2020 - TARBIYAH ONLINE

Fiqh

Kamis, 10 Desember 2020

Download Kitab Kumpulan Tulisan dan Buku KH. Najih Maimoen

Desember 10, 2020


 

Download Kitab | KH. Muhammad Najih Maimoen lahir pada Sabtu Kliwon, 27 R. Awwal 1383 H atau bertepatan pada 17 Agustus 1963 M di Sarang. Beliau merupakan putra kedua KH. Mamoen Zubair.


Nama Muhammad Najih yang terinspirasi dari nama seorang ulama yang konon berasal dari Jawa Timur Pelayaran Tafaqquh Fiddin beliau berawal dari pelabuhan Sarang, tanah kelahiran beliau sendiri.


KH. Muhammad Najih Maimoen memulai pendidikannya dengan belajar langsung kepada ayahnya, KH. Maimoen Zubair. Kemudian menginjak dewasa beliau melanjutkan pendidikannya dengan belajar di MGS.


Download

Sejak di MGS, beliau sangat bersungguh-sungguh belajar ilmu agama, sehingga di antara teman-teman yang lain, keilmuan beliau kelihatan sangat menonjol.


Setelah itu, beliau juga belajar kepada Sayyid Muhammad yang pada saat itu sedang bermukim di Malang. Selama bermukim di malang Sayyid banyak mengajarkan kitab-kitab salaf. Hingga suatu hari Sayyid menunjuk beliau untuk menjadi muridnya di Makkah.


Atas perintah Sayyid Muhammad, pada sekitar tahun 1982, beliau berangkat ke tanah suci Makkah. Di sana beliau setia berkhidmah pada Sayyid bertahun-tahun.


Read More

Selasa, 01 Desember 2020

Kitab Fiqh Islami wa Adillatuhu Karya Syeikh Wahbah Az Zuhaili Cetakan Darul Fikir

Desember 01, 2020

Download Fiqih Islam wa Adillatuhu

Download Kitab | Siapa yang tidak kenal dengan Syeikh Wahbah Az Zuhaili dengan karya fenomenalnya yang luar biasa dalam bidang Fiqh Muqarran atau Fikih Perbandingan Mazhab.


Kitab ini sering dijadikan rujukan oleh pelajar internasional guna mengetahuin dan mendapatkan ilmu menganai perbandingan mazhab, untuk melahirkan toleransi antar mazhab dalam Islam.Buku ini membahas aturan-aturan syariah islamiyyah yang disandarkan kepada dalil-dalil yang shahih baik dari Al-Qur'an, As-Sunnah, maupun akal. Oleh sebab itu, kitab ini tidak hanya membahas fiqih sunnah saja atau membahas fiqih berasaskan logika semata. Selain itu, karya inijuga mempunyai keistimewaan dalam hal mencakup materi-materi fiqih dari semua madzhab, dengan disertai proses penyimpulan hukum (istinbaath al-ahkaam) dari sumber-sumber hukum lslam baik yang naqli maupun aqli (Al-Qur'an, As-Sunnah, dan juga ijtihad akal yang didasarkan kepada prinsip umum dan semangat tasyri' yan gotentik).


Semoga karya Profesor Wahbah az-Zuhaili, ulama asal Suriah ini, dapat memberikan manfaat yang seluas-seluasnya kepada umat lslam, khususnya bagi Anda sekalian, para pembaca yang dirahmati Allah SWT.


Syeikh Wahbah Az Zuhaili adalah seorang ulama dari negeri Syam, Suriah, lahir di Dair 'Athiyah, Damaskus, pada tahun 1932. Pada tahun 1956, beliau berhasil menyelesaikan pendidikan tingginya di Universitas Al-Azhar Fakultas Syariah. Beliau memperoleh gelar magister pada tahun 1959 pada bidang Syariah lslam dari Universitas Al-Azhar Kairo dan memperoleh gelar doktor pada tahun 1959 pada bidang Syariah lslam dari Universitas Al-Azhar Kairo.


Tahun 1963, beliau mergajar di Universitas Damaskus. Di sana,beliau mendalami ilmu fiqih serta ushulfiqih dan mengajarkannya di Fakultas Syariah. Beliau juga kerap mengisi seminar dan acara televisi di Damaskus, Emirat Arab, Kuwait, dan Arab Saudi. Ayah beliau adalah seoranghafizh Qur' an dan mencintai As-Sunnah.


Berikut link download terjemahan kitab Fiqih Islami PDF berbagai jilid:

Jilid 1 Berisikan tentang: 

Pengantar Ilmu Fiqh, Tokoh-Tokoh Mazhab Fiqh, Niat, Thaharah dan Shalat

Download


Jilid 2 Berisikan tentang: 

SHALAT WAJIB . SHALAT SUNNAH . ZIKIR SETELAH SHALAT, QUNUT DALAM SHALAT, SHALAT JAMA'AH, SHALAT JAMA' & QASHAR

Download


Jilid 3 Berisikan tentang: 

PUASA, I'TIKAF, ZAKAT, HAJI dan UMRAH

Download


Jilid 4 Berisikan tentang: 

SUMPAH, NADZAR, HAL-HAL YANG DIBOLEHKAN & DILARANG, KURBAN & AQIQAH, TEORI-TEORI FIQIH

Download


Jilid 5 Berisikan tentang: 

HUKUM TRANSAKSI KEUANGAN, TRANSAKSI JUAL-BELI, ASURANSI, KHIYAR, MACAM-MACAM AKAD JUAL BELI dan AKAD IJARAH (PENYEWAAN)

Download


Jilid 6 Berisikan tentang:

JAMINAN (AL-KAFAALAH), PENGALlHAN UTANG (AL-HAWAALAH)GADAI (AR-RAHN), PAKSAAN (AI-IKRAAH), dan KEPEMILIKAN (AL-MILKIYYAH)

Download


Jilid 7 Berisikan tentang:

SISTEM EKONOMI ISLAM, PASAR KEUANGAN, HUKUM HADD ZINA, QADZF, dan PENCURIAN

Download


Jilid 8 Berisikan tentang: 

JIHAD, PENGADILAN DAN MEKANISME MENGAMBIL KEPUTUSAN dan PEMERINTAHAN DALAM ISLAM

Download


Jilid 9 Berisikan tentang:

PERNIKAHAN, TALAK, KHULU', MENG-IILA' ISTRI,, LI'AN, ZHIHAR dan MASA IDDAH

Download


Jilid 10 Berisikan tentang:

Hak-Hak Anak, Wasiat, Wakaf, Warisan

Download

Read More

Sabtu, 07 November 2020

Download Buku Islami: 10 Kunci Kebahagiaan - Ustadz Aunur Rofiq, Lc

November 07, 2020

Buku 10 Kunci Kebahagiaan


Download Kitab | Setiap manusia pasti ingin bahagia dalam hidupnya. Akan tetapi, mereka menempuh cara yang berbeda-beda dalam meraih kebahagiaan itu, adakalanya dengan mencari dunia sebanyak-banyaknya sehingga bisa melampiaskan syahwat dan keinginan hawa nafsunya; ternyata hasilnya bukan kebahagiaan tetapi sebaliknya. Lalu apa sebetulnya kunci untuk meraihnya agar kita bahagia di dunia sekalipun banyak tantangan hidup- dan bahagia pula di akhirat?


Link Download disini


Kunci pertama ialah Menjadikan Islam sebagai Agama yang Hak. Islam adalah agama yang diridhai oleh Allah swt, sedangkan selainnya ditolak.

Kunci yang kedua adalah Bagi orang yang menginginkan kebahagiaan abadi, yaitu mengimani semua yang ada di dalam al-Qur‘an dan hadits yang shahih.

Kunci yang ketiga adalah qunut. Imam Bukhari v berkata, “Qunut banyak artinya, di antaranya: melaksanakan ibadah, lama membaca al-Qur‘an, berdo’a, berdzikir, khusyuk, dan diam pada saat ibadah.” (Shahih Bukhari 4/1648)

Kunci keempat adalah ash-shidqu ‘jujur dan berlaku benar’. Ibnu Katsir berkata, “Jujur dan benar adalah perangai terpuji. Oleh karena itu, para sahabat tidak pernah bohong pada zaman jahiliah dan tidak pula setelah mereka masuk Islam. Jujur adalah tanda orang itu memiliki iman, sebagaimana tanda orang munafik adalah dusta. Barangsiapa jujur dan berlaku benar akan selamat.” (Tafsir Ibnu Katsir 6/420)

Kunci kelima ialah bersabar ketika dilanda musibah, beramal shalih, dan meninggalkan larangan Allah swt. Syaikh Abdurrahman bin Hasan berkata, “Bersabarnya hati bila tidak mengeluh dan tidak putus asa, bersabarnya lisan tidak marah dan mengadu, sedangkan bersabarnya anggota badan tidak menampar pipi dan menyobek saku bila kena musibah. Inilah perkataan Ibnul Qayyim.”(Fathul Majid 1/436)

Untuk lanjutan dan penjelasan bagi setiap kunci silahkan dibaca dalam buku berbentuk soft copy - PDF.

Read More

Minggu, 01 November 2020

Cara Mengangkat Tangan Saat Berdoa yang Sesuai Sunnah

November 01, 2020

Doa | Mengangkat tangan adalah salah satu etika berdoa yang harus diperhatikan seorang muslim. Berdoa adalah salah satu kewajiban orang yang beriman. Memanjatkan doa juga merupakan sebuah sarana mendekatkan diri kepada Allah. Dan doa itu juga merupakan sebuah perantara seorang hamba dalam mengajukan berbagai macam permintaan, baik itu hajat, mohon ampun dan lain sebagainya.


Allah sendiri memerintahkan hambanya untuk senantiasa memanjatkan doa kepadanya. Dan Allah pasti akan mengijabahi semua doa yang dipanjatkan. Dan orang-orang yang tidak mau berdoa termasuk ciri-ciri orang yang sombong, dan neraka adalah tempat bagi orang yang sombong tersebut. Hal ini sebagaimana keterangan dalam Al-Quran


وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

Artinya: “Dan Tuhan kalian berfirman, ‘Berdoalah kalian kepada-Ku niscaya akan Aku kabulkan bagi kalian.’ Sesungguhnya, orang-orang yang sombong dari beribadah kepada-Ku, akan masuk neraka dalam keadaan hina”. [QS. Ghafir: 60]


Mengangkat Tangan Merupakan Etika Berdoa

Salah satu etika seorang hamba saat memanjatkan doa adalah mengangkat tangan. Karena menggangkat tangan saat berdoa menjadi perantara terijabahnya sebuah doa. Bahkan Allah sendiri merasa malu ketika hambanya menggangkat tangan untuk berdoa namun tidak mengkabulkannya. Dalam Hadis Nabi Muhammad disebutkan

إِنَّ اللَّهَ حَيِيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِي إِذَا رَفَعَ الرَّجُلُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا خَائِبَتَيْنِ

Artinya: “Sesungguhnya Allah itu sangat pemalu dan Maha Pemurah. Ia malu jika seorang lelaki mengangkat kedua tangannya untuk berdoa kepada-Nya, lalu Ia mengembalikannya dalam keadaan kosong dan hampa”. [HR. Abu Daud]


Dari hadis ini, kita mengetahui bahwa menggangkat tangan saat berdoa bisa menjadikan terkabulnya sebuah doa. Namun demikian perlu memahami etika dan cara mengangkat tangan saat berdoa yang baik dan benar sesuai petunjuk Nabi Muhammad. Sahabat Ibnu Abbas menceritakan tentang tiga cara menggangkat tangan saat berdoa


وقال ابن عباس رضي الله عنهما : ( المسألة : أن ترفع يديك حذو منكبيك ، والاستغفار : أن تشير بإصبع واحدة ، والابتهال : أن تمد يديك جميعا هكذا ) ورفع يديه وجعلهما مما يلي وجهه .

Artinya: “Sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata: “Etika bedoa adalah dengan mengangkat tangan sejajar dengan pundakmu. Jika istighfar, atau memohon ampun maka angkat atau acungkanlah satu jari telunjukmu. Jika ibtihal, doa dengan tadhorru’ atau doa untuk sesuatu yang genting maka angkatlah tanganmu seperti ini”. Beliau memeragakan doa dengan menjunjung kedua tangan beliau sejajar dengan wajah”.


Berangkat dari hadis ini maka pahamilah tiga cara mengangkatkan tangan saat berdoa yaitu:

Pertama, ketika kita berdoa untuk meminta sesuatu maka junjunglah kedua tangan sejajar dengan pundak.


Kedua, Apabila kita berdoa untuk beristihfar atau meminta ampunan maka angkatlah tangan serang mengacungkan satu jari telunjuknya


Ketiga, ketika berdoa dalam situasi yang genting maka angkatlah kedua tangannya sejajar dengan wajah.


Demikialah tiga cara mengangkat tangan saar berdoa. Semoga dengan mengetahui ini, Allah SWT akan senantiasa mengabulkan doa-doa kita, Amin.


Khalwani Ahmad, Pemerhati Sejarah Peradaban Islam Nusantara.

Artikel ini telah tayang di Harakatuna.com pada Oktober lalu.

Read More

Jumat, 16 Oktober 2020

Wajib Tahu! Bagaimana Hukum Berdandan Bagi Wanita dalam Islam

Oktober 16, 2020

sumber foto: Umma

Fiqh Wanita | Bicara mengenai tentang hukum berdandan bagi wanita, banyak sekali pertanyaan yang keluar berkenaan dengan pembahasan kita kali ini. Mulai dari pengertian tabarruj? Samakah tabarruj dengan bersolek atau berhias? Kalau pengertiannya sama, apakah larangan bertabarruj itu bersifat mutlak?


Kemudian sudah pasti amankah bagi seorang muslimah yang mengenakan pakaian panjang dan berkerudung? Dan masih ada deretan pertanyaan yang belum terjawab.


Allah Swt berfirman:

وَقَرۡنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجۡنَ تَبَرُّجَ ٱلۡجَٰهِلِيَّةِ ٱلۡأُولَىٰۖ

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu”. (QS. Al-Ahzab: 33)


Hukum berdandan dan larangan bertabarruj bagi wanita muslimah itu setelah adanya perintah untuk menetap di dalam rumah. Ini berarti jika seorang mereka terpaksa keluar rumah untuk suatu keperluan yang tidak bisa ditinggalkan, maka tidak boleh dengan penampilan tabarruj.


Sebenarnya apa pengertian dari tabarruj itu?

Dalam kitab Lisan al-Arabi dijelaskan bahwa tabarruj adalah sesuatu yang tampak jelas dan menonjol. Sedangkan dalam kitab Al-Jadwal fi I’rab Al-Qur’an wa Sharfihi disebutkan bahwa tabarruj adalah memaksakan diri dan bersusah payah untuk menampakkan sesuatu yang tersembunyi.


Imam Al-Raghib berkata dalam Al-Mufradat, al-buruj artinya adalah istana-istana. Kalau dikaitkan dengan perempuan maka pengertiannya adalah seorang wanita menyerupakan diri dengan istana dalam menampakkan berbagai keindahannya sehingga mengundang orang-orang untuk mengerumuninya.


Sedangkan menurut Imam Al-Jauhari dalam Ashihah, tabarruj adalah perilaku menampakkan perhiasan dan berbagai keindahan wanita kepada kaum laki-laki yang bukan mahramnya.


Dari beberapa pengertian tersebut kita bisa mengambil kesimpulan bahwa tabarruj adalah segala usaha untuk menampakkan keindahan dan bagian-bagian yang menonjol dari tubuh seorang wanita di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya.


Sikap itu tentu saja sangat berpotensi menarik hasrat dan membangkitkan nafsu syahwat kaum laki-laki yang melihatnya. Karenanya Allah Swt sangat melarangnya dan haram bagi wanita melakukannya.


Bahkan wanita lansia yang dibolehkan menanggalkan pakaian luarnya pun tetap dengan syarat tidak bermaksud menampakkan perhiasannya. Bahkan Allah Swt memerintahkan mereka untuk berlaku sopan dan menjaga diri dengan tetap mengenakan pakaian luarnya demi menjaga kehormatan dirinya dan mengetahui hukum berdandan yang sebenarnya.


Di antara bentuk tabarruj (berdandan) di masa kini adalah:

1. Memukulkan atau menghentakkan kaki-kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan (gelang kaki). Seperti yang tergambar dalam firman Allah berikut:

“Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan dan bertaubatlah kalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”. (QS. An-Nur: 31)


2. Mengenakan wangi-wangian saat bepergian atau keluar rumah. Banyak alasan yang dibuat untuk melegalkan tindakan itu, meskipun kita tahu bahwa memakai wewangian merupakan hal terlarang.


3. Mengenakan benda-benda palsu untuk mempercantik diri dan menipu agar terlihat lebih muda dari usia sebenarnya. Seperti memakai bulu mata palsu, menambahkan emas atau perak pada gigi.


4. Memakai aneka aksesoris yang menempel pada baju dan kerudung, bahkan menempel pada tubuh yang turut pula meramaikan penampilan kita yang tampak oleh lelaki yang bukan mahram.


5. Menyambung rambut.

“Rasulullah Saw melaknat wanita yang menyambung rambutnya dengan rambut lain, dan wanita yang meminta agar rambutnya disambung”.


6. Menggundul kepala.

Rasulullah Saw bersabda, “Aku berlepas diri dari wanita yang menggundul rambut kepalanya, berteriak dengan suara keras, dan merobek-robek pakaiannya (ketika mendapat musibah)”.


7. Membuat tato pada bagian tubuhnya, mencukur alis, dan mengikir sela-sela gigi depan.


8. Menyemir rambut dengan semir hitam.


Rasulullah Saw bersabda, “Pada akhir zaman nanti, akan ada suatu kaum yang mewarnai (rambutnya) dengan warna hitam, seperti dada burung merpati. Mereka tidak akan mencium baunya surga”.


Seorang muslimah yang ideal selalu menyelaraskan kecantikan lahir dan batinnya. Cantik lahir berarti peduli terhadap penampilan, cerdas menilai situasi dan kondisi. Artinya dalam berpenampilan, harus memperhatikan rambu-rambu yang telah ditetapkan syar’i. Di mana kita berada, dengan siapa, kapan, untuk apa, dan bagaimana?


Semua itu adalah pertanyaan yang harus kita jawab sebelum berpenampilan menemui orang-orang. Jika mampu menjawab dengan benar dan tampil dengan tepat sesuai syar’i, maka berarti sudah tampil cantik secara lahiriyah. Meski secara nafsu tidak menarik. Tetapi ada perkara yang tidak boleh di tinggalkan:

- Kebersihan badan, mulut, rambut, pakaian, dan lingkungan.

- Penampilan yang rapi, serasi, dan alami.

- Santun, ramah, dan supel.


Bila tiga poin tersebut benar-benar diperhatikan, insya Allah sudah tampil cantik, menawan, dan memikat bagi siapapun yang halal kita jumpai. Apalagi jika dipadukan dengan kecantikan batin, benar-benar mengagumkan tampil dengan jati diri muslimah sejati. Kecantikan batin dapat kita miliki dengan memberikan nutrisi bagi hati.


Apa saja nutrisi yang penuh gizi bagi hati kita?


Beberapa resep berikut menjadi menu utama bagi hati kita agar tetap tampil bugar dan pancaran kesegarannya dapat dirasakan oleh orang-orang di sekitar kita. Di antaranya adalah:


- Menjaga hati agar terbebas dari berbagai fitnah syahwat dan fitnah syubhat.

- Menigkatkan kualitas iman dan amal shalih.

- Menyibukkan diri dengan Al-Qur’an.

- Melazimi dzikir.

- Tingkatkan kepedulian kita pada sesama.


Demikian lah hukum berdandan bagi wanita dan lima tips untuk mewujudkan kecantikan batiniyah. Mari bekerja keras dan terus berusaha, karena nasib kita terletak pada usaha akhir yang kita lakukan. Jangan pernah menyerah, jangan pula cepat puas.


Selagi kesempatan masih ada, jangan pernah sia-siakan. Kesempatan yang sama tak akan pernah datang untuk kedua kalinya. Kita sudah mengetahui hukum berdandan yang sebenarnya. Yakinlah! Wallahu A’lam.


Sumber tulisan merujuk pada buku: Dosa-Dosa Yang Digemari Wanita Indonesia, Pustaka Arafah, 2014

Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org pada Mei 202oleh Khoirul Aini, Santri Ponpes Al Islah Kebagusan Ampelgading, Pemalang.

Read More

Selasa, 13 Oktober 2020

Baca Ini Ba'da Ashar! Ibadah yang Mampu Menghapus Dosa 80 Tahun

Oktober 13, 2020

Doa | Kita dianjurkan untuk memperbanyak bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw. Pahala dan hikmah bershalawat sangat banyak bahkan tidak terhingga. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Nawadirul Hikayah karya Syaikh Syihabuddin bin Salamah Al Qulyuby termaktub hadits:

 روي عن أنس رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله غليه وسلم: “من صلى عليّ في يوم الجمغة مائة مرة قضى الله له مائة حاجة, سبعين من حوائج الأخرة وثلاثين من حوائج الدنيا. ويوكل الله بصلاته على ملكا حتى يدخلها على قبري كما تدخل على أحدكم الهداية. ويخبرني بإسمه فأثبته عندي في صحيفة بيضاء وأكفئه بها يوم القيامة.

Artinya: “diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah salallahu ‘alaihi wasalam bersabda:  “Barang siapa bershalawat kepadaku di hari Jumat 100 kali, maka Allah akan mengabulkan baginya 100 hajat (kebutuhan), yang 70 dari kebutuhan akhirat dan 30 dari kebutuhan-kebutuhan duniawi. Dan Allah membebankan shalawat tersebut kepada malaikat hingga menghaturkannya ke kuburanku, layaknya (cahaya) hidayah yang masuk kepada kamu sekalian,  dan malaikat memberi tahu akan namanya, kemudian aku menetapkannya di sampingku di dalam lembaran yang putih bersih, dan dengan shalawatnya, aku mencukupinya (memberi syafaat) kelak di hari kiamat,”.


Dalil lainnya anjuran bersahalawat sebagaimana disebutkan dari Uwais bin Uwasi meriwayatkan suatu ketika sahabat pernah bertanya tentang perintah shalawat, apakah bacaan shalawat mereka sampai kepada Rasulullah SAW ketika beliau sudah wafat nanti. Rasulullah lalu menjawab :

فَأَكْثِرُوا عَلَيَّ مِنْ الصَّلَاةِ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ مَعْرُوضَةٌ عَلَيَّ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ تُعْرَضُ صَلَاتُنَا عَلَيْكَ وَقَدْ أَرَمْتَ أَيْ يَقُولُونَ قَدْ بَلِيتَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ حَرَّمَ عَلَى الْأَرْضِ أَنْ تَأْكُلَ أَجْسَادَ الْأَنْبِيَاءِ عَلَيْهِمْ السَّلَام

“Maka perbanyaklah shalawat kepadaku karena shalawat kalian disampaikan kepadaku.” Mereka (para sahabat) berkata; “Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin shalawat kami bisa disampaikan kepada engkau, sedangkan engkau telah meninggal? atau mereka berkata; “Telah hancur (tulangnya)” Rasulullah lalu berkata: “Allah SWT mengharamkan tanah untuk memakan jasad para Nabi.” (Sunan An-Nasai)


Shalawat Ba'da Ashar Jum’at, Diampuni Dosa Selama 80 Tahun, Ini Shalawatnya

Pada malam dan hari Jumat, kita sangat dianjurkan untuk memperbanyak membaca shalawat kepada Nabi Saw. Menurut para ulama, sedikitnya kita dianjurkan membaca shalawat sebanyak tiga ratus kali pada malam dan hari Jumat. Kemudian setelah shalat Ashar, disempurnakan dengan membaca redaksi shalawat berikut sebanyak delapan puluh kali;

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدِ النَّبِيِّ اْلأُمِّيِّ وَعَلىَ آلِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْماً

Allahumma shalli ‘ala muhammadinin nabiyyil ummiyyi wa ‘ala aalihii wa shahbihii wa sallim tasliiman. (Ya Allah, limpahkan rahmat atas Nabi Muhammad yang ummi serta keluarganya, dan berilah mereka keselamatan).


Dalil dari Shalawat diatas berdasarkan riwayat hadis yang bersumber dari Abu Hurairah, dia berkata bahwa Nabi Saw bersabda;

من صلى صلاة العصر من يوم الجمعة فقال قبل أن يقوم من مكانه اللهم صل على محمد النبي الأمي وعلى آله وسلم تسليماً ثمانين مرة غفرت له ذنوب ثمانين عاماً وكتبت له عبادة ثمانين سنة

Barangsiapa shalat Ashar pada hari Jumat, kemudian sebelum berdiri dari tempatnya membaca ‘Allahumma shalli ‘ala muhammadinin nabiyyil ummiyyi wa ‘ala aalihii wa shahbihii wa sallim tasliiman’ sebanyak delapan puluh kali, maka dosanya diampuni sebanyak delapan puluh tahun dan dicatat sebagai ibadah delapan puluh tahun.


Kita setiap saat boleh bershalawat dan kapan saja. Keutamaan shalawat di hari sayyidul Ayyam telah dijelaskan dalam banyak nash dan kitab turast klasik. Salah satu shalawat dengan ganjaran pahalanya diampunkan dosa selama 80 tahun khususnya hari jum’at. Benarkah ada shalawat ini? Jangan menganggap sepele di balik bershalawat khusus hari Jum’at.  Bahkan baginda Rasulullah SAW telah mengajarkan satu bacaan shalawat yang barang siapa membacanya akan diampuni dosanya selama 80 tahun.


Dalam redaksi shalawat yang lain dan ada sedikit perbedaan dengan shalawat di atas, namun fadhilah juga sama. Bacaan Shalawatnya sebagai berikut:

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِك وَنَبِيِّك وَرَسُولِك النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ

Allahumma Shalli ‘Ala Muhammadin ‘Abdika Wa Nabiyyika Wa Rasulikannabiyyil Ummiyyi (Baca 80 kali)


Penjelasan tersebut berdasarkan hadis Rasulullah Saw berbunyi:

مَنْ صَلَّى عَلَيَّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ثَمَانِينَ مَرَّةً غُفِرَ لَهُ ذُنُوبُ ثَمَانِينَ سَنَةٍ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ الصَّلَاةُ عَلَيْك قَالَ تَقُولُ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِك وَنَبِيِّك وَرَسُولِك النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ وَتَعْقِدُ وَاحِدَةً

Artinya: “Siapa yang bershalawat kepadaku pada hari jumat 80 kali maka akan diampuni dosanya selama 80 tahun” Lalu para sahabat bertanya “Bagaimana bacaan shalawat tersebut ya Rasul ?” Lalu Rasulullah SAW menjawab “Ya Allah, limpahkanlah sholawat-Mu kepada Muhammad, hamba, Nabi dan Rasul-Mu, seorang Nabi yang ummi’” dan kamu hitung satu kali“. (HR. Daruquthni)


Beranjak dari itu, marilah kita membumikan kegemaran bershalawat. Ajak keluarga dan masyarakat untuk bershalawat dan mencintai shalawat sebagai refleksi realisasi mahabbah kepada sang baginda nabi Muhammad Saw.


Tgk. Helmi Abu Bakar, Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga dan Dosen IAI Al-Aziziyah Samalanga, Bireuen, Aceh.

Artikel ini telah tayang di Harakatuna.com pada September lalu.

Read More

Rabu, 07 Oktober 2020

Bahaya Lisan Menurut Imām al-Ghazali dalam Kitab al-Arba‘in Fī Ushuliddīn

Oktober 07, 2020

Tasawuf | Pada hakikatnya manusia diciptakan dalam keadaan fitrah, namun banyaknya perbuatan-perbuatan yang dapat membuat hati kotor, dengan banyaknya pergaulan dalam kehidupan dapat menjurumuskan kita dalam sifat ria, iri dan dengki, Imam Ghazali berpendapat bahwa dengan banyak nya pergaulan akan menjdi pemicu hati kotor, namun perlu dipahami bahwa pergaulan disini berbeda halnya dengan pergaulan bersama alim Ulama, yang mana jika dalam perkumpulan itu terdapat majlis ilmu.


Hati yang kotor salah satunya disebabkan oleh lemah nya iman, terutama diakibatkan oleh lisan, karena lisan seperti pedang, disini dapat dilihat betapa bahayanya lisan ketika berbicara, kebohongan-kebohongan yang diucapkan oleh lisan serta mengunjing orang lain atau ghibah yang berasal dari lisan.


Sebagaimana Allah berfirman dalam surat, al-Nisa ayat 114 sebagai berikut.


 لَا خَيْرَ فِيْ كَثِيْرٍ مِّنْ نَّجْوٰىهُمْ اِلَّا مَنْ اَمَرَ بِصَدَقَةٍ اَوْ مَعْرُوْفٍ اَوْ اِصْلَاحٍۢ بَيْنَ النَّاسِۗ وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ ابْتِغَاۤءَ مَرْضَاتِ اللّٰهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيْهِ اَجْرًا عَظِيْمًا

Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Barangsiapa berbuat demikian karena mencari keridaan Allah, maka kelak Kami akan memberinya pahala yang besar.


Menurut Imam al-Ghazali dalam Kitab Arba’in fi Ushul al-Din Yang dimaksud adalah janganlah berbicara jika tidak bermanfaat, dan bicarakanlah pada hal-hal yang penting, maka akan mendapat keselamatan, selanjutnya, keteuhilah perkara bencana yang menimbulkan dosa ialah : berbohong, ghibah, ingin dipuji dan banyak bercanda. Maka tidak lepas seorang hamba yang berbohong dan berusaha untuk terus berbohong sampai Allah akan menetapkan dirinya sebagai seorang pembohong, bahwa berbohong itu haram dalam segala perkara, kecuali dalam keadaan darurat, sebagaimana seorang wanita kepada anak kecil.


Namun terdapat keringanan apabila berbohong itu lebih baik daripada jujur seperti dalam perkara dibolehkan bagi sesorang yang apabila meninggalkan perkara itu akan mendapatkan perkara yang bahaya akan datang apabila tidak melakukannya seperti memakan bangkai, sebagaimana dikatakan oleh Ummu Kultsum r.a, Rasulullah SAW tidak memberikan keringanan dalam kebohongan kecuali tida perkara:

– Seseorang yang berkata dalam maksud kebaikan

– Seseorang yang berkata dalam peperangan, disini dapat digaris bawahi disini guna melindungi seseorang dari lawan

– Dan seorang suami yang berbicara kepada istri (berkata baik kepada istri agar tidak menyakiti hatinya).


Menurut Imam Ghazali, ghibah secara istilah berarti tidak hanya melakukan pengungkapan aib seseorang secara lisan, melainkan termasuk pula pengungkapan melalui perbuatan, seperti melalui isyarat tangan, mata, tulisan, cerita dan sebagainya yang dapat dimengerti maksudnya. Di antara aib tersebut adalah kekurangan seseorang pada tubuh, keturunan, akhlak, perbuatan, ucapan, agama, pakaian, tempat tinggal,kendaraan, dan lain sebagainya, begitupulah dengan seseorang yang mendengarkan ghibah yang terkadang tampak jelas menyukai dari perkatan seorang yang ghibah sampai bertambah semangatnya dalam ghibah (Imam al-Ghazali Kitab al-Arba’in Fi Ushul al-Din Beyrut hlm.84-85)


Akibat dari ghibah ialah dapat melukai hati seseorang, menimbulkan permusuhan, mengacaukan hubungan kemasyarakatan, dan memunculkan rasa saling curiga, berbagai potensi dampak ini kemudian mendorong Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa terkait gosip atau gibah di media social (Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 24 Tahun 2017, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hlm. 1-20) adanya fatwa dari lembaga Majelis Ulama Indonesia tidak lantas menghentikan perilaku masyarakat dalam bergosip baik melalui media sosial maupun secara langsung. Membicarakan keburukan sesama manusia seolah telah menjadi sebuah kewajaran di masa kini dengan adanya tayangan-tayangan yang menyajikan acara gossip, Sebagaimana dalam surat al-Hujurat ayat 12.


يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ


Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.


Sama halnya dengan pendapat Yusuf Al Qardhawi mengharamkan ghibah Karena ghibah merupakan perbuatan yang menunjukan kelicikan Ini menunjukan kelicikannya, sebab sama dengan menusuk dari belakang, sikap semacam ini salah satu bentuk daripada penghancuran. Sebab pengumpatan ini berarti melawan orang yang tidak berdaya. Ghibah disebut juga suatu ajakan merusak, sebab sedikit sekali orang yang lidahnya dapat selamat dari cela dan cerca (Yusuf Al Qardhawi, Al Halal Wa al Haram Fi al Islam, hal. 305).

Namun dalam beberapa hal tertentu, ada bentuk ghibah yang wajib untuk di lakukan, seperti hal nya menggungkapkan keburukan orang lain saat menjadi saksi di pengadilan. Namun dalam hal ini penulis tidak membahas mengenai tentang kewajiban seorang saksi.


Oleh Ulfah Nur Azizah, Mahasiswi Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Pegiat Kajian Keislaman dan Al-Qur'an, dan Muballigh Koordinasi Dakwah Islam DKI Jakarta.


Artikel ini telah tayang di situs Harakatuna pada September lalu.

Read More

Jangan Sembarang! Ada 3 Hukum Membatalkan Tunangan dalam Islam

Oktober 07, 2020

Fiqh Nikah | Salah satu hal kesunahan sebelum melakukan pernikahan adalah adanya khitbah atau lamaran atau tunangan. Tunangan adalah sebuah janji untuk melaksanakan pernikahan. Namun demikian perlu dijelakan bahwa pernikahan dan tunangan itu berbeda.


Pernikahan adalah ikatan janji antara suami dan istri yang dilaksanakan dengan memenuhi rukun-rukun pernikahan. Sedangkan pertunangan belum ada ikatan resmi secara agama dan masih hanya sebatas lamaran saja. Sehingga Ketika seseorang sudah melakukan lamaran bukan berarti semua hal dapat dilakukan. Tidak boleh melakukan perbuatan yang mendekati zina. Hal ini penting untuk ditekankan karena sering kali disalahpahami bahwa setelah lamaran maka sudah boleh melakukan apapun.


Terkadang setelah melalakukan lamaran seiring berjalannya waktu dari kedua calon mempelai merasa ragu dan tidak cocok sehingga ingin membatalkan lamaranya. Lantas bolehkan membatalkan lamaranya dalam Islam..?


Membatalkan Tunangan dalam Islam

Imam Al Buhuti dalam hal ini secara terperinci menjelaskan hukum membatalkan pernikahan


( وَلاَ يُكْرَهُ لِلْوَلِيِّ ) الْمُجْبِرِ الرُّجُوْعُ عَنِ اْلإِجَابَةِ لِغَرَضٍ ( وَلاَ ) يُكْرَهُ ( لِلْمَرْأَةِ ) غَيْرَ الْمُجْبَرَةِ ( الرُّجُوْعُ عَنْ اْلإِجَابَةِ لِغَرَضٍ) صَحِيْحٍ ِلأَنَّهُ عَقْدُ عُمْرٍ يَدُوْمُ الضَّرَرُ فِيْهِ فَكَانَ لَهَا اْلاحْتِيَاطُ لِنَفْسِهَا وَالنَّظَرُ فِيْ حَظِّهَا وَالْوَلِيُّ قَائِمٌ مَقَامَهَا فِيْ ذَلِكَ (وَبِلاَ غَرَضٍ ) صَحِيْحٍ ( يُكْرَهُ ) الرُّجُوْعُ مِنْهُ وَمِنْهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ إخْلاَفِ الْوَعْدِ وَالرُّجُوْعِ عَنِ الْقَوْلِ وَلَمْ يَحْرُمْ ِلأَنَّ الْحَقَّ بَعْدُ لَمْ يَلْزَمْ

Artinya: “Tidak dimakruhkan bagi pihak wali yang memiliki kuasa atas perempuan untuk menarik kembali lamaran yang sudah disetujui sebab sebuah tujuan. Tidak pula dimakruhkan bagi perempuan yang independen. Keduanya itu jika dengan tujuan yang dibenarkan. Sebab pernikahan merupakan ikatan berkelanjutan yang dampaknya akan dirasakan selamanya. Maka seorang perempuan atau wali bisa lebih berhati-hati dalam mempertimbangkannya. Dan bila tanpa adanya tujuan yang dibenarkan, maka dimakruhkan menarik kembali dari khitbah yang sudah disetujui. Sebab hal ini termasuk bentuk pengingkaran terhadap janji ataupun menarik kembali kata-kata yang telah terucap. Namun tidak sampai mencapai taraf haram, sebab hak yang ada dalam khitbah yang telah disetujui itu bukanlah hak yang mengikat.” (Kasyaf Al Qana’, V/20).


Dari sini bisa diperinci mengenai hukum membatalkan tunangan.

Pertama, membatalkan pertunangan itu diperbolehkan ketika ada alasan dan sebab yang bisa dibenarkan. 

Kedua, membatalkan pertunangan apabila tidak disertai dengan alasan dan sebab maka hukumnya makruh, karena hal ini sama saja mengingkari sebuah kesepakatan. 

Ketiga, membatalkan pertunangan ini tidak sampai jatuh kepada keharaman karena pada dasarnya pertunangan itu bukanlah hal yang mengikat.

Wallahu A’lam Bisshawab


Khalwani Ahmad, Pemerhati Sejarah Peradaban Islam Nusantara

Artikel ini telah tayang di Harakatuna.org pada September lalu.

Read More

Selasa, 06 Oktober 2020

Status dan Hak Anak dari Orangtua yang Bercerai Secara Li’an

Oktober 06, 2020

Fiqh Nikah | Seperti yang kita tahu, sumpah li’an adalah sebuah problema dari sepasang kekasih, dalam artian suami istri. Setelah sumpah li’an dikeluarkan, maka itu adalah akhir dari hubungan antar keduanya.


Namun bagaimana jika sepasang kekasih tersebut adalah seorang ayah dan ibu? Bagaimana nasib anak-anaknya? Berikut penjelasannya


Status Anak Terhadap Mantan Suami Dari Istri yang Dicerai Li’an

Pada dasarnya anak istri itu dibangsakan kepada suami dengan tanpa pengakuan, apakah suami itu meninggal atau hidup selama dia tidak menafikannya dan ber-lian dan itu (anak) lazim bagi yang kurang akal dan tidak membutuhkan kepada dakwaan anak dari istri.


Dan anak itu tidak dinafikan dari suami kecuali dari keadaan yang dinafikan daripadanya oleh Rasulullah saw, bahwa Ajlany menuduh istrinya dan mengingkari kehamilan istrinya lalu dia mendatangi Rasulullah saw, dan nabi meli`ankan diantara keduanya dan nabi menafikan anak diantara keduanya.


Jika seorang laki-laki tidak mengakui anaknya karena li`an, hubungan nasab antara bapak dan anaknya terputus, anak tersebut dinisbatkan kepada ibunya.


“Dari ibnu umar ra. Meriwayatkan bahwa seorang laki-laki meli`an istrinya pada masa Rasulullah saw, lalu Rasulullah saw menceraikan keduanya dan mengikutkan anak mereka kepada ibunya.”


“Ibn Umar ra. berkata : Nabi saw telah menyumpah li`an antara seorang suami dengan istrinya, dengan membebaskannya dari anak itu (anak itu tidak bernasab kepadanya), dan memisahkan diantara keduanya dan melanjutkan nasab anak itu kepada ibunya”. (HR. Bukhari).


“Dari Umar bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya, berkata. Rasulullah memutuskan tentang anak dari suami istri yang berli`an, bahwa anak itu menjadi ahli waris ibunya dan ibu mewarisi harta anaknya, orang yang menuduh ibunya berzina dihukum cambuk 80 kali” (HR. Ahmad).


Hadits ini dikuatkan oleh dalil lain yang menyatakan bahwa anak hanya dinisbatkan kepada suami yang setempat tidur,


“Dari Abi Hurairah r.a. dari nabi saw beliau bersabda: anak itu untuk tikar dan bagi orang yang zina mendapat batu” (Muttafaq Alaih).


Berdasarkan hadits ini, anak itu menjadi hak bagi orang yang memiliki tempat tidur, yakni suami. Dan orang yang zina mendapat bagian batu, yakni dirajam dengan batu. Sehingga jika terjadi suatu sengketa tentang anak ini, apakah anak ini dari suaminya si istri atau dari orang lain, maka menurut ketentuan harus di hak kan kepada suami. Sedangkan disini tidak ada suami yang setempat tidur tersebut karena suami telah menyangkalnya.


Hukum menempatkan si anak sebagai anak anak ayahnya, untuk ikhtiyat (hati-hati), karenanya anak tersebut tidak boleh menerima zakat yang dikeluarkan ayahnya. Seandainya ayahnya tersebut membunuhnya, tidak ada hukuman qishasnya.


Antara anak tersebut dan anak-anak dari ayahnya menjadi mahram. Tidak boleh saling menjadi saksi di pengadilan, anak ini tidak boleh dianggap bahwa nasabnya tidak ada. Dan karenanya tidak boleh menasabkan anak tersebut kepada orang lain.


Hak Anak dari Istri yang Dicerai Li’an

“Dari Umar bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya, berkata. Rasulullah memutuskan tentang anak dari suami istri yang berli`an, bahwa anak itu menjadi ahli waris ibunya dan ibu mewarisi harta anaknya, orang yang menuduh ibunya berzina dihukum cambuk 80 kali” (HR. Ahmad).


Anak yang telah dinafi`kan dari ayahnya itu terhalang warisnya dari sudut ayahnya, pada waktu hidupnya karena anak itu dinafi`kan dari warisan yang dicegahnya karena asal urusannya adalah nasabnya, maka sesungguhnya anak itu ternafi` selama ayahnya berli`an yang menetapkan atas penafi`anya dengan li`an.


Menurut Sayid Syabiq, seseorang dapat mewarisi harta peninggalan karena tiga hal yaitu sebab hubungan kerabat/nasab, perkawinan, dan wala` (pemerdekaan budak). Adapun pada literatur hukum islam lainnya disebutkan ada empat sebab hubungan seseorang dapat menerima harta warisan dari seseorang yang telah meninggal dunia yaitu;

Perkawinan

Kekerabatan/nasab

Wala` (pemerdekaan budak)

Hubungan sesama islam.


Namun karena anak tersebut telah dinafikan oleh suami (ayahnya) maka hubungan nasab antara ayah dan anak terputus, sehingga ayah tidak wajib memberi nafkah, tidak boleh saling mewarisi, sedangkan antara anak dan ibu boleh saling mewarisi.


Ash-Shawabu Minallah A'lam


Mochamad Ari Irawan, Alumni Pondok Pesantren Qomaruddin | Sarjana Hukum Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prodi Perbandingan Madzhab.

Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org pada Agustus lalu.

Read More

Dasar Hukum Haram untuk Menikah Kembali Bagi Pasangan yang Berli’an

Oktober 06, 2020

Fiqh Nikah | Li'an adalah masalah yang serius dalam rumah tangga, bagaimanapun problemnya hendaknya kita menghindari li’an sebagai jalan keluar.


Diantara hal yang menjadikan li’an ini dikatakan “serius”,  adalah larangan atau keharaman pasangan yang berli’an untuk menikah lagi untuk selama-lamanya. Tentunya hal ini melalui beberapa ketentuan hukum dan pertimbangan yang mengakibatkan keharaman tersebut.


Secara tegas fikih menetapkan konsekuensi hukum tersebut melalui sabda Nabi Muhammad SAW dan beberapa nilai penting dalam perkawinan yang notabene telah dilanggar melalui sumpah li’an yang dijatuhkan.


Adapun penjelasannya akan lebih detail penulis sampaikan melalui pendapat Syaikh Abu Syujak berikut ini.


Dasar Keharaman Menikah Pasangan Berli’an Menurut Syaikh Abu Syujak

Dasar keharaman untuk menikah kembali selama-lamanya antara suami istri yang telah berli'an sebagaimana Syaikh Abu Syujak berkata :

Dan ada lima ketentuan hukum yang berkaitan dengan li`an dari orang laki-laki, yaitu;

Gugur hukuman (had) pada si lelaki

Wajib had atas si perempuan

Hilang tikar (cerai antara suami istri)

Kalau ada anak, anak itu tidak dapat diakui suami

Haram (kawin) selama-lamanya.


Apabila suami meli`an istrinya dan sudah melengkapi hal-hal yang berkenaan dengan li`an, berlakulah hukum berturut-turut sebagai berikut;

Gugur hukuman/pukulan (had) atas suami

Si istri wajib dihukum (had), apabila suami menuduhnya berzina yang dihubungkannya pada keadaan suami istri, sedangkan istri seorang muslimah, sesuai dengan firman Allah Ta`ala dalam al-Qur`an surat an-Nur, ayat 8 :

“Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta


Terjadi perceraian antara suami istri. Perceraian ini terjadi lahir batin, baik si istri benar maupun si suami yang benar. Ada yang mengatakan kalau si istri benar tidak terjadi perceraian batin.


Kalau ada anak, anak itu tidak dapat diakui suami, sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang artinya :

“Ibnu umar r.a. berkata: Nabi saw. Telah menyumpah li`an antara seorang suami dengan istrinya, dan membebaskannya dari anak itu (anak itu tidak bernasab kepadanya), dan memisahkan diantara keduanya dan melanjutkan nasab anak itu kepada ibunya”


Haram selama-lamanya antara kedua suami istri apabila terjadi perceraian dengan sumpah li`an karena al-Ajlany berkata sesudah berli`an, “Aku berdusta kepadanya jika aku masih menahannya, dia di talak tiga”, kemudian Rasulullah saw, bersabda :

“Ibnu Umar r.a. berkata: Nabi saw. bersabda kepada kedua suami istri yang berli`an : perhitunganmu berdua ditangan Allah, salah satu kamu ada yang dusta, dan kamu (suami) tidak ada hak untuk kembali kepada istrimu (yang dili`an)”. (HR. Bukhari)


Nabi meniadakan jalan secara mutlak. Kalau suami telah mentalaknya dengan talak bain sebelum li`an, kemudian ia meli`annya, maka juga menjadi haram selamalamanya.


Ketentuan-ketentuan ini tergantung semata-mata kepada li`an dari suami dan ketentuan-ketentuan tersebut sedikitpun tidak tergantung atas li`an dari istri.


“Dari ibn abbas, Rasulullah bersabda : suami istri yang telah bermula`anah bila telah berpisah, mereka tidak dapat kembali lagi selama-lamanya”.


“Ali dan Ibnu Mas`ud berkata, menurut sunnah dua orang suami istri yang telah bermula`anah tidak dapat kembali lagi untuk selamanya.”


Hal ini karena antara suami istri yang bermula`anah sudah terjadi saling benci dan memutus hubungan yang bersifat selama-lamanya, sementara kehidupan rumah tangga memerlukan dasar ketenangan, kasih sayang dan cinta. Jadi mereka telah kehilangan dasar-dasar tersebut, karena itu mereka harus berpisah untuk selamalamanya.


Ash-Shawabu Minallah A'lam


Mochamad Ari Irawan, Alumni Pondok Pesantren Qomaruddin | Sarjana Hukum Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prodi Perbandingan Madzhab.

Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org pada Agustus lalu.

Read More

Senin, 05 Oktober 2020

Jangan Asal, Begini Tatacara Sumpah Li’an yang Benar dalam Hukum Islam

Oktober 05, 2020

Fiqh Nikah | Para pakar hukum islam mengingatkan agar para hakim dalam menerapkan sumpah li`an ini terlebih dahulu memperingatkan dan menasihati agar para pihak tidak melaksanakan li`an sebab resikonya besar sekali baik di dunia maupun di akhirat nanti.


Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Nasai, Ibnu Majah, dan disahihkan oleh Ibnu hiban dan al Hakim ;

“Dari Abi Hurairah ra. Beliau mendengar Rasulullah saw bersabda ketika telah turun ayat mutala`inain. Manakala seorang perempuan masuk kedalam suatu kaum yang bukan keluarganya, maka ia tidak akan mendapat bagian apapun dari AllahSWT dan ia tidak akan masuk ke surga. Manakala seorang laki-laki menyangkal anak padahal ia tahu anak itu adalah anaknya, maka Allah akan menjauh daripadanya, Allah akan menghinakannya dihadapan orang-orang terdahulu maupun yang akan datang.” (HR. Abu Daud, Nasai, Ibnu Majah)


Tatacara Melakukan Sumpah Li’an

Para ulama` sepakat bahwa menurut sunnah dalam li`an, laki-laki didahulukan yaitu dia mengucapkan kesaksian sebelum istrinya. Tapi, para ulama juga berselisih pendapat tentang keharusan mendahulukan ini.


Syafi`i dan lainnya berkata, “wajib laki-laki dahulu”. Jika perempuan mengucapkan li`an lebih dulu maka li`an nya tidak sah. Alasan mereka karena li`an itu untuk menolak tuduhan suami.

Syafi’i berkata: “Dan laki-laki memulai ber-li`an hingga dia sempurnakan li`an itu, maka apabila telah ia sempurnakan lima kali maka ber-li`an-lah perempuan”.


Karenanya, kalau istri mendahului mengucapkan li`an, berarti menolak perkara yang belum ada. Akan tetapi, Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa kalau istri memulai li`an, hukumnya sah.


Alasan mereka bahwa dalam al-Qur`an, Allah memakai kata penghubung wawu (dan) berarti tidak mengharuskan mendahulukan yang satu dari yang lain, bahkan menunjukkan “gabungan” yaitu secara umum saja.


Menurut Imam Syafi`i, li`an itu ialah bahwa imam berkata kepada suami: ”Katakanlah saya naik saksi dengan nama Allah bahwa saya ini orang-orang yang benar mengenai apa yang saya tuduhkan kepada istriku si fulanah binti fulan mengenai perbuatan zina”


Lalu dia mengisyaratkan kepada wanita itu kalau wanita itu hadir. Kemudian dia mengulang lagi lalu dia mengucapkannya lagi hingga sempurna yang demikian itu empat kali.


Dan apabila telah selesai empat kali, maka imam menghentikannya dan mengingatkan laki-laki kepada Allah ta`ala dan imam berkata “Saya takut jika kamu tidak benar, engkau ditimpa laknat Allah”.


Kalau imam melihat laki-laki itu mau meneruskan (ucapannya), maka imam memerintahkan seseorang untuk meletakan tangannya pada mulut laki-laki itu dan berkata:

”Bahwa ucapanmu atasku laknat Allah, jika saya dari orang yang berdusta itu mewajibkan kalau engkau berdusta”, jika laki-laki itu enggan (untuk meneruskan ucapannya) maka dia meninggalkannya.


Dan imam berkata: ”Katakan atasku laknat Allah jika saya berdusta mengenai yang saya tuduh si fulanah dari perbuatan zina”.


Jika laki-laki menuduh wanita dengan dengan salah seorang laki-laki yang ditentukan namanya (apakah) laki-laki (yang dituduh itu) satu atau dua orang atau lebih banyak, pada setiap syahadah hendaknya laki-laki itu mengucap:

”Saya bersaksi kepada Allah bahwa saya itu benar mengenai yang saya tuduhkan mengenai zina kepada wanita dengan si fulan atau fulan dan fulan”, kemudian dia mengucap waktu dia ber-li`an “Atas saya laknat Allah kalau saya berdusta mengenai yang saya tuduhkan kepada wanita tentang zina dengan fulan atau fulan dan fulan”.


Kalau perempuan itu mempunyai anak lalu dia menafikan anak itu atau dia mengandung lalu dia menafikan kandungan itu, hendaklah dia berkata pada setiap kali syahadah:

”Saya bersaksi dengan Allah bahwa saya ini benar mengenai yang saya tuduhkan kepada wanita daripada zina, dan anak ini adalah anak zina bukan anak dari saya”.


Dan kalau anak itu masih dalam kandungan, hendaklah laki-laki berkata: ”Dan bahwa kehamilan ini (kalau wanita dalam keadaan hamil) adalah hamil yang disebabkan zina bukan dari saya”.


Dan dia berkata pada saat li`an: ”Atas saya laknat Allah jika saya dari orang yang dusta mengenai yang saya tuduhkan kepada wanita daripada zina, dan anak ini adalah anak zina bukan dari anak saya”. Kalau laki-laki telah mengucapkan ini berarti dia telah selesai berli`an.


Apabila imam bersalah dan tidak menyebutkan tentang menafikan anak atau menafikan kandungan didalam li`an, lalu imam itu berkata kepada suami: ”Jika kau ingin menafikan anak itu maka saya mengulangi li`an atasmu”.


Dan wanita tidak mengulangi li`an sesudah li`an suami, kalau wanita selesai berli`an setelah li`an suami, dimana imam itu lalai mengenai penafikan anak atau kehamilan dan kalau imam bersalah dimana laki-laki telah menuduh wanita dengan seorang laki-laki dan ia tidak berli`an dari tuduhannya itu, maka laki-laki yang dituduh itu menjatuhkan hukuman had atasnya, maka imam harus mengulangi li`an, kalau tidak laki-laki itu dijatuhi hukuman had jika tidak berli`an.


Setelah laki-laki selesai berli`an, kemudian disuruh berdiri wanita (yang dituduh) lalu dia mengucapkan:

”Saya naik saksi dengan nama Allah bahwa suami saya si fulan (dan dia mengisyaratkan kepadanya kalau dia hadir) adalah orang yang dusta mengenai tuduhan zina kepada saya”,


Lalu wanita itu mengulang yang demikian itu sampai empat kali, lalu dihentikan oleh imam dan imam mengingatkan wanita itu kepada Allah ta`ala dan imam berkata: ”Hindarilah (hai wanita) dari kemarahan Allah kalau engkau tidak benar mengenai sumpahmu”.


Dan kalau imam melihat wanita itu mau meneruskan ucapannya dan disitu hadir wanita lain lalu imam menyuruh wanita itu untuk meletakan tangannya atas mulut perempuan, dan kalau tidak ada wanita lain yang hadir, lalu imam melihat bahwa wanita itu mau meneruskan ucapannya, lalu imam berkata kepada wanita itu:

”Katakan hai wanita, atas saya murka Allah kalau laki-laki itu benar mengenai tuduhannya kepada saya daripada zina”. Dan apabila telah selesai mengucapkan itu maka dia selesai berli`an.


Ash-Shawabu Minallah.


Mochamad Ari Irawan, Alumni Pondok Pesantren Qomaruddin | Sarjana Hukum Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prodi Perbandingan Madzhab.

Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org pada Agustus lalu.

Read More

Sumpah Li’an: Pengertian, Tuduhan–Sanggahan dan Hikmahnya

Oktober 05, 2020

Fiqh Nikah | Li`an adalah kata dasar (mashdar) dari kata laa`ana. Kata tersebut berasal dari kata la`an, artinya terjauh dari rahmat Allah. Dua orang yang ber-li`an disebut demikian karena ia akan mengakibatkan dosa dan terjauh dari rahmat Allah.

Dan karena salah satu diantara keduanya berdusta, maka ia menjadi mal`un (yang dikutuk). Arti menurut syarak ialah suatu ungkapan kata-kata tertentu yang dijadikan alasan bagi orang yang terpaksa menuduh karena tikarnya dikotori, menyusul malu yang akan dialaminya.


Sedangkan menurut al Hamdani, li`an adalah sumpah seorang suami apabila ia menuduh istrinya berbuat zina. Sumpah itu diucapkan empat kali bahwa tuduhannya itu benar dan pada sumpah yang kelima itu ia meminta kutukan kepada Allah swt jika ia berdusta.

Pihak istri juga bersumpah empat kali bahwa dirinya tidak berbuat sebagaimana yang dituduhkan suaminya, pada sumpah yang kelima ia bersedia menerima kutukan Allah swt jika ternyata tuduhan suaminya itu benar.

Dan dalam ensiklopedia islam disebutkan, li`an dalam istilah fiqh ialah kesaksian atau sumpah yang diucapkan suami yang menuduh istrinya berbuat zina.


Tuduhan dan Sanggahan dalam Li’an

Apabila suami menuduh istri berbuat zina dan istrinya menyangkal tuduhan, wajib bagi suami untuk membuktikan dengan empat orang sebagai saksi.

Bila dia tidak mampu membuktikan dengan empat orang saksi, suami diancam dengan hukuman dera delapan puluh kali, lantaran berani menuduh istri berbuat zina secara qadzaf atau tanpa alat bukti.

Cuma untuk menghindari hukuman dera tersebut, hukum memberi jalan keluar melalui upaya li`an sebagai pengganti qadzaf.


Begitu pula pihak istri, untuk menghindari diri dari ancaman hukuman dera (rajam) dibenarkan hukum melakukan li`an sebagai pengganti bukti atas penyanggahannya terhadap tuduhan zina.

Namun sekiranya istri mengaku, suami terbebas dari beban menghadirkan empat orang saksi atau jika dalam keadaan qadzaf, suami tidak perlu dibebani melakukan li`an apabila istri mengakui tuduhan perbuatan zina.


Suami yang menuduh istrinya berzina tanpa dapat menghadirkan empat orang saksi, haruslah ia bersumpah empat kali yang menyatakan bahwa ia benar. Pada kali yang kelima ia mengucapkan bahwa ia akan dilaknat oleh Allah kalau tuduhannya itu dusta.

Istri yang menyanggah tuduhan tersebut lalu bersumpah juga empat kali bahwa suaminya telah berdusta. Pada kali yang kelima ia mengucapkan bahwa ia akan dilaknat Allah kalau ternyata ucapan suaminya itu benar.


Dasar hukum pengaturan li`an bagi suami yang menuduh istrinya berzina ialah firman Allah SWT dalam QS. an-Nur ayat 6-7 yang artinya:

“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta.”


Terhadap tuduhan suami itu, istri dapat menyangkalnya dengan sumpah kesaksian sebanyak empat kali bahwa suami itu berdusta dalam tuduhannya, dan pada sumpah kesaksiannya yang kelima disertai pernyataan bahwa ia bersedia menerima marah dari Allah swt jika suami benar dalam tuduhannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. an-Nur ayat 8-9 yang artinya:

“Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.”

Dengan terjadinya sumpah li`an ini maka terjadilah perceraian antara suami istri tersebut dan diantara keduanya tidak boleh terjadi perkawinan kembali untuk selama-lamanya.


Hikmah Li’an

Menurut al-Jurjawi dalam sumpah li`an terkandung beberapa hikmah antara lain :

Suatu pernikahan dan fungsi wanita sebagai istri bagi suami tidak akan sempurna kecuali dengan adanya keserasian dan saling menyayangi antara keduanya. Tetapi apabila sudah terdapat tuduhan zina dan melukai istri dengan kekejian, maka dada mereka akan sempit dan hilanglah kepercayaan dari istri sehingga mereka berdua hidup dalam kedengkian yang tentu akan membawa akibat jelek.

Melarang dan memperingatkan suami istri agar jangan melakukan perlakuan buruk yang akan mengurangi kemuliaan itu.

Menjaga kehormatannya dari kehinaan pelacuran yang tidak pernah hilang pengaruhnya siang dan malam.

Apabila laki-laki menuduh istrinya berzina, maka wajib atas laki-laki dihukum qadzaf, kecuali ia dapat mendatangkan saksi atau berli`an. Begitupula pihak istri, untuk menghindarkan diri dari ancaman dera dibenarkan hukum melakukan upaya li`an, sebagai bukti penyanggahannya atas tuduhan zina.


Namun, sekiranya istri mengaku, suami/laki-laki terbebas dari beban menghadirkan bukti 4 orang saksi atau jika dalam keadaan qadzaf, suami tidak perlu dibebani melakukan li`an apabila istri mengakui tuduhan perbuatan zina.

Ash-Shawabu Minallah A'lam


Mochamad Ari Irawan, Alumni Pondok Pesantren Qomaruddin | Sarjana Hukum Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prodi Perbandingan Madzhab.


Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org pada Agustus lalu

Read More

Minggu, 04 Oktober 2020

Bagaimana Hukumnya bagi Suami Meminum Air Susu Istri?

Oktober 04, 2020

Fiqh Nikah | Berbagai pertanyaan seputar rumah tangga sering terbayang-bayang dalam pikiran seseorang. Rasa ingin tahu mengenai hukum boleh tidaknya sesuatu inilah yang mengharuskan seseorang untuk belajar.


Islam merupakan agama yang sangat terbuka. Hal-hal yang tabu di ruang umum pun jika itu memang perlu ditanyakan atau dibicarakan, juga dapat dilakukan demi mencapai pemahaman yang baik.


Termasuk pertanyaan hukum suami yang minum air susu istrinya dalam Islam, sepanjang tidak terkait dengan deskripsi praktik dan rinciannya, maka semua bisa terbuka, dan dibolehkan untuk dibicarakan. Hal ini bertujuan untuk mencapai kemaslahatan, serta tahu mana yang boleh, mana yang tidak.


Hubungan suami istri memang banyak hal yang bersifat sensitif, private hingga komunikasi dalam berbagai hal yang semuanya telah diatur oleh agama.


Bahkan dalam hubungan suami istri atau percumbuan pun tidak dapat terelakkan. Baik itu sebelum maupun ketika melakukan hubungan suami istri yang menurut agama dinilai sebagai ibadah. Maka tidak heran jika sering kita dengar bahwa, ‘ibadah yang paling mudah adalah menikah.’


Perdebatan Ulama Mengenai Hukum Suami Meminum Susu Istri

Sering menjadi kegusaran dalam hubungan rumah tangga mengenai hukum suami meminum susu istri. Bolehkah?


Islam mengenal istilah hukum mahram atau saudara sepersusuan dimana dilarang menikahi saudara sepersusuan. Lalu bagaimana jika ada seorang suami yang meminum air susu istrinya saat bercumbu?


Untuk menjawab beberapa pertanyaan tersebut, perlu kami jelaskan juga bahwa variasi dalam hubungan suami istri hal yang wajar, sebab teknik yang itu-itu saja terkadang membuat pasangan jenuh dan akhirnya hubungan intim terasa stagnan dan monoton.


Cumbuan-cumbuan suami terhadap istri adalah hal yang biasa dilakukan dalam ajang bercinta. Misalnya, mencumbu payudara istri.


Mempraktikkan bermacam-macam teknik bercinta sah-sah saja. Hal itu dibolehkan selama senggama tidak dilakukan saat istri haid atau lewat ‘jalan belakang’ atau dubur. Hal ini berdasarkan firman Allah Swt. yang tertera dalam surat al-Baqarah ayat 222: 

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid itu adalah suatu kotoran’. Oleh karena itu hendaklah engkau menjauhkan diri dari  wanita di waktu haid,dan janganlah kamu mendekati mereka,sampai mereka suci. Apabila mereka telah suci,maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu”.


Dalam Islam, ketika bercumbu, suami diperbolehkan menghisap puting istrinya. Adapun jika saat mencumbu payudara sang istri, lalu air susunya ikut tertelan, maka hal tersebut tidak serta merta menyebabkan berlakunya hukum mahram dan merusak ikatan pernikahan


Bahkan menurut beberapa ulama hal ini dianjurkan, namun dengan catatan jika dalam rangka memenuhi kebutuhan biologis sang istri. Sebagaimana pihak laki-laki yang juga menginginkan agar istrinya memenuhi kebutuhan biologis dirinya.


Berbeda halnya ketika kondisi istri sedang menyusui bayi, kemudian suami ikut minum air susu istrinya. Terjadi selisih pendapat dalam Madzhab Hanafi. Ada yang mengatakan boleh dan ada yang me-makruh-kan.


Dalam Kitab Al-Fatawa al-Hindiyah juga disebutkan,

وَفِي شُرْبِ لَبَنِ الْمَرْأَةِ لِلْبَالِغِ مِنْ غَيْرِ ضَرُورَةٍ اخْتِلَافُ الْمُتَأَخِّرِينَ كَذَا فِي الْقُنْيَةِ

Artinya: “Tentang hukum minum susu wanita, untuk laki-laki yang sudah baligh tanpa ada kebutuhan mendesak, termasuk perkara yang diperselisihkan ulama belakangan. Demikian keterangan dari al-Qunyah.”


Kitab Fathul Qadir juga membahasnya, disebutkan pertanyaan dan jawaban, “Bolehkah menyusu setelah dewasa? Ada yang mengatakan tidak boleh. Karena susu termasuk bagian dari tubuh manusia, sehingga tidak boleh dimanfaatkan, kecuali jika terdapat kebutuhan yang mendesak.


Ada juga yang menghukumi makruh. Imam Malik dalam kitab Muwaththa’ menjelaskan bahwa suami yang pernah minum air susu istrinya, tidak menyebabkan dirinya menjadi anak persusuan bagi istrinya.


Hal yang menyebabkan adanya hubungan persusuan adalah menyusui sebanyak lima kali atau lebih dan dilakukan di masa anak itu belum usia disapih. Bayi yang lapar hanya akan meminum air susu ibunya, karena memang belum diperbolehkan mengonsumsi makanan kasar.


Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 233,

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ

Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.”


Dalam kitab Tafsir al-Baghawi dijelaskan bahwa dua tahun merupakan batas menyusu bagi seorang anak. Sehingga dapat dipahami bahwa setelah dua tahun, hukum persusuan tidak berlaku.. Maka dalam hal ini suami tidak bisa menjadi anak susuan istri dan lantas merusak ikatan pernikahan.


Hal tersebut juga ditegaskan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, dari Aisyah ra. bahwa suatu ketika saat Nabi Muhammad Saw. masuk ke dalam rumah di sampingnya terdapat seorang lelaki.


Lalu Air mukanya terlihat berubah sekan ia tidak menyukainya. Lalu Aisyah berkata, “Ia adalah saudara sepersusuanku.” Lalu Rasul Saw. menimpali, “Perhatikanlah siapa saudara sepersusuanmu itu. Karena sesungguhnya sepersusuan itu karena lapar.”


Adapun jika sudah dewasa, hal tersebut tidak mempengaruhi hubungan persusuan dan tidak memberi dampak apapun. Oleh karena itu, suami yang minum air susu istrinya tidak menjadi anak sepersusuannya.


Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mughni juga menjelaskan hal senada, bahwa meminum ASI yang menyebabkan berlakunya hukum hanya jika dilakukan oleh anak kecil di bawah umur dua tahun, dan inilah pendapat mayoritas fuqaha.


Lebih lanjutnya, mari kita simak atsar dan hadis berikut:

عَنِ ابْنٍ لِعَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ، أَنَّ رَجُلا كَانَ مَعَهُ امْرَأَتُهُ وَهُوَ فِي سَفَرٍ فَوَلَدَتْ فَجَعَلَ الصَّبِيُّ لا يَمُصُّ فَأَخَذَ زَوْجُهَا يَمُصُّ لَبَنَهَا وَيَمُجُّهُ حَتَّى وَجَدَ طَعْمَ لَبَنِهَا فِي حَلْقِهِ فَأَتَى أَبَا مُوسَى فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ ” حُرِّمَتْ عَلَيْكَ امْرَأَتُكَ ” , فَأَتَى ابْنَ مَسْعُودٍ فَقَالَ: أَنْتَ الَّذِي تُفْتِي هَذَا بِكَذَا وَكَذَا وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” لاَ رَضَاعَ إِلاَّ مَا شَدَّ الْعَظْمَ وَأَنْبَتَ اللَّحْمَ “؟

Artinya: Seorang putra Abdullah bin Mas’ud meriwayatkan bahwa seorang suami membawa istrinya dalam sebuah perjalanan, dan istrinya melahirkan. Si bayi tidak mau menyusu, maka sang suami menyedot susu isterinya dan memberikannya untuk si bayi, hingga ia mendapatkan ada rasa susu di tenggorokannya. Dia lalu datang dan bertanya kepada Abu Musa al-Asy’ari, maka Abu Musa mengatakan, “Istrimu menjadi haram atas dirimu.” Kemudian sang suami datang kepada Abdullah bin Mas’ud, dan Abdullah berkata kepada Abu Musa, “Engkau yang berfatwa demikian, sedangkan Rasulullah saw telah bersabda, ‘Persusuan tidak berpengaruh kecuali jika menguatkan tulang dan menumbuhkan daging’? (HR. al-Baihaqi)


Maksudnya, persusuan hanya berpengaruh jika dilakukan saat anak masih kecil dan membutuhkan susu.  Kelemahan atsar ini tidak berpengaruh pada permasalahan kita, karena tidak ada dalil yang mengharamkan suami meminum susu istri. Sedangkan tidak berpengaruhnya persusuan di atas umur dua tahun didukung oleh banyak dalil lain.


Kesimpulannya, boleh bagi suami untuk meminum susu isterinya, dan jika itu dilakukan, isterinya tetap menjadi istri yang sah dan halal baginya.


Demikianlah pendapat beberapa ulama mengenai suami yang menyusu pada istrinya, semoga kita selalu memberikan petunjuk kebenaran dan kebaikan oleh Allah.

Ash-Shawabu Minallah.


Mohammad Mufid Muwaffaq, Santri Pondok Pesantren Qomaruddin, Sarjana Theologi Islam di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Jjurusan Ilmu al-Quran dan Tafsir, Mahasiswa Magister di jurusan Studi Quran Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org pada Mei lalu.

Read More