TARBIYAH ONLINE: shalat

Fiqh

Tampilkan postingan dengan label shalat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label shalat. Tampilkan semua postingan

Minggu, 02 Januari 2022

Penting! Jamak, Qashar dan Jamak-Qashar yang Sering Salah Dipahami

Januari 02, 2022



Tarbiyah Online - Akhir tahun tiba. Itu berarti handai tolan, mau atau tidak, akan menghadapi perdebatan panas yang sudah jadi agenda wajib tahunan tentang mengucapkan selamat natal dan merayakan tahun baru. Sebagai awam, kita bisa jadi sudah mulai bosan, tapi bagi para ahli ilmu hal ini sudah menjadi kewajiban mereka untuk menjelaskan. Terlepas dari perbedaan pandangan yang makin ke sini makin canggih, handai tolan yang ingin berlibur akhir tahun ke luar daerah mestinya tahu cara memanfaatkan kesempatan mengurangi jumlah rakaat salat. Ya, rukhsah jamak dan qasar memang sangat membantu kita menghemat waktu dalam perjalanan jauh. Namun ada ketentuan yang harus diikuti dan paling utama adalah tau cara jamak dan qasar, karena di antara syaratnya adalah mengetahui cara pelaksanaannya.


Dimaklumi bahwa di antara banyak rukhshah alias keringanan dalam perjalanan jauh adalah jamak dan qasar. Jamak adalah menghimpun salat zuhur dengan asar dan magrib dengan isya, baik taqdim yaitu mendahulukan atau ta’khir alias menunda. Qashar adalah memendekkan salat yang memiliki empat rakaat menjadi dua rakaat saja. Dapat dipahami bahwa magrib tidak boleh dijamak dengan asar dan tidak bisa dipendekkan, dan begitu juga subuh tidak boleh dijamak dengan isya maupun lohor dan tentu saja tidak bisa lagi dipendekkan. Biasanya dalam kitab fikih syafi’iyah pembahasan qashar lebih dulu dibahas karena hukumnya yang disepakati, beda dengan jamak. Meski kedua rukhsah ini memiliki banyak kesamaan syarat, namun keduanya tidak saling terikat. Anda bisa menjamak saja tanpa mengurangi raka’at, bisa juga melakukan qasar saja tanpa menjamak atau dengan kata lain melakukan kedua salat pada waktunya masing-masing dengan hanya mengambil keringan dua rakaat. Seringnya dua rukhsah tersebut dilakukan bersamaan, yakni melakukan dua salat di waktu bersamaan sekaligus memendekkan yang empat rakaat menjadi dua, makanya disebut jamak-qashar.


Hukum kedua rukhsah ini pada dasarnya adalah boleh, tetapi dalam kondisi tertentu bisa menjadi wajib. Kasus wajib jamak seperti yang tersisa dari waktu salat pertama, anggaplah zuhur, tidak cukup melakukan salat secara sempurna, maka bagi musafir wajib berniat untuk memundurkan salat tersebut ke waktu salat selanjutnya, yaitu asar, dalam kasus salat zuhur. Wajib qashar bisa terjadi pada kondisi yang tersisa dari waktu asar atau isya hanya sekadar salat yang dipendekkan, maka wajib meng-qashar bagi musafir yang mencukupi syarat qashar. Jamak dan qasar tentunya memiliki sedikit perbedaan, di antaranya bahwa jamak tidak hanya boleh dikerjakan dalam perjalanan, namun boleh dikerjakan saat di kampung halaman dalam kondisi hujan dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi.

Adapun syarat-syarat agar bisa menikmati keringanan ini ada banyak, bisa sampai sebelas syarat bila diuraikan secara detail. Secara garis besar, selain yang disebut di muka, syaratnya adalah melakukan perjalanan jauh yang kira-kira mencapai jarak yang ditentukan, dan perjalanan itu dibolehkan alias bukan perjalanan maksiat. Jarak yang dimaksud memang terjadi khilaf, ada yang bilang 138 KM, ada yang berpendapat 89 KM, dan ada juga pendapat lainnya. Nah, dari syarat yang umum ini dapat dipahami bahwa keringanan tersebut hanya boleh dilakukan saat sedang dan masih dalam perjalanan atau hanya bisa dikerjakan saat sedang menjadi musafir. Tidak boleh sebelum perjalanan atau sesudahnya atau saat sedang tidak menjadi musafir. 

Ada dua kekeliruan pemahaman dan praktek yang banyak dijumpai di kalangan masyarakat, pertama tidak begitu serius, kedua sangat fatal.

Pertama adalah pemahaman bahwa qasar atau jamak baru boleh dilakukan saat sudah mencapai jarak yang disyaratkan, 138 KM, misalnya. Padahal tidak demikian. Tidak perlu mencapai jarak tersebut untuk boleh menikmati keringanan safar ini. Yang penting, saat memulai perjalanan, seseorang sudah mengetahui dan merencanakan perjalanan yang mencukupi jarak yang disyaratkan. Maka, dengan semata melewati batasan daerahnya atau meninggalkan bangunan-bangunan bila daerahnya tidak memiliki batasan, musafir sudah boleh mengerjakan salat dengan diqasar. 


Memang satu kasus yang membuat seorang musafir baru boleh mengerjakan salat qasar atau jamak saat perjalanannya sudah mencapai jarak yang ditentukan. Kondisi itu adalah ketika seseorang yang tidak independen, bergantung pada orang lain, seperti seorang istri yang melakukan perjalanan ikut suami dalam keadaan tidak mengetahui tujuan suaminya. Pada kondisi ini, istri tidak boleh mengambil rukhsah meski sudah melewati batasan yang disyaratkan sebab ia tidak bisa meniatkan perjalanan jauh karena tidak tahu akan kemana. Akan tetapi, begitu sudah tahu bahwa tujuan suami adalah perjalanan jauh atau memang sudah melewati jarak boleh qasar, maka ia bisa langsung meng-qasar salatnya.


Kedua, ini yang fatal dan membatalkan salat, yaitu menjamak atau menqasar salat sebelum melakukan perjalanan atau saat perjalanannya dianggap berakhir dalam pandangan syarak. Praktik keliru ini acap ditemukan di kalangan awam yang salah memahami syarat rukhsah jamak dan qasar. Alih-alih mengambil rukhsah saat sudah melakukan perjalanan, banyak yang memahami bahwa rukhsah tersebut sudah boleh dinikmati saat akan berangkat atau sedang menunggu keberangkatan. Padahal sebelum melewati batas daerah yang ditinggali, seseorang belum dianggap musafir yang karenanya tidak berhak mengambil keringanan.


Jadi, bila saat menunggu jemputan, misalnya, waktu zuhur masuk dan Anda melaksanakan salat zuhur dihimpun dengan asar, maka asar tersebut harus diulang lagi nanti saat sudah masuk waktunya. Sebab yang telah dilaksanakan tidak sah karena masih belum masuk waktu dan belum boleh menjamak. Juga, bila zuhur dan asar tersebut dilakukan secara qasar, maka dua-duanya tidak sah. Di sisi lain, ada juga awam yang masih menjamak dan qasar salat padahal ia bukan lagi musafir karena sudah menetap di tempat tujuan yang bukan kampung halaman selama empat hari, misalnya.


Masih ada banyak hal keliru dalam praktek jamak atau qasar dalam kalangan awam. Seperti dalam proses jamak taqdim, ramai dijumpai orang melaksanakan salat kedua setelah berselang cukup lama, entah itu karena berzikir atau berdoa. Padahal di antara syarat jamak taqdim adalah beriringan, yakni di antara dua salat tersebut tidak boleh diselang lama. Kadar iqamah salat lah. Handai tolan, silakan dipelajari dulu tata cara rukhsah safar ini sebelum mengerjakannya. Jangan sampai inginnya mendapat keringanan, tapi karena ketidaktahuan malah jadi beban di akhirat. 

Salam.


Oleh: @Syakir  Anwar

Telah tayang di fanpage Serambi Salaf

Read More

Sabtu, 10 Agustus 2019

6 Amalan Sunnah di Hari Raya Sebelum Menuju Shalat Idul Adha

Agustus 10, 2019

Tarbiyah.online – Jelang Idul Adha tahun ini berbagai amalan sunnah bisa dilakukan sebelum Hari Raya Qurban tiba.

Amalan sunnah ini bisa dilakukan di beberapa waktu sebelum Hari Idul Adha 2019.

Dari salah satu sumber terpercaya, nu.or.id, setidaknya ada 6 ibadah sunnah.

Berikut kesunahan yang dianjurkan oleh para ulama.

Pertama, mengumandangkan takbir di masjid atau rumah pada malam hari raya.

Kedua, mandi sebelum berangkat untuk shalat Id ke masjid. Di mana, mandi bertujuan untuk membersihkan seluruh tubuh dari kotoran yang menempel agar saat beribadah badan kita sudah bersih.

Ketiga, ialah memakai wangi-wangian, memotong rambut, memotong kuku, dan menghilangkan bau tidak enak.

Keempat, pakailah pakaian terbaik, dan sudah pasti bersih serta suci.

Kelima, saat akan berangkat salat, ada baiknya kamu berjalan kaki karena hal itu lebih diutamakan. Pilihlah juga dua jalan yang berbeda saat akan berangkat dan saat pulang dari salat Idul Adha.

Keenam, untuk Hari Raya Idul Adha disunnahkan makan setelah selesai melaksanakan shalat Id, berbeda dengan Hari Raya Idul Fitri disunahkan makan sebelum melaksanakan shalat Id. 

Pada masa Nabi SAW makanan tersebut berupa kurma yang jumlahnya ganjil, entah itu satu biji, tiga biji ataupun lima biji, karena makanan pokok orang arab adalah kurma. 

Jika di Indonesia makanan pokok adalah nasi, akan tetapi jika memiliki kurma maka hal itu lebih utama, jika tidak mendapatinya maka cukuplah dengan makan nasi atau sesuai dengan makanan pokok daerah tertentu.

Namun, beberapa hari sebelum Idul Adha, ada juga sunnah yang tak kalah penting. Yakni sunnah melakukan puasa Tarwiyah dan Arafah.
Read More

Rabu, 03 April 2019

Hikmah Shalat Maktubah yang Jumlahnya 17 Raka'at

April 03, 2019

Tarbiyah.Online | Shalat wajib lima waktu atau yang sering disebut dengan shalat maktubah juga shalat mafrudhah yang berarti shalat yang wajib dikerjakan, fardhu 'ain. Wajib disini bermakna wajib syar'i. Yakni, mendapat pahala ketika dikerjakan dan berdosa jika ditinggalkan.

Masing-masing shalat maktubah ini memiliki jumlah raka'at yang bervariasi. Dan jika dikalkulasikan bilangan raka'atnya maka jumlahnya ada tujuh belas (17raka'at.

Nah, pernahkah Anda bertanya kenapa shalat maktubah itu harus berjumlah lima waktu? Atau kenapa jumlah raka'atnya berbeda? Atau kenapa sehingga jumlah keseluruhan raka'atnya ada tujuh belas?

Jika tiga pertanyaan ini pernah terlintas di benak Anda, maka jawabannya adalah "fata'abbudy". Demikian jawaban simple dari Imam Syaikh Syihabuddin Al-Qulyuby dalam sebuah hasyiahnya.

Ta'abbudy itu sendiri berarti "Melakukan suatu ibadat semata-mata karena Allah tanpa didasari oleh alasan tertentu", red.

Pun demikian, terkait tujuh belas raka'at dari jumlah keseluruhan shalat maktubah, beliau, Imam Al-Qulyuby melanjutkan bahwa sebagian Ulama telah menyebutkan hikmah di sebaliknya. Yakni, dalam satu hari (24 jam) manusia berada dalam keadaan terjaga (yaqdhah) selama 17 jam. Dengan rincian 12 jam pada waktu siang hari, sekitar 3 jam pada awal waktu malam, dan 2 jam pada penghujung malam (menjelang subuh).

Maka (hikmahnya adalah) setiap satu raka'at shalat maktubah dapat menghapus dosa yang terjadi dalam durasi satu jam. Alhasil, tujuh belas (17raka'at shalat maktubah yang kita kerjakan dapat menghapus dosa yang terjadi dalam durasi tujuh belas jam dalam satu hari, insyaAllah.

Subhanallah. Demikianlah hikmahnya.

Tetapi jangan lupa, perlu digarisbawahi bahwa dosa yang diampuni disini hanyalah dosa-dosa kecil, tidak dengan dosa besar, tidak pula dengan dosa terhadap manusia. Karena dosa besar hanya bisa terhapus dengan tetesan air mata taubat nasuha, dan dosa sesama manusia hanya bisa terhapus dengan meminta maaf kepada manusia.

Kecuali itu, meninggalkan shalat maktubah adalah dosa besar. Dan orang yang tidak shalat sama derajatnya dengan binatang "ghairu muhtaram" alias binatang yang tidak terhormat. Dimana dalam kasus terntentu misalkan ketika sedang berlayar di tengah samudera, sedang kapal hampir karam karena kelebihan muatannya, maka orang yang tidak melakukan shalat lah yang harus didahulukan untuk disingkirkan, atau dilempar ke lautan hidup-hidup, guna menyelamatkan yang lainnya. (Adak surah lam kapai yang ineuk ngop karna leubeh muatan, maka "ureung hana seumayang" phon yang wajeb tatiek lam laot).

Dikutip dari kitab Mahli (Hasyiah Qulyubi) oleh Tgk. Muhammad Yusuf Aree, S.Sos.
Pengajar di Dayah Ummul Ayman, Samalanga.
Read More

Jumat, 29 Juni 2018

APAKAH WANITA HAID HARUS MENGQADHA PUASA DAN SHALATNYA?

Juni 29, 2018

Tarbiyah.Online - Wanita haid dan nifas memang dilarang melaksanakan shalat serta berpuasa, akan tetapi kewajiban yang harus mereka lakukan setelah selesai haid dan nifas adalah mengqadha puasa yang ditinggalkan, bukan mengqadha shalat. Hal tersebut berdasarkan riwayat hadis serta ijma‘ para ulama.

Aisyah Ummul Mukminin radhiyallâhu ‘anhâ;

عن معاذة العدوية قالت سألت عائشة فقلت: ما بال الحائض تقضي الصوم ولا تقضي الصلاة؟ فقالت: أحرورية أنت؟ قلت: لست بحرورية، ولكني أسأل، قالت: قد كان يصيبنا ذلك مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فنؤمر بقضاء الصوم ولا نؤمر بقضاء الصلاة
Dari Mu‘adzah al-‘Adawiyah, ia bertanya kepada Aisyah; Ada apa gerangan mengapa wanita haid harus mengqadha puasanya namun tidak mengqadha shalatnya? Aisyah menjawab; Apakah kamu Harûriyyah? Bukan, saya hanya bertanya. Aisyah menjelaskan; Memang seperti itu syariat yang kami dapati bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita diperintahkan mengqadha puasa, bukan mengqadha shalat
(Abdurrazzaq, al-Mushannaf, vol.1, hal.331)

Al-Imam Muhammad Ibn Idris Ibn al-‘Abbas al-Syafi‘i (w.204H);

وكان عاما في أهل العلم أن النبي لم يأمر الحائض بقضاء الصلاة وعاما أنها أمرت بقضاء الصوم، ففرقنا بين الفرضين استدلالا بما وصفت من نقل أهل العلم وإجماعهم
Sudah jamak diketahui dari para ulama bahwa Nabi tidak memerintahkan wanita haid mengqadha shalatnya, dan juga jamak diketahui bahwa wanita haid diperintahkan mengqadha puasa. Kami membedakan antara dua ibadah fardhu ini berdasarkan periwayat dari para ulama dan ijma‘ mereka yang telah disebutkan sebelumnya
(Al-Syafi‘i, al-Risâlah, hal.119)

Al-Imam Abu Isa Muhammad Ibn Isa al-Tirmidzi (w.279H);

والعمل على هذا عند أهل العلم، لا نعلم بينهم اختلافا أن الحائض تقضي الصيام ولا تقضي الصلاة
Para ulama mengamalkan hadis ini, dan tidak kami ketahui adanya perbedaan pendapat mereka dalam kewajiban mengqadha puasa bagi wanita haid, sedangkan shalat tidak diqadha
(Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, vol.3, hal.154, pada nomor hadis 787)

Al-Imam Abu Bakr Muhammad Ibn Ibrahim Ibn al-Mundzir al-Naisaburi (w.319H);

وأجمع أهل العلم على أن عليها قضاء الصوم لإجماعهم، وسقط عنها فرض الصلاة لثبوت السنة والإجماع
Wanita haid yang tidak berpuasa wajib mengqadha puasanya berdasarkan ijma‘ para ulama, sedangkan kewajiban -qadha- shalat gugur bagi mereka berdasarkan sunnah dan ijma‘
(Ibn al-Mundzir, al-Awsath Fî al-Sunan wa al-Ijmâ‘ wa al-Ikhtilâf, vol.7, hal.191)

Al-Imam Abu al-Hasan Ali Ibn Khalaf Ibn Abdil Malik Ibn Batthâl al-Qurthubi (w.449H);

وأجمعوا أن عليها قضاء ما تركت من الصيام، ولا قضاء عليها للصلاة
Para ulama berijma‘ bahwa wanita haid wajib mengqadha puasa yang ditinggalkannya, namun tidak dengan shalat
(Ibn Batthal, Syarh Shahîh al-Bukhârî, vol.1, hal.419)
Al-Imam Abu Muhammad Ali Ibn Ahmad Ibn Sa‘id Ibn Hazm al-Andalusi (w.456H);

وأجمعوا أن الحائض تقضي ما أفطرت في حيضها
Dan para ulama berijma‘ bahwa wanita haid wajib menqadha puasa yang ditinggalkannya selama haid
(Ibn Hazm, Marâtib al-Ijmâ‘, hal.40)

ولا قضاء إلا على خمسة فقط، وهم الحائض والنفساء فإنهما يقضيان أيام الحيض والنفاس، لا خلاف في ذلك من أحد...
Tidak ada qadha selain yang lima; wanita haid dan nifas, mereka wajib mengqadha -puasa yang ditinggalkan- selama haid dan nifas. Tidak ada perbedaan yang muncul dalam masalah ini...
(Ibn Hazm, al-Muhallâ Bi al-Atsâr, vol.6, hal.185)

Al-Imam Abu Bakr Ala’uddin Ibn Mas‘ud Ibn Ahmad al-Kasani (w.587H)

Al-Imam al-Kasani ketika mengomentari atsar dari Aisyah dengan Mu‘adzah yang disebutkan di atas mengatakan;

أشارت إلى أن ذلك ثبت تعبدا محضا، والظاهر أن فتواها بلغت الصحابة ولم ينقل أنه أنكر عليها منكر فيكون إجماعا من الصحابة رضي الله عنهم
Beliau mengisyaratkan bahwa aturan tersebut murni ta‘abbud. Secara lahir, fatwa Aisyah tersebut sampai kepada para sahabat lain, dan tidak ada riwayat pengingkaran dari mereka, sehingga jadilah apa yang disampaikan itu sebagai ijma para sahabat radhiyallâhu ‘anhum
(Al-Kasani, Badâi’ al-Shanâi’ Fî Tartîb al-Syarâi‘, vol.2, hal.89)


Al-Imam Abu Muhammad Baha’uddin Abdurrahman Ibn Ibrahim Ibn Ahmad al-Maqdisi (w.624H);

الحائض والنفساء تفطران وتقضيان إجماعا، وإن صامتا لم يجزئهما إجماعا
Wanit haid dan nifas mesti berbuka dan mengqadha puasa tersebut berdasarkan ijma‘, dan jika mereka tetap berpuasa maka belum sah berdasarkan ijma‘
(Baha’uddin al-Maqdisi, al-‘Uddah Syarh al-‘Umdah, vol.1, hal.41)
     
Al-Imam Abu Muhammad Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah al-Maqdisi (w.630H);

أجمع أهل العلم على أن الحائض والنفساء لا يحل لهما الصوم وإنهما يفطران رمضان ويقضيان
Ulama berijma‘ bahwa wanita haid dan nifas tidak halal berpuasa, sehingga mereka memang harus berbuka lalu mengqadha puasa tersebut
(Ibn Qudamah, al-Mughnî Syarh Mukhtashar al-Kharqî, vol.3, hal.83)

Al-Imam Abu Abdillah Syamsuddin Muhammad Ibn Abdillah al-Zarkasyi (w.772H);

القضاء واجب على الحائض والنفساء بالإِجماع
Mengqadha puasa wajib bagi wanita haid dan nifas berdasarkan ijma‘

(Al-Zarkasyi, Syarh Mukhtashar al-Kharqî, vol.1, hal.430)

Wallahu a'lam
Oleh Ustadz Ashfi Bagindo Pakiah
Read More

Rabu, 27 Juni 2018

BACA FATIHAH DALAM HATI, SAH KAH SHALAT?

Juni 27, 2018


Tarbiyah.Online -  Banyak orang masih menyepelekan ilmu terkait shalat. Bahkan tidak sedikit dari teman-teman bahkan orangtua kita yang mencukupkan ilmu perihal shalat dengan hanya belajar shalat di masa kecil dengan sekedar mengetahui gerakan dan jenis bacaannya saja.

Untuk penyempurnaan gerakan sering diabaikan. Demikian halnya dengan penyempurnaan bacaan. Maka dari itu, sering kita dapati orang yang shalat, tapi tidak menggerakkan mulutnya pada saat membaca do'a dalam shalat. Bacaan-bacaan shalat yang dimulai dari Takbiratul Ihram hingga Salam berlalu dalam hati saja. Selebihnya hanya gerakan. Maka yang tampak adalah gerakan kosong sahaja.

Dalam mazhab imam Syafi'i terkait dengan fiqh shalat, yaitu hukum-hukum dan taga laksana shalat. Dari 13 rukun (wajib dikerjakan dalam shalat) terdapat 5 rukun qauli dalam satu shalat. Bermakna wajib dibaca dan dilafalkan dengan lidah dan mulut yang dibatasi sekedar terdengar oleh telinga sendiri (jika dalam keadaan sunyi) atau disebut juga pelafalan secara sirr.

Ketika dikatakan qauli, maka otomatis bermakna dilafalkan, tidak bisa hanya sekedar diingat dalam benak dan hati, meskipun secara berurutan bacaannya (dalam hati). Kelima rukun tersebut adalah Takbiratul Ihram, AlFatihah, Tahiyyat, Shalawat dan Salam.


Lalu, apakah sah bacaan ayat Quran dalam hati saja saat salat, tanpa diucapkan di mulut?

Dalam kitab al-Umm, imam Syafi`i -Rahimahullah- menjelaskan:

وَلَا يُجْزِئُهُ أَنْ يَقْرَأَ فِي صَدْرِهِ الْقُرْآنَ وَلَمْ يَنْطِقْ بِهِ لِسَانُهُ

"Membaca Quran dalam hati tanpa diucapkan di lidah itu tidak sah bagi orang yang salat".

Dalam Mukhtashar al-Buwaithy, imam Syafi`i -Rahimahullah- juga menjelaskan:

ولا يجزئ الرجل أن يحرم للصلاة بقلبه، ولا يقرأ بقلبه حتى يحرك لسانه.

"Membaca Takbiratul Ihram untuk salat dalam hati (tanpa diucapkan) itu, tidaklah sah. Dan membaca bacaan salat dalam hati itu juga tidak sah, sampai lidah digerakkan mengucapkannya".

Kutipan disini langsung dari kitab induk mazhab Syafi'i. Tentunya dalam kitab mazhab yang dituliskan oleh ulama Syafi'iyah, hal yang senada termaktub di dalamnya, bahkan dengan penjelasan yang lebih terperinci sesuai dengan kriteria dan kapasitas keilmuan objek pengkaji.

Matan Jurumiyah, Hasyiah Al Bajuri dan kita-kitab Fiqh lainnya termasuk Sabilal Muhtadi karya ulama Nusantara.

Wallahua`lam
Read More

Jumat, 23 Februari 2018

SHALAT BATAL TANPA SADAR

Februari 23, 2018
Tarbiyah.Online - Dalam Fiqh Mazhab Syafi'i, salah satu penyebab batalnya shalat adalah bergerak secara berturut-turut diluar gerakan shalat sebanyak 3 kali. Gerakan yang sering terjadi tanpa sadar dan tidak terlalu diambil pusing oleh seorang muslim yang sedang shalat antara lain menggoyangkan badan disaat posisi berddiri dengan tegap, pada saat bacaan Al Fatihah misalnya.
kesalahan dalam shalat
Goyangan atau gerakan menyamping dalam shalat, bergerak sedikit saja ke kiri atau ke kanan juga bisa berakibat fatal. Pergeseran badan dengan memalingkan ke kiri dan ke kanan akan menjadikan tuuh tidak menghadap kiblat dengan tepat.
kesalahan dalam shalat
Kadang merasa sedikit gatal atau kebas di kaki, membuat kita yang sedang shalat menggerakkan tubuh bahkan mengangkat kaki yang satu dan menggaruknya dengan kaki yang lain, sehingga keseluruhan tubuh pun ikut bergerak.
kesalahan dalam shalat
Gerakan yang juga paling sering kita jumpai bahkan tanpa sengaja kita termasuk yang melakukannya adalah menggerakkan tangan disaat bangun dari ruku' atau i'tidal.
kesalahan dalam shalat
kesalahan dalam shalat

kesalahan dalam shalat
Gerakan lainnya yang juga hampir semua kita melakukannya adalah menggaruk bagian gatal sembarangan, tanpa menghitung jumlah gerakan yang ternyata sudah mencapai 3 kali berturut-turut, bahkan sudah lebih.
kesalahan dalam shalat

Tidak jarang, banyak sekali diantara kita yang remeh terhadap erakan shalat, demikian juga dengan bacaan. Dalam shalat, ada yang namany rukun Qauli, dimana iya harus dibaca dengan lisan secara jelas tajwidnya dan fasih, walaupun dengan suara Sirr, atau lirih. Jika dalahm kondisi membaca Jihar sepertimana imam shalat Magrib, Isya dan Subuh, tentunya akan sangat jelah terdengar, namun dalam bacaan Sirr, juga tidak beda dengan bacaan Jihar, harus jelas dan pas. Diantaranya adalah membaca Takbiratul Ihram. Takbir di awal Shalat. Allahu Akbar. Membaca Allah hu Akbar adalah sebuah kesalahan yang tidak disadari. Kesalahan ini cukup mendasar, dan menyebabkan satu rukun Qauli tidak terpenuhi, sehingga berakibat pada tidak shah nya shalat, karena ada rukun yang cacat.
kesalahan dalam shalat

Al Fatihah juga merupakan rukun Qauli, dimulai dari Bismillah hingga Waladhdhaaalliin. Jika dijelaskan secara menyeluruh, setiap huruf dan bunyi huruf dalam Suratul Fatihah. maka penting untuk kita memeriksa bacaan Al Fatihah kepada ustadz-ustadz pengajar tajwid dan tahsin Al Quran guna memastikan keddudukan shalat kita menurut kacamata syari'at terutama Fiqh, karena tampak secara lahir dan bisa dinilai.

Diantara yang paling remeh adalah bacaan Bismillah di awal suratul Fatihah, kadang demi mengikuti irama seorang Syeikh terkenal atau apa, sehingga ada huruf yang tertinggal, yaitu huruf dan bunyi Ba pada bismi. Langsung terbaca ssmillah.


kesalahan dalam shalat
Rukun Qauli lain yang sering salah karena dianggap remeh adalah salam, Assalamu'alaykum Warahmatullaah. Kebiasaan Alif bunyi A pada kalimat Assalam hilang, hanya berbunyi Ss...salam, maka yang demikian telah membuat rukun Qauli menjadi cacat, dan bisa fatal menjadikan shalat kita tidak sah.
kesalahan dalam shalat
Kebanyakan terjadi akibat remeh terhadap shalat, sehingga tidak memperhatikan hal-hal yang penting meski terlihat sepele dalam shalat. Padahal kesalahan demikian sangat fatal dan menyebabkan batanya shalat kita. Belum lagi jika kita hendak melihat hal-hal yang hukumnya sunat. tentu akan kita dapati lebih banyak lagi masalah. Namun demikian, perkara fardhu dan rukun serta syarat mestilah menjadi hal utama yang harus dibetulkan guna mendapatkan shalat yang Sah secara syara'.

Read More