Tahapan-tahapan menurut Hujjatul Islam al Imam Ghazali rahimahullah.
Tahapan-tahapan ilmu ada empat,
sebagaimana tahapan pada harta.
- Istifadah, mencari. Berusaha dengan
penuh keyakinan untuk mendapatkannya, ilmu didapatkan melalui proses
belajar. Sedangkan harta didapat melalui bekerja.
- Iktisab/ Tahshil, menyimpan.
Ilmu disimpan melalui hafalan dalam ingatan. Dan harta disimpan dalam
kantong, dompet, buku tabungan atau gudang.
- Infaq li nafsih, memanfaatkan untuk dirinya.
Ilmu mesti diamalkan agar ia bermanfaat dan mencapai maksud dan tujuan,
yaitu ibadah kepada Rabb dzuljalali wal ikram. Demikian juga
harta, manfaatkan harta untuk kebutuhan diri, membeli makanan,
pakaian dan kebutuhan lainnya. Sungguh harta tak berguna jika hanya
disimpan, tanpa dipakai.
- Tabshir, sebarkan/ ajarkan. Ilmu akan semakin bermanfaat dengan diajarkan kepada yang lain, demi terciptanya lingkungan berilmu, mengentaskan kejahilan. Pada harta, bersedekah dan memberi bantuan kepada yang lain akan menciptakan lingkungan yang bebas dari kefakiran.
Imam Ghazali |
Tahapan-tahapan tersebut mestilah dijalankan secara tertib dan
berturut. Jika tidak, kerugian dan kebinasaan akan didapat si pelaku.
Apa yang mesti disimpan jika belum memliki apa-apa? Bagaimana
hendak memanfaatkan apabila tidak memilikinya sama sekali? Untuk apa membagikan
kepada yang lain, sedangkan untuk diri sendiri tidak kita manfaatkan?
Mencari ilmu adalah perkara yang mulia, menyibak tabir kebodohan.
Seluruh makhluk di alam raya akan memohonkan keampunan bagi para pencari ilmu,
saking memiliki nilai yang sangat luar biasa. Mengusahakan harta juga sebuah
kemuliaan, karena mengangkat derajat manusia dari kefaqiran. Kefaqiran sangat
dekat dengan kekufuran, demikian nasihat yang diutarakan oleh sebuah ungkapan.
Menyimpan ilmu melalui hafalan dan pengulangan kajian yang terus
dilakukan. Tahapan ini akan memberikan kesibukan dan kenikmatan luarbiasa dalam
kehidupan. Proses ini akan meghilangkan permasalah kehidupan dan kegalauan yang
tidak penting. Kesibukan dalam menghafal ilmu kadang bisa mencapai titik jenuh
dan bosan. Namun, perlu diingat, jangan beranjak kepada hal lain selain
menyibukkan diri dengan ilmu. Cukup beralih kepada fan ilmu yang berbeda.
Seperti dari ilmu nahwu, beralih ke ilmu mantiq atau juga yang lainnya. Maka
akan didapatinya kesibukan terus-menerus dan memberikan kelezatan menyelami
ilmu dengan rasa yang berbeda-beda.
Ilmu |
Baca juga kisah inspiratif disini.
Mengamalkan ilmu adalah sebuah kewajiban, Karena salah satu tujuan
terbesar dari berilmu adalah untuk diamalkan, sedangkan amalan yang tidak
didasari oleh ilmu akan tertolak. “Al ‘ilmu lil ‘amal, wal ‘amali bil ‘ilmi”
(ilmu itu untuk diamalkan, dan amal mestilah dengan ilmu). Pada kasus harta,
sebanyak apa pun harta yang telah kita miiki dan kita simpan tapi tidak bisa
kita gunakan merupakan sebuah kerugian yang sangat luarbiasa. Untuk apa kita
memiliki tabungan bermilyar-milyar di rekening tapi, malah tidak kita cairkan
dan gunakan untuk membeli kebuthan makan, pakaian juga tempat tinggal. Bodoh sekali
orang yang memiliki banyak uang, tapi memilih berjalan tanpa alas kaki, tidak
makan berhari-hari, dan memutuskan tinggal di depan emperan pertokoan atau dibawah
jembatan dengan beralaskan kardus. Gunakanlah harta yang engkau punya untuk
memenuhi kebutuhan hidup mu.
ilmu |
Membagikan dan mengajarkan ilmu akan membuka pintu-pintu ilmu dan
wawasan baru. Ketika ada kepelikan dalam memahami detail ilmu dalam
kesendirian, mengajarkan dan mendakwahkan ilmu menjadi jalan yang membawa
kepada pemahaman yang lebih baik terhadap detail ilmu. Hal ini bisa terjadi
lantaran proses berpikir yang semakin terbuka, perbandingan terhadap hal yang
baru yang dijumpai. Karena ilmu akan semakin bertambah dengan diajarkan kepada
yang lain. Tahapan ini sungguh menjadi hal yang paling mulia dalam ilmu. Dengan
syarat, ia menjadi amalan bagi dirinya sendiri. Sebagaimana yang dijelaskan
diatas.
“Orang yang memiliki ilmu dan memiliki, mengamalkan dan menyebarkan
ilmu diseru dengan seruan agung oleh penduduk langit (malaikat), ia bagaikan
matahari yang menerangi dan dia sendiri bercahaya, ia seperti misk/ kesturi, ia
mampu mewangikan, dan ia sendiri wangi."
Mendakwahkan dan mengajarkan ilmu sedang diri sendiri tidak
sedikitpun mengamalkan, ia seperti buku. Menyimpan ilmu yang banyak, dan banyak
yang dapat mengambil manfaat darinya, namun ia tidak bermanfaat bagi dirinya. Diibaratkan
juga sebagaimana jarum yang bisa menjahit pakaian, sedangkan dia sendiri
telanjang. Janganlah menjadi batu asah, yang hanya mampu menajamkan pisau untuk
menyembelih ayam, sedangkan batu asah sendiri tidak punya kemampuan memotong.
Bahkan lebih mengerikan, ia bak sumbu lampu yang menerangkan kepada yang lain
sedangkan ia binasa terbakar.
Membagikan harta, tanpa melakukan pemenuhan kebutuhan bagi diri
sendiri adalah suatu kecelakaan. Diri sendiri kelaparan, berhari-hari tidak
makan, pakaian tak punya walau sehelai. Harta yang menumpuk hendak disedekahkan
kepada orang lain? Sungguh kebodohan dan kerugian yang ia dapakan.
Sumber:
Ihya 'Ulumuddin juz 1, hlm. 55,
Syarah Ta'limul Muta'allim hlm 36 dan 42,
Ittihaf Sadatil Muttaqin Syarah Ihya 'Ulumuddin juz 1 hlm. 130).