TARBIYAH ONLINE: aqidah

Fiqh

Tampilkan postingan dengan label aqidah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label aqidah. Tampilkan semua postingan

Senin, 22 April 2024

"Tajsim dan Mujassim", Istilah Ilmiah, Tidak Perlu Merasa Diserang

April 22, 2024

 


Tarbiyah Online | Ilmu aqidah tidak bisa dilepaskan dari pembahasan tentang alam semesta, karena dari alam semesta lah manusia bisa mengetahui bahwa apakah alam semesta ini butuh pada penciptaan atau tidak. Makanya ulama aqidah dalam ๐˜ต๐˜ข๐˜ณ๐˜ช๐˜ฒ๐˜ข๐˜ฉ Mutakalimin selalu membahas alam semesta terlebih dahulu sebelum membahas tentang penciptanya.


Nah, untuk mengetahui apakah alam semesta membutuhkan penciptanya, maka ulama harus lebih dahulu mencari tahu apa hakikat alam semesta dan apa saja yang ada di dalamnya. Setelah melihat (๐˜ช๐˜ด๐˜ต๐˜ช๐˜ฒ๐˜ณ๐˜ข') pada segala yang ada di alam semesta, ulama akhirnya mengambil satu kesimpulan bahwa, segala yang ada di alam semesta ini pada hakikatnya bisa diklasifikasikan menjadi dua kategori.


Pertama, sesuatu yang mengambil tempat/ruang, ini yang dinamakan dengan zat atau materi, seperti batu, angin, air, cahaya, bintang, materi gelap, blackhole, api, planet, dll. Ulama ilmu kalam menamakannya sebagai ๐—๐—ฎ๐˜‚๐—ต๐—ฎ๐—ฟ, kadang mereka juga memakai istilah ๐—๐—ถ๐˜€๐—บ atau ๐—๐—ถ๐—ฟ๐—บ. Kedua, sesuatu yang menjadi sifat dari Jauhar, seperti warna gelap, terang, bersatu, terpisah, bergerak, diam, cepat, lambat, lembut, keras, panas, dingin, cair, padat, bisa disentuh, tidak bisa disentuh, berubah, tetap, panjang, kecil, pipih, tebal, keberadaan di tempat tertentu, di waktu tertentu, dll. sifat itu semua dinamakan dengan ๐—”๐—ฟ๐—ฎ๐—ฑ๐—ต.


Misal praktisnya, sebuah benda dinamakan batu alam, dia sendiri dinamakan dengan Jauhar, karena dia mengambil ruang/space dari semesta, adapun sifatnya keras, padat, mengeluarkan energi dingin, berada di gunung, tidak bergerak, ukuran sekian meter, dll, itu dinamakan dengan Aradh. Gas misalnya, dia mengambil ruang tertentu, gas itu dinamakan Jauhar, sedangkan ringannya, warna bening tak terlihat, bau menyengat, bergerak, dll, itu dinamakan dengan aradh. Qiyaskan ini pada benda lain, mulai matahari, blackhole, atom, partikel cahaya, bumi, air, kudis, kurap, dll.


Kemudian ulama mencoba sedikit memerincikan klasifikasi terhadap materi, secara logika materi itu ada dua kemungkinan. Pertama, materi yang paling kecil yang dengannya terbentuk benda-benda besar. Jika dia sendiri dan tidak bisa dibagi/dipecah lagi maka itu dinamakan dengan ๐—๐—ฎ๐˜‚๐—ต๐—ฎ๐—ฟ ๐—™๐—ฎ๐—ฟ๐—ฑ bahasa jakselnya jauhar yang lagi jomblo ahhaha. Kedua, gabungan dua Jauhar Fard atau lebih yang membentuk materi yang lebih besar, dinamakan dengan ๐—๐—ถ๐˜€๐—บ. Kadang Jism itu bisa kita lihat dengan mata telanjang seperti debu, bola, bumi, bintang, dll. Kadang harus pakai alat bantu seperti atom, virus, sel, dll. Kadang kita belum punya alat bantu untuk melihatnya, seperti atom di masa lalu, bakteri sebelum ditemukan mikroskop, dll.


Dari kesimpulan di atas kita bisa pahami bahwa kata "Jism" bagi ulama kalam hanya sebuah istilah yang dipakai untuk mengungkapkan atau menamakan bagi "sesuatu" yang mengambil ruang/tempat. Jadi murni penamaan, kita bisa menamakannya dengan nama lain, dengan menerjemahkannya, atau apa saja tergantung disiplin ilmu, tapi ulama aqidah/ilmu kalam  menamakanya sebagai Jism. Jadi gak ada tendensi apa-apa dalam penamaan itu, murni istilah ilmiyah.


Kemudian ulama kita ketika membahas tentang ketuhanan, mereka menyimpulkan bahwa semesta secara logika wajib ada yang menciptakan, dengan dalil/argumen yang bukan sekarang pembahasannya. Lalu mereka juga menyimpulkan melalui dalil, bahwa pencipta semesta yang kita namakan dengan Tuhan tidak boleh sama dengan alam semesta ciptaannya (๐˜ญ๐˜ข๐˜ช๐˜ด๐˜ข ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฎ๐˜ช๐˜ด๐˜ญ๐˜ช๐˜ฉ๐˜ช ๐˜ด๐˜บ๐˜ข๐˜ช๐˜ถ๐˜ฏ), jika tidak maka dia juga butuh pencipta sebagaimana alam semesta juga butuh pencipta, karena ada kesamaan.


Karena tidak boleh ada kesamaan antara alam semesta dan Tuhan, maka ulama mengatakan bahwa tuhan pencipta alam ini bukan, bahkan tidak boleh Aradh, tidak boleh juga Jism/Jauhar, karena keduanya adalah semesta itu sendiri. Jadi, jika ada yang berpikir kalau Tuhan itu mempunyai tangan yang mengambil ruang sebagaimana jism, atau duduk di atas arasy besar yang mempunyai batas ruang, atau berada di atas secara fisik dari sebuah tempat/ruangan, maka itu semua dianggap sebuah bentuk ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ซ๐˜ช๐˜ด๐˜ช๐˜ฎ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ atau ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ซ๐˜ข๐˜ถ๐˜ฉ๐˜ข๐˜ณ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ Tuhan yang seharusnya berbeda segalanya dengan alam semesta.


Nah, perbuatan yang ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ซ๐˜ช๐˜ด๐˜ช๐˜ฎ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ Tuhan dinamakan dengan ๐—ง๐—ฎ๐—ท๐˜€๐—ถ๐—บ, dan orang yang menjisimkan Tuhan dinamakan Mujasimah. Jadi, Mujasimah bagi ulama Mutakalimin adalah penamaan bagi orang yang menganggap bahwa Tuhan itu punya bentuk fisik, atau bertempat secara fisik, bisa ditunjuk arahnya, punya ukuran fisik, dll, yang intinya punya kesamaan dengan jism atau dia punya sifat Jism/Aradh seperti bergerak, diam, dll. Jadi Mujasimah itu lintas agama, bukan tuduhan bagi kelompok tertentu karena rivalitas, bukan sekedar label karena membenci. Tapi itu murni istilah ilmiyah untuk orang yang berkeyakinan bahwa Tuhan ๐˜ฃ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ซ๐˜ช๐˜ด๐˜ฎ atau punya kesamaan dengan jism, di mana hal itu ditolak oleh ulama Ahlussunnah wa al-Jama'ah.


Jadi, istilah "Mujasim" bukan label, stempel, apalagi tuduhan karena kebencian pada kelompok atau orang tertentu. Tapi murni term/isitilah ilmiyah. Jadi tinggal dilihat aja apakah aqidah kita, kelompok yang kita ikuti, ustazd yang kita ikuti, kelompok lain atau agama lain tentang Tuhan seperti Mujasim atau tidak? Kalau iya, berarti orang/kelompok itu ya Mujasim, walau mereka mengaku Ahlusunnah dan menuduh orang lain sebagai Mujasim. Kalau tidak, maka mereka bukan Mujasim, walau seluruh dunia menuduh mereka Mujasim, bahkan jika mereka melabeli nama kelompok mereka sebagai Mujasim tetap aja mereka bukan Mujasim menurut term ulama ilmu kalam.


Jika kita memahami istilah itu, maka kita akan paham kapan seorang sedang menyifati suatu pemahaman aqidah dengan tajsim sesuai istilah dengan benar, kapan mereka sedang menuduh dan salah pakai istilah, atau bahkan tidak paham dengan istilah, atau hanya ikut-ikutan saja jadi gak serampangan. Nah, kalau ada sebagian orang membolehkan sifat jism bagi Tuhan, dia tidak mengangapnya salah, ya bebas saja, itu hak dia, berarti dia menganggap aqidah tajsim benar, walaupun dia tidak terima dinamakan Mujasim, bahkan menuduh orang lain sebagai Mujasim, orang seperti itu hanya tidak paham istilah saja, tapi aqidahnya tajsim dalam istilah Mutakalimin atau ulama aqidah.


Pada akhirnya aqidah dia berbeda dengan ulama yang menganggap Tajsim adalah sebuah kesalahan, dan dia berhak berbeda dan membela argumennya di dunia, tapi istilah jism, tajsim, dan mujasimah bagi ulama kalam tidak akan berubah, jism artinya ya sesuatu yang ngambil tempat. Seringkali orang gak paham istilah seperti ini berargumen untuk membela aqidah tajsimnya, walau dia tidak terima dinamakan mujasim, dalam debat dan diskusi ini agak aneh memang, tapi itu kenyataan yang sering kita temui.


Tapi jika aku boleh memberi saran, sebelum membela membabi buta atau menyerang lawan habis-habisan, aku menyarankan untuk sedikit merenung sendirian dengan istilah itu, apa benar aqidahku Mujasimah menurut istilah mereka? Atau orang yang aku bela Mujasimah? Atau mazhab yang aku bela Mujasimah? Ibnu Taimiyah Mujasimah? Karamiyah Mujasimah? Dst, bisa jadi memang iya, bisa jadi nggak. Jawabannya didapatkan hanya dengan perlu jujur pada diri sendiri, dan membuang ego, perhatikan istilah itu, lalu lihat apa yang ditulis dan diyakini orang/kelompok yang dituduh sebagai Mujassim.


Jawabannya ada dua, bisa jadi tuduhan itu salah, maka kita harus membela habis-habisan yang benar, dan membela yang dituduh karena itu bentuk membela kezaliman. Tapi bisa jadi juga tuduhan itu benar, maka kenapa kita harus membela sesuatu yang salah, egokah? Fanatikkah? Gengsikah? Bukankah ini perkara akhirat? Kenapa harus gengsi mengaku salah? Mau sampai kapan membela ego dan taashub? Nah, pada akhirnya semua orang punya hak dan bebas dalam memilih aqidah dan membela aqidahnya dengan argumen, kita cuma bisa mengatakan, bagiku agamaku dan bagimu agamamu. 

Ustadz Fauzan Inzaghi

Read More

Senin, 19 September 2022

Filsafat; Ilmu atau Pendapat Para Filsuf yang Bermasalah

September 19, 2022


Tarbiyah Online - Salah satu sebab kenapa ulama melarang pembelajaran filsafat adalah karena buku-buku filsafat yang lebih cenderung menjelaskan pendapat para filsuf, sehingga dalam pembelajar tersebut sangat sulit membedakan mana filsafat murni yang dibahas sebagai ilmu dan mana mazhab filsafat yang merupakan pendapat pribadi para filsuf ketika melihat hakikat sesuatu. 


Hal ini berlangsung sampai datangnya Imam ar-Razy yang mulai mentanqih ilmu filsafat, sehingga kita pun dengan mudah dapat membedakan antara pembahasan filsafat murni dan pendapat kelompok filsuf dalam pembahasan itu. Makanya, setelah era ar-Razy kitab-kitab filsafat mulai diajarkan dalam dunia Islam tanpa perlu khawatir lagi terhadap murid yang mempelajarinya akan mudah terpengaruh dengan pendapat para filsuf. Karena mereka sudah lebih dahulu diajarkan alat-alat untuk mentanqih sendiri mana filsafat yang diajarkan sebagai ilmu dan mana yang dipelajari sebagai pendapat.


Ada beberapa kitab populer yang mendapat khidmah besar di dunia Islam, karena sering dijadikan kurikulum untuk membuka kunci ilmu filsafat, di antaranya Hidayah Atsiriyah  dan al-Hikmahnya al-Katiby. Kitab-kitab ini diajarkan secara berjenjang, jadi, thalib memang beneran bisa memahaminya. Makanya jangan heran, ketika filsafat Barat menyebar ke seluruh dunia melalui imperialisme di abad 19 M, yang paling sedikit terkena dampak pemikiran adalah dunia Islam dan madrasah-madrasah Islam yang waktu itu menjadikan filsafat sebagai kurikulum pendidikan.


Padahal waktu itu, sebagian dunia malah seperti mensucikan filsafat orang Barat, dan itu terjadi di mana saja, seperti di negara-negara Asia Timur, Anak Benua, Afrika Barat, Latin, Eropa Timur, dst. Bahkan para intelektual di sana menganggap itulah puncak ilmu pengetahuan, sehingga perjuangan-perjuangan kebebasan ala liberal, kesetaraan ala komunis atau sosialis, dll, menyebar di kalangan intelektual di seluruh dunia, bahkan ada yang rela mati untuk nilai-nilai itu. 


Di dunia Islam tentu saja ada yang terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran itu, tapi mereka yang terpengaruh kebanyakannya adalah orang-orang yang sebelumnya tidak pernah mempelajari filsafat yang sudah ditanqih. Sedangkan ulama yang sudah mempelajari filsafat secara berjenjang, mereka biasa saja melihat pemikiran-pemikiran itu, sama sekali tidak silau. Mereka mampu memilah mana yang benar dan mana yang salah, sebagian bahkan mengkonternya. Hal yang demikian sering terjadi, kita bisa membaca kisah-kisah perdebatan para ulama terhadap filsafat Barat, seperti perdebatan ulama al-Azhar ketika masa penjajahan prancis misalnya.


Tentu saja kita sedang membicarakan para ulama Mutakalimin yang mengkonternya setelah memahami mazhab yang dihadapinya tersebut. Bukan seperti sebagian dai yang mengkonter hanya dengan modal doktrin dan fanatisme terhadap perbedaan akidah, biasanya mereka mengkonter narasi pemikiran filsafat dengan retorika, di mana retorika -apalagi jika dilakukan oleh yang bukan ahli- seringkali tidak memakai argumen akal yang kuat, walaupun mampu mempengaruhi pemikiran pendengar, tapi nilai ilmiahnya sering berkurang.


Tentunya berbeda dengan para Mutakalimin seperti Asyraf Ali Tahanawi, Mustafa Shabry, dll, yang merupakan spesialis ilmu akliyat (logika). Mereka berhasil menjawab narasi mazhab yang disebarkan Barat dengan argumen logis yang kuat, sebagaimana ar-Razy dulu menjawabnya, dan sampai sekarang hujjah dan argumen mereka masih susah dilihat celah fallacynya. Kenapa mereka mampu? Karena mereka memahami apa yang dibicarakan, itu memang spesialis para Mutakalimin.


Mereka benar-benar menguasai ilmunya, ilmu yang sudah ditanqih, dipelajari secara berjenjang dan dipersiapkan memang agar mampu menghadapi segala aliran pemikiran baru secara ilmiah, tanpa perlu mengandalkan emosi. Hal ini disebabkan karena mereka sudah tahu apa itu filsafat, tahu cara kerjanya, tahu mana filsafat sebagai ilmu dan sebagai pendapat, mengetahui celah pendapat jika melihat fallacy atau kesalahan berpikir dalam suatu tesis atau argumen pada sebuah teori.


Karena, mereka begitu mengerti tentang tabiat filsafat, sampai ada perumpamaan masyhur di kalangan mereka. Ilmu filsafat diibaratkan sebagai lautan, lautan yang berbeda dengan lautan lainnya, di mana lautan filsafat itu pinggirnya dalam dan sering membuat orang tenggelam, tapi tengahnya dangkal dan bisa menjadi tempat rekreasi seperti pantai, jadi filsafat itu tidak bisa dinikmati saat kita berada di pantainya. Makanya, kalau mau menikmati filsafat, kita harus lebih dulu mempersiapkan sekoci penolong melalui kitab-kitab munaqahah, sehingga kita bisa mencapai tengah lautan dan berekreasi di sana, di pantai tengah laut.


Jadi, teman-teman yang mau mempelajari filsafat, tidak perlu terburu-buru mencobanya, kadang gak penting juga dipelajari, karena gak semua orang membutuhkannya. Kita bisa hidup dan berfilsafat tanpa perlu mempelajari dan membacanya, karena dalam menjalani hidup sehari-hari sebenarnya kita sudah berfilsafat. Adapun jika memang harus mempelajarinya, pasti karena ada kaitan dengan spesialisasi ilmu, seperti karena kita masuk jurusan ilmu sosial atau jurusan hukum, politik, dll, atau karena beberapa pembahasan sains yang membutuhkan filsafat sebagai landasan argumen keilmuan yang logis, atau karena harus mengurus negara. 


Atau karena masuk jurusan ilmu agama, dll, di mana kadang membutuhkan ilmu filsafat sebagai landasan keilmuan dan argumen, agar mampu membuktikan keilmiahan suatu dakwa. Jika memang harus mempelajarinya, maka pelajarilah secara berjenjang melalui buku-buku yang sudah ditanqih. Insyaallah, kita bisa berpikir filosofis atau bisa berfilsafat tanpa harus terpengaruh dengan pemikiran para filsuf yang sebenarnya cuma hasil buah pikir manusia. Walaupun mereka manusia pintar, tapi tetap saja manusia yang bisa salah dan yang tidak perlu diikuti mentah-mentah, apalagi sampai mempertahankannya mati-matian. Biasa saja lah. Wallahualam.


Oleh: Ustad Fauzan Inzaghi

Read More

Minggu, 18 September 2022

"Pembunuh Filsafat" Imam Al Ghazali Mengharamkan Filsafat

September 18, 2022


Tarbiyah Online - Imam Ghazali tidak pernah anti filsafat, yang beliau bantah adalah aliran pemikiran dalam filsafat, alias pemikiran seorang tentang beberapa permasalahan yang dibahas dalam ilmu filsafat. Karena filsafat hanyalah sebuah ilmu dan sebuah disiplin ilmu tidak mungkin dibantah. Membantah filsafat sama dengan membantah matematika sebagai sebuah ilmu, itu konyol untuk dilakukan, yang mungkin dilakukan hanyalah membantah kesalahan seorang dalam menjelaskan ilmu tersebut dan inilah yang dilakukan oleh ulama-ulama kita. 


Lalu, kenapa sebagian ulama ada yang melarang kita membaca buku filsafat? Ada banyak alasan untuk itu:


Pertama, ada banyak ilmu lain yang lebih penting bagi seorang muslim untuk dipelajari sebagai fardhu ain dibanding dengan ilmu filsafat, jadi memilih mana yang lebih prioritas dan bermanfaat bagi kehidupan kita terlebih dahulu. Jangan sampai, gara-gara masalah fardhu kifayah kita melupakan fardhu ain, jangan sampai gara-gara yang sunnah kita melupakan yang wajib. Jadi, ๐˜ข๐˜ธ๐˜ญ๐˜ข ๐˜ง๐˜ข ๐˜ข๐˜ธ๐˜ญ๐˜ข, yang terbaik dalam masalah ini adalah spesialisasi.


Kedua, ilmu filsafat itu ilmu yang detail dan rumit, di mana tujuan kita mempelajarinya untuk mengetahui hakikat sesuatu, jadi butuh beberapa alat untuk bisa memahaminya dengan benar. Sering kali thalibul ilmi ingin mempelajari filsafat tanpa alat yang memadai, karena ingin buru-buru memahaminya, akhirnya dia tidak bisa memahami filsafat dengan benar, yang ada dia hanya menjadi pembebek pendapat para filsuf tanpa nalar kritis. Kenapa? Karena dia tidak mempunyai alat yang memadai, paham filsafat enggak, ujung-ujungnya malah nyasar.


Ketiga, kurikulum atau buku filsafat biasanya ditulis dengan mazhab filsafat tertentu atau perbandingan antar mazhab filsafat. Tentu ini akan menjadi bumerang bagi murid yang belum bisa membedakan mana filsafat sebagai ilmu dan mana pendapat para filsuf. Di beberapa masa, jarang ada buku filsafat yang ditulis dengan membedakan mana pendapat filsuf dan mana ilmu filsafat murni, keadaan ini ditakutkan akan membuat murid kebingungan. Tak jarang si murid tersesat dari akidah yang benar dan malah mengikuti pendapat filsuf, itu akan menjadi masalah baru.


Nah, karena kurangnya buku seperti itu dan  rumit pula dalam mempelajarinya sebab perlunya alat berjenjang untuk memahami filsafat, maka sebagian para ulama berpendapat sebaiknya diharamkan saja membaca dan mempelajari buku filsafat bagi para murid, kecuali bagi yang sudah mempunyai dasar keilmuwan yang kuat. Masalahnya lagi, jika dikatakan demikian, banyak pula murid yang menganggap bahwa dirinya sudah memiliki dasar yang kuat, padahal belum. Maka dari itu, para ulama memutuskan bahwa lebih baik mengharamkannya secara keras.


Tapi pada masa mutaakhirin, saat para ulama mulai membersihkan kitab-kitab dasar (muqarar) filsafat dari pendapat filsuf, akhirnya para ulama punya solusi dan alternatif. Jangankan dibolehkan, bahkan kitab filsafat seperti al-Hidayah malah diajarkan dan dimasukan dalam kurikulum, sehingga setelah itu, para murid dibebaskan saja untuk membaca dan mempelajari filsafat semaunya. Karena kurikulum yang ada berhasil mencetak mereka untuk siap dalam membaca buku filsafat serta membahas permasalahannya, dan itu yang terjadi di era mutaakhirin sampai sekarang.


Jadi, apakah ulama Islam melarang filsafat? Jawabannya, ya dan tidak? Jika dilihat kembali, ulama-ulama yang ketat dalam hukum belajar filsafat pasti berasal dari daerah yang dalam kurikulum madrasahnya tidak ada pelajaran kitab-kitab filsafat yang ditulis oleh ulama kita seperti al-Hidayah. Dan, jika melihat kepada ulama yang membolehkannya, kebanyakan mereka berasal dari daerah di mana kitab seperti al-Hidayah dijadikan kurikulum. Jadi, murid lebih siap dalam mempelajarinya.


Apalagi ulama-ulama ilmu kalam seperti Imam al-Ghazali, ar-Razi dan imam-imam lain, mereka tidak anti filsafat. Jika mereka membantah, maka mereka sedang membantah pendapat para filsuf dengan ilmu alat yang menjadi timbangan ilmiyah, makanya nama kitabnya Tahafut Falasifah, bukan Tahafut Falsafah. Karena, sekali lagi, yang namanya ilmu tidak mungkin bisa dibantah. Jadi salah besar jika mengatakan Madrasah Sunniyah membuat ilmu filsafat mati, yang mati adalah hujjah para filsuf, karena hujjahnya lemah, sehingga dia tidak mampu bertahan. 


Lagian kita mau tanya, tanpa Imam Ghazali dan Imam Razi, apakah buku Ibnu Sina atau al-Farabi yang menjadi penghubung antara filsafat Yunani dan filsafat modern bisa bertahan dan bisa dipahami? Bacalah sejarah filsafat Islam, kita akan menemukan apa yang telah dilakukan dua imam besar ini.


Oleh: Fauzan Inzaghi


Read More

Sabtu, 17 September 2022

Jangan Buru-Buru Menyelesaikan Masalah Umat, Bahaya!

September 17, 2022


Tarbiyah Online - Sebagian ๐˜ต๐˜ฉ๐˜ข๐˜ญ๐˜ช๐˜ฃ ๐˜ช๐˜ญ๐˜ฎ, terlalu fokus pada kampanye mengajarkan agama Islam yang bisa menyelesaikan problematika umat di era modern, bahkan sampai di level dia tidak lagi fokus pada apa yang semestinya ia lakukan sebagai seorang ๐˜ต๐˜ฉ๐˜ข๐˜ญ๐˜ช๐˜ฃ ๐˜ช๐˜ญ๐˜ฎ. Dia sibuk pada sesuatu yang bukan tugasnya. Akhirnya masalah tidak terselesaikan, kemampuan dasar keilmuwan pun tidak terbentuk.


Dia mulai membaca dan membahas permasalahan modern, mulai dari atheisme, takfiry, mujasimah, Islam politik, islamisasi pendidikan, persatuan umat, kontekstualisasi hukum, pluralisme, rafidhah, worldview Islam dalam ilmu pengetahuan, dll, yang intinya masalah yang dihadapi umat hari ini, dengan alasan ingin memahami masalah dan menyelesaikannya.


Salah satu sebabnya, dia mempunyai senior, guru atau ulama yang mampu menyampaikan ajaran Islam yang relevan untuk permasalahan hari ini, jadi dia ingin menjadi seperti mereka. Ingin jadi seperti mereka baik, tapi jangan sampai semangat membaca dan membahas masalah itu membuat ๐˜ต๐˜ฉ๐˜ข๐˜ญ๐˜ช๐˜ฃ ๐˜ช๐˜ญ๐˜ฎ melupakan kewajiban utamanya. Apa itu? Asas atau dasar ilmu Islam!!


Tanpa dasar keilmuwan yang baik, kita tidak akan bisa memahami suatu permasalahan dengan baik secara islami. Lah, bagaimana caranya kita mau memahami pandangan Islam pada suatu permasalahan dengan benar, kita sendiri tidak menguasai dasar ajaran dan ilmu keislaman itu sendiri!!


Akibatnya apa? Kita menjawab permasalahan itu bukan sesuai dengan ajaran Islam, tapi sesuai dengan logika kita sendiri. Lebih bahayanya lagi, kita mempercayai logika itu sebagai ajaran Islam, dan saat kita menyampaikannya pada orang lain, kita mengatakan bahwa inilah ajaran Islam. Apanya yang ajaran Islam? kita bahkan tidak menguasai keilmuwan Islam!! Apalagi jika itu disampaikan oleh orang pandai berbicara, tentunya akan makin celaka dan mencelakakan. Adakah penipuan atas dasar Islam lebih besar dari ini?


Jadi solusinya apa? Ada dua. Pertama, katakanlah itu pendapat Anda pribadi, jadi seluruh pengikut mazhab berlepas dari Anda. Jadi, Anda hanya menjadi teman diskusi, tanpa berbaju mereka dari segi keilmuwan. Maka tidak ada penipuan terhadap awam di sini, karena Anda jujur kalau itu pendapat pribadi Anda, bukan ajaran yang ingin dipahami oleh umat atau ๐˜ด๐˜ข๐˜ธ๐˜ข๐˜ฅ๐˜ถ๐˜ญ ๐˜ข'๐˜ป๐˜ข๐˜ฎ dari umat Islam. Anda telah jujur secara ilmiyah dan tidak melakukan penipuan pada umat di sini. Masalah kemudian diterima atau tidak, itu urusan umat, yang penting Anda tidak melakukan penipuan.


Kedua, belajarlah dari dasar dengan berjenjang, sebagaimana ulama umat selama ini belajar, sehingga Anda memahami betul ajaran seperti apa yang dibawa oleh ulama kita dan ajaran seperti apa yang selama ini diterima umat. Dengan memahami itu, ketika berbicara - selama Anda iltizam dengan pandangan itu - maka Anda bisa mengatakan inilah pandangan Islam berdasarkan ajaran ulama yang selama ini diikuti umat pada permasalahan tertentu. Dengan begitu, kita telah jujur secara ilmiah.


Dan percayalah, itulah jalan yang ditempuh para ulama umat, para ustadz, para senior Anda yang menguasai ilmu agama dalam menjelaskan permasalahan kontemporer. Jadi, ketika pandangan Islam pada sebuah permasalahan aktual, itu beneran berdasarkan manhajnya para ulama, sehingga tidak bertentangan dengan apa yang selama ini umat yakini dan ikuti sebagai ajaran Islam.


Jadi, agar tetap relevan dan tidak keluar dari rel keilmuwan ulama, yang harus dilakukan adalah fokus lebih dahulu pada penguasaan ilmu dasar keislaman dengan menguasai kitab-kitab mu'tamad, seperti  Ushul Baidhawi, Akidah Sanusy, Mustalah Ibnu Salah, Itqan Suyuthi, dst. Itulah jalur yang benar. Tanpa menguasainya, maka jawaban Anda hanya akan menganggu tugas ulama, walaupun Anda berniat baik membantu mereka.


Setelah menguasai itu, baru mulai membaca dan mempelajari masalah kontemporer. Dengan begitu, kita bisa memahami bagaimana pandangan Islam yang dipahami ulama dalam menghadapi permasalahan kontemporer. Kalau tidak percaya, lihatlah betapa banyak orang yang selama ini mempunyai niat baik membantu ulama, malah jadi masalah baru bagi ulama. Dia bercita-cita tinggi, tapi sampai tua dia tidak pernah menjadi ulama


Kenapa seperti itu? Karena cara dia melihat permasalahan, selalu berkutat pada polemik, bukan pada inti masalah. Sebab apa? Dia tidak pernah belajar secara berjenjang, selamanya pandangan agama seperti itu akan jadi masalah bagi umat dan tidak akan pernah jadi solusi. Oh, jalan berjenjang ulama sulit? Ya, memang sudah seperti itu jalan keilmuwan, tidak ada yang mudah.


Lakukan saja tugas sesuai kewajibanmu, masalah rumit serahkan pada ahlinya. Ada waktunya bagimu untuk ikut bergabung dan membantu. Jangan terburu-buru menyelesaikan masalah umat, jika tidak, malah nambah masalah baru. Kita sudah cukup pusing dengan permasalahan yang ada, sekarang malah ditambah kamu. Tak selamanya niat baik menghasilkan yang baik, semua ada caranya kok. Wallahu a'lam.


Oleh: Ustad Fauzan Inzaghi

Read More

Rabu, 25 Desember 2019

Sifat Jaiz Bagi Allah, I'tiqad dalam Aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah

Desember 25, 2019

Aqidah | Jaiz artinya boleh, dapat juga kita artikan dengan harus. Sifat Jaiz bagi Allah hanya satu, yaitu Memperbuat segala sesuatu yang mumkin/baharu atau meninggalkannya. Maksudnya, Allah Ta’ala boleh-boleh saja memperbuat sesuatu terhadap yang baharu/makhluk dan boleh-boleh saja tidak memperbuatnya.

Dalam I’tiqad 50, sifat Jaiz ini terdapat pada urutan ke-41 setelah 20 sifat yang wajib dan 20 sifat yang mustahil bagi Allah SWT.

Contoh Jaiz pada Allah adalah seperti menciptakan zat-zat tertentu, sifat-sifat, segala perbuatan, baik perbuatan idhtirari maupun ikhtiari, rezeki, menghidupkan, mematikan, mempertunjuk, menyesatkan, menghukum atau mengazab, memberi pahala, dan lain sebagainya. Semua itu adalah boleh atau Jaiz bagi Allah Ta’ala, tidak wajib dan tidak pula mustahil.

Maka dari itu dapat kita pahami yang bahwa azab atau hukuman adalah semata-mata dengan Keadilan Allah Ta’ala, dan pahala atau imbalan adalah semata-mata  dengan Karunia-Nya.

Berdasarkan tertibnya, pahala merupakan balasan terhadap keimanan dan keta’atan, sedangkan siksa atau azab merupakan balasan terhadap kemaksiatan.

Dua hal tersebut yaitu pahala dan siksa adalah semata-mata merupakan pilihan Allah SWT. Jikalau saja Allah membalikkan dua keadaan ini, dengan kata lain Allah memperbuatnya tidak berdasarkan tertib, maka hal tersebut adalah karunia/kebaikan Allah, bukanlah suatu kesalahan. Karena tidak wajib bagi Allah memperbuatnya berdasarkan tertib dan tidak pula mustahil.

Allah Ta’ala memiliki hak mutlak atas setiap ciptaan-Nya, Dia melakukan sesuatu atau merubah suatu keadaan kepada keadaan yang lain sesuai kehendak-Nya. 

Dalil ‘Aqli

Jika Allah Ta’ala wajib memperbuat sesuatu terhadap yang baharu atau katakanlah makhluk, maka menjadi wajiblah sesuatu yang baharu tersebut. Begitupula halnya bila Allah mustahil memperbuatnya, maka jadilah sesuatu itu mustahil. Dan ini adalah bathil (tidak benar), berdasarkan apa yang telah kita pelajari bersama melalui artikel-artikel sebelumnya.

Dalil Naqli

Surat Al-Baqarah ayat 284 :
ูَูŠَุบْูِุฑُ ู„ِู…َู†ْ ูŠَุดَุงุกُ ูˆَูŠُุนَุฐِّุจُ ู…َู†ْ ูŠَุดَุงุกُ

“Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya”

Surat Al-Qashas ayat 68 :
ูˆَุฑَุจُّูƒَ ูŠَุฎْู„ُู‚ُ ู…َุง ูŠَุดَุงุกُ ูˆَูŠَุฎْุชَุงุฑُ

“Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya”

Demikian sekelumit pembahasan tentang sifat Jaiz bagi Allah Ta’ala. Insyaallah pada artikel berikutnya akan kita lanjutkan perihal yang berkaitan dengan para Rasul, yakni 4 sifat yang wajib, 4 yang mustahil dan satu yang jaiz bagi mereka ‘alaihimusshalaatu wassalaam.

Bila kita jumlahkan semua yang sudah kita pelajari selama ini melalui artikel-artikel saya tentang I’tiqad 50 Tauhid dasar Ahlussunnah wal-jama’ah mulai dari 20 sifat yang wajib dan 20 sifat yang mustahil, maka pada artikel ini kita sudah sampai pada masalah I’tiqad yang ke-41 yakni meyakini adanya sifat Jaiz bagi Allah.

Wallahua’lambisshawaab!

Oleh Muhammad Haekal, S.Pd.I Pengajar at Pesantren Tradisional Dayah Raudhatul, juga tayang di Pecihitam.org
Read More

Minggu, 08 September 2019

Ternyata Ada Bahaya Besar Dibalik Kalimat "Jangan Merasa Sok Suci"

September 08, 2019

Tarbiyah.onlineSering mendapati kalimat "Jangan Merasa Paling Suci, Kita Cuma Berbeda Jalan Dalam Memilih Dosa…?“ atau "Jangan Merasa Sok Suci" ...?

Kalimat dalam status atau komentar para saudara kita begitu mengusik nalar dan menggelitik hati. Sadar atau tidak, opini dan timpalan kalimat seperti ini akan menggiring orang untuk tidak lagi merasa jijik dengan maksiat dan kasihan kepada pelaku maksiat.

Padahal dalam sebuah hadits disebutkan bahwa tanda serendah-rendah iman adalah merasa benci dengan maksiat dan pelakunya. Oleh karenanya, kalimat "JANGAN MERASA PALING SUCI" secara tidak langsung telah menabrak hadits.

Memang benar, ada ayat Al Qur an yang berbunyi:
ู„ุง ุชุฒูƒูˆุง ุงู†ูุณูƒู… ู‡ูˆ ุฃุนู„ู… ุจู…ู† ุงุชู‚ู‰
Janganlah kamu menganggap dirimu suci, Dia lebih mengetahui siapa yang paling bertakwa (QS: An Najm: 32)

Sekilas, kalimat "JANGAN MERASA PALING SUCI" dalam status atau komentar saudara kita sesuai dengan bunyi ayat di atas. Namun ketika kembali direnungkan lebih jauh ternyata ada qarinah (indikator) lain yang menegaskan bahwa kalimat di atas justru telah fitalbis (dicampurkan antara haq dan batil) dengan licik.

Ayat diatas bermaksud agar orang muslim itu tidak 'ujub dengan kebaikan yang dilakukannya. Jangan mengatakan bahwa diri kita paling baik. Ayat ini difirmankan oleh ALLAH SWT yang kebenarannya tidak diragukan lagi dan tidak bercampur dengan kedustaan sedikitpun.

Sedangkan kalimat "JANGAN MERASA PALING SUCI" dalam status ini telah dicampur dengan "bangkai" yang berbunyi "KITA HANYA BERBEDA DALAM MEMILIH DOSA". Berarti kalimat "JANGAN MERASA PALING SUCI" ini diucapkan oleh pelaku dosa. Bayangkan bila semua pelaku dosa bebas mengucapkan seperti ini. Efek yang muncul begitu mengerikan. Misalnya:
1. Ada guru menghukum muridnya yang bandel dengan berdiri di depan kelas, lantas muridnya berkata "jangan merasa diri paling suci, kita hanya berbeda dalam memilih dosa".

2. Polisi syari'at (Wilayatul Hisbah/ WH) menegur pelaku perjudian dan wanita berpakaian ketat, lantas penjudi dan wanita itupun berkilah, "jangan merasa paling suci, kita hanya berbeda dalam memilih dosa".

3. Suami menegur istrinya agar jangan suka chatingan negatif sama non mahram, istri pun berujar, "jangan merasa paling suci, kita hanya berbeda dalam memilih dosa".

Bayangkan, betapa bahayanya pemikiran yang telah terjangkiti virus liberal tanpa batas ini. Semoga Allah menjaga kita semua dari virus liberal.

Wallahua'lam bishshawab.

Oleh: Mahfudh Muhammad Ahmad
Read More

Sabtu, 07 September 2019

Awas! Aswaja Dan Muhibbin Sufi Palsu: Guruku Lebih Mulia Daripada Sahabat Nabi

September 07, 2019

Tarbiyah.online - Sebuah fenomena baru dari sebagian orang yang mengaku ahlussunnah wal jamaah dan pencinta sufiyyin menganggap bahwa ajaran aswaja dalam menghormati dan mencintai sahabat nabi radhiyallahu 'anhum ajma'in hanya doktrin turunan belaka, bukan karena mereka pantas dihormati, melainkan gak enak sama guru mereka.

Sebenarnya dalam hati mereka ingin memaki Saiyidina Muawiyah radhiyallahu 'anh yang sepengatahuan mereka beliau itu seorang penjahat. Atau ingin menggunjingi Saiyidina Usman radhiyallahu 'anh dengan berbagai macam alasan, misal. Dan lagi, satu-satunya yang membuat mereka ngerem untuk melakukan itu adalah kembali karena gak enak sama doktrin guru.

Dimata mereka, Waliyullah selain daripada Sahabat Nabi itu jauh lebih mulia dibanding Sahabat Nabi, hanya saja mereka tidak berani mengungkapkan.

Hal ini tampak ketika mereka aka sangat marah jika guru mereka dikatakan salah, tapi untuk menyalahkan mawqif sahabat itu sangat mudah, tak jarang mereka menganggap maqam guru mereka lebih tinggi daripada sahabat alhabib radhiyallahu 'anhum ajma'in.

Mereka seolah lupa jika dalam dunia kesufian atau muhibbin ada sebuah kaidah masyhur "nihayatul awliya bidayatul wahsyy", akhir dari maqam auliya awal dari makam Wahsyi (yang hanya bisa memandangi sayidina rasulullah saq dari jauh). Tentu saja para awliya tidak membuat kaidah ini karena doktrin. Tapi kaidah itu setelah meraka mempelajari sirah sahabat dengan detail ditambah lagi kasyaf mereka dari karamah mereka.

Mereka menghormati Saiyidina Muawiyah atau Saiyidina Amru bin 'Ash serta sahabat lainnya bukan karena doktrin, tapi karena muhibbin dan sufi yang merupakan arbab ASWAJA itu, sangat mengenal para sahabat, merekalah manusia yang paling sering membaca manaqib para sahabat nabi, tak ada yang mengenal sahabat nabi melebihi mereka.

Sehingga mereka sadar maqam dari didikan Saiyidina Rasulullah SAW, setelah mempelajari sejarah para sahabat dengan benar dan teliti, mereka sampai pada kesimpulan bahwa debu disepatu sahabat nabi yang semuanya pernah meneguk nikmatnya Nur Muhammadiyah itu jauh lebih mulia daripada mereka semua.

Dan kini datang sekolompok manusia yang mengaku sufiyin, muhubbin, sunniyin, saat berbicara tentang para Sahabat Nabi, seperti berbicara tentang pak RT dikampung mereka, bahkan kadang terhadap pak RT pun lebih sopan, yang menghalangi diri mereka berkata lebih dari itu hanya karena gak enak sama guru, tidak lebih. Sesungguhnya mereka benar-benar tidak mengenal sufiyin, sunniyin dan muhibbin kecuali hanya nama saja.

Hal yang paling gila yang bisa mereka lakukan adalah menuduh kalau perintah tawaquf (diam dulu) saat ada musykil (masalah) dalam sejarah sahabat adalah doktrin!

Tidak kawan! Itu bukan doktrin!

Level terendah dalam buku tarikh yang diajarkan memerintahkan tawaquf dan berhusnuzhan karena memang tahap pertama mengenal mereka itu singkat. Tapi ada tahap selanjutnya, dimana semuanya dibahas dengan rinci dan agak panjang.

Dan tak jarang ada yang sotoy ilmiyah, kalau mereka merasa lebih banyak tahu daripada guru mereka, menganggap bahwa guru mereka tidak tahu masalah musykil ini (tentu didepan guru mereka gak berani ngomong hal ini).

Tidak kawan!! Guru kalian yang punya sanad keilmuan tarikh sahabat itu, pasti tahu masalah musykil itu, dan bahkan lebih dari itu, mereka bahkan tahu dengan detail masalah ini, dan jika kalian bertanya pasti mereka tahu jawaban musykil itu, maka dari itu sampai sekarang makin hari mereka semakin yakin secara ilmiyah dan zauqiyah bahwa menghormati sahabat itu kewajiban.

Saat mereka tidak menjelaskan secara detail pada kalian tentang masalah musykil dalam tarikh sahabat, itu karena waktu itu pembahasan tinggi belum level kalian, tapi tentu seorang guru bersanad telah memberi nasehat pada kalian dalam menghadapi masalah ini. Jika kalian mau naik level saat belajar tarikh sahabat maka datanglah ke guru yang bersanad, jika kalian tidak mau naik level maka cukupkan tawaquf (diam) dan husnuzhan.

Tapi sayangnya kalian melanggar semuanya. Ke guru bersanad kalian tidak datangi, tawaquf juga tidak. Kalian malah ngoceh dan su'uzan. Benar-benar tidak beradab.

Akhirnya malah jauh sekali lari dari manhaj guru mereka yang sufi, muhibbin dan aswaja, dan anehnya mereka masih merasa bahwa mereka mewakili guru mereka.

Tentu benar sebuah kaedah dalam ilmu tasawuf, siapa yang belajar tanpa guru maka setanlah yang akan jadi gurunya. Jika gurunya setan? Lanjut sendiri...!

Sebaliknya jika kamu punya guru, dan gurumu bersanad dan kamu ikuti nasehatnya In syaa Allah kita bisa selalu dalam manhaj yang diajarkan Saiyidina Nabi SAW.

Oleh Ustadz Fauzan, Mahasiswa Program Magister di Suriah
Read More

Selasa, 27 Agustus 2019

Almarhum atau Rahimahullah? Jangan Salah, Ini Penjelasan Yang Benar!

Agustus 27, 2019

Tarbiyah.onlineSering mendapat peerbandingan gambar dengan keterangan singkat berisikan satu dua ayat atau hadits untuk melegitimasi ?

Beberapa meme berbentuk tulisan seperti contoh diatas sering kita dapati. Sebelumnya InsyaAllah vs Insha Aah pernah viral (di blog ini, tulisan tersebut drafting, belum dipublis kembali).

Nah, untuk kalimat RAHIMAHULLAH sama statusnya dgn AL-MARHUM, artinya bisa diartikan sebagai doa (ุงู„ุฅู†ุดุงุก) dan bisa juga diartikan sebagai pernyataan (ุงู„ุฎุจุฑ)

Kalau alasannya tidak boleh diucapkannya kalimat AL-MARHUM adalah krn kalimat tsb bentuk pernyataan bahwa org tsb telah dirahmati Allah swt, maka apa bedanya dengan kalimat RAHIMAHULLAH, toh secara bentuk, kalimat tsb adalah khabariyah (pernyataan). 

Kalau alasannya boleh mengucapkan kalimat RAHIMAHULLAH adalah krn kalimat tsb bentuk doa, artinya berdoa supaya Allah swt merahmatinya, maka apa bedanya dgn kalimat AL-MARHUM, toh kalimat tsb bisa juga dimaksudkan sbg doa. Dalam istilah ilmu Ma'ani disebut dengan istilah Khabriyah lafzhan Insyaiyah ma'nan (ุฎุจุฑูŠุฉ ู„ูุธุง ุงู†ุดุงุฆูŠุฉ ู…ุนู†ู‰).

Jadi, kesimpulannya, boleh dan sunnah hukumnya mengucapkan lafazh Al-Marhum, jika dimaksudkan sebagai doa. 

Bagaimana kalau dimaksudkan kalimat tsb sebagai pernyataan? 

Hukumnya juga boleh dan bahkan sunnah. Knp demikian? Krn pernyataan tsb, maksudnya adalah memuji mayyit bahwa ia termasuk org yg telah mendapatkan Rahmat Allah swt. Atau bisa juga dimaksudkan sebagai kesaksian terhadap si mayyit bahwa dia termasuk org yg telah mendapatkan Rahmat Allah swt. Kedua-duanya (sanjungan dan kesaksian) bisa bermanfaat terhadap si mayit, sebagaimana yg dijelaskan Imam Al-'Aini Al-Hanafi dalam kitab Umdatul-Qari, halaman 197, juz 8.

Pertanyaannya: Bagaimana "kesaksian atau sanjungan baik" terhadap mayit yang tidak sesuai realitanya, artinya mayit tsb org jahat? 

Syaikh Zainuddin berkata: KESAKSIAN BAIK MEMBERI DAMPAK POSITIF TERHADAP MAYIT, WALAUPUN ITU TIDAK SESUAI DENGAN REALITANYA. 

Umdatul-Qari, halaman 197, juz 8.

ูุฅู† ู‚ู„ุช: ู‡ู„ ูŠู†ูุน ุงู„ุซู†ุงุก ุนู„ู‰ ุงู„ู…ูŠุช ุจุงู„ุฎูŠุฑ ูˆุฅู† ุฎุงู„ู ุงู„ูˆุงู‚ุน ุฃู… ู„ุง ุจุฏ ุฃู† ูŠูƒูˆู† ุงู„ุซู†ุงุก ุนู„ูŠู‡ ู…ุทุงุจู‚ุง ู„ู„ูˆุงู‚ุน؟ ู‚ู„ุช: ู‚ุงู„ ุดูŠุฎู†ุง ุฒูŠู† ุงู„ุฏูŠู†، ุฑุญู…ู‡ ุงู„ู„ู‡: ููŠู‡ ู‚ูˆู„ุงู† ู„ู„ุนู„ู…ุงุก ุฃุตุญู‡ู…ุง ุฃู† ุฐู„ูƒ ูŠู†ูุนู‡، ูˆุฃู† ู„ู… ูŠุทุงุจู‚ ุงู„ูˆุงู‚ุน ู„ุฃู†ู‡ ู„ูˆ ูƒุงู† ู„ุง ูŠู†ูุนู‡ ุฅู„ุง ุจุงู„ู…ูˆุงูู‚ุฉ ู„ู… ูŠูƒู† ู„ู„ุซู†ุงุก ูุงุฆุฏุฉ

Ada banyak hadis yg dinukilkan dalam kitab tsb, saya menukil salah satunya saja. Selebihnya silahkan lihat dan murajaah kitab tsb. 

Anas bin Malik berkata: para sahabat pernah melewati jenazah. lalu mereka menyanjungnya dan menyebut kebaikannya. Maka Nabi saw bersabda: "Pasti baginya." 

Kemudian mereka melewati jenazah yang lain. lalu mereka mencelanya dan menyebut keburukannya. Maka Beliau pun bersabda: "Pasti baginya." 

Kemudian Umar bin Khatab bertanya: "Ya Rasulullah, Apa yang pasti baginya?

Beliau menjawab: "Jenazah pertama kalian sanjung dengan kebaikan, maka pasti baginya masuk surga. Sedangkan jenazah kedua kalian menyebutnya dengan keburukan. Maka pasti baginya masuk neraka. Karena kalian adalah saksi-saksi Allah di muka bumi." (HR. Bukhari. 1278)

Kesimpulannya, mengucapkan Al-Marhum adalah sunnah. 

Note: Lajnah Daimah, sumber yg disebutkan dlm gambar tsb, adalah website wahabi. Hati-hati!!

Oleh Teungku Muhammad Hafidh Al Bakri, dewan guru di Dayah Darul Ma'arif (Mamplam Golek) Lam Ateuk, Aceh Besar.
Read More

Minggu, 04 Agustus 2019

Hafiz Quran dan Potret Keburaman Islam Masa Depan Islam

Agustus 04, 2019

Tarbiyah.online – Hafiz quran tapi awam ilmu tauhid, fikih dan tasawuf adalah potret buram masa depan generasi Aceh dan Indonesia 10 tahun ke depan.

Kita tidak ingin terulang sejarah buram, hafiz, qari dan rajin ibadah tapi berpaham radikal, cukuplah ABDUR-RAHMAN BIN MULJAM, POTRET BURAM SEORANG KORBAN PEMIKIRAN KHAWARIJ.

Oleh karena itu, kebenaran pemahaman dan itikad yang baik merupakan sebuah keniscayaan dalam mengaplikasikan ajaran Islam secara benar. Dua perkara ini harus seiring-sejalan. Ketika salah satunya tidak terpenuhi, maka tabiat buruk bisa muncul karena mereka tidak dibimbing oleh ilmu. 

Sejarah mencatat kejahatan ‘Abdur-Rahmรขn bin Muljam, kaum Khawaarij ini telah melakukan pembunuhan terhadap Amรฎrul-Mu`minรฎn ‘Ali bin Abi Thรขlib, yang juga kemenakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

SIAPAKAH ‘ABDUR-RAHMร‚N BIN MULJAM?

Merupakan kekeliruan jika ada yang menganggap ‘Abdur-Rahmรขn bin Muljam dahulu seorang yang jahat. Sebelumnya, ‘Abdur-Rahmรขn bin Muljam ini dikenal sebagai ahli ibadah, gemar berpuasa saat siang hari dan menjalankan shalat malam. Namun, pemahamannya tentang agama kurang menguasai.

Meski demikian, ia mendapat gelar al-Muqri`. Dia mengajarkan Al-Qur`รขn kepada orang lain. Tentang kemampuannya ini, Khalifah ‘Umar bin al Khaththab sendiri mengakuinya.

Dia pun pernah dikirim Khaliifah ‘Umar ke Mesir untuk memberi pengajaran Al-Qur`รขn di sana, untuk memenuhi permintaan Gubernur Mesir, ‘Amr bin al-‘Aash, karena mereka sedang membutuhkan seorang qรขri.

Dalam surat balasannya, ‘Umar menulis: “Aku telah mengirim kepadamu seorang yang shรขlih, ‘Abdur-Rahmรขn bin Muljam. Aku merelakan ia bagimu. Jika telah sampai, muliakanlah ia, dan buatkan sebuah rumah untuknya sebagai tempat mengajarkan Al-Qur`รขn kepada masyarakat”.

Jadi, hafal quran itu penting karena kalamullah, namun dari tinjauan hukum tetap sunat, sementara belajar fardhu ain, berupa Akidah, Tauhid dan Tasawuf,  wajib ain. Agar tidak pincang, bekali generasi islam dengan ilmu fardhu ain setelah itu baru jadi hafiz. Jika tidak, akan lahir ibn muljam lainnya dan akan jatuh korban Ali berikutnya.

Fataammul ya ulil absar...!!!

Oleh Buya Mustafa Husein Woyla, S.Pd.I, Pengajar di Dayah Darul Ihsan Krueng Kale, Aceh Besar.
Read More

Kamis, 25 April 2019

Hati-Hati, Ini 20 Hal yang dapat Sebabkan Kufur Hingga Murtad

April 25, 2019

Tarbiyah.online - Allah menciptakan dan membagi  manusia kepada yang beriman dan tidak beriman, bertakwa dan tidak bertakwa. Hal tersebut adalah hak preogatif Allah swt. Terkadang manusia yang tidak beriman, karena hidayah Allah akan jadi beriman dan begitu pula sebaliknya. 

Murtad menurut bahasa adalah kembali pulang sedangkan menurut istilah adalah keluar dengan sengaja dari Islam dengan sebab perkataan,perbuatan, itikad dan cita-cita. Berikut ini adalah beberapa contoh sebab-sebab murtad :

1. Mengingkar adanya Allah SWT atau ragu pada sifat-sifat wajib bagi Allah SWT.
Tentu saja, perkara mengimani adanya Allah SWT adalah perkara dasar terhadap keimanan, demmikian halnya dengan sifat-sifat yang wajib pada Allah. Sebagai seorang muslim, meragukan sifat-sifat yang wajib ada pada Allah secara akal dan keterangan dalil naqli adalah kekufuran yang besar.

2. Mengingkar ijmak ulama seperti salat lima waktu.
Ijmak ulama lebih kuat daripada dalil tekstual pada ayat dan juga hadits. Sebab ijma' adalah kesesuaian pemamahan akan makna ayat maupun hadits tentang hukum suatu perkara. Seperti wajibnya shalat lima waktu dan juga puasa di bulan ramadhan. Mengingkari hal tersebut, ia telah mengingkari ijma'.

3. Mengaramkan yang halal dan telah ijmak ulama kepada halal seperti nikah dan jual beli.
Demikian halnya dengan perkara muammalah yang sudah ijmak. Sesuatu yang halal seperti jual beli dan menikah adalah ketentuan syar'i. mengharamkannya, sama dengan menentang hukum Allah yang sudah qath'i. Tanpa basa-basi.

4. Menghalalkan yang haram dan telah ijmak seperti zina, liwat.
Kebalikan dari poin sebelumnya, menghalalkan sesuatu yag haram pun bisa dijatuhi hukum murtad.



5. Mengharamkan yang sunat dan telah  ijmak seperti salat sunat rawatib, shalat hari raya.
Sesuatu yang sunat jika dikerjakan mendapatkan pahala, sedang jika ditinggal ia tidak berdosa. Sedangkan mengharamkan sesuatu yang telah makruf itu suatu perkara sunat dalam hukum fiqh, ia dijatuhi kufur.

6. Mencaci Saiyidina Hasan dan Husein
Keduanya adalah cahaya mata dan cucu kesayangan Rasulullah SAW. Mencaci keduanya sama dengan mencaci Rasulullah SAW. Karena disebutkan dalam sebuah riwayat, Hasan dan Husein adalah dua bagian dari Rasulullah. Yang jika keduanya digabung menjadi satu, seolah ia adalah Rasul SAW.

7. Sujud kepada makhluk walaupun tidak merasa ta’dhim.
Yaitu sujud sebagaimana sujud dalam gerakan shalat. Dahi menyentuh tanah. Karena sujud yang sempurna hanya boleh bahkan wajib dilakukan kepada Allah SWT saja. Kepada selainnya haram. Bahkan dikenakan hukumuan kufur.

8. Mencampakkan qur’an dalam kotoran.
Al Quran adalah kalamullah. Mushaf merupakan kumpulan kertas yang dibukukan dengan berisikan tulisan-tulisan kalam Allah. Memuliakan mushaf menjadi sebuah kewajiban. Karena hakikat dari memuliakan mushaf adalah memuliakan Allah. Sedangkan sebaliknya, menghina quran sama dengan menghina Allah SWT.

9. Ragu telah berbuat kufur.
Sebagian menyebutnya was-was atass kekufuran dan murtad. Hal ini dilarang. Karena antara kufur dan man itu punya garis pembatas yang jelas. bertaubatlah, jika pernah mengalami hal tersebut.

10. Setuju atau ridha dengan kekufuran.
Jika telah nyata sebuah kekufuran terjadi, ingkarilah terhadap kejadian tersebut, karena ridha dan setuju akannya menyebabkan kekufuran tanpa sadar.

11. Menunda seseorang untuk masuk Islam.
Jika memiliki kenalan yang ingin masuk Islam dan menjadi muallaf, kawal dengan baik. Arahkan dan bimbing semampunya. Jangan sampai kita yang menyebabkan dia menunda keislamannya.

12. Mengingkar mu’jizat Al-Quran.
Alquran adalah mukjizat terbesar. Mengingkari kemukjizatan Alquran sama dengan mengingkari Allah sebagai Tuhan dan Muhammad sebagi Nabi akhir zaman.

13. Mengingkar walau satu ayat dari Al-Quran.
Setiap ayat yang terdapat dalam Alquran adalah kalamullah. Tidak ada keraguan di dalamnya. Karena Allah SWT telah menjamin keaslian Alquran yang didalamnya tidak ada campurtangan manusia.

14. Mengingkari adanya sahabat Abu Bakar.
Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu adalah sahabat yang menemani Rasulullah SAW ketika hijrah dari Mekkah ke Madinah, Bahkan Rasul SAW menyebut, iman Abu Bakar jika ditimbang dengan seluruh iman seluruh manusia, notabene saat itu ada Umar, Ustman dan Ali juga, maka iman Abu Bakar lebih berat dibanding semua iman manusia.

15. Menuduh Aisyah dengan kebohongan.
Saiyidah A'isyah adalah istri dan kekasih daripada Rasulullah SAW. Mereka adalah manusia-manusia suci sebagai ahlul baitnya Rasulullah SAW.

16. Melumuri Ka’bah dengan kotoran.
Ka'bah adalah baitullah, tempat suci dan kiblat umat Islam. Harus dimuliakan dan dijaga kesuciannya.

17. Sujud kepada matahari.
Sebagaimana bersujud kepada selain Allah, bersujud kepada matahari juga mengakibatkan kekufuran.

18. Rukuk dengan niat ta’dhim kepada makhluk.
Berbeda dengan sujud, ruku' memiliki syarat. Jika ruku'nya sempurna dengan niat dan keta'zhiman kepada makhluk sebagaimana keta'zhimannya kepada Allah SWT, maka ia mendapatkan hukum kufur.

19. Pergi ke gereja dengan pakaian kafir.
Yaitu ikut kedalam perayaan kaum kafir. Tidak hanya gereja, namun juga rumah ibadah agama lainnya.

20. Ragu kepada hari akhir, adanya surga dan neraka dan ragu adanya balasan bagi orang ta’at dan maksiat.
Beriman kepada adanya surga dan neraka adalah iman yang ke lima, yaitu kepada hari akhir. Ragu terhadapnya menunjukkan tidak percaya dan yakin akhirat itu ada. Dan binasalah iman. Surga adalah tempat bagi orang ta'at dan neraka adallah temmpat bagi pemaksiat adalah hukum dan ketetapan Allah yang sudah dijelaskan dalam ayat-ayat-Nya. Dan ijma' ulama ahlussunnah wal jama'ah, kelak di akhirat, di penghujung, hanya ada 2 tempat. Surga kepada yang ta'at, dan neraka bagi yang maksiat.

Ini adalah sebagian kecil contoh penyebab murtad yang terdapat dalam kitab Fathul Mui’n dan Hasyiah I’anatut Thalibin untuk keterangan lebih lanjut tentang masalah ini bisa dipelajari dalam kitab-kitab Tauhid Ahlusunnah Wal Jama’ah baik Asyairah atau Maturidiyah, mudah-mudahan kita dijahui oleh Allah swt dari perkataan, perbuatan dan itikad tersebut karena murtad adalah dosa yang paling besar dan sejelek-jelek keburukan. Wallahua'lam.

Sumber:
Fathul Mu'in dan Hasyiah Ianat tutthalibin.132-138  cet. Haramain. (LBM.mudimesra.com)
Read More