TARBIYAH ONLINE: al ghazali

Fiqh

Tampilkan postingan dengan label al ghazali. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label al ghazali. Tampilkan semua postingan

Senin, 29 April 2024

Syeikh Al Ghazali, Antara Musik, Fikih dan Hadits

April 29, 2024


Tarbiyah Online | Ini adalah poto Syekh Muhammad Al-Ghazali (1917-1996 M.) saat mendengarkan putranya, Alauddin Al-Ghazali, bermain piano. Alauddin Al-Ghazali sendiri adalah Guru Besar Ilmu Komputer dan Sistem Informasi, yang pernah menjabat sebagai Presiden Akademi Ilmu Administrasi Sadat di Kairo, Mesir.


Dalam sebuah kesempatan, Syekh Muhammad Al-Ghazali pernah ditanya tentang sikap Islam terhadap musik, ia pun menjawab:


"...Mungkin ada yang memahami bahwa saya memerangi lagu, musik dan hiburan. Tidak, akan tetapi saya menyadari bahwa bangsa Arab dan Umat Islam ingin sedikit bekerja dan banyak bernyanyi. Sedangkan hiburan dan rekreasi adalah hak orang-orang yang kelelahan, bukan hak orang-orang yang hidup dengan santai!"


Ia melanjutkan, "Lagu hanyalah sebuah susunan kata-kata bermakna. Kata yang mengandung makna baik, maka baik. Dan yang mengandung makna buruk, maka buruk. Orang yang bernyanyi atau mendengar nyayian dengan makna yang baik serta irama yang indah, maka tidak ada masalah baginya! Kita tidaklah memerangi kecuali nyayian picisan yang mengandung makna dan irama murahan." (Lih: 100 Pertanyaan tentang Islam, Muhammad Al-Ghazali, Jil. 1, hal. 247-256)


Semasa hidupnya, Syekh Muhammad Al-Ghazali senantiasa berada di garda terdepan dalam menghadapi pemikiran-pemikiran ekstrem, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Guru Syekh Yusuf Al-Qaradhawi (penulis buku "Fikih Lagu dan Musik") yang sangat produktif menulis ini, kata-katanya selalu tajam dan kritikannya selalu menghujam ke dalam nalar orang-orang yang kerap menyitir Hadits namun tidak diiringi dengan piranti Fikih dalam memahami teks-teks Nabawi tersebut. 


Fenomena itulah yang kemudian mendorong Syekh Muhammad Al-Ghazali untuk menulis buku berjudul "As-Sunnah An-Nabawiyyah Baina Ahl Al-Fiqh wa Ahl Al-Hadits" (Sunnah Nabi, antara Pakar Fikih dan Pakar Hadits). Buku ini pun mendapat beragam respons, mulai dari pujian hingga kecaman.


Namun ternyata Allah punya cara lain dalam menolong dakwah Syekh Al-Ghazali, di akhir hayatnya, Syekh Al-Ghazali ditakdirkan wafat di Arab Saudi, yaitu saat ia mengisi seminar, lalu ada yang menuduhnya bahwa ia telah memerangi Sunnah Nabi. Maka Syekh Al-Ghazali pun membantahnya, dan ketika dia mengatakan: "Kita ingin mewujudkan di dunia ini, Laa Ilaaha Illallaah..." seketika napasnya berhenti, dan itulah kalimat yang diucapkannya sebelum akhirnya dia mengembuskan napas terakhirnya.


Lalu, atas instruksi dari pangeran Abdullah (Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi saat itu), dan juga rekomendasi dari Syekh Abdullah Bin Baz (Mufti Kerajaan Arab Saudi kala itu), maka jasad Syekh Muhammad Al-Ghazali pun diperintahkan untuk dimakamkan di Baqi', Madinah Al-Munawwarah. Uniknya, setiap kali digali kuburan untuknya, tanahnya selalu keras dan tidak bisa digali. Hingga akhirnya ditemukanlah tanah yang mudah digali untuk memakamkan jasadnya, dan tanah itu terletak di antara makam Nafi' Maula Ibnu Umar (Ahli Hadits dari kalangan Tabi'in) dan Imam Malik (Ahli Fikih pendiri Mazhab). 


Sebagaimana diketahui, dalam Ilmu riwayat (dan ini adalah pendapat Imam Bukhari), apabila ada sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik, dari Nafi', dari Ibnu Umar, maka itu adalah sanad riwayat yang disebut sebagai "Silsilah Dzahabiyah" (mata rantai emas, atau sanad sahih dengan kualitas premium grade-1). Seakan-akan di sini terdapat isyarat, bahwa Syekh Muhammad Al-Ghazali semasa hidupnya telah berkiprah dalam memadukan antara Hadits dan Fikih secara harmonis, sehingga di akhir hayatnya dia mendapat kemuliaan untuk dimakamkan di antara dua Imam mulia yang dikenal dalam sejarah Umat Islam itu.

 

Wallahu A'lam. (Ust. Yusuf Al Amien

Read More

Minggu, 18 September 2022

"Pembunuh Filsafat" Imam Al Ghazali Mengharamkan Filsafat

September 18, 2022


Tarbiyah Online - Imam Ghazali tidak pernah anti filsafat, yang beliau bantah adalah aliran pemikiran dalam filsafat, alias pemikiran seorang tentang beberapa permasalahan yang dibahas dalam ilmu filsafat. Karena filsafat hanyalah sebuah ilmu dan sebuah disiplin ilmu tidak mungkin dibantah. Membantah filsafat sama dengan membantah matematika sebagai sebuah ilmu, itu konyol untuk dilakukan, yang mungkin dilakukan hanyalah membantah kesalahan seorang dalam menjelaskan ilmu tersebut dan inilah yang dilakukan oleh ulama-ulama kita. 


Lalu, kenapa sebagian ulama ada yang melarang kita membaca buku filsafat? Ada banyak alasan untuk itu:


Pertama, ada banyak ilmu lain yang lebih penting bagi seorang muslim untuk dipelajari sebagai fardhu ain dibanding dengan ilmu filsafat, jadi memilih mana yang lebih prioritas dan bermanfaat bagi kehidupan kita terlebih dahulu. Jangan sampai, gara-gara masalah fardhu kifayah kita melupakan fardhu ain, jangan sampai gara-gara yang sunnah kita melupakan yang wajib. Jadi, 𝘢𝘸𝘭𝘢 𝘧𝘢 𝘢𝘸𝘭𝘢, yang terbaik dalam masalah ini adalah spesialisasi.


Kedua, ilmu filsafat itu ilmu yang detail dan rumit, di mana tujuan kita mempelajarinya untuk mengetahui hakikat sesuatu, jadi butuh beberapa alat untuk bisa memahaminya dengan benar. Sering kali thalibul ilmi ingin mempelajari filsafat tanpa alat yang memadai, karena ingin buru-buru memahaminya, akhirnya dia tidak bisa memahami filsafat dengan benar, yang ada dia hanya menjadi pembebek pendapat para filsuf tanpa nalar kritis. Kenapa? Karena dia tidak mempunyai alat yang memadai, paham filsafat enggak, ujung-ujungnya malah nyasar.


Ketiga, kurikulum atau buku filsafat biasanya ditulis dengan mazhab filsafat tertentu atau perbandingan antar mazhab filsafat. Tentu ini akan menjadi bumerang bagi murid yang belum bisa membedakan mana filsafat sebagai ilmu dan mana pendapat para filsuf. Di beberapa masa, jarang ada buku filsafat yang ditulis dengan membedakan mana pendapat filsuf dan mana ilmu filsafat murni, keadaan ini ditakutkan akan membuat murid kebingungan. Tak jarang si murid tersesat dari akidah yang benar dan malah mengikuti pendapat filsuf, itu akan menjadi masalah baru.


Nah, karena kurangnya buku seperti itu dan  rumit pula dalam mempelajarinya sebab perlunya alat berjenjang untuk memahami filsafat, maka sebagian para ulama berpendapat sebaiknya diharamkan saja membaca dan mempelajari buku filsafat bagi para murid, kecuali bagi yang sudah mempunyai dasar keilmuwan yang kuat. Masalahnya lagi, jika dikatakan demikian, banyak pula murid yang menganggap bahwa dirinya sudah memiliki dasar yang kuat, padahal belum. Maka dari itu, para ulama memutuskan bahwa lebih baik mengharamkannya secara keras.


Tapi pada masa mutaakhirin, saat para ulama mulai membersihkan kitab-kitab dasar (muqarar) filsafat dari pendapat filsuf, akhirnya para ulama punya solusi dan alternatif. Jangankan dibolehkan, bahkan kitab filsafat seperti al-Hidayah malah diajarkan dan dimasukan dalam kurikulum, sehingga setelah itu, para murid dibebaskan saja untuk membaca dan mempelajari filsafat semaunya. Karena kurikulum yang ada berhasil mencetak mereka untuk siap dalam membaca buku filsafat serta membahas permasalahannya, dan itu yang terjadi di era mutaakhirin sampai sekarang.


Jadi, apakah ulama Islam melarang filsafat? Jawabannya, ya dan tidak? Jika dilihat kembali, ulama-ulama yang ketat dalam hukum belajar filsafat pasti berasal dari daerah yang dalam kurikulum madrasahnya tidak ada pelajaran kitab-kitab filsafat yang ditulis oleh ulama kita seperti al-Hidayah. Dan, jika melihat kepada ulama yang membolehkannya, kebanyakan mereka berasal dari daerah di mana kitab seperti al-Hidayah dijadikan kurikulum. Jadi, murid lebih siap dalam mempelajarinya.


Apalagi ulama-ulama ilmu kalam seperti Imam al-Ghazali, ar-Razi dan imam-imam lain, mereka tidak anti filsafat. Jika mereka membantah, maka mereka sedang membantah pendapat para filsuf dengan ilmu alat yang menjadi timbangan ilmiyah, makanya nama kitabnya Tahafut Falasifah, bukan Tahafut Falsafah. Karena, sekali lagi, yang namanya ilmu tidak mungkin bisa dibantah. Jadi salah besar jika mengatakan Madrasah Sunniyah membuat ilmu filsafat mati, yang mati adalah hujjah para filsuf, karena hujjahnya lemah, sehingga dia tidak mampu bertahan. 


Lagian kita mau tanya, tanpa Imam Ghazali dan Imam Razi, apakah buku Ibnu Sina atau al-Farabi yang menjadi penghubung antara filsafat Yunani dan filsafat modern bisa bertahan dan bisa dipahami? Bacalah sejarah filsafat Islam, kita akan menemukan apa yang telah dilakukan dua imam besar ini.


Oleh: Fauzan Inzaghi


Read More

Sabtu, 24 Maret 2018

ZUHUD MENJADI PENGHALANG KEMAJUAN UMAT ISLAM?

Maret 24, 2018
Diantara umat Islam, masih banyak yang bertanya tentang kebolehan mengejar dan memiliki perkara duniawi. Bolehkah? Atau memang Islam melarang umatnya mengejar dan memiliki dunia?

Foto Ichsan Adnan.

Memaknai Zuhud dan Faqir Yang Sebenarnya

Perlu diketahui bagi setiap umat Islam, bahwasanya islam tidak mengharamkan  kepemilikan dunia kepada pemeluknya. Dunia tetap memiliki peran bagi umat islam, dan umat berhak atas dunia. Hanya saja umat islam dilarang menjadi budak dunia, yang terus mengejar dunia hingga melupakan tujuan awalnya, yaitu menjadi hamba berbakti dan ta’at kepada Allah dan memperoleh kebahagiaan hakiki di akhirat kelak.

Tujuan utama manusia diciptakan Allah adalah untuk ta’abbud, yaitu beribadah dan menyembah Allah SWT. Sebagaimana dietapkan oleh Al Quran Surat Adz-Dzariyat ayat 54 "Tidaklah Ku ciptakan jin manusia, melainkan hanya untuk menyembah kepada-Ku"

Hidup di dunia adalah ibarat singgah di pelabuhan sementara untuk mengambil bekal menuju perjalanan panjang, akhirat. Demikian banyak diutarakan oleh ulama-ulama Sufi.

Keseimbangan antara dunia dan akhirat menjadi hal yang penting diketahui oleh umat islam kebanyakan, dikarenakan di satu sisi umat manusia yang terlalu dok dengan dunianya, melupakan tujuan akhirat yang seharusnya menjadi tujuan utama. Sedangkan di pihak lain, beberapa umat islam meninggalkan perkara duniawi dan hanya memfokuskan hidupnya kepada akhirat di balik jubah zuhud yang diinterpretasinya.

Hal ini sering dijadikan fokus kritik terhadap kaum Sufi oleh Syeikh Muhammad al Ghazali, ulama kenamaan Al Azhar Mesir dalam bukunya Segarkan Imanmu terbitan Penertbit Zaman. Padahal beliau selain seorang faqih, ahli hadits juga merupakan seorang sufi, namun secara fair beliau mengkritik keras penafsiran istilah zuhud yang membawa umat kepada kemunduran.

Demikian juga dengan faqir, makna faqir adalah merasa butuh kepada Allah setiap saat, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzili, bukan tidak mempunyai harta dan kekuatan sama sekali. Maka dari itu dalam kehidupan Syeikh Abul HAsan Asy-Syadzili ia dikenal sebagai seorang sufi yang kaya harta. Namun hartanya tidak menjadikan ia terikat padanya.

Dalam kehidupan para sahabat pun kita mengenal Abu BAkar dan Utsman bin Affan yang mempunyai harta berlimpah, dimana semua harta yang ia miliki bisa diwariskan kepada umat. Menjadi salah satu tonggak berdirinya dinul islam. Keduanya senantiasa membantu perjuangan Nabi SAW. Hal serupa juga terdapat pada Khadijah istri pertama dan tercinta yang dimiliki oleh Nabi SAW.

Manusia Sebagai Khalifah di Muka Bumi

Contoh teladan terbaik umat manusia adalah Rasulullah Muhammad SAW yang merupakan manusia paling sempurna dan paling bertaqwa kepada Allah SWT. Setiap yang ada pada dirinya adalah keteladanan. Rasulullah SAW selain mengemban amanah sebagai Rasul yang membawa risalah ukhrawi, juga bertindak sebagai manusia yang bekerja di dunia untuk kepentingan duniawi.
Muhammad menjadi seorang pedagang, yang notabene adalah perkara duniawi, menjadi pemimpin negara, bertindak sebagai suami dan ayah.

Dari situ kita melihat pengaruh keduniwaian juga melekat pada diri Rasul SAW dan beliau memberikan contoh terbaik. Hanya saja, Rasullahu Muhammad SAW tidak menjadi budak dunia, sehingga ia lupa dengan tugas utamanya sebagai Rasul yang mengemban tugas ukhrawi dari mengajarkan ummat untuk mengenal Allah dan beribadah kepada Allah SWT.

Nabi Muhammad SAW pun penuh totalitas dalam bekerja sebagai Pemimpini Negara, Panglima Perang atau sebagai Pedagang di masa mudanya. Terlihat, ketika ia menjadi pedagang, ia mendapatkan untung yang sangat banyak.

Inilah yang menjadi interpretasi paling tepat dari firman Allah yang lain dalam Surat Al Baqarah ayat 30, yaitu "Sesungguhnya Aku akan menjadikan khalifah di muka bumi..."

Benang Merah Zuhud dan Misi Khalifah

Benang merah yang menjadi penghubung antara keduniawian dan ukhrawi yang dikerjakan Nabi SAW, adalah mengisi perkara dunianya dengan nilai-nilai akhirat, sehingga segala bentuk pekerjaan yang ia lakukan mengandung nilai ibadah, hal ini berguna bagi pribadinya.

Bagi umat, totalitas pekerjaan yang dilakukan oleh Nabi SAW didapatkan hasilnya dengan sangat puas dan bermanfaat. Muhammad SAW menjadi pemimpin yang adil, menjadi panglima perang yang cerdas dan gagah perkasa, menjadi pedagang yang jujur dan amanah. Ia pun berperan sebagai suami dan ayah yang bijak bagi keluarganya.

Disinilah dunia bisa berubah menjadi akhirat, ketika setiap pekerjaan keduniawian diisi dan dihiasi dengan nilai ukhrawi.

Para sahabat radhiyallahu’anhum pun yang sejatinya adalah didikan langsung dari Nabi SAW tidak semuanya dididik menjadi seorang faqih nan ‘alim dalam ilmu agama. Melainkan mereka sangat beragam. Ada diantara mereka yang menjadi pedagang dan saudagar sukses, ada yang menjadi pemimpin penerus beliau yang sangat hebat dan bijak, ada yang menjadi pekerja yang jujur di segala lini kehidupan. Ini juga menjadi bukti, bahwa Nabi SAW dan ajaran Islam yang dibawa olehnya tidak mengekang keduniawian.

Umat Islam harus mampu menguasai berbagai elemen penting dalam kehidupan, agar tidak ditindas oleh kaum kuffar yang menjadi dunia sebagai Tuhan dan tujuannya. Menguasai ekonomi, pendidikan bahkan teknolohi, hanya bisa dicapai melalui totalitas belajar dan bekerja.

Begitulah konsep keseimbangan yang dibawa oleh Islam antara dunia dan akhirat.

Seorang arif berujar, "Niatkanlah dunia yang kau kejar dan pergunakanlah yang telah kau gapai untuk kemenangan akhiratmu kelak."

Wallahu a'lam
Read More