2017 - TARBIYAH ONLINE

Fiqh

Selasa, 19 Desember 2017

Tahapan-Tahapan Ilmu Yang Harus Dilalui

Desember 19, 2017

Tahapan-tahapan menurut Hujjatul Islam al Imam Ghazali rahimahullah.

Tahapan-tahapan ilmu ada empat, sebagaimana tahapan pada harta.
  1. Istifadah, mencari. Berusaha dengan penuh keyakinan untuk mendapatkannya, ilmu didapatkan melalui proses belajar. Sedangkan harta didapat melalui bekerja. 
  2. Iktisab/ Tahshil, menyimpan. Ilmu disimpan melalui hafalan dalam ingatan. Dan harta disimpan dalam kantong, dompet, buku tabungan atau gudang.
  3. Infaq li nafsih, memanfaatkan untuk dirinya. Ilmu mesti diamalkan agar ia bermanfaat dan mencapai maksud dan tujuan, yaitu ibadah kepada Rabb dzuljalali wal ikram. Demikian juga harta, manfaatkan harta untuk kebutuhan diri, membeli makanan, pakaian dan kebutuhan lainnya. Sungguh harta tak berguna jika hanya disimpan, tanpa dipakai.
  4. Tabshir, sebarkan/ ajarkan. Ilmu akan semakin bermanfaat dengan diajarkan kepada yang lain, demi terciptanya lingkungan berilmu, mengentaskan kejahilan. Pada harta, bersedekah dan memberi bantuan kepada yang lain akan menciptakan lingkungan yang bebas dari kefakiran.

Imam Ghazali


Untuk versi videonya bisa ditonton disini.

Tahapan-tahapan tersebut mestilah dijalankan secara tertib dan berturut. Jika tidak, kerugian dan kebinasaan akan didapat si pelaku.
Apa yang mesti disimpan jika belum memliki apa-apa? Bagaimana hendak memanfaatkan apabila tidak memilikinya sama sekali? Untuk apa membagikan kepada yang lain, sedangkan untuk diri sendiri tidak kita manfaatkan?

Mencari ilmu adalah perkara yang mulia, menyibak tabir kebodohan. Seluruh makhluk di alam raya akan memohonkan keampunan bagi para pencari ilmu, saking memiliki nilai yang sangat luar biasa. Mengusahakan harta juga sebuah kemuliaan, karena mengangkat derajat manusia dari kefaqiran. Kefaqiran sangat dekat dengan kekufuran, demikian nasihat yang diutarakan oleh sebuah ungkapan.
Menyimpan ilmu melalui hafalan dan pengulangan kajian yang terus dilakukan. Tahapan ini akan memberikan kesibukan dan kenikmatan luarbiasa dalam kehidupan. Proses ini akan meghilangkan permasalah kehidupan dan kegalauan yang tidak penting. Kesibukan dalam menghafal ilmu kadang bisa mencapai titik jenuh dan bosan. Namun, perlu diingat, jangan beranjak kepada hal lain selain menyibukkan diri dengan ilmu. Cukup beralih kepada fan ilmu yang berbeda. Seperti dari ilmu nahwu, beralih ke ilmu mantiq atau juga yang lainnya. Maka akan didapatinya kesibukan terus-menerus dan memberikan kelezatan menyelami ilmu dengan rasa yang berbeda-beda.


Ilmu

Baca juga kisah inspiratif disini.

Mengamalkan ilmu adalah sebuah kewajiban, Karena salah satu tujuan terbesar dari berilmu adalah untuk diamalkan, sedangkan amalan yang tidak didasari oleh ilmu akan tertolak. “Al ‘ilmu lil ‘amal, wal ‘amali bil ‘ilmi” (ilmu itu untuk diamalkan, dan amal mestilah dengan ilmu). Pada kasus harta, sebanyak apa pun harta yang telah kita miiki dan kita simpan tapi tidak bisa kita gunakan merupakan sebuah kerugian yang sangat luarbiasa. Untuk apa kita memiliki tabungan bermilyar-milyar di rekening tapi, malah tidak kita cairkan dan gunakan untuk membeli kebuthan makan, pakaian juga tempat tinggal. Bodoh sekali orang yang memiliki banyak uang, tapi memilih berjalan tanpa alas kaki, tidak makan berhari-hari, dan memutuskan tinggal di depan emperan pertokoan atau dibawah jembatan dengan beralaskan kardus. Gunakanlah harta yang engkau punya untuk memenuhi kebutuhan hidup mu.

ilmu
Membagikan dan mengajarkan ilmu akan membuka pintu-pintu ilmu dan wawasan baru. Ketika ada kepelikan dalam memahami detail ilmu dalam kesendirian, mengajarkan dan mendakwahkan ilmu menjadi jalan yang membawa kepada pemahaman yang lebih baik terhadap detail ilmu. Hal ini bisa terjadi lantaran proses berpikir yang semakin terbuka, perbandingan terhadap hal yang baru yang dijumpai. Karena ilmu akan semakin bertambah dengan diajarkan kepada yang lain. Tahapan ini sungguh menjadi hal yang paling mulia dalam ilmu. Dengan syarat, ia menjadi amalan bagi dirinya sendiri. Sebagaimana yang dijelaskan diatas.
“Orang yang memiliki ilmu dan memiliki, mengamalkan dan menyebarkan ilmu diseru dengan seruan agung oleh penduduk langit (malaikat), ia bagaikan matahari yang menerangi dan dia sendiri bercahaya, ia seperti misk/ kesturi, ia mampu mewangikan, dan ia sendiri wangi."

Mendakwahkan dan mengajarkan ilmu sedang diri sendiri tidak sedikitpun mengamalkan, ia seperti buku. Menyimpan ilmu yang banyak, dan banyak yang dapat mengambil manfaat darinya, namun ia tidak bermanfaat bagi dirinya. Diibaratkan juga sebagaimana jarum yang bisa menjahit pakaian, sedangkan dia sendiri telanjang. Janganlah menjadi batu asah, yang hanya mampu menajamkan pisau untuk menyembelih ayam, sedangkan batu asah sendiri tidak punya kemampuan memotong. Bahkan lebih mengerikan, ia bak sumbu lampu yang menerangkan kepada yang lain sedangkan ia binasa terbakar.

Membagikan harta, tanpa melakukan pemenuhan kebutuhan bagi diri sendiri adalah suatu kecelakaan. Diri sendiri kelaparan, berhari-hari tidak makan, pakaian tak punya walau sehelai. Harta yang menumpuk hendak disedekahkan kepada orang lain? Sungguh kebodohan dan kerugian yang ia dapakan.

Sumber:
Ihya 'Ulumuddin juz 1, hlm. 55,
Syarah Ta'limul Muta'allim hlm 36 dan 42,
Ittihaf Sadatil Muttaqin Syarah Ihya 'Ulumuddin juz 1 hlm. 130).



Read More

Kisah Nyata: Buah Sabar dan Amanah, Allah Gantikan Yang Haram Menjadi Halal

Desember 19, 2017
Kisah ini tertulis dibuku “Zikrayat Ali Tantowy”, karya Sheikh Aly Tantowy. Buku 8 jilid, berisi catatan harian, kisah-kisah hidup sheikh Aly Tantowy semasa kuliah dan menjadi Hakim, dan cerita tentang Damaskus. Kisah ini tidak asing bagi penduduk Damaskus dan terus diceritakan dari ayah ke anak.


Di Damaskus ada sebuah masjid besar, namanya Jamik Taubah. Wilayah ini awalnya adalah tempat  maksiat, kemudian dibeli oleh Sultan Musa Adil Al Ayyuby pada abad ke 7 Hijriah, dan dijadikan masjid, makanya disebut Jamik Taubah, atau Masjid Taubah.
Kisah ini terjadi sekitar 120 tahun yang lalu. Pada saat itu Imam Masjid Taubah adalah Syeikh Salem Mesuty, seorang Sufi dan Faqih Hanafi, aslinya berasal dari Albania, beliau sangat dihormati. Hampir semua masyarakat pernah “curhat” ke beliau apabila ada masalah. Beliau memiliki banyak murid, salah satunya seorang pemuda miskin, yang dikenal cerdas dan shaleh. Pemuda itu tinggal di salah satu raungan kosong di masjid, karena tidak memiliki rumah.
Suatu hari, pemuda itu tidak lagi mempunyai uang untuk membeli makanan, tetapi karena izzatunnafsi (kehormatan diri) yang dimiliknya, dia tidak mau meminta-minta, dia memilih menahan lapar sampai Allah memberinya rezeki dengan cara-Nya. Setelah menahan lapar selama 3 hari, tiba masanya dia hampir menyerah, sudah benar-benar lemah tidak mampu lagi bertahan. Mungkin (menurutnya) sudah sampai pada level boleh makan bangkai atau mencuri secukupnya untuk makan. Akhirnya dia memutuskan untuk mencuri.

Saat itu, rumah di Damaskus masih berdempetan, rumah lama, jadi mudah saja kalau naik ke atap untuk kemudian melompati dan berpindah dari satu rumah ke rumah yang lain. Akhirnya pemuda itu naik ke atap masjid dan menuju keatas rumah penduduk. Ketika melewati sebuah rumah, dia melihat seorang wanita cantik, diapun menundukkan pandangannya. Diapun berpindah ke rumah lain, tiba-tiba dia melihat rumah kosong, “inilah calon korban”, pikirnya. Dan ternyata dari rumah itu tercium bau makanan yang cukup menggoda, akhirnya dia memutuskan untuk turun. Sekejap saja dia sudah di teras rumah.
Dia menuju dapur dimana sumber aroma muncul. Dengan cekatan dia masuk ke dapur dan membuka periuk, ternyata ada “makdusy” (jenis masakan Suriah), langsung saja dia mengambil satu makdusy, tanpa peduli masih panas untuk dimakannya. Ketika hendak digigit, dia sadar, “Astaghfirullah, aku pelajar Agama! Bagaimana aku bisa masuk rumah orang dan mencuri!”. Diapun meletakkan kembali makdusy dalam periuk dan pergi.
Dia sangat menyesal atas apa yang telah dilakukannya, sepanjang jalan atap rumah dia terus beristighfar sampai masjid. Di masjid dia langsung bergabung ke majlis pengajian Syeikh Mesuty (seorang ulama besar saat itu). Dengan kondisi yang saking laparnya, dia tidak tahu apa yang sedang dibicarakan oleh sheikh.
Setelah pengajian selesai, jamaahpun bubar. Tiba-tiba seorang wanita bercadar mendekati Syeikh Mesuty dan berbicara, entah apa yang dibicarakan tidak ada yang tahu, hanya dia dan Syeikh saja yang tahu. Namun terlihat olehnya Syeikh Mesuty menganguk-angguk. Syeikh pun berpaling seakan sedang mencari seseorang, dan tidak ada seorangpun di masjid itu kecuali pemuda tadi, muridnya.
“Kamu sudah nikah, belum?” tanya Syeikh,
“Belum, Sidi”. Jawabnya.
“Apa kamu mau nikah?”
“Bagaimana saya bisa menikah wahai Syeikh, untuk makan sehari-hari saja saya tidak punya uang”.
“Wanita itu (sambil mengisyaratkan pandangan ke wanita tadi) mengatakan bahwa suaminya sudah meninggal, dia bukan orang Damaskus. Dia tidak punya siapa-siapa kecuali pamannya yang sudah tua. Ketika suaminya meninggal, dia meninggalkan rumah dan harta. Jadi, dia ingin menikah supaya tidak sendiri lagi. Bagaimana? Kamu mau?”, kata Syeikh.
“Mau, Sidi”. Jawabnya singkat.

Syeikh Memanggil wanita itu, “Kamu mau menikah dengan dia, dan kondisinya seperti itu?”, wanita itupun setuju. Lalu Syeikh pun memanggil paman wanita itu sebagai wali dan beberapa orang saksi. Akhirnya pernikahanpun dilangsungkan, dan Syeikh lah yang menanggung mahar muridnya itu.
“Sekarang kalian sudah menjadi suami istri, silahkan bawa suamimu”, kata Syeikh Mesuty.
Mereka pun berjalan ke rumah, sampai di rumah wanita itu membuka cadarnya, ternyata wanita itu masih muda dan cantik sekali. “Habibi, mau makan?”, dia menawarkan makan ke suaminya. Si pemuda itu malah takut, karena rumah itu adalah rumah yang tadi dimasukinya.
Istrinya masuk ke dapur mengambil makanan, “Masya Allah, siapa yang masuk rumah ini dan menggigit makdusy!”.

Suaminya menangis dan menceritakan kisahnya yang menyelinap masuk untuk mencuri makanan demi mengisi kekosongan perutnya.
Istrinya berkata, “Ini adalah buah dari sabar dan amanah, ketika kamu tidak memakan makdusy secara haram, Allah menggantikan yang lebih baik, makdusy, rumah dan pemiliknya secara halal”.

Sheikh Tantowy mengatakan, “Kisah ini nyata, dan aku mengenal para tokohnya. Ketika meninggalkan sesuatu karena Allah, Allah akan menggantikan dengan lain yang lebih baik”.
Allahummak fina bihalalika ‘an haramika wa aghnina bifadhlika ‘anman siwaka.

Read More

Kenal Ulama: Syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah, Muhaddits Abad 20

Desember 19, 2017

Tokoh Ulama | Beliau lahir dan dibesarkan di Aleppo, belajar di Akademi Studi Islam di Aleppo kemudian melanjutkan Studi Ilmu Jiwa dan Tarbiyah di Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir. Ayah Beliau, Muhammad, dikenal sebagai orang yang saleh dikampungnya, seorang pengusaha di industri tekstil . Ayah dari ayahnya bernama  Bashir, salah satu pedagang tekstil terbesar di Aleppo, dan nasab beliau bertemu dengan Panglima Besar Islam Khalid Bin Walid Radiyallahu 'anhu.

Syaikh Abu Ghuddah tinggal di Kairo tahun 1944 sampai 1950, selama waktu itu dia bertemu dengan Hassan al - Banna , Pendiri Ikhwanul Muslimin. Beliau bergabung dengan Ikhwanul Muslimin di bawah didikan al- Banna , dan menjadi anggota Ikhwanul Muslimin Suriah sekembalinya ke Suriah pada tahun 1950. Dia pun menjadi terkenal di kalangan Muslimin di Aleppo , dan menjadi Dosen di Akademi Studi Islam . Pada tahun 1960 ia menjadi Dosen Filsafat di Universitas Damaskus . Abu Ghuddah ikut dalam pemilihan parlemen pada tahun 1961, dan kemudian diangkat sebagai Mufti Aleppo oleh Presiden Nazim al- Kudsi.

Kalau berbicara tentang Syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah, layaknya berlayar di lautan yang tak berpantai, kalau mendengar beliau bicara tentang Fiqh, seakan-akan beliau seorang Fuqaha besar, kalau beliau berbicara tentang sejarah, seakan-akan beliau adalah sejarawan agung, kalau beliau berbicara tentang Tasawwuf, para pendengar akan mengira beliau adalah seorang Mursyid Tareqat, kalau mendengar beliau bicara tentang semangat dakwah, you do the math karena beliau salah satu Mursyid Ikhwanul Muslimin di Suriah, kalau beliau bicara tentang Hadits dan Mustalah Hadits, itu memang pakarnya beliau, kalau tidak mau dikatakan “ghuluw”, mungkin beliau adalah salah satu dari beberapa orang ulama hadits yang dilahirkan di abad 20!

Kemampuan dan keilmuwan beliau sungguh sangat luar biasa. Sebuah risalah kecil hasil coretan Imam Haris Al Muhasibi berhasil digubah oleh Syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah menjadi sebuah buku besar yang sangat bagus dijadikan sebagai rujukan bagi pecinta tasawwuf dan akhlak, kalau membaca buku itu dijamin kamu akan menangis!

Kalau mau membaca buku “Al Ihkam fi Tamyizil Fatawa ‘Anil Ahkam wa Tasharrufatil Qadhi wal Imam”, atau “Al Manar Almunif fi Sahih wa Dhaif”, maka jangan ragu-ragu untuk memastikan buku itu ditahqiq oleh Syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah.

Karya Fenomenalnya

Ada dua buku karangan beliau yang sangat fenomenal, buat kamu yang suka membaca atau mengkoleksi buku, pastikan dua judul itu ada di rak bukumu. “Qiimatu Al Zaman ‘Indal Ulama” dan “Safahat min Shabril ‘Ulama”. Buku yang luar biasa, kalau memang ada list buku yang harus kamu baca sebelum mati, mungkin dua buku itu adalah pilihan yang tepat. Satu lagi buku fenomenal sheikh Abu Ghuddah yaitu "Al Ulama Al Uzzab Allazina Aatsarul Ilma 'Ala al Zawaj", buku yang mengisahkan tentang tokoh-tokoh yang memilih menjomblo sampai mati demi belajar, mengajar dan berjuang.

Seorang teman di Damaskus bercerita, “Suatu hari aku pernah keliling Damascus dan menelpon hampir seluruh penerbit di Suriah hanya untuk mencari buku “Safahat min Shabril ‘Ulama”.

Ada seorang wanita di ujung dunia sana yang meminta mahar pernikahannya berupa buku “Safahat min Shabril ‘Ulama”, kebetulan calon suaminya adalah sahabat lama ku yang tidak bertemu selama 10 tahun atau lebih, itu pun kalau bukan karena “kepepet” mau kawin dan butuh buku itu, mungkin dia tidak akan menyapaku lewat inbox. 

Alhamdulillah bukunya dapat, meskipun bekas. Sorry bro, kalau ente baca ini, semoga Samawa, tapi really it was an honor for me.”


Beliau juga menambahkan, “Mendapat hadiah buku 'Allamah Muhaddits Abdul Fattah Abu Ghuddah: Arauhu wa tarjihatuhu wa ikhtiyaratuhu fi Ulumil Hadits” dari sahabat di Beirut merupakan hadiah terbaik di penghujung tahun 2017. Masih fresh bro, baru beberapa waktu lalu terbit. Dengan membaca buku ini, sudah menghemat banyak waktu daripada harus membaca buku sheikh Abu Ghuddah satu per satu yang jumlahnya puluhan itu.”

Mengomentari sahabatnya ini, Syeikh Musthafa Zarqa mengatakan, "Kalau mau melihat bagaimana sahabat dan tabiin hidup, lihatlah akhi Abdul Fattah". Kalau harus menulis dua orang favorit dengan berbagai buku karangannya, aku akan menulis: Syeikh Sa'id Ramadhan Al Buty dan Syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah rahimahumallah.

Oleh Ustad Saifannur (Saief Alemdar)
Read More

Kedudukan Akhlak Dalam Islam

Desember 19, 2017

 

Pengertian Akhlak

Akhlak menurut bahasa: Berasal dari kata  'khulq' yang bererti perilaku, perangai atau tabiat.
Maksud ni terkandung dalam kata-kata Aisyah berkaitan akhlak Rasulullah s.a.w yang bermaksud: "Akhlaknya (Rasulullah) adalah al-Quran."
Akhlak Rasulullah yang dimaksudkan di dalam kata-kata di atas ialah kepercayaan, keyakinan, pegangan, sikap dan tingkah laku Rasulullah s.a.w yang semuanya merupakan pelaksanaan ajaran al-Quran.
Akhlak menurut istilah:
Menurut Imam al-Ghazali, "Akhlak ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pertimbangan terlebih dahulu."
Menurut Ibnu Maskawih, "Akhlak ialah keadaan jiwa seseorang yang mendorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa pertimbangan akal fikiran terlebih dahulu."

Hubungan Antara Akhlak dan Iman

“Aku diutus ke dunia ini untuk memnyempurnakan akhik yang baik.” (H.R Ahmad)
Jadi salah satu sebab diangkatnya Nabi Muhammad SAW menjadi nabi adalah untuk memperbaiki akhlak individu dan masyarakat. 

Ketika Rasulullah ditanya: “Siapakah orang beriman yang paling utama imannya?” Maka beliau menjawab, “Yang paling baik akhlaknya.” (HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud). Akhlak memiliki kedudukan yang sangat dekat dengan akidah. Allah telah menamakan iman dengan kebaikan dalam firman-Nya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi.” (Al-Baqarah: 177).
Bahkan sabda Nabi Muhammad SAW: “Iman itu mempunyai enam puluh cabang lebih. Cabang yang paling utama adalah kalimat bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan yang paling bawah adalah membersihkan gangguan dari jalan dan malu merupakan bagian dari iman.” (HR. Muslim).
Allah SWT berfirman: “Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka.” (Al-Jumuah: 2)

Hubungan Antara Akhlak dan Ibadah

  • Shalat: “Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (Al-‘Ankabut: 45)
  • Zakat: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (At-Taubah: 103). Walaupun hakikat zakat adalah berbuat kebaikan bagi manusia tetapi tujuan lainnya adalah mendidik jiwa dan membersihkannya dari akhlak yang buruk.
  • Puasa: “Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Al-Baqarah: 183). Jadi tujuan dari puasa adalah agar bertakwa kepada Allah dengan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Karena itu Nabi Muhammad SAW bersabda, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan jahat dan melakukannya maka tidak ada bagi Allah keperluan darinya untuk meninggalkan makan dan minumnya (yakni Allah tidak menerima puasanya).” (HR. Al-Bukhari). Barangsiapa yang puasanya tidak mengubah akhlaknya terhadap manusia maka berarti puasanya belum mencapai target yang sesungguhnya. 

Akhlak Penentu Tempat di Akhirat

“Sesungguhnya dari kamu sekalian yang paling aku cintai dan tempatnya paling dekat dengan ku nanti pada hari kiamat adalah yang paling baik akhlaknya. Dan yang paling aku benci adalahdan tempatnya paling jauh dari aku adalah At-Tsartatsarun (tukang cloteh dan tukang teriak), Al-Mutasyaddiqun (orang yang lebar sudut mulutnya), dan Al-Mutfaihiqun.” Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, kami tahu arti At-Tsartatsarun dan Al-Mutasyaddiqun, tapi siapa Al--Mutfaihiqun?” Beliau menjawab, “mereka addalah orang-oran yang sombong.” (H.R Ahmad, Tarmidzi, Ibn Hibban).
“Sesungguhnya Allah adalah Dzat yang Pemurah, senang dengan kemurahan dengan akhlak yang luhur dan benci terhadap sesuatu yang rendah (buruk).” (H.R Al Baihaqi).


Nabi Muhammad SAW bersabda, “Tidak ada sesuatu yang lebih berat daripada akhlak mulia yang disimpan di timbangan nanti. Sesungguhnya orang yang berakhlak mulia akan sederajat dengan orang yang berpuasa dan menunaikan shalat.” (HR. At-Tirmidzi)

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Kebanyakan orang masuk surga karena takwa kepada Allah dan akhlak yang mulia.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Juga sabdanya “Sesungguhnya yang paling aku cintai dari kalian dan yang paling dekat posisinya dariku pada hari kiamat nanti adalah yang paling mulia akhlaknya.” (HR. At-Tirmidzi)

Sabdanya, “Aku akan memberikan jaminan sebuah rumah di pinggir surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan sekalipun dia benar, dan rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta sekalipun dia bercanda, serta rumah di bagian atas surga bagi orang yang akhlaknya bagus.” (HR. Abu Dawud)

Gambaran Akhlak Rasulullah



Ketika Fathu Makkah Ia SAW berjalan kaki, dan terlihatlah bagaimana Sayyidul Khalq (Tuannya para makhluk) yang melebihi keagungan serta kewibawaan para raja dan di akhirat kedudukannya lebih mulya lagi disisi Tuhannya.

Rasulullah Saw disibukkan untuk mengatur dunia dan syariat bagi dirinya dan umatnya. Ketika beliau berjalan kaki dengan pasukannya, beliau menemukan anjing betina sedang menggonggong kepada anak-anaknya-sambil kencing kepada mereka- karena ketakutan, ketakutan anjing betina tadi karena kewibawaan para pasukan muslim yang melakukan perjalanan menuju Fathu Makkah. Maka Nabi memanggil Juail bin Suraqah dan memerintahkannya untuk berhenti, sedang beliau menjaga serta melindungi anjing betina dan anak-anaknya tadi dari pasukan-pasukan yang lain, beliaupun berdiri didekat Anjing betina sehingga para pasukan berlalu.

Dalam sebuah kajian Syeikh Ali Jumu’ah pernah bertanya kepada jama’ah :
”Apakah kalian merenungkan apa yang Nabi ajarkan untuk kita? Hewan lemah yang menurut mayoritas ahli fiqih najis namun Nabi berinteraksi dengannya sebagai makhluk yang diciptakan Allah, sabdanya, "Pada setiap makhluk yang masih memiliki kehidupan terdapat pahalanya". Rasulullah adalah Tuan para makhluk, Tuannya dua dunia bersedia berdiri dan menyibukkan perhatiannya terhadap anjing betina yang sedang ketakutan kalau terjadi apa-apa terhadap anak-anaknya, sebagai kasih sayang kepada anjing betina dan pengajaran bagi kita semua.”




Kesimpulan

Akhlak terpuji mengajak kepada fitrah salimah (asal keselamatan). Orang-orang yang menggunakan akal sehat sepakat bahwa jujur, menepati janji, dermawan, sabar, berani, dan bersyukur adalah sifat yang baik dan akhlak yang agung. Siapapun yang memiliki sifat tersebut layak dipuji dan dimuliakan. Sebaliknya, sifat dusta, khianat, penakut dan kikiradalah sifat buruk. Dan yang memilikinya patut dicela.

Seorang Muslim yang berakhlak terpuji adalah orang yang mengumpulkan sifat-sifat luhur dan jauh dari sifat-sifat buruk. Rasulullah telah mengarahkan kita kepada akhlak yang baik dalam sabda Beliau kepada sahabatnya Uqbah bib ‘Amir, “Wahai ‘Uqbah, apakah aku belum pernah memberi tahu tentang akhlak paling utama bagi penduduk dunia dan akhirat? Yakni menyambung hubungan dengan orang yang memutus kamu, memaafkan orang yang menzalimi kamu dan memberi orang yang tidak memberi kepada mu”. (H.R Ahmad, Hakim, At-Thabrani, al Baihaqi).

Sedang tanda-tanda akhlak baik telah terkumpul dalam bersikap yaitu malu, baik, jujur, sedikit bicara, banyak beramal, meninggalkan perkara yang tidak ada unanya, berbakti kepada orangtua, menyambung silaturrahim, sabar, syukur, bijaksana, dan menghindari hal yang tidak baik. Sumber akhlak yang terpuji adalah kehusyu’an dan cita-cita yang tinggi  (Allah SWT).



Read More

Minggu, 03 Desember 2017

Kedudukan Ahlul Bait Nabi SAW Dalam Aqidah Islam Ahlussunnah wal Jama'ah

Desember 03, 2017
(foto kaligrafi ahlulbait dari wikipedia)

Tarbiyah.online – Siapakah ahulbait, dan apa pentingnya mencintai keluarga Nabi SAW beserta keturunannya? Bagaimana batasan cinta kepada mereka? Dimana titik perbedaan antara cinta dan fanatik buta yang tercela? Dan tidakkah itu menyamakan kita dengan syi’ah yang sesat?

Pertanyaan ini kiranya penting untuk diajukan kepada ulama-ulama besar yang masih hidup di zaman ini, yang keilmuan mereka diakui, baik dikarenakan kelurusan aqidahnya maupun keluasan ilmunya dengan sanad keilmuan yang berterusan hingga kepada imam-imam mazhab yang muktabar hingga kepada Nabi Muhammad SAW.

Untuk menjawab pertanyaan diatas, ada baiknya kita mengintip satu diantara hadits yang disabdakan oleh Nabi SAW yang berisikan perintah untuk mencintai keluarga Nabi SAW dan ikut berpegang teguh kepada mereka.

“....Amma ba’d, Ingatlah, wahai sekalian manusia. Sesungguhnya aku adalah manusia yang hampir didatangi utusan Tuhanku lalu aku penuhi panggilannya. Aku meninggalkan kepada kalian dua perkara berat nan berharga. Pertama adalah Kitabullah. Di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya, maka ambillah dan berpegangteguhlah kepadanya. Lalu Nabi SAW melanjutkan, Dan Ahlul bait, keluarga ku. Aku mengingatkan kalian tentang Allah pada Ahlulbait ku. Aku mengingatkan kalian tentang Allah pada Ahlulbait ku.”
Hushain lalu bertanya,”siapakah ahlulbait beliau wahai Zaid? Apakah istri-istri beliau termasuk ahlul bait? Zaid menjawab,”Istri-istri beliau termasuk ahlulbait. Akan tetapi, ahlulbait yang dimaksud adalah orang-orang yang haram menerima zakat setelah beliau. “Dan siapakah mereka? “keluarga ‘Ali, keluarga ‘Aqil dan keluarga ‘Abbas.
“Mereka semua haram diberi zakat?”
“Ya” (H.R. Ahmad dan Muslim)

Sedangkan Sabda Nabi SAW yang lainnya, “Wahai manusia, Sesungguhnya aku meninggalkan kepad kalian sesuatu yang jika kalian ambil maka tidak akan sesat, yakni Kitabullah dan sanak keluargaku, Ahlulbait.” (H.R. Ahmad dan Turmidzi).

Maka dari itu kita sepatutnya mencintai ahlulbait Nabi SAW. Melihat turunannya, dari mencintai Allah maka kita mencintai Nabi SAW sebagai pemangku segala kebaikan dan rahmat bagi seluruh alam dari Allah SWT. Kemudian, dari mencintai Rasul SAW maka kita mencintai ahlulbaitnya dimana beliau telah berwasiat tentangnya, mereka juga memiliki ketamaan yang mulia dan kebaikan yang bertambah. Maka mencintai ahlulbait mesti lahir dari lubuk hati seorang Muslim sebagai wujud cintanya kepada Nabi SAW.

Baca juga kemuliaan nasab beliau

Fanatisme

"Dalam cinta, kata fanatisme tidak didapati." Kata-kata tersebut sering diucapkan oleh Syeikh Buthi rahimahullah. Seorang ulama Suriah. Namun fanatisme terdapat pada perihal keyakinan, aqidah. Maka ketika aqidahnya benar, tidak akan salah cintanya kepada Rasul SAW dan ahlulbaitnya. Kita yang beraqidah bahwa tiada tuhan melainkan Allah dan Muhammad adalah Rasulullah. Seluruh para Nabi dan Rasul-Rasul berstatus ma’shum, yaitu terlepas daripada segala dosa. Sedangkan selain mereka mempunyai kemungkinan melakukan perbuatan dosa, hatta ahlulbaitnya, namun mereka punya kemungkinan hanya berstatus mahfuzh, sebagaimana yang didapati orang-orang shalih, yaitu penjagaan dari Allah SWT terhadap mereka. Secara syari’ah mereka bisa saja melakukan pekerjaan dosa, namun mereka mendapat penjagaan dari Allah SWT.

Nah, selama aqidah seorang muslim masih lurus dalam hal ini, maka seyogyanya ia juga akan mencintai Nabi beserta ahlulbait dengan sepenuh jiwa. Dan, ketika cinta kepada ahlulbait telah merekah, itu menunjukkan derajatnya telah semakin mendekati derajat shalih. Sebab wujud cinta kepada ahlulbait adalah wujud kesempurnaan cinta kepada Rasul, dan wujud cinta kepada Rasul adalah wujud cinta kepada Allah. Tentu saja saipa yang mencintai Allah, akan diangkat derajatnya kepada derajat orang-orang shalih.

Zaman ini mudah mengenal keturunan-keturunan ahlulbait terutama yang berasal dari Hadramaut, Yaman. Karena kebanyakan dari mereka digelari Habib. Dan diantara mereka banyak yang menjadi Ulama besar dan Awliyaillah yang taqwa dan shalih. Namun demikian, tidak sedikit keturunan Rasul SAW yang tidak digelari Habib seperti kebanyakan di Mesir. Padahal ulama-ulama besar di Mesir seperti Syeikh Ahmad Thayib yang merupakan Syeikhul Azhar saat ini dan Syeikh Ali Jum'ah yang mpernah menjabat sebagai ufti Mesir juga merupakan salah satu dari ahlulbaitnya Rasul SAW. Jika di Saudi, gelaran untuk para keturunan ahlulbait adalah Sayyid, seperti Abuya Sayyid Muhammad Alwi Al Maliki Al Makki yang masyhur, dan memiliki ribuan murid dari tanah air Indonesia.

Banyak kitab-kitab yang menceritakan tentang keagungan keturunan ahlulbaitnya Rasul SAW. Ada kitab yang disusun oleh Al Imam Jalaluddin As Suyuthi berjudul Ihya’ul Mayyit fii Fadhilati Ahlul Bayt yang berisikan 60 Hadits keutamaan AhlulBayt. Kebetulan saya mendapatkan versi terjemahannya -pdf-, namun ketika saya membacanya, ada sedikit berbau kesyi’ahan. Bukan hendak mendiskreditkan Imam Suyuthi, hanya saja, dari kitab terjemahan yang saya dapatkan secara bebas di internet, saya tidak berani menjadikannya referensi utama. Karena memahami isi kitab tidak sembarang dengan cara autodidak, tanpa guru pembimbing dan/ atau juga tanpa pembanding.



Disadur dari beberapa referensi, terutama Al Bayan, karya Syeikh Ali Jum'ah.
Read More

Rabu, 29 November 2017

Dalil dan Hukum Merayakan Maulid

November 29, 2017

Tarbiyah.onlineSudah menjadi rutinitas dan polemik setiap tahun, ketika mendekati bulan Rabiul Awal, diskusi hingga debat terjadi di hampir setiap lini kehidupan masyarakat akan kesahihan perkara perayaan maulid nabi SAW. Pertanyaan yang muncul selalu berkenaan dengan hukum perayaan Maulid dimulai dari boleh tidaknya. Hingga bentuk perayaan yang bagaimana.

Banyak ulama yang telah menjelaskan hukum maulid dari hampir setiap generasi. Sebenarnya polemik ini semestinya tidak lagi menjadi perbincangan yang membuat hubungan antar muslim retak. Namun, apa mau dikata, demikianlah kondisi umat di setiap masa yang mempertanyakan suatu kasus yang sejatinya telah tunas dibahas oleh generasi awal.

Secara nalar, mengingat keberadaan dan kewujudan seseorang yang sangat kita cintai merupakan salah satu bentuk cinta dan penghormatan. Adakah ia bersifat tahunan, bulanan, mingguan harian, atau bahkan setiap saat. Tentunya itu bergantung kepada kondisi kecintaan. Demikian pula bentuk penghormatan dan kecintaan yang dilakukan, bisa beragam, selama pekerjaan itu merupakan hal yang disukai oleh yang dicinta.

Dalam sirah, diceritakan bagaimana salah satu ekspresi cinta yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW terhadap istri pertamanya Khadijah al Kubra binti Khuwailid R.A. Beliau SAW sering mengunjungi untuk sekedar bersilaturrahim terhadap kerabat istri tercintanya, membagikan makanan kepada mereka dan hal lainnya. Padahal ketika itu Khadijah R.A telah meninggal. Namun kecintaan Nabi SAW kepadanya tidak luntur sedikit pun. Pada kesempatan lain, Nabi SAW terkenang kepada perjalanan hidup yang mereka berdua lalui semasa istrinya hidup. Mengingat pahit dan manisnya perjuangan bersama-sama dahulu. Itulah salah satu ekspresi cinta yang ditunjukkan Nabi SAW kepada istrinya yang  telah mendahuluinya untuk berjumpa Rabb SWT.

Maka, iman  yang sehat dan nalar yang cemerlang menuntut kita untuk terus mengingat dan mengenang kisah hidup serta kebesaran cinta rahmat yang disebarkan oleh Nabi SAW selaku manusia yang seharusnya paling dicintai. Bahkan melebihi cinta kepada pasangan, orangtua ingga diri sendiri.

Cukuplah sebagai dalil hadits riwayat Imam Bukhari, saat Umar bin Khattab R.A mendatangi Nabi SAW dan berkata,” Wahai Rasulullah, engkau lebih kucintai daripadda segala sesuatu kecuali diriku sendiri. Maka Rasulullah bersabda,”Tidak sempurna iman salah satu diantara kalian hingga aku lebih dicintai daripada dirinya sendiri.” Umar pun tersadar dan berucap, “Sekarang, demi Allah sesungguhnya engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” Lalu beliau SAW bersabda,”Sekarang wahai Umar, cintamu telah sempurna.”

Bahkan Ulama besar dari mazhab Hanbali yaitu Ibn Rajab al Hanbali berkata,”Mencintai Rasulullah SAW termasuk dari prinsip-prinsip iman. Mencinai beliau berarti sama dengan mencintai Allah SWT. Sungguh Allah telah menyertakan cinta kepada-Nya dengan cinta kepada Nabi SAW. Serta mencela orang-orang yang mengedepankan cita kepada harta, keluarga, kerabat, tanah air dan lainnya. Sebagaimana tertera dalam AL Quran sura taubah ayat 24.”

Salah seorang ulama besar dari Al Azhar, Mesir, Syeikh Ali Jum’ah yang pernah menduduki jabatan Mufti negara Mesir pun tak absen menjadi target penanya. Beliau dengan tegas mengatakan, ”Peringatan hari kelahiran Rasulullah SAW adalah amalan yang paling utama dan termasuk ibadah paling agung, karena hal tersebut adalah ekspresi kegembiraan dan cinta kepada Beliau. Dan cinta kepada Rasulullah adalah prinsip dari semua dasar iman.”

Memang tidak ada sebuah dalil khusus yang menyatakan “Peringatilah oleh kalian akan hari lahir ku.” Atau yang senada dengannya. Hanya saja, banyak sekali hadits maupun ayat yang secara umum dan memiliki kaitan erat dengan melakukan suatu ibadah khusus dengan sebab cinta, gembira dan rasa syukur.

Diantaranya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, “Dari Umar bin Khattab R.A ia berkata, “Nabi SAW ditanya mengenai puasa di hari senin. Beliau SAW lantas menjawabm “Itu adalah hari dimana aku dilahirkan, dan hari dimana aku diutus menjadi Rasul (atau hari pertama aku mendapat wahyu).”

Dalam hadits tersebut terdapat isyarat yang sangat tampak bahwa Rasul SAW bersyukur kepada Allah SWT atas nikmat kelahirannya ke dunia ini dengan cara berpuasa di hari Senin. Nabi SAW merayakan hari lahirnya setiap Senin dengan cara berpuasa. Itu adalah bentuk syukur beliau. Namun yang demikian bukan berarti memperingati kelahiran Nabi SAW hanya dilakukan dengan cara berpuasa. Karena, ulama terdahulu sejak aabad keempat hijrah, telah mengadakan perayaan maulid, dengan melakukan berbagai macam ibadah. Seperti memberi makan, membaca alQuran, berzikir, serta melantunkan sya’ir yang berisikan pujian kepada Nabi SAW. Realitas ini diungkap oleh banyak sekali ulama pakar sejarah, seperti Ibnul Jauzi, Ibn Katsir, Al Hafizh Ibn Dhihyah al Andalusi, Al Hafizh Ibn Hajar Al Asqalani dan ulama hadits Imam As-Shuyuthi. Rahimahumullahu ajma;in.

Ibn Hajar Al Asqalani menjadikan hadits Nabi SAW tentang puasa Asyura yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim sebagai dalil kebolehan dan kesunnahan Maulid. ”Suatu ketika Nabi SAW datang ke Madinah dan menjumpai orang-orang Yahudi berpuasa di hari ‘Asyura, yaitu 10 Muharam. Beliau SAW lalu bertanya kepada mereka, dan mereka menjawab, “ini adalah hari dimana Allah menenggelamkan Fir’un dan menyelamatkan Musa. Maka kami berpuasa pada hari ini karena bersyukur kepada Alah SWT.”

Dari hadits tersebut, kata Ibn Hajar, “Dapat diambil faedah tentang amalan sebagai wujud syukur kepada Allah atas apa yang Dia anugerahkan pada hari tertentu dengan diberi nikmat atau terolajkna suatu bencana. Dan amalan itu diulani setiap tahunnya di hari/anggal yang sama. Bentuk syukur dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti bersujud, puasa, sedekah dan membaca Al Quran. Selama itu adalah bentuk ibadah. Dan tentu saja, nikmat apa yang lebih agung daripada nikmat kehadiran dan kewujudan Rasulullah Muhammad SAW sang pembawa rahmat?.”

Sebagian ulama pakar fiqh bahkan menuliskan kitab mengenai kesunnahan dan keharusan melakukan perayaan maulid. Mereka memaparkan dalil-dalil dalam kitabnya. Seperti kitab Al- Madkhal yang ditulis ulama dari mazhab Maliki Ibn Hajj. Menuliskan secara panjang lebar mengenai keistimewaan dan keutamaan perayaan maulid.

Dalam mazhab Syafi’i, Imam As-Suyuthi bahkan menulis kitab khusus berjudul Husn al Maqashiq fi ‘Amal al Maulid. Didalam sana mbeliau menjawab pertanyaan secara lugas, “Apa hukum perayaan Maulid secara syari’ah, terpuji atau tercela, pelakunya mendapatkan pahala atau malah dosa karena bid’ah?”

Singkatnya, Imam As-Suyuti berkata, ”Perayaan Maulid tidak bertentangan dengan Quran, Sunnah, Atsar dan Ijma’. Perayaan ini tidak tercela, sebagaimana dikatakan oleh Imam Syafi’i (yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi,”Perkara baru dalam agama ada dua macam. Pertama dibuat idak sesuai Quran, Sunnah Atsar dan Ijma’, maka itu adalah bid’ah yang tercela. Kedua perkara baru yang baik, yang tidak ditentang seorang pun, maka hal ini tidak tercela. Sebagaimana Ijma’Sahabat atas perkara baru yang dilakukan Khalifah Umar tentang Shalat malam di bulan ramadhan.) ia adalah perkara baik yang belum dikenal di awal-awal islam. Sesungguhnya bersedekah makanan yang tidak dibarengi dengan perbuatan dosa adalah perbuatan baik. Karena itu Maulid dianggap sebagai bid’ah (perkara baru) yang disunnahkan, sebagaimana pernyataan Sultanul Ulama, imam ‘Izzuddin bin Abdussalam.”

Ulama besar masa ini seperti Abuya Sayyid Alwi Al Maliki rahimahullah mengajukan satu soalan kepada orang yang mempertanyakan dalil peringatan dan perayaan Maulid Nabi SAW, “Adakah kalian mempertanyakan dan melarang kami memperingati dan merayakan hari yang menjadi sebab kita semua mengenal dan beribadah kepada Allah SWT? Sungguh Kelahiran Nabi SAW adalah sebab awal adanya ajaran Islam yang mengajak kita kepada Tauhid dan mengenalkan kita kepada rahmat.”

Syeikh Sa’id Muhammad Ramadhan Al Buthi rahimahullah pun terheran kepada orang-orang yang mencela peringatan Maulid Nabi SAW dengan pernyataan yang hampir sama, ”Memperingati Maulid adalah salah satu ekspresi cinta. Mengkhususkan suatu waktu dari kesibukan pikiran untuk menginga, mengenang dan kembali mengenal bagaimana Teladan terbaik itu hidup. Serta mensyukuri atas segala nikmat yang Allah berikan bersebab darinya. Bukankah Islam dan Tauhid adalah nikmat terbesar yang tiada banding? Lalu dimana letak salahnya memperingati kewujudan pembawa nikmat itu?”

Syeikh Atthiyah Saqqar rahimahullah yang merupakan manan ketua komisi fatwa Azhar berujar dengan pertimbangan keadaan sosial saat ini, “Menurut saya, perayaan Maulid itu boleh dan harus. Menimbang, generasi muda saat ini semakin jauh dengan agama dan pengetahuan akan keteladanan yang luhur. Maka Maulid akan menjadi momentum baginya untuk mengenal Teladan yang terbaik sepanjang zaman (Rasulullah SAW). Dan pun, saat ini betapa banyak perayaan-perayaan yang menyesatkan yang tidak punya nilai islami sedikit pun bahkan telah menghijabi perayaan-perayaan besar dalam Agama Islam. Maka perayaan Maulid dinilai harus diadakan setidaknya setiap tahunnya.”

Pembacaan kitab Syamail Muhammadiyah

Yang harus diingat, bahwasanya Peringatan Maulid Nabi SAW setahun sekali adalah salah satu bentuk ekspresi cinta dan rindu kepada Beliau SAW. Ia harus diisi dengan berbagai ibadah. Seperti sedekah kepada fakir miskin, memberi makan kepada kekasih Rasulullah (anak yatim) dan kaum muslimin umumnya, berkumpul dengan para waris Nabi yaitu para ‘alim ulama, berzikir memuji mengingat Allah, membaca Al Quran, atau berpuasa, bersujud syukur atas nikmat, mempelajari ilmu agama dan memperdalam pengetahuan tentang Rasulullah juga membacakan sya’ir berupa pujian atas keindahan Rasulullah. Itu semua adalah ibadah yang tentu nilainya baik.

Terakhir. Kadang ada pertanyaan nakal yang menjerat pikiran, “Kenapa harus setahun sekali mengekspresikan cinta kepada Nabi SAW. Seharusnya kan setiap saat?” Ya. Pertanyaan tersebut benar adanya. Dan jawabannya sudah tentu, kita harus mencintai Nabi SAW di setiap denyut jantung. Karena ia adalah prinsip iman. Sesaat ia menghilang, sesaat itu pula iman akan menjadi goyah. Hanya saja, bukankah ketika suatu waktu yang dapat mengingatkan kita kepada sebuah nikmat yang besar yang pernah terjadi, akan menambah rasa rindu yang lebih besar dan semakin kuat? Maka bagi yang mencintai Nabi SAW dan mengetahui kelahirannya di tanggal 12 rabiul awal, tentu akan memaknai tanggal itu sebagai sebuah tanggal dan hari yang besar serta istimewa. Karena sekuntum memori akan menancap semakin dalam bersebabkan ziarah tempat dan pengulangan waktu.

Bagi yang pernah merasakan cinta dan sering diselimuti rindu, tentu tahu bagaimana besar pengaruh pengulangan waktu dan jejak tempat. Demikian untuk melengkapi pertnyataan para ulama yang ‘arif yang hatinya selalu dekat dengan zikir kepada Allah, yang statusnya adalah pewaris Nabi yang keilmuannya telah diakui oleh dunia.

Disadur dari berbagai referensi:
Terutama Kitab Al Bayaan Li Maa Yasyghal al Adzhaan & Al Mutasyaddidun Manhajuhum wa Munaqasyatu Ahammi Qadhayaahum karya Syeikh Ali Jum’ah (Terj). dan Ceramah Syeikh Ramadhan Al Buthi dan Abuya Sayyid Muhammad Al Maliki di Youtube.
Read More

Jumat, 24 November 2017

Terjemahan Kitab Syamail Muhammadiyah Bag.5 (Ikhtishar)

November 24, 2017

Tarbiyah.online | Kitab Syamail Muhammdiyah adalah sebuah kitab hadits yang merangkum segala laku dan ciri tubuh baginda Nabi SAW yang disusun oleh Imam at-Turmudzi atau Imam at Tirmidzi. Dalam postingan kami ini, kami membagi menjadi 5 bagian ikhtisar (rangkuman kitab) dengan jumlah 31 hadits.

23. CARA MAKA RASULULLAH

عن أبيه، «أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يلعق أصابعه ثلاثا»

"Sesungguhnya Nabi saw. menjilati jari jemarinya (sehabis makan) tiga kali."
(Diriwayatkan oleh Muhammad bin Basyar, dari `Abdurrahman bin Mahdi, dari Sufyan, dariSa'id bin Ibrahim, dari salah seorang anak Ka'ab bin Malik, yang bersumber daribapaknya.)

عن أنس قال: «كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا أكل طعاما لعق أصابعه الثلاث».

"Bila Nabi saw. selesai makan, beliau menjilati jari jemarinya yang tiga*."
(Diriwayatkan oleh al Hasan bin `Ali al Khilali, dari `Affan, dari Hammad bin Salamah, dariTsabit, yang bersumber dari Anas r.a.)

*Yang dimaksud jari yang tiga ,yakni: jari tengah, jari telunjuk dan ibu jari.

24. JENIS ROTI YANG DIMAKAN RASULULLAH

عن عائشة، أنها قالت: «ما شبع آل محمد صلى الله عليه وسلم من خبز الشعير يومين متتابعين حتى قبض رسول الله صلى الله عليه وسلم».

"Keluarga Nabi saw. tidak pernah makan roti sya'ir* sampai kenyang dua hari berturut-turut hingga Rasulullah saw. wafat."
(Diriwayatkan oleh Muhammad bin al Matsani, dan diriwayatkan pula oleh Muhammad binBasyar, keduanya menerima dari Muhammad bin Ja'far, dari Syu'bah, dari Ishaq, dari`Abdurrahman bin Yazid, dari al Aswad bin Yazid*, yang bersumber dari `Aisyah r.a.)

*Sya'ir, khintah dan bur, semuanya diterjemahkan ke dalam bahasa Indinesia dengan"gandum" sedangkan sya'ir merupakan gandum yang paling rendah mutunya. Kadang kala ia dijadikan makanan ternak, namun dapat pula dihaluskan untuk makanan manusia. Roti yangterbuat dari sya'ir kurang baik mutunya.
*Abdurrahman bin Yazid dan al Aswad bin Yazid bersaudara, keduanya rawi yang tsiqat.

عن أنس قال: «ما أكل رسول الله صلى الله عليه وسلم على خوان ولا أكل خبزا مرققا حتى مات».

"Rasulullah saw. tidak pernah makan di atas meja dan tidak pernah makan roti gandum yang halus, hingga wafatnya." 
(Diriwayatkan oleh `Abdullah bin `Abdurrahman, dari'Abdullah bin `Amr –Abu Ma'mar-,dari `Abdul Warits, dari Sa'id bin Abi `Arubah, dari Qatadah, yang bersumber dari Anasr.a.)

25. LAUK PAUK YANG DIMAKAN RASULULLAH

عن عائشة، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: «نعم الإدام الخل»
قال عبد الله بن عبد الرحمن، في حديثه: «نعم الإدام أو الأدم الخل».

"Sesungguhnya Rasulullah bersabda: "Saus yang paling enak adalah cuka." 
`Abdullah bin `Abdurrahman berkata :"Saus yang paling enak adalah cuka."  
(Diriwayatkan oleh Muhammad bin Shal bin `Askar dan `Abdullah bin `Abdurrahman,keduanya menerima dari Yahya bin Hasan, dari Sulaiman bin Hilal, Hisyam bin `Urwah, dari bapaknya yang bersumber dari `Aisyah r.a.)

عن أبي أسيد قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «كلوا الزيت وادهنوا به؛ فإنه من شجرة مباركة».

"Rasulullah saw. bersabda :"Makanlah minyak zaitun dan berminyaklah dengannya. Sesungguhnya ia berasal dari pohon yang diberkahi."
(Diriwayatkan oleh Mahmud bin Ghailan, daari Abu Ahmad az Zubair, dan diriwayatkanpula oleh Abu Nu'aim, keduanya menerima dari Sufyan, dari ` Abdullah bin `Isa, dari seorang laki-laki ahli syam yang bernama Atha', yang bersumber dari Abi Usaid r.a.)

عن أنس بن مالك قال: «كان النبي صلى الله عليه وسلم يعجبه الدباء فأتي بطعام، أو دعي له فجعلت أتتبعه فأضعه بين يديه لما أعلم أنه يحبه».

"Nabi saw. menggemari buah labu. maka (pada suatu hari) beliau diberi makanan itu, atau diundang untuk makan makanan itu (labu). Aku pun mengikutinya, maka makanan itu (labu) kuletakkan dihadapannya, karena aku tahu beliau menggemarinya.
(Diriwayatkan oleh Muhammad bin Basyar, dari Muhammad bin Ja'far, dan diriwayatkan pula oleh `Abdurrahman bin Mahdi, keduanya menerima dari Syu'bah, dari Qatadah yang bersumber dari Anas bin Malik r.a.)

عن عائشة قالت: «كان النبي صلى الله عليه وسلم يحب الحلواء والعسل»

"Nabi saw. menyenangi kue-kue manis (manisan) dan madu."
(Diriwayatkan oleh Ahmad bin Ibrahim ad Daruqi, juga diriwayatkan oleh Salamah bin Syabib dan diriwayatkan pula oleh Mahmud bin Ghailan, mereka menerimanya dari AbuUsamah, dari Hisyam bin `Urwah yang bersumber dari `Aisyah r.a.)

عن أبي هريرة قال: «أتي النبي صلى الله عليه وسلم بلحم فرفع إليه الذراع وكانت تعجبه فنهس منها».

"Nabi saw. diberi makan daging, maka diambilakn baginya bagian dzir'an.*
Bagian dzir'an kesukaannya. Maka Rasulullah saw. Mencicipi sebagian daripadanya. "
(Diriwayatkan oleh Washil bin `Abdul A'la, dari Muhammad bin Fudlail, dari Abi Hayyan at Taimi, dari Abi Zar'ah, yang bersumber dari Abu Hurairah r.a.)

*Dzir'an adalah bagian tubuh binatang dari dengkul sampai bagian kaki.

سمعت عبد الله بن جعفر يقول: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: «إن أطيب اللحم لحم الظهر».

"Daging yang paling baik adalah punggung." 
(Diriwayatkan oleh Mahmud bin Ghailan, dari Abu Ahmad, dari Mis'ar, dari Syaikhan, dari Fahm,* yang bersumber dari `Abdullah bin Ja'far r.a.)

*Namanya adalah Muhammad bin `Abdullah, disebut pula Muhammad bin


`Abdurrahman, juga disebut Abu Hay.

26. WUDHU' RASULULLAH

عن سلمان قال: قرأت في التوراة أن بركة الطعام الوضوء بعده، فذكرت ذلك للنبي صلى الله عليه وسلم، وأخبرته بما قرأت في التوراة، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «بركة الطعام الوضوء قبله والوضوء بعده».

"Kubaca dalam Taurat bahwa berkah makanan itu karena berwudlu sebelum makan dan berwudlu sesudahnya". Hal tersebut kukatakan kepada Nabi saw., dan kukabarkan apa yang pernah kubaca dalam Taurat itu, maka Rasulullah saw. Bersabda :"Berkah makanan itu disebabkan berwudlu sebelum makan serta sesudahnya." 
(Diriwayatkan oleh Yahya bin Musa, dari `Abdullah bin Numair, dari Qais bin Rabi'. Hadist inipun diriwayatkan pula oleh Qutaibah, dari `Abdul Karim al Jurjani, kedua riwayat itu bersumber dari Qeis bin Rabi', dari Abi Hisyam Adahzadan yang bersumber dari Salman r.a.)

27. DOA SEBELUM DAN SESUDAH MAKAN RASULULLAH

عن أبي أيوب الأنصاري قال: كنا عند النبي صلى الله عليه وسلم يوما، فقرب طعاما، فلم أر طعاما كان أعظم بركة منه، أول ما أكلنا، ولا أقل بركة في آخره، فقلنا: يا رسول الله، كيف هذا؟ قال: «إنا ذكرنا اسم الله حين أكلنا، ثم قعد من أكل ولم يسم الله تعالى فأكل معه الشيطان».

"Pada suatu hari, kami berada di rumah Rasulullah saw., maka Beliau menyuguhkan suatu makanan. Aku tidak mengetahui makanan yang paling besar berkahnya pada saat kami mulai makan dan tidak sedikit berkahnya di akhir kami makan." 

Abu Ayub bertanya : "Wahai Rasulullah, bagaimanakah caranya hal ini bisa terjadi?" Rasulullah saw. bersabda :"Sesungguhnya kami membaca nama Allah waktu akan makan, kemudian duduklah seseorang yang makan tanpa menyebut nama Allah, maka makannya disertai syetan."
(Diriwayatkan oleh Qutaibah Dari Ibnu Luhai'ah, dari Yazid bin Abi Habib, dari Rasyad binJandal al Yafi'I, dari Hubeib bin Aus, yang bersumber dari Abu Ayub al Anshari r.a.)

عن عائشة، قالت: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «إذا أكل أحدكم فنسي أن يذكر الله تعالى على طعامه فليقل: بسم الله أوله وآخره».

"Rasulullah saw. bersabda :"bila salah seorang dari kalian makan, tapi lupa menyebut nama Allah atas makanan itu, maka hendaklah ia membaca :"Bismillahi awwalahu wa akhirahu." (Dengan nama Allah pada awal dan akhirnya). 
(Diriwayatkan oleh Yahya bin Musa, dari abu Daud, dari Hisyam ad Distiwai, dari Budail al `Aqili, dari `Abdullah bin `Ubaid bin `Umair, dari Ummu Kultsum, yang bersumber dari `Aisyah r.a.)

عن أبي سعيد الخدري قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا فرغ من طعامه قال: «الحمد لله الذي أطعمنا وسقانا وجعلنا مسلمين».

"Apabila Rasulullah saw. selesai makan, maka Beliau membaca : "Alhamdulillahilladzi ath'amana wa saqana wa ja'alana muslimin." (Segala puji bagi Allah Yang memberi makan kepada kami, memberi minum kepada kami dan menjadikan kami orang-orang islam). 
(Diriwayatkan oleh Mahmud Ghailan, dari Abu Ahmad az Zubairi, dari Sufyan as Tsauri, dari Abu Hasyim, dari Ibnu Isma'il bin Riyah, dari bapaknya (Riyah bin `Ubaid), yang bersumber dari Abu Sa'id al khudri r.a.) 

عن أبي أمامة قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا رفعت المائدة من بين يديه يقول: «الحمد لله حمدا كثيرا طيبا مباركا فيه غير مودع ولا مستغنى عنه ربنا».

"Adapun Rasulullah saw., bila hidangan makan telah diangkat dari hadapannya,maka beliau membaca :"Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi, ghaira muwadda'iw wa la mustaghnan `anhu Rabbana." (Segala puji bagi Allah, puji yang banyak tiada terhingga. Puji yang baik lagi berkah padanya.Puji yang tidak pernah berhenti. Dan puji tidak akan mampu lisan menuturkannya, ya Allah Rabbal `Alamin).
(Diriwayatkan oleh Muhammad bin Basyar, dari Yahya bin Sa'id, dari Tsaur bin Yazid, dari Khalid bin Ma'dan yang bersumber dari Abu Umamah r.a.)

28. TEMPAT MINUM RASULULLAH

عن ثابت قال: أخرج إلينا أنس بن مالك، قدح خشب غليظا مضببا بحديد فقال: «يا ثابت، هذا قدح رسول الله صلى الله عليه وسلم».

"Anas bin Malik r.a. memperlihatkan kepada kami tempat minuman yang terbuat dari kayu. Tempat minuman itu tebal dan dililit dengan besi". kemudian Anas r.a. menerangkan : "Wahai Tsabit! Inilah tempat minum Rasulullah saw." 
(Diriwayatkan oleh al Husain bin al Aswad al Baghdadi, dari `Amr bin Muhammad, dari `Isa bin Thuhman, yang bersumber dari Tsabit r.a.)

عن أنس قال: «لقد سقيت رسول الله صلى الله عليه وسلم بهذا القدح الشراب كله، الماء والنبيذ والعسل واللبن».

"Sungguh ke dalam cangkir ini telah kutuangkan berbagai minuman untuk Rasulullah saw., baik itu air, nabidz*, madu ataupun susu." 
(Diriwayatkan oleh `Abdullah bin `Abdurrahman, dari Hammad bin Salamah, dari Humaid dan Tsabit, yang bersumber dari Anas bin Malik r.a.)

*Nabidz adalah air kurma, yakni beberapa biji kurma dimasukkan ke dalam air kemudian dibiarkan (semalam) sampai airnya terasa manis.
*Anas bin malik pernah melayani Rasulullah selama 10 tahun.

Baca juga Bagian Pertama

29. BUAH-BUAHAN YANG DIMAKAN RASULULLAH

عن عبد الله قال: «كان النبي صلى الله عليه وسلم يأكل القثاء بالرطب».


"Nabi saw. memakan qitsa* dengan kurma (yang baru masak)." 
(Diriwayatkan oleh Isma'il bin Musa al Farazi, dari Ibrahim bin Sa'id, dari ayahnya yang bersumber dari `Abdullah bin Ja'far r.a.)

*Qitsa adalah sejenis buah-buahan yang mirip mentimun tetapi ukurannya lebih besar (Hirbis) 

عن عائشة: «أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يأكل البطيخ بالرطب».

"Sesungguhnya Nabi saw. memakan semangka dengan kurma (yang baru masak).” 
(Diriwayatkan oleh `Ubadah bin `Abdullah al Khaza'i al Bashri, dari Mu'awiyah bin Hisyam, dari Sufyan, dari Hisyam bin `Urwah, dari bapaknya, yang bersumber dari `Aisyah r.a.)

Baca juga bagian kedua

30. MINUMAN RASULULLAH

عن عائشة، قالت: «كان أحب الشراب إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم الحلو البارد».

"Minuman yang paling disukai Rasulullah saw. adalah minuman manis yang dingin." 
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi `Umar, dari Sufyan, dari Ma'mar, dari Zuhairi, dari `Urwah, yang bersumber dari `Aisyah r.a.)

31. CARA MINUM RASULULLAH

عن ابن عباس: «أن النبي صلى الله عليه وسلم شرب من زمزم وهو قائم».

"Sesungguhnya Rasulullah saw. minum air zamzam sambil berdiri."
(Diriwayatkan oleh Ahmad bin Mani', dari Husyaim, dari `Ashim al Ahwal dan sebagainya, dari Sya'bi, yang bersumber dari Ibnu `Abbas r.a.)

عن جده قال: «رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يشرب قائما وقاعدا».

"Aku melihat Rasulullah saw minum dengan berdiri dan duduk"
(Diriwayatkan oleh Qutaibah dari Muhammad bin Ja'far dari Husain dari Ma'mar dari ayahnya dari kakeknya )

عن أنس بن مالك، أن النبي صلى الله عليه وسلم: كان يتنفس في الإناء ثلاثا إذا شرب، ويقول: «هو أمرأ وأروى».

"Sesungguhnya Rasulullah saw. menarik nafas tiga kali pada bejana bila Beliau minum. Beliau bersabda :"Cara seperti ini lebih menyenangkan dan menimbulkan kepuasan." 
(Diriwayatkan oleh Qutaibah bin Sa'id, dan diriwayatkan pula oleh Yusuf bin Hammad, keduanya menerima dari `Abdul Warits bin Sa'id, dari Abi `Ashim, yang bersumber dari Anas bin Malik r.a.)
Read More