2018 - TARBIYAH ONLINE

Fiqh

Kamis, 06 September 2018

KETAHUILAH 7 AMALAN PADA HARI JUM'AT, LALU AMALKAN

September 06, 2018


Tarbiyah.Online - Hari Jum'at adalah salah satu hari daripada hari raya bagi kaum Muslim. Disebut hari raya, karena hari Jum'at selain memiliki kekhususan bagi kaum muslimin terutama yang laki-laki untuk berkumpul dan bersama-sama datang ke mesjid untuk beribadah, hari Jum'at juga memiliki berbagai kelebihan dan keutamaan. Bahkan banyak sekali amalan yang Rasulullah SAW ajarkan untuk diamalkan khusus di hari mulia itu.

:فــُوائــــــــد كــبــــــــــــيرۃ تختص بسيد الأيام  يوم الجمعة
Faedah Agung Yang Khusus di Amalkan di Hari Jum'at

١من قال بعد غسل الجمعة مائة مرة يامهيمن رزقه الله المهابة والجلا 

1. Barangsiapa yang membaca Ya Muhaimin 100x setelah mandi jum'at, maka Allah SWT akan memberikan kewibawaan dan kemulyaan.

٢. من قرأ بين أذاني الجمعة سورة القدر ٧ مرات، قضى الله دينه

2. Barangsiapa yang membaca surat Al-Qadar 7x antara 2 adzan di hari jum'at, maka Allah SWT akan melunasi semua hutangnya.

٣من قال بعد صلاة الجمعة ٣٣ مرة يا باطن، جعله الله من أهل  الباطن

3. Barangsiapa yang berucap Ya Baathin 33x setelah shalat jum'at, Allah swt akan menjadikannya dari ahli bathin.

٤من قرأ وهو ثان رجليه بعد صلاة الجمعة وقبل أن يتكلم الفاتحة  والإخلاص والفلق والناس كل واحدة ٧ مرات، حفظه الله من 
كل سوء  إلى الجمعة القابلة

4. Barangsiapa setelah shalat jum'at membaca  Al-Fatihah, Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Naas masing 7x tanpa merubah posisi duduknya (tasyahhud akhir) dan tanpa berbicara sebelumnya, maka Allah SWT akan menjaganya dari semua kejelekan sampai jum'at berikutnya.

٥من قال بعد الجمعة مائة مرة اللهم أكفني بحلالك  عن حرامك  واغنني بفضلك  عمن سواك، لم تمض عليه جمعة إل وأغناه الله أي: سخر له رزقآ

5. Barangsiapa setelah sholat jum'ah membaca ALLAHUMMA AKFINIY BIHALAALIKA 'AN HARAMIKA WAGHNINIY BIFADLIKA 'AMMAN SIWAAK, maka segala kebutuhannya akan terpenuhi hingga hari berikutnya.

٦.  من قال ساعة الدعاء  للمؤمنين والمؤمنات في الخطبة : ياغني  يامغني أربعين مرة؛ يقول في رأس كل عشر منها : أغنني ، إلا  وسع  الله  عليه  رزقه

6. Barangsiapa yang berdoa YAA GHONIYYU YAA MUGHNIIY 40X, setiap 10 dari bacaan tersebut ditambahi AGHNINIY, ketika do'a mukminin mukminaat pada khutbah kedua, maka Allah SWT akan meluaskan rizkinya.  

٧من صلى على النبي صلى الله عليه وسلم بعد عصر الجمعة (بأي صيغة ) ثمانين مرة، غفر له ذنوب ثمانين سنة ، فإن لم يكن عليه مايقابل هذا غفر ﻵبائه ورفع في درجاته، وورد أن من صلى بهذه الصيغة : (اللهم صل على سيدنا محمد النبي الأمي وعلى آله وصحبه وسلم تسليما) بعد عصر الجمعة كتب له عبادة ثمانين سنة مع ما ذكر.

7. Barangsiapa yang bersholawat kepada Nabi SAW setelah ashar hari jum'at 80x, maka Allah SWT akan mengampuni dosanya 80 tahun, jika memang si pembaca tidak memiliki dosa sebanyak itu, maka keutamaan tersebut akan diberikan kepada kedua orangtuanya dan Allah SWT akan mengangkat derajat mereka. 

ومن اكثر الصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم يكفى همه ويغفر ذنبه ويقضى دينه وكانت له شفاعة  عند النبي صلى الله عليه وسلم وكان اقرب منزلا من النبي صلى الله عليه وآله وسلم يوم القيامة
 

Ada riwayat bahwasan-nya yang membaca sholawat dengan sighoh ini ALLOOHUMMA SHOLLI 'ALAA SAYYIDINAA MUHAMMADIN NABIYYIL UMMIY WA 'ALAA AALIHI WASOHBIHI WA SALLIM TASLIIMAA setelah asar hari jum'at, maka akan ditulis untuknya pahala ibadah 80 tahun.
"Barangsiapa yang memperbanyak sholawat atas Nabi SAW, maka Allah SWT akan menyelesaikan semua urusannya, mengampuni segala dosanya, melunasi hutangnya, dan sholawat tersebut akan menjadikan sebab dia memperoleh syafaat Nabi SAW, dia kan berada paling dekat kedudukan-nya di sisi Nabi SAW pada saat hari kiamat".

مستفاد من مجالس  الحبيب  زين بن سميط والحبيب سالم الشاطري  حفظهم الله
Disadur dari majlis Habib Zein bin Sumaith dan Habib Saalim As-Syaatiri

Read More

Sabtu, 28 Juli 2018

Komunitas Raisul Fata Ziarah ke Dayah MUDI Mesra dan Bertemu Abu MUDI

Juli 28, 2018

Komunitas Raisul Fata (Komunitas Pemuda Pencinta Ilmu Agama), melakukan pertemuan singkat Guru Besar Syeikh Hasanoel Bashry atau yang kita kenal dengan nama Abu Mudi, seorang Ulama besar nan kharismatik Aceh yang memimpin pesantren MUDI Mesra Samalanga, Kabupaten Bireuen.

Menurut cerita yabg disampaikan Haikal Btj (salah seorang anggota komunitas), pertemuan ini awalnya tidak direncanakan, karena ia dan teman-teman hanya berenca ke Jeunieb untuk melakukan ziarah ke keluarga salah seorang teman yang baru meninggal dunia beberapa hari silam.

"Kami sampai di MUDI sudah tengah malam, hampir pukul 3.00" sebut Haikal. Teman-teman menginap di salah satu bilik santri MUDI, yang juga merupakan teman lama dari Ichsan yang ikut dalam rombongan.

"Dalam rombongan tersebut, terdapat Teungku Fahmi yang merupakan salah satu alumni MUDI yang sudah dekat dengan teman komunitas saat mengisi pengajian di RTA (Rabithah Thaliban Aceh) beberapa bulan lalu. Sehingga kami pun menyempatkan diri datang ke salah satu Dayah terbesar di Aceh."

"Teungku Fahmi lah yang mengajak kami bertemu Abu, secara pribadi di ruang Abu. Dan ini sangat mengejutkan bagi kami."

Sambung Haikal, "Pertemuan itu memberi kesan yang luarbiasa. Apalagi dalamkesempatan tersebut teman-teman sempat memperkenalkan Komunitas Raisul Fata kepada Abu secara singkat, melalui lisan Teungku Fahmi."

Abu terlihat sangat mendukung kegiatan keagamaan, terutama kajian dan dakwah, apalagi yang digerakkan oleh kaum muda terutama mahasiswa di kawasan perkotaan.

"Dakwah aswaja (Ahlussunnah wal Jama'ah) adalah suatu keharusan ditengah terpaan angin topan dan badai pemikiran yang mengerogoti kemurnian Islam yang indah dan fitrah. Demikian halnya kemerosotan akhlak dan abai terhadap perkara ibadah." Demikian pesan Abu.

"Berkah pertemuan singkat ini membuat semangat teman-teman komunitas semakin terpacu untuk melaksanakan kajian dan dakwah." Ichsan menimpali.

"Semoga pada saat kajian Tastafi awal bulan nanti di Mesjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, teman-teman komunitas bisa kembali berjumpa, berbincang, dan meminta nasihat, serta doa dari Abu. InsyaAllah". Harap anggota komunitas.

Terimakasih telah dimuat di www.bacakota.top
Read More

Jumat, 27 Juli 2018

Kajian Komunitas: NAR (Nak Awak Rasa?) Gambaran Siksa Neraka dan Penghuninya

Juli 27, 2018


Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh.

Kajian Spesial NAR (NERAKA) Nak Awak Rasa?

. عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَهْوَنَ أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا مَنْ لَهُ نَعْلَانِ وَشِرَاكَانِ مِنْ نَارٍ يَغْلِي مِنْهُمَا دِمَاغُهُ كَمَا يَغْلِ الْمِرْجَلُ مَا يَرَى أَنَّ أَحَدًا أَشَدُّ مِنْهُ عَذَابًا وَإِنَّهُ لَأَهْوَنُهُمْ عَذَابًا.

Dari An-Nu'man bin Basyir RA, dia berkata, "Rasulullah SAW telah bersabda, 'Sesungguhnya siksa penghuni neraka yang paling ringan adalah seseorang yang dipakaikan sepasang terompah yang terbuat dari api hingga otaknya mendidih sebagaimana mendidihnya air yang sedang direbus. Pada saat itu, orang tersebut mengira bahwasanya dialah orang yang mendapat siksaan yang paling pedih, padahal ia adalah penghuni neraka yang paling ringan siksanya.'' (Muslim 1/135)
_______
*Save The Date!*
Sabtu, 28 Juli 2018
Pukul 09.00 WIB s/d Selesai
*Masjid Baitul Allam Gp. Kuta Alam*
Banda Aceh

Bersama:
*Ustadz H. Mursalin Basyah, Lc, M.Ag*
Alumni Universitas Al Azhar Mesir

Presented by: Raisul Fata
Cp: T. Arif Billah
085277804540

Media Partner: At_thalib
Masjid Baitul Allam
Jl. Potemereuhom No.13, Kuta Alam, Kota Banda Aceh, Aceh 24415

Kami berharap kepada seluruh muslimin dan muslimat untuk mengajak juga teman, sahabat dan keluarga untuk menghadiri majelis pengajian yang mulia ini.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)

Jazakumullah khairan katsir.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wb.

PENGURUS KOMUNITAS PENGAJIAN RAISUL FATA
Read More

Komunitas Raisul Fata Terbentuk, Cerita dan Misi Besar Anak Muda

Juli 27, 2018

Raisul Fata yang berartikan Pemimpin Para Pemuda. Adalah sebuah mimpi besar yang kami canangkan. Membentuk pola kepemimpinan dunia dan ukhrawi bagi diri sendiri dan teman-teman yang bersedia mengikuti mimpi ini. Demikian makna nama yang kami pilih.

Raisul Fata tersusun dari 6 orang pengurus inti:

Muhammad Jufri Azinar kelahiran tahun 1994 asal kabupaten Pidie, alumni Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Universitas Syiah Kuala. Fadhlullah Apriandy, Raiyan Rifqi dan Teuku Arif Billah pemuda kelahiran tahun 1995 yang juga berasal dari Pidie. Dan keduanya merupakan alumni universitas Syiah Kuala dengan jurusan yang sama yaitu Tehnik sipil. Ketiganya juga tercatat sebagai alumni SMAN 2 Modal Bangsa.

2 pengurus lainnya adalah Haikal dan Ichsan Adnan yang sampai saat ini masih tercatat sebagai mahasiswa aktif di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unsyiah. Ichsan juga tercatat sebagai mahasiswa UIN Ar-raniry di jurusan Hukum Ekonomi Islam.

Terbentuknya komunitas ini diawali kehadiran ustadz kondang yang fokus pada dunia anak muda, ustadz Hanan Attaki yang tenar di Jawa Barat meskipun berdarah dan besar di Aceh sebelum berguru ke Al Azhar Mesir, tahun 1999.


Pertemuan secara tatap muka dengan Ustadz Hanan saat beliau mengisi kajian di Mesjid Raya Baiturrahman yang ikut menyinggung tentang komunitas gerakan pemuda hijrah yang beliau bentuk di sekitaran Kota Bandung. Dengan tujuan utamanya merangkul para pemuda agar mencintai ilmu agama. Atau dikenal dengan nama "Hijrah".

Dengan harapan komunitas raisul fata ini dapat menjadi wadah berkumpulnya para pemuda untuk mengenal keindahan Islam dan kebutuhan kita terhadap Islam secara utuh. Khususnya mahasiswa agar tidak jatuh pada komunitas-komunitas tidak bermanfaat dan hiburan semata.


Hingga hari ini, agenda komunitas yang sudah berjalan antara lain:

Kajian 2 mingguan (di hari Sabtu berpusat di Mesjid Baitul Alam, Kuta Alam, Banda Aceh).
- Ikut meramaikan pengajian yang diselenggarakan komunitas lainnya. Seperti Syifaul Qulub dan RTA (Rabithat Thaliban Aceh) atau MMR (MAjelis Mahabbah Rasulullah).
- Menjadi media partner bagi IKAT (Ikatan Keluarga Alumni Timur Tengah) Aceh.
Mengaktifkan akun Instagram (@raisul.fata) dan Fanpage FB (Raisul Fata) guna menyebarkan konten agama kepada pengguna media sosial terutama IG dan FB.
Mengaktifkan website www.raisulfata.com sebagai media referensi dan dokumentasi kajian serta ilmu agama yang berpaham moderat (Ahlussunnah wal Jama'ah)
Read More

Kumpulan Foto Komunitas Raisul Fata Berziarah ke Dayah MUDI Mesra

Juli 27, 2018
Teman-teman Raisul Fata berkujung ke Dayah (Pesantre) terbesar di Aceh saat ini, MUDI (Ma'had Ulumud-Diniyah Islamiyah) Mesra, Samalanga, Bireuen. Bahkan teman-teman sempat bertemu dengan Abu Mudi, pimpinan dayah yang merupakan sosok ulama kharismatik di Aceh yang telah melahirkan banyak cendikiawan Islam dan teungku-teungku di Aceh melalui rahim MUDI.

Abu Mudi juga merupakan ketua umum sekaligus pengisi kajian tingkat tinggi Tastafi (Tauhid Tasawuf dan Fiqh) di Mesjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh yang diadakan malam Sabtu (Jum'at malam) di setiap awal bulan (minggu pertama setiap bulannya).


Foto Bersama Abu di ruangan beliau

Mendengarkan nasihat dari Abu

Foto di depan Dayah Mudi

Foto di depan Mesjid Poe Teumeuruhom, Komplek Dayah MUDI

Susana Belajar Mengajar Santri MUDI Mesra











Read More

Jumat, 29 Juni 2018

APAKAH WANITA HAID HARUS MENGQADHA PUASA DAN SHALATNYA?

Juni 29, 2018

Tarbiyah.Online - Wanita haid dan nifas memang dilarang melaksanakan shalat serta berpuasa, akan tetapi kewajiban yang harus mereka lakukan setelah selesai haid dan nifas adalah mengqadha puasa yang ditinggalkan, bukan mengqadha shalat. Hal tersebut berdasarkan riwayat hadis serta ijma‘ para ulama.

Aisyah Ummul Mukminin radhiyallâhu ‘anhâ;

عن معاذة العدوية قالت سألت عائشة فقلت: ما بال الحائض تقضي الصوم ولا تقضي الصلاة؟ فقالت: أحرورية أنت؟ قلت: لست بحرورية، ولكني أسأل، قالت: قد كان يصيبنا ذلك مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فنؤمر بقضاء الصوم ولا نؤمر بقضاء الصلاة
Dari Mu‘adzah al-‘Adawiyah, ia bertanya kepada Aisyah; Ada apa gerangan mengapa wanita haid harus mengqadha puasanya namun tidak mengqadha shalatnya? Aisyah menjawab; Apakah kamu Harûriyyah? Bukan, saya hanya bertanya. Aisyah menjelaskan; Memang seperti itu syariat yang kami dapati bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita diperintahkan mengqadha puasa, bukan mengqadha shalat
(Abdurrazzaq, al-Mushannaf, vol.1, hal.331)

Al-Imam Muhammad Ibn Idris Ibn al-‘Abbas al-Syafi‘i (w.204H);

وكان عاما في أهل العلم أن النبي لم يأمر الحائض بقضاء الصلاة وعاما أنها أمرت بقضاء الصوم، ففرقنا بين الفرضين استدلالا بما وصفت من نقل أهل العلم وإجماعهم
Sudah jamak diketahui dari para ulama bahwa Nabi tidak memerintahkan wanita haid mengqadha shalatnya, dan juga jamak diketahui bahwa wanita haid diperintahkan mengqadha puasa. Kami membedakan antara dua ibadah fardhu ini berdasarkan periwayat dari para ulama dan ijma‘ mereka yang telah disebutkan sebelumnya
(Al-Syafi‘i, al-Risâlah, hal.119)

Al-Imam Abu Isa Muhammad Ibn Isa al-Tirmidzi (w.279H);

والعمل على هذا عند أهل العلم، لا نعلم بينهم اختلافا أن الحائض تقضي الصيام ولا تقضي الصلاة
Para ulama mengamalkan hadis ini, dan tidak kami ketahui adanya perbedaan pendapat mereka dalam kewajiban mengqadha puasa bagi wanita haid, sedangkan shalat tidak diqadha
(Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, vol.3, hal.154, pada nomor hadis 787)

Al-Imam Abu Bakr Muhammad Ibn Ibrahim Ibn al-Mundzir al-Naisaburi (w.319H);

وأجمع أهل العلم على أن عليها قضاء الصوم لإجماعهم، وسقط عنها فرض الصلاة لثبوت السنة والإجماع
Wanita haid yang tidak berpuasa wajib mengqadha puasanya berdasarkan ijma‘ para ulama, sedangkan kewajiban -qadha- shalat gugur bagi mereka berdasarkan sunnah dan ijma‘
(Ibn al-Mundzir, al-Awsath Fî al-Sunan wa al-Ijmâ‘ wa al-Ikhtilâf, vol.7, hal.191)

Al-Imam Abu al-Hasan Ali Ibn Khalaf Ibn Abdil Malik Ibn Batthâl al-Qurthubi (w.449H);

وأجمعوا أن عليها قضاء ما تركت من الصيام، ولا قضاء عليها للصلاة
Para ulama berijma‘ bahwa wanita haid wajib mengqadha puasa yang ditinggalkannya, namun tidak dengan shalat
(Ibn Batthal, Syarh Shahîh al-Bukhârî, vol.1, hal.419)
Al-Imam Abu Muhammad Ali Ibn Ahmad Ibn Sa‘id Ibn Hazm al-Andalusi (w.456H);

وأجمعوا أن الحائض تقضي ما أفطرت في حيضها
Dan para ulama berijma‘ bahwa wanita haid wajib menqadha puasa yang ditinggalkannya selama haid
(Ibn Hazm, Marâtib al-Ijmâ‘, hal.40)

ولا قضاء إلا على خمسة فقط، وهم الحائض والنفساء فإنهما يقضيان أيام الحيض والنفاس، لا خلاف في ذلك من أحد...
Tidak ada qadha selain yang lima; wanita haid dan nifas, mereka wajib mengqadha -puasa yang ditinggalkan- selama haid dan nifas. Tidak ada perbedaan yang muncul dalam masalah ini...
(Ibn Hazm, al-Muhallâ Bi al-Atsâr, vol.6, hal.185)

Al-Imam Abu Bakr Ala’uddin Ibn Mas‘ud Ibn Ahmad al-Kasani (w.587H)

Al-Imam al-Kasani ketika mengomentari atsar dari Aisyah dengan Mu‘adzah yang disebutkan di atas mengatakan;

أشارت إلى أن ذلك ثبت تعبدا محضا، والظاهر أن فتواها بلغت الصحابة ولم ينقل أنه أنكر عليها منكر فيكون إجماعا من الصحابة رضي الله عنهم
Beliau mengisyaratkan bahwa aturan tersebut murni ta‘abbud. Secara lahir, fatwa Aisyah tersebut sampai kepada para sahabat lain, dan tidak ada riwayat pengingkaran dari mereka, sehingga jadilah apa yang disampaikan itu sebagai ijma para sahabat radhiyallâhu ‘anhum
(Al-Kasani, Badâi’ al-Shanâi’ Fî Tartîb al-Syarâi‘, vol.2, hal.89)


Al-Imam Abu Muhammad Baha’uddin Abdurrahman Ibn Ibrahim Ibn Ahmad al-Maqdisi (w.624H);

الحائض والنفساء تفطران وتقضيان إجماعا، وإن صامتا لم يجزئهما إجماعا
Wanit haid dan nifas mesti berbuka dan mengqadha puasa tersebut berdasarkan ijma‘, dan jika mereka tetap berpuasa maka belum sah berdasarkan ijma‘
(Baha’uddin al-Maqdisi, al-‘Uddah Syarh al-‘Umdah, vol.1, hal.41)
     
Al-Imam Abu Muhammad Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah al-Maqdisi (w.630H);

أجمع أهل العلم على أن الحائض والنفساء لا يحل لهما الصوم وإنهما يفطران رمضان ويقضيان
Ulama berijma‘ bahwa wanita haid dan nifas tidak halal berpuasa, sehingga mereka memang harus berbuka lalu mengqadha puasa tersebut
(Ibn Qudamah, al-Mughnî Syarh Mukhtashar al-Kharqî, vol.3, hal.83)

Al-Imam Abu Abdillah Syamsuddin Muhammad Ibn Abdillah al-Zarkasyi (w.772H);

القضاء واجب على الحائض والنفساء بالإِجماع
Mengqadha puasa wajib bagi wanita haid dan nifas berdasarkan ijma‘

(Al-Zarkasyi, Syarh Mukhtashar al-Kharqî, vol.1, hal.430)

Wallahu a'lam
Oleh Ustadz Ashfi Bagindo Pakiah
Read More

Kajian Komunitas: Ramadhan, Habis Manis Sepah Dibuang

Juni 29, 2018

Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh.

Insya Allah Komunitas Pengajian Raisul Fata akan mengadakan pengajian umum yang akan diasuh/dibimbing oleh Al Fadhil Ustadz Muhammad Rizal AG, LC, MA pada :
Hari : Sabtu, 30 Juni 2018
Pukul  :09.00 WIB
Tempat : Mesjid Baitul 'Allam, Kuta Alam, Banda Aceh"
Tema : Ramadhan, Habis Manis Sepah di Buang?"

Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda: 

“Lakukanlah amal sesuai kesanggupan. Karena sesungguhnya Allah tidak akan bosan sehingga engkau menjadi bosan. Dan sesungguhnya amal yang paling Allah sukai ialah yang terus-menerus dikerjakan walaupun sedikit.” (HR Abu Dawud 1161)

Semoga Allah senantiasa meringankan langkah kita agar dapat menghadiri majelis-majelis taman surga dan membimbing kita selalu ke jalan perubahan yang lebih baik.
Aamiin.

Kami berharap kepada seluruh muslimin dan muslimat untuk mengajak juga teman, sahabat dan keluarga untuk menghadiri majelis pengajian yang mulia ini.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)

Jazakumullah khairan katsir.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wb.

PENGURUS KOMUNITAS PENGAJIAN RAISUL FATA
Read More

Rabu, 27 Juni 2018

TIDAK MENGQADHA PUASA HINGGA BERTEMU RAMADHAN, BAGAIMANA?

Juni 27, 2018


Tarbiyah.Online -  Fenomena yang banyak terjadi di kalangan umat muslim ketika tidak melaksanakan puasa Ramadhan oleh suatu halangan adalah kecenderungan mengulur waktu mengqadha puasa yang pernah ditinggalkan itu hingga pada akhirnya bertemu dengan Ramadhan berikutnya tanpa menunaikan kewajiban qadha puasa sebelumnya tanpa ada uzur.

Berikut ini adalah beberapa alasan atau sebab seseorang tidak berpuasa;

1. Bagi laki-laki maupun perempuan yang tidak berpuasa karena sakit, kemudian sembuh, atau bagi musafir/ah yang tidak berpuasa kemudian kembali bermukim, wajib mengqadhanya dalam tempo setelah ‘Idul Fitri hingga satu hari sebelum Sya‘ban usai bila tidak ada halangan atau uzur.

2. Bagi wanita haid dan nifas saat Ramadhan, mereka berkewajiban mengqadha puasa yang ditinggalkannya dalam tempo waktu yang disebutkan di atas saat masa-masa suci bila tidak ada halangan atau uzur.

3. Bagi wanita hamil dan menyusui di bulan Ramadhan dan memilih tidak berpuasa, mereka pun dapat mengqadha puasa itu dalam tempo waktu yang disebutkan di atas bila mampu. Apabila tidak mampu lantaran uzur disebabkan masih dalam masa hamil atau masih dalam masa menyusui, maka qadha tersebut dilakukan apabila telah mampu meskipun setelah Ramadhan berikutnya.

4. Wanita yang pada Ramadhan ini sedang hamil dan memilih tidak berpuasa karena kuatir pada dirinya atau pun pada bayinya, lalu ternyata pada Ramadhan sebelumnya pernah tidak berpuasa karena haid, maka sejatinya dia pernah mendapati momen wajib mengqadha puasa tanpa halangan -selain haid, sakit, atau safar- terhitung setelah ‘Idul Fitri sampai awal kehamilannya saat ini. Bahkan bila kehamilannya pada Ramadhan ini telah memasuki bulan ke-9, bila dihitung mundur, maka akan didapati kehamilannya dimulai pada bulan Muharram. Artinya, dia memiliki tempo tiga bulan untuk mengqadha puasanya tanpa halangan -selain haid, sakit ataupun musafirah-, yaitu pada bulan Syawwal, Dzul Qa‘dah dan Dzul Hijjah.

5. Dan beragam kondisi lainnya.
Mereka yang disebutkan di atas bila tidak ada halangan mengqadha puasa yang pernah ditinggalkan hingga akhirnya bertemu dengan Ramadhan berikutnya, maka selain mengqadha, juga ada kewajiban membayar “kafarat” (baca : Fidyah) sebanyak hari yang ditinggalkan karena faktor mengulur-ulur waktu tersebut.

Berikut adalah riwayat dari beberapa sahabat terkait qadha puasa dan denda fidyah;

Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu ;

عن أبي هريرة قال من أدركه رمضان وهو مريض ثم صح فلم يقضه حتى أدركه رمضان آخر صام الذي أدرك ثم صام الاول وأطعم عن كل يوم نصف صاع من قمح
Dari Abu Hurairah, ia berkata ; siapa yang sakit pada bulan Ramadhan, lalu sembuh dan tidak mengqadha puasa yang ditinggalkan hingga bertemu dengan Ramadhan berikutnya, maka ia tetap melaksakan puasa Ramadhan yang ada, kemudian dia harus mengqadha puasa yang lewat ditambah dengan -fidyah- setengah shâ‘ gandung untuk setiap harinya
(Abdurrazzaq, al-Mushannaf, vol.4, hal.234, no.7620)

عن أبي هريرة قال إن إنسانا مرض في رمضان ثم صح فلم يقضه حتى أدركه شهر رمضان آخر فليصم الذي أحدث ثم يقضي الآخر ويطعم مع كل يوم مسكينا
Dari Abu Hurairah, ia berkata; seseorang yang sakit pada bulan Ramadhan (dan tidak berpuasa), kemudian sembuh, namun puasa itu belum diqadhanya hingga bertemu dengan Ramadhan berikutnya, maka dia tetap harus puasa Ramadhan yang ada, lalu mengqadha puasa yang lewat ditambah dengan denda fidyah; satu orang miskin untuk satu hari yang ditinggalkan
(Abdurrazzaq, al-Mushannaf, vol.4, hal.234, no.7621)

سئل سعيد هو ابن أبي عروبة عن رجل تتابع عليه رمضانان وفرّط فيما بينهما فأخبرنا عن قتادة عن صالح أبي الخليل عن مجاهد عن أبي هريرة أنه قال: يصوم الذي حضر ويقضي الآخر ويطعم لكل يوم مسكينا
Sa‘id Ibn Abi ‘Arubah (w.156H) pernah ditanya tentang seseorang yang bertemu dua Ramadhan dan tidak mengqadha puasa yang ditinggalkan saat jeda antara dua Ramadhan tersebut. Lalu Ibn Abi ‘Arubah langsung menyampaikan riwayat kepada kami dari Qatadah (w.100H)), dari Shalih Ibn Abi Khalil, dari Mujahid (w.101H)), dari Abu Hurairah, ia berkata ; (orang itu) tetap berpuasa Ramadhan ini, lalu harus mengqadha puasa yang ia tinggalkan sekaligus membayar denda fidyah; satu hari yang ditinggalkan untuk satu orang miskin
(Al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra, vol.4, hal.253, no.8471)

Abdullah Ibn ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhumâ;

عن ابن عباس: في رجل أدركه رمضان وعليه رمضان آخر قال: يصوم هذا ويطعم عن ذاك كل يوم مسكينا ويقضيه
Dari Ibn Abbas, tentang seseorang yang bertemu dengan Ramadhan yang baru sementara ia memiliki kewajiban puasa yang lalu, maka Ibn Abbas mengatakan; Dia tetap melakukan puasa yang sekarang, lalu memberikan makan satu orang miskin untuk satu hari yang ditinggalkan dan disertai dengan mengqadha puasa tersebut
(Al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra, vol.4, hal.253, no.8470)

Berikut keterangan para ulama;

Al-Imam Abu al-Hasan Ali Ibn Khalaf Ibn Abdul Malik Ibn Batthal al-Qurthubi (w.449H);
وأجمع أهل العلم على أن من قضى ما عليه من رمضان فى شعبان بعده أنه مؤد لفرضه غير مفرط
Ulama berijma‘ bahwa orang yang mengqadha puasa Ramadhannya yang lalu di bulan Sya‘ban (sebelum Ramadhan yang baru) berarti telah menunaikan kewajibannya, tidak melampaui masa dia harus mengqadha
(Ibn Batthal, Syarh Shahih al-Bukhari, vol.4, hal.95)

Al-Imam Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Habib al-Bashri (w.450H);
وإن أخره غير معذور فعليه مع القضاء الكفارة عن كل يوم بمد من طعام، وهو إجماع الصحابة ... هذا مع إجماع ستة من الصحابة لا يعرف لهم خلاف
Jika seseorang mengundur qadha puasa tanpa uzur maka di samping mengqadha, dia juga harus membayar denda fidyah sebanyak satu mudd untuk satu hari yang ditinggalkan, dan ini adalah ijma‘ para sahabat ... meskipun sahabat yang berijma ada enam orang, namun tidak diketahui ada yang berpandangan berbeda
(al-Mawardi, al-Hâwî al-Kabîr Syarh Mukhtashar al-Muzanî, vol.3, hal.983 & 984)

Al-Imam Abu Muhammad Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah al-Maqdisi (w.620H);
فإن كان لغير عذر فعليه مع القضاء إطعام مسكين لكل يوم، وبهذا قال ابن عباس وابن عمر وأبو هريرة ... ولنا ما روي عن ابن عمر وابن عباس وأبي هريرة أنهم قالوا: أطعم عن كل يوم مسكينا ولم يرو عن غيرهم من الصحابة خلافهم
Maka jika seseorang (belum mengqadha puasa) tanpa uzur, maka di samping mengqadha itu dia harus membayar denda fidyah memberi makan satu orang miskin untuk satu hari puasa yang ditinggalkan. Ibn Abbas, Ibn Umar dan Abu Hurairah berpendapat demikian. Kami memiliki riwayat dari mereka (ketika ditanya) mereka menjawab; Beri makanlah satu orang miskin untuk satu hari yang ditinggalkan, dan tidak ada riwayat dari sahabat lain yang berpendapat berbeda
(Ibn Qudamah, al-Mughni Syarh Mukhtashar al-Imâm Abî al-Qâsim al-Kharqî, vol.3, hal.85)
Al-Imam Abu al-‘Abbas Ahmad Ibn Idris Ibn Abdirrahman al-Qarrâfî (w.684H);
وجوابه أن ابن عمر وابن عباس وأبا هريرة رضي الله عنهم كانوا يقولون بذلك من غير نكير فكان إجماعا
Dan jawab atas itu adalah tidak adanya pengingkaran dari sahabat lain atas perkataan Ibn Umar, Ibn Abbas dan Abu Hurairah (terkait Qadha dan denda Fidyah ini), sehingga menjadi ijma‘
(Al-Qarrâfî, al-Dzakhîrah, vol.2, hal.525)

Al-Imam al-Hafizh Abu al-Fadhl Ahmad Ibn Ali Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn Hajar al-‘Asqalani (w.852H) ketika memberikan catatan tambahan untuk hadis yang diriwayatkan al-Baihaqi di atas, ia mengatakan ;
وحكى الطحاوي عن يحيى بن أكتم أن في هذه المسألة قول ستة من الصحابة وسمى منهم صاحب المهذب عليا وجابرا والحسين بن علي
Dan al-Thahâwî meriwayatkan dari Yahyâ Ibn Aktam bahwa masalah ini ada argumen dari perkataan enam orang sahabat. Penulis al-Muhadzzab (al-Syîrâzî) menyebutkan di antara nama mereka yatu; Ali, Jabir, Husain Ibn Ali
(Ibn Hajar al-Asqalani, Talkhîsh al-Habîr Fî Takhrîj Ahâdîts al-Râfi‘î al-Kabîr, vol.2, hal.456)

Wallahu A’lam
Read More