpotensi menyebabkan retaknya hubungan mereka.


Unutk itu perlu diketahui, mengakhiri hubungan tidak hanya bisa dilakukan oleh laki-laki saja dengan Talaknya, melainkan perempuan pun bisa mengakhiri hubungan dengan Khulu’nya.


Adapun makna dan sumber khulu’ akan dijelaskan lebih detail di sini.


Apa Itu Khulu’?

Khulu’ menurut etimologi berasal dari kata “Al-Khul’u” yang berarti menanggalkan pakaian,melepaskan pakaian, karena suami istri ibarat pakaian satu sama lainnya, sebagaimana telah dijelaskan dalam ayat Al-Qur’an.


Sedangkan menurut terminolog fiqih ialah tuntutan cerai yang diajukan istri dengan pembayaran ganti rugi darinya, atau dengan kata lain istri memisahkan diri dari suaminya dengan ganti rugi kepadanya.


Dalam bahasa Indonesia juga dipakai istilah talak tebus, yaitu perceraian atas permintaan pihak perempuan dengan membayar sejumlah uang atau mengembalikan maskawin yang diterimanya.


Menurut Abi Ishaq Ibrahim dalam kitab al-Muhazab berpendapat:


Asal khulu’ dari menanggalkan kemeja dari badan dan dia membuka kemeja dari badannya dan menghilangkannya karena sesungguhnya khulu’ ialah menghilangkan nikah sesudah mewajibkannya dan demikian seorang wanita sebagai pakaian bagi laki-laki dan laki-laki sebagai pakaian dari wanita, Allah ta’ala berfirman :


هُنَّ لِبَاس لَّكُم وَأَنتُم لِبَاس لهَّنَُّ

Artinya: Mereka (wanita) sebagai pakaian bagi kalian (laki-laki) dan kalian (lakilaki) sebagai pakaian bagi mereka (wanita). (Al-Baqarah : 187)


Maka jika terjadi khulu’ keduanya sungguh telah membuka tiap-tiap satu dari kedua (suami dan istri) pada pakaiannya.


Khulu’ menurut Mahmud Yunus, ialah perceraian antara suami dan istri dengan membayar ‘iwad dari pihak istri, baik dengan ucapan khulu’maupun talak.


Sedangkan menurut KHI khulu’ ialah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan kepada dan atas persetujuan suami.


Ada pendapat yang mengatakan bahwa khulu’ itu sudah terjadi pada zaman jahiliyah, bahwa Amir bin Zarib kawin dengan kemenakan perempuan Amir bin Haris, tatkala istrinya ini masuk rumah Amir bin Zarib, seketika itu istrinya melarikan diri, lalu Amir bin Zarib mengadukan hal ini kepada mertuanya, maka jawabnya:

“Aku tidak setuju kalau kamu kehilangan istrimu dan hartamu, dan biarlah aku pisahkan (khulu’) dia dari kamu dengan mengembalikan apa yang pernah kamu berikan kepadanya”


Dasar Hukum Khulu’

Kehidupan suami istri hanya bisa tegak kalau ada dalam ketenangan, kasih sayang, pergaulan yang baik dan masing-masing pihak menjalankan kewajibannya dengan baik, tetapi adakalanya terjadi perselisihan yang menyebabkan terjadinya saling membenci antara suami dan istri sehingga tidak dapat didamaikan lagi, maka tidak ada jalan lain harus cerai yang merupakan obat terakhir yang harus digunakan.


Islam membolehkan melakukan hal tersebut meskipun sangat dibenci oleh Allah. Syafi’iyyah berpendapat bahwa tidak beda antara bolehnya khulu’ dengan mengembalikan semua maharnya/sebagiannya, atau dengan kata lainnya, baik jumlahnya kurang dari harga maharnya/lebih, tidak beda antara pengembalian dengan tunai, utang dan manfaat (jasa), tegasnya segala sesuatu yang boleh dijadikan mahar boleh pula dijadikan ganti rugi dalam khulu’ berdasarkan keumuman firman Allah Q.S. Al-Baqarah ayat 229;


ۗ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ

Artinya: ”Maka tidaklah salah bagi mereka berdua (suami dan istri) tentang apa yang dijadikan tebusan”.


Jika kebencian terjadi pada pihak suami , maka di tangannya terletak talak yang merupakan salah satu haknya, dia berhak menggunakannya selama sesuai dengan hukum Allah.


Jika kebencian pada pihak istri maka islam juga membolehkan dirinya menebus dirinya dengan jalan khulu’ yaitu mengembalikan mahar kepada suaminya guna mengakhiri ikatan sebagai suami istri, dasar hukum khulu’ tertera di dalam nash yaitu :

Al-Qur’an

Berkaitan dengan khulu’Allah swt juga telah berfirman dalam QS.Al-Baqarah : 229 yang artinya:

“Tidak halal bagi kamu mengambil sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka (istri) kecuali kalau keduanya khawatir tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya tidak dapat menjalankan hukum- hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya, itulah hukum-hukum Allah, maka janganlan kamu melanggarnya, barang siapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang aniaya”.


Hadis Nabi SAW

“Diriwayatkan dari Abdullah bin ’Abbas ra, bahwa istri Sabit bin Qais menemui Nabi SAW, dan berkata “Ya Rasullullah! saya tidak menjelekkan Sabit bin Qais dalam beberapa hal akhlaq dan agamanya, tetapi saya tidak ingin terjerumus kedalam perilaku yang menentang Islam (apabila saya tetap menjadi istrinya)”, Rasullullah SAW, bersabda “apakah kamu bersedia mengembalikan kebun yang telah diberikan Sabit bin Qais (sebagai bin Qais “terimalah kebun itu dan ceraikanlah istrimu dengan satu talak”.


Mahmud Yunus memberikan komentar yang dimaksud dengan kekafiran dalam Islam ialah kekafiran nikmat, yakni karena ia sangat benci kepada Sabit, ia tidak dapat berterima kasih kepadanya yang dinamai kafir nikmat. Dalam ayat dan hadis itu ditegaskan sebab-sebab boleh meminta khulu’:

Jika kedua suami-istri tidak dapat mendirikan hukum-hukum Allah, yaitu pergaulan secara ma’ruf.

Karena istri sangat membenci suaminya lantaran sebab-sebab yang tidak disukai, sehingga ia takut tidak akan dapat mematuhi suaminya.

Ash-Shawabu Minallah A'lam


Mochamad Ari Irawan, Alumni Pondok Pesantren Qomaruddin | Sarjana Hukum Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prodi Perbandingan Madzhab.

Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org pada Agustus lalu.


Read More