Januari 2020 - TARBIYAH ONLINE

Fiqh

Jumat, 31 Januari 2020

Sirah Sahabat: Sayidina Ali bin Abi Thalib, Sahabat Sekaligus Menantu Rasulullah

Januari 31, 2020

Sirah Sahabat |  Ali bin Abi Thalib,  atau yang bernama lengkap Abu Hasan al Husein Ali bin Thalib bin Abdi Manaf bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Firh bin Malik bin  An Nadhar bin Kinanah. Sedangkan nasab dari ibunya ialah Fatimah binti Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay.

Adapun sang ibunda rupanya sempat masuk Islam sebelum wafat. Dan hal ini dapat dilihat ketika sang Ibunda ikut hijrah bersama Rasulullah Saw., ke Madinah hingga menghembuskan nafas terakhir. Bahkan Rasulullah Saw., sendiri yang menshalatkan jenazahnya, memimpin pemakamannya, ikut turun ke kuburnya, memakaikan kepadanya gamis beliau seraya berkata

“Wanita ini merupakan makhluk Allah yang memperlakukan saya paling baik setelah Abu Thalib”

Sedangkan jika berbicara tentang sang kakek yaitu Abdul Muthalib, beliau merupakan pembesar Quraisy dan tokoh yang disegani serta ditaati oleh kaumnya. Selain itu, beliau (Abdul Muthalib) juga merupakan seseorang yang mengurus Ka’bah bahkan senantiasa berdoa untuk menyelamatkannya ketika pasukan Abrahah hendak menghancurkan Ka’bah dengan bala tentaranya.

Ciri fisik dan sifat Ali bin Thalib

Beberapa sumber menjelaskan bahwa beliau sering menggunakan kopiah Mesir berwarna putih, mengenakan cincin di tangan kiri yang bertuliskan Allah al Mulk, wajahnya tampan, memiliki leher yang panjang, memiliki gigi yang bagus. Sedangkan ketika beliau berjalan, maka tubuhnya bergoyang layaknya cara Rasulullah Saw., berjalan.

Adapun dari segi sifat, beliau mewarisi sifat sifat terpuji dari ayah dan kakeknya. Selain itu, beliau pun tumbuh dan menyerap akhlak akhlak terpuji dari Rasulullah Saw., mengingat beliau memang tumbuh dalam didikan Rasulullah Saw.,

Selain itu, Beliau juga dikenal dengan keahliannya dalam berduel, bahkan orang orang sering menggambarkannya sebagai lelaki sempurna. Dan hal ini dikarenakan ketika beliau  berperang dan melawan musuh, tentu beliau tidak pernah kalah. Bahkan dalam beberapa kesempatan ketika ikut berperang bersama Rasulullah Saw., beliau selalu tampil sebagai jagoan Quraisy dan tentunya selalu mengalahkan para musuh.

Mengenal Istri dan anak Ali bin Abi Thalib

Sama halnya dengan Rasulullah Saw., Ali bin Abi Thalib tidak menikah sebelum Fatimah r.a., meninggal dunia. Sedangkan dari pernikahannya dengan Fatimah r.a., beliau dikarunia beberapa orang anak yakni Hasan, Husein. Sedangkan beberapa riwayat menambahkan bahwa putra ketiganya bernama Muhasin yang meninggal saat masih bayi.  Adapun dua orang putri yakni Zaenab al Kubra dan Ummu Kultsum yang dinikahi oleh Khalifah Umar bin Khattab.

Dan setelah fatimah Wafat, barulah Ali bin Thalib menikah dengan beberapa perempuan yang diantaranya:

Ummul Banin Binti Hizam, yang darinya beliau dikaruniai empat orang anak yakni al Abbas, Ja’far, Abdullah dan Utsman.

Laila bin Mas’ud bin Khalid bin Malik, yang darinya beliau dikaruniai dua orang anak yakni Ubaidullah dan Abu Bakar.

Asma’ binti ‘Umais al Khats’amiyyah, yang dikaruniai dua orang anak yakni Yahya dan Aun, sebagaimana menurut al Waqidi.

Ummu Habib binti Rabi’ah bin Bujair bin al Abdi bin Alqamah, yang darinya beliau dikarunia dua orang anak yakni Umar dan Ruqayyah.

Ummu Sa’ad binti Urwah bin Mas’ud ats Tsaqafi, darinya beliau dikaruniai dua orang anak yakni Ummul Hasan dan Ramlah al Kubra.

Binti Amru’ul Qais bin Ady al Kalbiyah, darinya beliau dikaruniai seorang putri yang tidak disebutkan namanya.

Umamah binti Abil Ash bin ar Rabi’, ibunya adalah Zainab binti Rasulullah Saw., bahkan dialah yang diceritakan dalam beberapa catatan sejarah bahwasanya Umamah binti Abil Ash bin ar Rabi’ inilah yang digendong oleh Rasulullah Saw., dalam shalat, saat bangkit beliau menggendongnya dan saat sujud beliau meletakkannya. Darinya Ali memperoleh seorang putera yang bernama Muhammad al-Ausath.

Khaulah binti Ja’far bin Qais, yang darinya beliau dikaruniai seorang putra yang bernama Muhammad Akbar.

Beberapa kisah terkait kepahlawanan seorang Ali dalam perang diantaranya ialah:

Perang Badar

Yakni perang dimana kaum muslimin berada di ujung tanduk, bagaimana tidak? Jika waktu itu, kaum muslimin yang hanya berjumlah ratusan orang harus diperhadapkan dengan musuh jumlahnya mencapai ribuah orang.

Disaat itulah, Rasulullah Saw., menyerahkan kepada Ali bin Abi Thalib. Ketika kedua kaum yang hendak berperang ini bertemu, maka majulah tiga orang kaum musyrikin diantaranya ialah Uthbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah dan Walid bin Utbah. Sedangkan dari pihak muslim ialah Ubaidah bin Harits, Hamzah bin Abdul Muthalib dan Ali bin Abi Thalib.

Dari ketiga penantang muslim ini yang rupanya menjadi pembuka kemenangan bagi kaum muslimin.

Perang Uhud

Perang ini ditandai dengan kekalahan kaum muslim pada waktu itu yang tidak  mengikuti perintah Rasulullah Saw., dan akhirnya panji Islam pun diserahkan kepada Mush’ab bin Umair, namun ketika Mush’ab bin Umair syahid. Barulah Rasulullah Saw., menyerahkan panji Islam selanjutnya kepada Ali bin Abi Thalib.

Sebagai pemegang panji, Ali ditantang oleh pembawa panji dari kaum musyirikin yang bernama Abu Sa’ad bin Abu talhah. Dari tantangan ini, tentulah Ali tak akan menolak ajakan tersebut.

Keduanya pun saling menyerang dan Ali memukul Abu Sa’ad bin Abu talhah dan membantingnya, kemudian berpaling dari Abu Sa’ad bin Abu talhah karena pada saat itu ia memperlihatkan auratnya.

Perang Khandak

Perang inilah yang semakin melejitkan nama Ali bin Abi Thalib sebagai sang jagoan perang. Dan tentu ini terjadi mengingat tradisi arab yang sebelum perang, mereka mempertemukan para jagoan kedua pihak dan untuk tanding terlebih dahulu, rupanya dari pihak lawan maju seorang kesatria Arab yang sudah snagat tekenal dengan kehebatannya. Yaitu Amr bin Abdi Wud, yang dianggap sebagai seseorang yang setara dengan seribu orang.

Baca Juga:  Kisah Waliyullah, Imam Ja’far Shadiq; Karomah dan Kalam Hikmahnya
Karena kehebatan seorang Amr yang memang sudah dikenal, rupanya Rasulullah Saw., mencoba mengurungkan niat Ali pada waktu itu yang sangat bersemangat untuk melawan Amr. Karena Amr telah memanggil pihak lawan sebanyak tiga kali, maka Ali pun bangkit.

Sebelumnya Amr sempat menasehati Ali untuk tidak melawannya dengan berkata:
“Wahai putra Saudaraku, di antara paman pamanmu ada yang lebih tua darimu. Dan saya tidak ingin mengalirkan darahmu”

Namun dengan kegagahan dan keberaniannya, Ali menimpalinya dan berkata:
“Tapi saya, demi Allah, sangat ingin menumpahkan darahmu!”

Mendengar hal itu, Amr bin Abdi Wud pun turun dari kudanya dan segera menyerang Ali dengan menghunuskan pedangnya hingga merobek temeng kulit Ali bin Abi Thalib. Bukannya menjadi tanda keberhasilan dengan merobek temeng kulit Ali bin Abi Thalib, malah menjadi petaka dikarenakan temeng tersebut tersangkut di pedang Amr dan menimpa kepalanya.

Ali bin Thalib pun memukul urat bahu Amr hingga tersungkur jatuh.

Wafatnya Ali bin Abi Thalib

Diperkirakan bahwa beliau wafat diusia 62 atau 63 tahun yang karena dibunuh oleh Abdrrahman bin Muljam yang berasal dari golongan Khawarij. Sama dengan sahabat sebelumnya, yakni Umar bin Khattab dan utsman bin Affan yang meninggal karena dibunuh.

Dan pembunuhan Ali bin Abi Thalib terjadi di masjid Kufah, dan beliau menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 29 Januari atau 21 Ramadhan tahun 40 Hijriyah.

Terkait dimana beliau dikebumikan, Berberapa sumber berdalih bahwa beliau dikuburkan secara rahasia di Najaf (salah satu kota di Irak), namun beberapa sumber lain menyatakan bahwa beliau dikubur di tempat lain.

Wallahu A’lam Bissawab …

Oleh Nonna, Mahasiswa UIN Alauddin Makassar, Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org
Read More

Kamis, 30 Januari 2020

Sirah Sahabat: Hudzaifah Ibnul Yaman, Sahabat Sekaligus Intelnya Rasulullah

Januari 30, 2020

Sirah Sahabat | Dialah Hudzaifah (حذيفة بن اليمان), seorang sahabat yang terkenal dengan julukan Shahibu Sirri Rasullllah (Pemegang Rahasia Rasulullah), karena memang banyak hal rahasia yang Nabi sampaikan hanya pada beliau.

Ia bernama Hudzaifah Ibnul Yaman. Lahir dari keluarga muslim, dan dibesarkan dalam pangkuan kedua orang tuanya yang telah memeluk agama Allah, sebagai rombongan pertama. Oleh sebab itu, Hudzaifah telah Islam sebelum dia bertemu muka dengan Rasulullah.

Setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, Hudzaifah selalu mendampingi beliau bagaikan seorang kekasih. Hudzaifah turut bersama-sama dalam setiap peperangan yang dipimpinnya, kecuali dalam Perang Badar.

Dalam Perang Uhud, ia ikut memerangi kaum kafir bersama dengan ayahnya, Al-Yaman. Dalam perang itu, Hudzaifah mendapat cobaan besar. Dia pulang dengan selamat, tetapi bapaknya syahid oleh pedang kaum Muslimin sendiri, bukan kaum musyrikin. Kaum Muslimin tidak mengetahui jika Al-Yaman adalah bagian dari mereka, sehingga mereka membunuhnya dalam perang.

Pada pribadi dari Ibnul Yaman ink terdapat tiga keistimewaan yang menonjol:

1). cerdas, sehingga dia dapat meloloskan diri dalam situasi yang serba sulit.
2). cepat tanggap, berpikir cepat, tepat dan jitu, yang dapat dilakukannya setiap diperlukan.
3). cermat memegang rahasia, dan berdisiplin tinggi, sehingga tidak seorang pun dapat mengorek yang dirahasiakannya.

Kesulitan terbesar yang dihadapi kaum Muslimin di Madinah ialah kehadiran kaum Yahudi munafik dan sekutu mereka, yang selalu membuat isu-isu dan muslihat jahat. Untuk menghadapi kesulitan ini, Rasulullah memercayakan suatu yang sangat rahasia kepada Hudzaifah Ibnul Yaman—dengan memberikan daftar nama orang munafik itu kepadanya.

Itulah suatu rahasia yang tidak pernah bocor kepada siapa pun hingga sekarang. Dengan memercayakan hal yang sangat rahasia itu, Rasulullah menugaskan Hudzaifah memonitor setiap gerak-gerik dan kegiatan mereka, untuk mencegah bahaya yang mungkin dilontarkan mereka terhadap Islam dan kaum Muslimin.

Karena inilah, Ibnul Yaman ini digelari oleh para sahabat dengan Shahibu Sirri Rasulillah (Pemegang Rahasia Rasulullah).

Pada puncak Perang Khandaq, Rasulullah memerintahkanya melaksanakan suatu tugas yang amat berbahaya. Beliau mengutus Hudzaifah ke jantung pertahanan musuh, dalam kegelapan malam yang hitam pekat.

“Ada beberapa peristiwa yang dialami musuh. Pergilah engkau ke sana dengan sembunyi-sembunyi untuk mendapatkan data-data yang pasti. Dan laporkan kepadaku segera!” perintah beliau.

Hudzaifah pun bangun dan berangkat dengan takutan dan menahan dingin yang sangat menusuk. Maka, Rasulullah berdoa, “Ya Allah, lindungilah dia, dari depan, dari belakang, kanan, kiri, atas, dan dari bawah.”

“Demi Allah, sesudah Rasulullah selesai berdoa, ketakutan yang menghantui dalam dadaku dan kedinginan yang menusuk-nusuk tubuhku hilang seketika, sehingga aku merasa segar dan perkasa,” tutur Hudzaifah.

Tatkala ia memalingkan diri dari Rasulullah, beliau memanggilnya dan berkata, “Hai Hudzaifah, sekali-kali jangan melakukan tindakan yang mencurigakan mereka sampai tugasmu selesai, dan kembali kepadaku!” “Saya siap, ya Rasulullah,” jawab Hudzaifah.

Hudzaifah pun pergi dengan sembunyi-sembunyi dan hati-hati sekali, dalam kegelapan malam yang hitam kelam. Ia berhasil menyusup ke jantung pertahanan musuh dengan berlagak seolah-olah anggota pasukan mereka. Belum lama berada di tengah-tengah mereka, tiba-tiba terdengar Abu Sufyan memberi komando.

“Hai, pasukan Quraisy, dengarkan aku berbicara kepada kamu sekalian. Aku sangat khawatir, hendaknya pembicaraanku ini jangan sampai terdengar oleh Muhammad. Karena itu, telitilah lebih dahulu setiap orang yang berada di samping kalian masing-masing!”

Mendengar ucapan Abu Sufyan, Hudzaifah segera memegang tangan orang yang di sampingnya seraya bertanya, “Siapa kamu?”Jawabnya, “Aku si Fulan, anak si Fulan.”

Sesudah dirasanya aman, Abu Sufyan melanjutkan bicaranya, “Hai, pasukan Quraisy. Demi Tuhan, sesungguhnya kita tidak dapat bertahan di sini lebih lama lagi. Hewan-hewan kendaraan kita telah banyak yang mati. Bani Quraizhah berkhianat meninggalkan kita. Angin topan menyerang kita dengan ganas seperti kalian rasakan. Karena itu, berangkatlah kalian sekarang dan tinggalkan tempat ini. Sesungguhnya aku sendiri akan berangkat.”

Selesai berkata demikian, Abu Sufyan kemudian mendekati untanya, melepaskan tali penambat, lalu dinaiki dan dipukulnya. Unta itu bangun dan Abu Sufyan langsung berangkat. Seandainya Rasulullah tidak melarangnya melakukan suatu tindakan di luar perintah sebelum datang melapor kepada beliau, tentu ia akan membunuh Abu Sufyan dengan pedangnya.

Hudzaifah Ibnul Yaman sangat cermat dan teguh memegang segala rahasia mengenai orang-orang munafik selama hidupnya, sampai kepada seorang khalifah sekali pun. Bahkan Umar bin Khathtab, jika ada orang Muslim yang meninggal, dia bertanya, “Apakah Hudzaifah turut menyalatkan jenazah orang itu?” Jika mereka menjawab, “Ada,” Umar turut menyalatkannya.

Suatu ketika, Khalifah Umar pernah bertanya kepada Hudzaifah dengan cerdik, “Adakah di antara pegawai-pegawaiku orang munafik?” “Ada seorang,” jawab Hudzaifah.”Tolong tunjukkan kepadaku siapa?” kata Umar. Hudzaifah menjawab, “Maaf Khalifah, saya dilarang Rasulullah mengatakannya.”

Diceritakan, Umar bin Khattahab sangat penasaran dengan daftar nama orang-orang munafik yang dikantongi Hudzaifah.

Umar pun masih sering bertanya kepada Hudzaifah, tapi tak pernah dijawab. Tujuan Umar ketika bertanya perihal daftar lengkap kaum munafik, bukanlah semata ingin tahu siapa saja mereka. Melainkan Umar hanya ingin tahu, apakah dirinya masuk daftar orang munafik itu.

Subhanallah! Begitu tawaddhunya Umar, dengan keimanannya yang kokoh serta pengorbanannya untuk Islam, ia masih tetap khawatir kalau-kalau dirinya masuk kategori orang munafik dalam penilaian Allah.

Hingga suatu hari, Hudzaifah mau menjawab dengan syarat tidak boleh bertanya lagi. Hudzaifah mengatakan, “Kamu bukan termasuk daftar orang munafik yang disampaikan Rasulullah”. Umar pun merasa lega dan bahagia.

Selain kuat memegang rahasia, Hudzaifah Ibnul Yaman sesungguhnya adalah pahlawan penakluk Nahawand, Dainawar, Hamadzan, dan Rai. Dia membebaskan kota-kota tersebut bagi kaum Muslimin dari genggaman kekuasaan Persia.

Hudzaifah juga termasuk tokoh yang memprakarsai keseragaman mushaf Al-Qur’an, sesudah kitabullah itu beraneka ragam coraknya di tangan kaum Muslimin.

Ketika Hudzaifah sakit keras menjelang ajalnya tiba, beberapa orang sahabat datang mengunjunginya pada tengah malam. Hudzaifah bertanya kepada mereka, “Pukul berapa sekarang?” Mereka menjawab, “Sudah dekat Subuh.”

Hudzaifah berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari Subuh yang menyebabkan aku masuk neraka.” Ia bertanya kembali, “Adakah kalian membawa kafan?” Mereka menjawab, “Ada.”

Ia berkata, “Tidak perlu kafan yang mahal. Jika diriku baik dalam penilaian Allah, Dia akan menggantinya untukku dengan kafan yang lebih baik. Dan jika aku tidak baik dalam pandangan Allah, Dia akan menanggalkan kafan itu dari tubuhku.”

Sesudah itu dia berdoa kepada Allah, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau tahu, aku lebih suka fakir daripada kaya, aku lebih suka sederhana daripada mewah, aku lebih suka mati daripada hidup.”

Sesudah berdoa demikian, ruhnya pun pergi menghadap Ilahi. Seorang kekasih Allah kembali kepada Allah dalam kerinduan. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya.

Wallahu A’lam.
Semoga pribadi dan karakter sang penjaga rahasia Nabi ini menjadi suri tauladan bagi kita sehingga kita bisa teguh pendirian dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab.

Oleh Faisol Abdurrahman, Alumni dan Staff Pengajar di Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Al-Khaliliyah, Sarjana Komunikasi Islam IAIN Pontianak dan Bidang Dakwah dan Kajian Keislaman Ikatan Santri dan Alumni Al-Khaliliyah (Insaniyah).

Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org
Read More

Rabu, 29 Januari 2020

Sirah Sahabat: Sa’ad bin Abi Waqash, Sahabat Nabi yang Gagah Berani dalam Barisan Pemanah

Januari 29, 2020

Sirah Sahabat | Sa’ad bin Abi Waqash, seorang panglima muslim yang mendapat jaminan surga pada masa Rasulullah SAW. karena eberanian, kekuatan dan kesungguhan imannya.Ia adalah paman Rasulullah SAW dari pihak ibu, Sa’ad bin Abi Waqash.

Ia adalah Sa’ad bin Abi Waqash, salah seorang sahabat sekaligus panglima jendral pasukan Islam dalam perang melawan Persia. Dia juga turut serta dalam peperangan seperti Badar dan Uhud.Di masa khalifah kedua, ia juga dipercayai menjadi panglima pasukan muslimin dalam perang Qadisiyyah dalam menghadapi Sasaniah.

Sa’ad juga diyakini dari kelompok orang orang yang menghidupkan Sunnah Rasul. Ia salah seorang dari sepuluh sahabat yang mendapat jaminan surga, karena keberanian dan keimanannya yang kuat

Sa’ad bin Abi Waqash adalah paman Rasulullah dari pihak ibu. Wuhaib bin ‘Abdi Manaf adalah kakeknya yang hidup di Bani Zuhrah.Wuhaib adalah kakek Sa’ad. Dia adalah paman Aminah binti Wahab, ibu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Orang-orang mengenal Sa’ad sebagai paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari pihak ibu.

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihatnya, beliau merasa bangga kepadanya karena keberanian, kekuatan, dan kesungguhan imannya, maka beliau bersabda, “Ini adalah pamanku. Ibunya bernama Humnah putri Abu Sufyan bin Umayyah Abdu Syams.

Sa’ad seseorang dengan postur tubuh yang tidak tinggi dan gemuk, kepalanya besar, rambutnya lebat dengan potongan rambut yang pendek. Ia dikenal sebagai pemuda yang serius dan berakhlak baik, terkadang mengenakan mantel bulu dan juga cincin emas di jarinya.

Dalam riwayat Ahlusunnah disebutkan ia memiliki banyak keutamaan diantaranya termasuk dalam ‘Asyarah Mubasyarah, yaitu 10 sahabat yang dijamin masuk surga, doanya terkabul. Ia meriwayatkan sebanyak 271 hadis dari Nabi Muhammad SAW, ikut serta dalam peperangan.

Ia adalah orang pertama yang dikenal menumpahkan darah musuh di jalan Islam yaitu dengan melukai ‘Ubaid bin Harits, dan yang pertama kali pula mendirikan kekuasaan di Kufah. Ia diangkat sebagai gubernur di Kufah oleh Khalifah Umar. Namun karena mendapat protes dan penolakan dari penduduk Kufah, pada tahun 21 H, ia meninggalkan jabatannya sebagai gubernur.

Sa’ad turut ikut serta dalam perang Badar dan Uhud dan juga dalam Perang Khandaq, Perang Khaibar, serta pembebasan Kota Mekah. Pada saat Fathu Mekah, ia adalah salah seorang dari tiga orang yang memegang bendera Kaum Muhajirin. Pada peperangan yang diikutinya beserta Nabi Muhammad SAW, ia tergabung dalam pasukan pemanah.

Menurut riwayat pada masa detik terakhir wafatnya Nabi Muhammad SAW, Sa’ad adalah diantara mereka yang berkumpul di rumah Sayidah Fatimah ra.

Sa’ad makin banyak berperan pada periode kekhalifahan Umar. Ia saat itu diangkat menjadi panglima perang memimpin pasukan Islam dalam perang Qaddasiyah menghadapi Kerajaan Sasanian pada akhir tahun 16 H.

Ia juga diangkat oleh khalifah Umar sebagai salah seorang anggota Dewan Syura yang ditugaskan untuk menetapkan khalifah pengganti. Dari litetarur yang ada, keenam orang yang berada dalam dewan syura adalah tokoh-tokoh penting dan memiliki kelayakan untuk menjadi khalifah.

Mereka adalah
1). Ali bin Abi Thalib
2). Utsman bin Affan
3). Abdurrahman bin ‘Auf
4). Sa’ad bin Abi Waqqash
5). Zubair bin ‘Awwam
6). Thalhah bin Ubaidillah

Pasca khalifah Umar wafat, anggota dewan syura berkumpul. Abu Thalhah al-Anshari berdiri di depan rumah untuk mencegah orang-orang lalu lalang di tempat tersebut. Disebutkan, Amru bin Ash dan Mughairah bin Syu’bah duduk di sisi tempat rapat yang mana kehadiran keduanya diprotes oleh Sa’ad bin Abi Waqash.

Ia berkata, “Apa maksud kalian duduk di tempat ini? Apa hendak mengaku kelak kalian juga adalah bagian dari syura dan turut hadir di dalamnya?”

Dari riwayat tersebut dapat diketahui bahwa betapa penting Sa’ad bin Abi Waqash memandang rapat syura tersebut.

Demkian biografi Sa'ad bin Abi Waqash. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat..

Oleh Faisol Abdurrahman, Alumni dan Staff Pengajar di Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Al-Khaliliyah, Sarjana Komunikasi Islam IAIN Pontianak,  Bidang Dakwah dan Kajian Keislaman Ikatan Santri dan Alumni Al-Khaliliyah (Insaniyah).

Artikel telah tanyang di Pecihitam.org
Read More

Kenal Ulama: Umar bin Abdul Aziz, Dikenal Sebagai Khulafaur Rasyidin Kelima

Januari 29, 2020

Tokoh Ulama | Sejarah Islam turut diharumi dengan adanya pemimimpin yang saleh dan bijaksana hingga kerap disebut sebagai khulafaur rasyidin kelima. Dialah Khalifah Umar bin Abdul Aziz, salah seorang khalifah dari Dinasti Bani Umayyah.

Ia bernama Umar bin Abdul Aziz.
Lahir 2 November 682 (26 Safar 63 H) di Madinah. Umar berasal dari Bani Umayyah cabang Marwani. Ayahnya bernama Abdul Aziz bin Marwan dan ibunya bernama Laila binti Asim bin ‘Umar, khalifah rasyid yang kedua.

Menurut tradisi Sunni, keterkaitan silsilah antara ‘Umar bin Abdul ‘Aziz dengan Umar bin Khattab bermula pada suatu malam di masa ‘Umar bin Khattab. Saat sedang beronda malam, Umar bin Khattab mendengar percakapan antara seorang gadis dan ibunya dari keluarga pedagang susu.

Sang gadis menolak mencampur susu dengan air sebagaimana yang diperintahkan ibunya lantaran terdapat larangan dari khalifah mengenai hal tersebut dan mengatakan bahwa Allah melihat perbuatan mereka meski Umar bin Khattab sendiri tidak mengetahui.

Kagum akan kejujurannya, Umar memerintahkan salah seorang putranya, ‘Ashim, untuk menikahi gadis tersebut. Dari pernikahan ini, lahirlah Laila, ibunda ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz.

‘Umar bin Abdul Aziz lahir saat kekhalifahan dalam kepemimpinan Bani Sufyani, cabang Bani Umayyah yang merupakan keturunan Abu Sufyan bin Harb. Pada masa Khalifah Yazid, perasaan tidak suka dari penduduk Madinah terhadap Yazid meluas menjadi sentimen anti-Umayyah, sehingga semua anggota Bani Umayyah diusir dari Madinah.

Setelah masa kekhalifahan Mu’awiyah bin Yazid berakhir pada 684, kendali Umayyah atas kekhalifahan sempat runtuh dan banyak pihak berbalik mendukung Abdullah bin Zubair, khalifah pesaing Umayyah yang berpusat di Mekkah.

Umayyah kembali menguatkan pengaruhnya saat Marwan diangkat menjadi khalifah di Syria. Putra Marwan, Abdul-Malik, ditetapkan sebagai Gubernur Palestina dan putra mahkota, sedangkan putra Marwan yang lain, Abdul ‘Aziz, ditetapkan sebagai Gubernur Mesir dan wakil putra mahkota.

Setelah Marwan mangkat, Abdul Malik menjadi khalifah, sedangkan kedudukan Abdul ‘Aziz naik menjadi putra mahkota sekaligus masih tetap mempertahankan kepemimpinannya atas Mesir sebagai gubernur.

Umar bin Abdul Aziz menghabiskan sebagian masa kecilnya di wilayah kekuasaan ayahnya di Mesir, utamanya di kota Helwan.Meski begitu, dia menerima pendidikan di Madinah yang saat itu kepemimpinan kota tersebut sudah diambil alih kembali oleh pihak Umayyah pada 692. Menghabiskan masa mudanya di sana, Umar menjalin hubungan erat dengan orang-orang saleh dan perawi hadits.

Di penghujung usia, Abdul Malik ingin agar tahta kelak diwariskan kepada putranya, Al-Walid, dan bukan kepada Abdul Aziz. Abdul Aziz menolak menyerahkan kedudukannya sebagai putra mahkota, tetapi perselisihan dapat dihindari lantaran Abdul Aziz wafat lebih dulu dari Abdul Malik.

Abdul Malik kemudian menobatkan Al-Walid sebagai putra mahkota. Selain itu, Abdul Malik memanggil Umar ke Damaskus dan menikahkannya dengan putrinya sendiri, Fatimah.

Al-Walid naik tahta pada 705 setelah ayahnya mangkat. Secara silsilah, Al-Walid dan Umar bin Abdul Aziz adalah sepupu. Melalui pernikahan, mereka berdua adalah saudara ipar. ‘Umar menikah dengan Fatimah, saudari Al-Walid, dan Al-Walid merupakan suami Ummul Banin, saudari ‘Umar.

Salah satu kebijakan Al-Walid adalah mengangkat ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz sebagai gubernur Madinah.Di masa sebelumnya, Madinah yang menolak kepemimpinan Umayyah ditundukkan secara paksa oleh pihak Umayyah pada Pertempuran al-Harrah di masa Khalifah Yazid.

Gubernur Madinah sebelumnya, Hisyam bin Ismail al-Makhzumi, dikenal sangat keras dalam memerintah. Penunjukan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz dimaksudkan untuk meredam ketegangan antara penduduk Madinah dengan pihak Umayyah dan menjembatani kedua belah pihak.’Umar mulai menjabat pada bulan Februari atau Maret tahun 706 dan wilayah kewenangannya kemudian diperluas ke Makkah dan Tha’if.

‘Umar juga kerap memimpin rombongan haji dan menunjukkan dukungan pada para ulama Madinah, khususnya Said bin al-Musayyib yang merupakan salah satu Tujuh Fuqaha Madinah. Umar tidak membuat keputusan tanpa berdiskusi dengan Said terlebih dahulu,salah satunya adalah masalah perluasan Masjid Nabawi.

Khalifah Al-Walid memerintahkan perluasan masjid yang menjadikan rumah Nabi Muhammad harus turut direnovasi.’Umar membacakan keputusan ini di depan penduduk Madinah sehingga banyak dari mereka yang menangis.

Perkataan Said bin al-Musayyib, “Sungguh aku berharap agar rumah Rasulullah tetap dibiarkan seperti apa adanya sehingga generasi Islam yang akan datang dapat mengetahui yang sesungguhnya tata cara hidupnya yang sederhana”.

Masa di Madinah itu menjadi masa yang jauh berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, dan keluhan-keluhan resmi ke Damaskus (ibukota kekhalifahan saat itu) berkurang dan dapat diselesaikan di Madinah. ‘Umar juga cenderung longgar dalam menghadapi para ulama yang kerap melayangkan kritik terhadap pemerintahan Umayyah.

Dalam masalah pribadi, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz memiliki gaya hidup yang mewah saat menjadi gubernur.Segala kebijakan yang diambil menjadikan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz sebagai pejabat yang terkenal akan kesalehan dan kebijaksanaannya.

Sepeninggal Al-Walid, Sulaiman bin ‘Abdul Malik yang merupakan adik kandungnya dinobatkan sebagai khalifah dan memimpin kekhalifahan dari Yerusalem (Al-Quds). Pada masanya, para pejabat yang berkuasa pada masa Al-Walid dilucuti satu-persatu dari jabatan mereka.

“Al-Hajjaj” sudah meninggal tatkala Sulaiman naik tahta, tapi kerabat dan sekutunya diberhentikan dan mendapat hukuman. Di sisi lain, lawan politik mereka menempati berbagai kedudukan penting pada masa Sulaiman. Salah satu di antaranya adalah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz.

Sulaiman yang juga merupakan sepupu ‘Umar sangat memberikan penghormatan padanya.Bersama seorang ulama tabi’in Raja’ bin Haiwah, ‘Umar menjadi penasihat utama Sulaiman. Dia mendampingi Sulaiman dalam memimpin rombongan haji pada 716 dan sampai kembalinya di Yerusalem.

Tampaknya ia juga mendampingi Sulaiman di Dabiq saat kekhalifahan berperang melawan Kekaisaran Romawi.

Pada awalnya, Sulaiman menunjuk salah seorang putranya, Ayyub, menjadi putra mahkota, tetapi Ayyub meninggal lebih dulu pada awal 717. Sulaiman yang saat itu sakit keras kemudian berencana menunjuk putranya yang lain, Dawud, sebagai putra mahkota, tetapi Raja’ bin Haiwah tidak sepakat dengan alasan bahwa Dawud sedang berperang di Konstantinopel dan tidak ada kejelasan mengenai kembalinya.

Raja’ mengusulkan agar mengangkat ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz sebagai pewaris, sebab ‘Umar dikenal sebagai salah satu tokoh yang bijaksana, cakap, dan saleh pada masa itu. Sulaiman menyepakati usulan tersebut.

Namun demi menghindari perselisihan di dalam tubuh Umayyah antara pihak ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz dengan saudara-saudara Sulaiman, Sulaiman menetapkan saudaranya, Yazid, sebagai wakil putra mahkota. Hal ini bermakna bahwa setelah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, Yazid yang akan menjadi khalifah. Raja’ yang dipasrahi urusan ini segera mengumpulkan anggota Bani Umayyah di masjid dan meminta mereka bersumpah setia untuk menerima wasiat Sulaiman yang masih dirahasiakan.

Setelah mereka menyatakan kepatuhan, barulah Raja’ mengumumkan bahwa ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz yang akan menjadi khalifah sepeninggal Sulaiman. Saudara Sulaiman yang lain, Hisyam, menentang keputusan tersebut, tetapi kemudian diancam akan jatuh.

Umar dibai’at sebagai khalifah pada hari Jum’at setelah shalat Jum’at. Berbeda saat masih menjadi gubernur, gaya hidup ‘Umar menjadi sangat sederhana pada saat menjadi khalifah. Gajinya selama menjadi khalifah hanya 2 dirham perhari atau 60 dirham perbulan.

Segera setelah mendengar berita kematian Khalifah Sulaiman, ‘Abdul ‘Aziz yang merupakan putra Khalifah Al-Walid langsung bergegas menuju Damaskus beserta pasukannya, tanpa mengetahui pihak yang menggantikan Sulaiman. Sebagai catatan, Al-Walid pernah berusaha melepas posisi Sulaiman sebagai putra mahkota untuk diserahkan kepada ‘Abdul ‘Aziz, tetapi Al-Walid lebih dulu meninggal sebelum keinginannya diresmikan, sehingga Sulaiman yang pada akhirnya menjadi khalifah.

‘Umar merombak ulang administrasi provinsi-provinsi di kekhalifahan.Ia melakukan pemekaran atas provinsi di kawasan timur kekhalifahan yang dibentuk pada masa Khalifah ‘Abdul Malik bin Marwan dan Al-Hajjaj bin Yusuf.Gubernur yang ditunjuk Sulaiman untuk provinsi besar ini, Yazid bin Muhallab, diberhentikan dan ditahan lantaran tidak menyetorkan harta rampasan perang dari penaklukan sebelumnya atas kawasan Thabaristan ke kas perbendaharaan negara. 

Umar kemudian menunjuk beberapa gubernur baru untuk beberapa provinsi. Perinciannya:

Kawasan timur
Kufah: ‘Abdul Hamid bin ‘Abdurrahman bin Zaid bin Khattab (masih anggota keluarga ‘Umar bin Khattab)
Basrah: ‘Adi bin Arthah al-Fazari
Khorasan: Al-Jarrah bin ‘Abdullah
Sindh: ‘Amr bin Muslim al-Bahili
Mesopotamia Hulu: ‘Umar bin Hubairah

Kawasan barat
Al-Andalusia (semenanjung Iberia): As-Samh bin Malik al-Khaulani
Ifriqiyah (Afrika Utara): Ismail bin ‘Abdullah bin Abi al-Muhajir

Meski pejabat baru yang ditunjuk di kawasan timur ini dulunya pengikut Al-Hajjaj atau dari kelompok Qais, ‘Umar menunjuk mereka atas dasar kecakapan, bukan lantaran mereka adalah lawan politik Khalifah Sulaiman.

Pilihannya untuk gubernur Al-Andalus dan Ifriqiyah berangkat dari pandangan ‘Umar tentang netralitas mereka atas persaingan antara kelompok Qais dan Yamani, juga keadilan mereka terhadap pihak-pihak yang tertindas. 

‘Umar tampak memilih orang cakap yang dapat dia kendalikan, menunjukkan niatnya untuk benar-benar melakukan pengawasan cermat atas tiap-tiap provinsi.

Sejarawan Wellhausen mencatat bahwa ‘Umar tidak membiarkan para gubernur mengatur wilayah mereka sendiri hanya karena sudah menyetorkan pendapatan daerah ke pusat, tetapi secara aktif mengawasi administrasi para gubernurnya.

Dalam urusan militer, ‘Umar cenderung pasif bila dibandingkan pendahulunya, meskipun sejarawan Cobb mengaitkan sikap ‘Umar dengan kekhawatiran akan menipisnya perbendaharaan negara.

Wellhausen menegaskan bahwa ‘Umar tidak menyukai perang penaklukan, mengetahui bahwa mereka digaji bukan untuk kepentingan Allah, tetapi karena rampasan perang.Segera setelah menjadi khalifah, dia memerintahkan agar pasukan Muslim yang dikomando oleh Maslamah bin ‘Abdul-Malik segera ditarik dari pengepungan Konstantinopel dan mundur ke Malatya di kawasan Anatolia Timur/Armenia Barat.

Terlepas dari penarikan tersebut, ‘Umar terus melakukan serangan musim panas tahunan pada perbatasan Romawi, sebagai bagian dari kewajiban jihad. ‘Umar tetap berada di Syria utara, seringkali tinggal di tanah miliknya di Khanasir, tempat dia membangun benteng.

Pada suatu waktu di tahun 717, ‘Umar mengirim pasukan ke Azerbaijan selatan di bawah kepemimpinan Ibnu Hatim bin Nu’man al-Bahili untuk menumpas sekelompok bangsa Turki yang melakukan perusakan di kawasan tersebut. Pada 718, dia mengerahkan berturut-turut pasukan Iraq dan Syria untuk menekan pemberontakan Khawarij di Iraq, meski sebagian sumber menyatakan bahwa gerakan perlawanan ini diredam dengan diplomasi.

Di sepanjang perbatasan timur laut kekhalifahan, di Transoxiana, Islam sudah memiliki kedudukan mapan di beberapa kota, mencegah ‘Umar untuk menarik pasukan Arab dari sana.Meski demikian, dia mencegah untuk melakukan perluasan wilayah lebih jauh ke timur.Pada masa kekuasaannya, pasukan Muslim yang berpusat di Al-Andalus menaklukkan kota Narbonne di kawasan Franka selatan.

‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz merupakan seorang ulama dan dia sendiri dikelilingi ulama-ulama besar seperti Muhammad bin Ka’ab dan Maiumun bin Mihran. Dia menawarkan tunjangan kepada para guru dan mendorong pendidikan. Melalui teladan pribadinya, dia menanamkan kesalehan, ketabahan, etika bisnis, dan kejujuran moral di masyarakat.

Pembaharuan yang dia lakukan termasuk memperketat larangan minum-minuman keras, melarang ketelanjangan publik, menghapus pemandian umum campur laki-laki dan perempuan, dan pemberian dispensasi zakat yang adil.

Dia memerintahkan pengerjaan berbagai bangunan umum di Persia, Khorasan, dan Afrika Utara, seperti pembangunan kanal, jalan, karavanserai, dan klinik kesehatan. ‘Umar juga melanjutkan program kesejahteraan dari beberapa khalifah Umayyah terakhir dan memperluasnya, termasuk program-program untuk anak yatim dan orang miskin.

‘Umar juga dipuji lantaran memerintahkan pengumpulan resmi hadits yang pertama kali lantaran adanya kekhawatiran akan hilangnya sebagian hadits. Mereka yang diperintahkan ‘Umar melaksanakan perintah tersebut antara lain Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm dan Ibnu Syihab az-Zuhri.

Beberapa pembaharuan lain yang ‘Umar lakukan:

Melarang pejabat negara untuk berbisnis Pekerja tanpa bayaran dianggap ilegal.

Tanah penggembalaan dan cagar alam yang diperuntukkan bagi keluarga para pejabat tinggi dibagikan secara merata pada orang miskin dan tujuan budidaya.

Mendesak semua pejabat untuk mendengarkan keluhan orang-orang dan pada setiap kesempatan, diumumkan bahwa jika ada yang melihat petugas yang memperlakukan masyarakat tidak sebagaimana mestinya, dia harus melaporkannya dan sang pelapor akan diberikan hadiah mulai dari 100 hingga 300 dirham.

Pada masa sebelumnya, Bani Umayyah terkenal akan permusuhannya terhadap ahlul bait (keluarga Nabi Muhammad) dan mengharuskan para khatib untuk melakukan celaan pada Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib pada khutbah shalat Jum’at.

‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz kemudian memerintahkan agar kebiasaan itu dihapus.Tanah Fadak yang dikuasai Bani Umayyah sejak masa Khalifah Marwan bin al-Hakam juga dikembalikan kepada Bani Hasyim. Sebagai catatan, tanah Fadak adalah tanah milik Nabi Muhammad di kawasan Khaibar yang berdasar perintah Nabi, hasil dari pengelolaannya diberikan kepada kalangan Bani Hasyim yang membutuhkan.

Di masa khalifah Umayyah sebelumnya, Muslim Arab memiliki hak istimewa terkait keuangan daripada Muslim non-Arab. Mualaf dari kalangan non-Arab tetap diwajibkan membayar pajak jizyah seperti saat mereka belum masuk Islam. ‘Umar kemudian menghapuskan kebijakan ini dan membebaskan semua Muslim dari pembayaran jizyah, tanpa memandang asal-usul mereka.

Meski begitu, ‘Umar juga membuat penjagaan agar keuangan negara tidak runtuh saat terjadi gelombang mualaf yang berakibat menyusutnya penerimaan jizyah. Mualaf non-Arab tidak lagi membayar jizyah, tetapi tanah mereka menjadi tanah desa dan dikenakan kharaj atau cukai tanah.

Mengikuti teladan Nabi Muhammad, ‘Umar mengirim utusan ke Tiongkok dan Tibet dan mengajak pemimpin mereka memeluk Islam. Di masa ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz inilah Islam berakar kuat dan diterima sebagian besar masyarakat Persia dan Mesir. Saat para pejabat mengeluhkan merosotnya pendapatan dari jizyah lantaran terjadinya gelombang mualaf, ‘Umar membalas bahwa dia menerima tampuk kekhalifahan untuk mengajak orang-orang masuk Islam, bukan menjadi penagih pajak. Jumlah Muslim non-Arab yang semakin besar menjadikan pusat negara bergeser yang semula dari Madinah dan Damaskus menjadi Persia dan Mesir.

‘Umar juga mengajak raja-raja di India untuk memeluk Islam dan menjadi bawahan khalifah. Sebagai balasan, mereka tetap mempertahankan kedudukan mereka sebagai raja. Beberapa raja menerima tawaran tersebut dan mulai mengadopsi nama Arab.

Oleh Faisol Abdurrahman, Alumni dan Staff Pengajar di Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Al-Khaliliyah | Sarjana Komunikasi Islam IAIN Pontianak | Bidang Dakwah dan Kajian Keislaman Ikatan Santri dan Alumni Al-Khaliliyah (Insaniyah)

Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org
Read More

Kamis, 23 Januari 2020

Kenal Ulama: Abu Usman Fauzi, Ulama Kharismatik Nusantara Asal Aceh

Januari 23, 2020

Ulama Nusantara | Abu Usman Fauzi bernama lengkap Tgk. H. Teuku Usman Al-Fauzi Bin Tgk. Teuku Muhammad Ali. Beliau juga akrab disapa dengan sebutan Abu Lueng Ie. Sedangkan Lueng Ie itu sendiri merupakan nama laqab tempat ia tinggal, yakni Desa Lueng Ie, Aceh Besar.

Dikarenakan beliau berasal dari golongan ninggrat yang di Aceh sering disebut dengan Teuku atau Ampon, maka gurunya yakni Abuya Muda Waly sering memanggilnya dengan sapaan Ampon.

Al-Fauzi merupakan laqab yang diberikan oleh Abuya Muda Waly. Abuya mengartikan al-Fauzi sebagai orang yang kuat menghadapi cobaan dan tantangan.

Abuya Muda Waly memberi gelar tersebut kepada Abu Lueng Ie lantaran beliau memang pantas menyemat laqab tersebut, sebab beliau berhasil melewati bermacam tantangan hidup, terutama ketika masih belajar kepada Abuya di Dayah Darussalam, Labuhan Haji, Aceh Selatan.

Kelahirannya

Abu Usman Fauzi lahir di Desa Cot Cut pada tahun 1919, sekitaran Desa Cot Iri, Aceh Besar dan meninggal dunia pada tahun 1992 di Banda Aceh dalam usia 72 tahun. Ayahnya bernama Tgk. Teuku Muhammad Ali. Namun masyarakat mengenal dengan sebutan Teuku Nyak Ali.

beliau berasal dari kalangan Teuku (bangsawan/niggrat), sehingga pada masa kanak-kanak dan remaja mampu bersekolah di sekolah favorit pada masanya, sehingga wajar-wajar saja Abu Usman Fauzi mampu menguasai beberapa bahasa Asing baik Inggris dan lainnya.

Awalnya Abu Usman Fauzi adalah seorang veteran pada masa penjajahan di usia dewasanya, beliau bertugas untuk mengawal para Ulama pada acara-acara penting.

Suatu saat ketika Abu Usman Fauzi sedang mengawal Abuya Mudawaly, Abu Usman melihat sosok Abuya yang sangat menakjubkan dan wajahnya begitu beraura, sehingga Abu Usman tertarik hatinya untuk dapat terus mengikuti Abuya dan berguru padanya.

Keinginan beliau semakin hari semakin menjadi-jadi, Cita-cita dan keinginannya agar dapat menuntut ilmu ke Dayah Darussalam Labuhan Haji pun semakin meningkat.

Walaupun pada awalnya ada suatu hal yang mengganjal, ketika bermusyawarah dengan ibu, Abu tidak diizinkan untuk pergi menuntut ilmu ke Labuhan Haji, karena sangat jauh dan pun beliau merupakan putra semata wayang.

Walaupun sudah beberapa kali diminta sang Ibupun tidak juga megizinkan, sampai akhirnya, Abuya mengambil sikap bahwa Abu Lieng Ie harus ikut Abuya Muda Waly untuk menuntut ilmu di dayah Labuhan Haji walaupun sang ibu tidak merestuinya.

Kiprahnya

Setelah Abu Lueng Ie menuntut ilmu di Darussalam Labuhan Haji kurang lebih selama delapan tahun, beliau kemudian sempat menjadi guru di Dayah Kalee Pidie selama 3 tahun.

Akan tetapi ini tidaklah bertahan lama karena Abu berkeinginan untuk mendirikan dayah (pesantren) sendiri yang kemudian diberi nama dengan Dayah Darul ‘Ulum sekitar tahun 1960 di Desa Lueng Ie.

Dayah Darul ‘Ulum tersebut kemudian berkembang pesat, banyak murid-murid yang berdatangan untuk menimba ilmu disana dan berhasil mencetak kader-kader Ulama sekitarnya.

Disamping perannya sebagai pimpinan dayah,  Abu Usman Fauzi rahimahullah juga merupakan seorang Mursyid dalam thariqat naqsyabandiyyah yang luar biasa perkembangannya dan sangat banyak pengikut thariqat tersebut di Aceh bahkan didunia saat ini.

Dari karena itu, beliau kemudian memiliki banyak murid dan pengikut, bahkan hampir di setiap wilayah dalam kabupaten di propinsi paling ujung itu terdapat pengikutnya.

Wafatnya

Abu Usman Fauzi rahimahullah meningal dunia pada hari jum’at tahun 1992 di Rumah Sakit Kesdam setelah sebelumnya sempat dirawat di RSUD Zainal Abidin. Sebagaimana cita-cita semua ummat Islam, meninggal di hari Jumat adalah sebuah harapan indah. Makanya dalam zikir suluk selalu dipanjatkan doa agar meninggal hari Jumat bulan Ramadan. Teryata Allah memperkenankan doa Abu selama ini.

Sebelum beliau wafat, Desa Lueng Ie sedang dalam kondisi kemarau. Panas terik matahari membuat masyarakat setempat malas keluar rumah. Pohon-pohon pun terlihat layu dan kering dan tanah pun tampak gersang.

Setelah  Abu meninggal, alam sekitar langsung berubah drastis. Langit seakan menangis histeris. Hujan deras terus membasahi tanah Lueng Ie dan sekitarnya.

Derasnya hujan berlangusung hingga beberapa hari. Ditambah lagi dengan angin kencang dan petir yang menyambar-nyambar yang. Seolah-olah alam berpesan kepada penghuninya, bahwa kepergian Abu adalah musibah bagi dunia.

Para murid dan masyarakat dari berbagai daerah di Aceh mulai mendatangi rumah duka. Kepergian Abu membuat keluarga dan anak-anaknya sedih. Muridnya merasakan kesedihan yang begitu mendalam. Sepertinya sulit sekali mencari pengganti sekaliber Abu Usman Fauzi atau yang kerap disapa Abu Lueng Ie ini.

Demikian biografi Abu Usman Fauzi yang sangat singkat ini, semoga menambah wawasan bagi para pembaca.  Semoga Allah SWT mengampuni segala dosa-dosa Almarhum dan menempatkan beliau disisi-Nya, bersama para Nabi ‘alaihimusshalatu wassalam. Wallahua’lambisshawab!

[Referensi: Dari Berbagai Sumber]

Oleh Muhammad Haekal, Alumni Ponpes Moderen Babun Najah Banda Aceh | Santri di Dayah Raudhatul Hikmah Al-Waliyyah, Banda Aceh

Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org

Read More

Selasa, 21 Januari 2020

Kenal Ulama: Syeikh Wahbah Al Zuhaili, Ulama Kontemporer Ahli Fiqih dan Tafsir

Januari 21, 2020

Tokoh Ulama | Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili adalah seorang guru besar di Syiria dalam bidang keislaman, beliau juga merupakan salah seorang Ulama Fiqh Kontemporer peringkat dunia dan sangat masyhur. Beliau memiliki nama asli yaitu, Wahbah ibn Mustafa al-Zuhaili, lahir pada tanggal 6 Maret 1932 M / 1351 H, di desa Dir ‘Atiyah, daerah Qalmun, Damshiq, Syiria.

Ayah beliau bernama Mustafa al-Zuhaili, yang sangat terkenal dengan ketakwaan dan keshalihannya, beliau juga seorang hafidz Al-Qur’an, dan bekerja sebagai petani. Sedangkan ibunya bernama Fatimah ibn Mustafa Sa’adah, beliau merupakan seorang yang sangat berpegang teguh terhadap ajaran agama. Wahbah Zuhaili wafat pada hari Sabtu sore, tanggal 8 Agustus tahun 2015 di Suriah, pada usianya ke 83 tahun.

Pendidikan pertama beliau di awali dari Sekolah Dasar (Ibtida’iyah) yaang berada di kampungnya sendiri, dan di waktu yang bersamaan pula beliau belajar Al-Qur’an di tempat kelahirannya juga. Pada tahun 1946, Wahbah Zuhaily menyelesaikan pendidikan ibtidaiyah-nya kemudian melanjutkan pendidikannya di kuliah Shari’ah di Damaskus dan selesai pada tahun 1952.

Setelah lulus, Wahbah Zuhaily pun melanjutkan lagi pendidikannya di Cairo beliau mengambill dua fakultas sekaligus di Universitas yang berbeda, yaitu Fakultas Bahasa Arab al-Azhar University dan Fakultas Shari’ah di Universitas ‘Ain Sham, dan kuliah secara bersamaan.

Selama lima tahun beliau berhasil menyelesaikan kuliahnya dan mendapatkan tiga ijazah dan kemudian melanjutkan ke pasca sarjana di Universitas Cairo dan menyelesaikannya dalam waktu dua tahun, dan selesai pada tahun 1957 dengan tesisnya yang berjudul “Al-Zira’i fi al-Siyasah al-Shari’ah wa al-Fiqh al-Islami”.

Tidak berhenti sampai di situ, beliupun melanjutkan lagi pendidikannya dengan mengambil program Doktoral yaang selesai padaa tahun 1963 dengan judul desertasinya “Athar al-Harb fi al-Fiqh al-Islami Dirasatan Muqaranatan” di bawha bimbingan Dr. Muhammad Salman Madhkur.

Kemudian pada taahun 1963 M, beliau di angkat menjadi dosen di Fakultas Shari’ah Universitas Damaskus dan menjadi wakil dekan berturut-turut, dan kemudian menjadi Dekan. Selain itu beliau juga menjadi ketua jurusan Fiqh al-Islami wa Madzahabih, dan menjadi professor pada tahun 1975.

Beliau sangat terkenal sebagai seorang yang ahli dalam bidang Fiqh, Tafsir dan Dirasah Islamiyah. Sebagai seorang Ulama dan pemikiran islam, Wahbah al-Zuhaili telah menulis banyak sekali buku, dan artikel dari berbagai bidang ilmu ke islaman.

Sekitar kurang lebih 133 buah buku dan risalah-risalah kecil yag kurang lebih berjumlh 500 makalah. Sebagian besar kitab yang beliau tulis adalah Fiqih dan Usul al-Fiqh, selain itu beliau juga menulis kitab Tafsir oleh karenanya beliau juga di sebut sebagai ahli tafsir.

Selain itu, beliau juga menuliskan kitab tentang Hadist, sejarah dan bidang lainnya, sehingga beliau bukan hanya sekedar Ulama Fiqh saja, tetapi juga sebagai seorang Ulama dan pemikir Islam.

Beberapa karya-karya beliau adalah sebagai berikut:

Bidang Fiqh dan Ushul al-Fiqh

Athar al=Harb fi al-Fiqh al-Islami- Dirasah Maqaranah (Dar al Fikr. Damshiq, 1963)
Al-Wasit fi Usul al-Fiqh (Damshiq : Universitas Damshiq, 1966)
Al-Fiqh al-Islami fi Uslub al-Jadid ( Damshiq : Maktabah al-Hadith, 1967)

Bidang Tafsir

Al-Insan fi Al-Qur’an (Damshiq, Dar al-Maktabah, 2001)
Al-Qayyim al-Insaniyah fi Al-Qur’an al-Karim (Damshiq, Dar al-Maktabah, 2000)
Al-Qissah al-Qur’aniyah Hidayah wa Bayan ( Damshiq, Dar al-Khair)

Bidang Hadist

Manhaj al-Da’wah fi al-Sirah al-Nabawiyah ( Damshiq, Dar al-Maktabah, 2000)
Al-Asas wa al-Masdar al-Ijtihad al-Mushtarikaat baina al-Sunnah wa al-Shi’aah ( Damshiq; Dar al-Maktabah, 1966)
Al-Sunnah Al-Nabawwiyah (Damshiq; Dar al-Maktabah, 1997)

Bidang Sosial dan Budaya

Al-Alaqah al-Dauliyah fi al-Islam (Beirul; Muassasah al-Risalah, 1981)
Khasais al-Kubra li Huquq al-Insan fi al-Islam ( Damshiqq : Dar al-Maktabah, 1995)
Al-Islam al-Din al-Jihad I al- ‘Udwan (Libya; Tripoli, 1990)
Al-Thaqafah wa al-Fikr (Damshiq; Dar al-Maktabah, 2000)

Bidang Sejarah

Al-Mujaddid Jamal al-Din al-Afghani ( Damshiq; Dar al-Maktabah, 1986)

Demikianlah, sekilas biografi tentang Ulama masyhur yaitu Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, dari latar belakang, pendidikan dan karya-karya beliau yang sangat terkenal.

Oleh Arif Rahman Hakim, Pengurus PWCINU dan LAZIZNU Okinawa - Jepang Tahun 2017
Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org
Read More

Kenal Ulama: Imam Ahmad Ar-Rifa’i, Karamah dan Kalam Hikmahnya

Januari 21, 2020

Tokoh Ulama | Imam Ahmad Ar-Rifa’i merupakan seorang wali quthub, Ulama Sufi yang menjadi tonggak thariqah dan tokoh para wali agung, beliau bernama lengkap Syaikh Sayyid Ahmad al-Rifa`i bin Sayyid `Ali, bin Sayyid Yahya, bin Sayyid Tsabit, bin Sayyid Hazim, bin Sayyid Ahmad, bin Sayyid Ali, bin Sayyid Hasan al-Rifa`ah.

Jika Nasabnya diteruskan, maka akan sampai kepada Sayyidina Husain, bin Sayyidina ‘Ali wa Sayyidatina Fatimah az-Zahra, binti Sayyidina Muhammad Rasulullah SAW.

Beliau dilahirkan hari Kamis pada pertengahan bulan Rajab tahun 512 H di Ummi Abidah, daerah yang berada diantara Bashrah dan Baghdad, yang masyhur di Irak

Pertama sekali belajar fikih madzhab Syafi’i pada pamannya sendiri, yang bernama Syekh Abu Bakar al-Wasiti al-Anshari. Beliau sempat mengajar kitab Tanbih, kemudian masuk  ke dunia Thariqah dan menempa dirinya dengan sungguh-sungguh.

Beliau meninggalkan kesenangan duniawi dan memusatkan perhatiannya pada ilmu thariqah, sehingga menjadi seorang wali agung dan sangat ahli dalam bidang ilmu thariqah.

Imam Ahmad Ar-Rifa’i memiliki banyak murid dan sahabat yang sangat menghormatinya. Menurut Syeikh Ibnu Khalkan dan lainnya, santri-santrinya terkenal dengan nama Rifa`iyah, memiliki hal-hal yang aneh dan menakjubkan

Imam Ahmad Ar-Rifa’i rahimahullah wafat pada waktu dhuhur, hari Kamis 12 Jumadil Ula tahun 578 H. Kalimat terakhir yang beliau ucapkan adalah:

أَشْهَدُ أَنْ لَآإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ

Pada hari wafatnya Imam Ahmad Ar-Rifa’i, ribuan orang datang melayat. Beliau dikebumikan di kuburan Yahya al-Bukhari di Bukhara.

Kisah Karamahnya

* Syaikh Syamsuddin Sibtu bin al-Zauji dalam kitab Tarikhnya mengatakan, bahwa disamping Sayyid Ahmad Ar-Rifa’i yang memiliki berbagai karamah dan maqam/kedudukan, santri-santrinya juga luar biasa. Mereka terkadang menaiki binatang buas dan bermain-main dengan ular. Di antara mereka bahkan ada yang memanjat pohon kurma lalu menjatuhkan diri ke tanah, namun tak merasa sakit sedikitpun.

* Imam Ahmad Ar-Rifa’i sering melihat (Tajalli/tersingkap) Nur kebesaran Allah Swt. Dan ketika hal itu terjadi, dirinya pun meleleh seperti genangan air. Namun dengan berkat Kelembutan dan Kasih Sayang Allah SWT, beliau kembali mengeras sedikit demi sedikit sehingga kembali ke wujud semula. Lantas beliau pun berkata kepada para santrinya: “Sekiranya bukan karena kemurahan Allah SWT, sungguh aku tidak akan kembali pada kalian“.

* Jika ada orang yang meminta dituliskan azimat kepadanya, maka beliau mengambil kertas lalu menuliskannya dengan tangan kosong (tanpa pena/tinta).

* Suatu hari Imam Ahmad Ar-Rifa’i berangkat ke Mekkah untuk melaksanakan Haji, disaat berziarah ke Maqam Nabi Muhammad Saw, keluarlah tangan dari dalam kubur Nabi SAW lalu bersalaman dengan Imam Ahmad, lantas beliau pun mencium tangan yang mulia Nabi SAW. Kejadian tersebut dapat disaksikan oleh orang ramai yang juga berziarah ke Maqam Nabi Saw ketika itu.

* Ketika sedang mengajar di atas kursinya, Orang yang jauh sekalipun akan mendengar suara beliau seperti sedang berada di dekatnya. Bahkan, semua penduduk desa Ummi Abidah dan sekitarannya pun turut mendengar seperti berada di tempat pengajiannya. Hingga orang tuli pun apabila datang ke majelis pengajiannya, maka akan dibukakan pendengarannya oleh Allah SWT.

Beberapa Kalam Hikmahnya

1. Aku telah mencoba menempuh semua jalan menuju kepada Allah SWT. Namun tidak kutemukan jalan yang lebih mudah, lebih dekat dan lebih pantas selain dari kefakiran, kehinaan dan kesusahan.
Di antara tanda-tanda tenang bersama Allah SWT, adalah merasa resah ketika berada bersama orang-orang kecuali para wali. Sebab tenang bersama para waliyullah berarti tenang bersama Allah SWT.

2. Sesuatu yang lebih dekat dengan murka Allah SWT, adalah melihat (dengan penuh rasa bangga) pada diri sendiri, tingkah laku dan amal kebajikannya. Yang lebih parahnya lagi adalah meminta imbalan atas suatu amalan (ibadah)”.

Demikian biografi dan sejarah singkat Raja para Waliyullah, Imam Ahmad Ar-Rifa’i, serta beberapa karomah dan kalam hikmahnya. Semoga bermanfaat. Wallahua’lambisshawab!

(Referensi: Disarikan dari kitab Nur al-Abshar, Jami’ al-Karamat al-Auliya’, Thabaqat al-Kubra dan  Kitab A’lam al-Shufiyah)

Oleh Muhammad Haekal, Alumni Ponpes Moderen Babun Najah Banda Aceh | Santri di Dayah Raudhatul Hikmah Al-Waliyyah, Banda Aceh

Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org
Read More