Banyak ulama yang telah
menjelaskan hukum maulid dari hampir setiap generasi. Sebenarnya polemik ini
semestinya tidak lagi menjadi perbincangan yang membuat hubungan antar muslim
retak. Namun, apa mau dikata, demikianlah kondisi umat di setiap masa yang
mempertanyakan suatu kasus yang sejatinya telah tunas dibahas oleh generasi
awal.
Secara nalar, mengingat keberadaan dan kewujudan seseorang yang sangat kita cintai merupakan salah satu bentuk cinta dan penghormatan. Adakah ia bersifat tahunan, bulanan, mingguan harian, atau bahkan setiap saat. Tentunya itu bergantung kepada kondisi kecintaan. Demikian pula bentuk penghormatan dan kecintaan yang dilakukan, bisa beragam, selama pekerjaan itu merupakan hal yang disukai oleh yang dicinta.
Secara nalar, mengingat keberadaan dan kewujudan seseorang yang sangat kita cintai merupakan salah satu bentuk cinta dan penghormatan. Adakah ia bersifat tahunan, bulanan, mingguan harian, atau bahkan setiap saat. Tentunya itu bergantung kepada kondisi kecintaan. Demikian pula bentuk penghormatan dan kecintaan yang dilakukan, bisa beragam, selama pekerjaan itu merupakan hal yang disukai oleh yang dicinta.
Dalam sirah, diceritakan
bagaimana salah satu ekspresi cinta yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW
terhadap istri pertamanya Khadijah al Kubra binti Khuwailid R.A. Beliau SAW
sering mengunjungi untuk sekedar bersilaturrahim terhadap kerabat istri
tercintanya, membagikan makanan kepada mereka dan hal lainnya. Padahal ketika
itu Khadijah R.A telah meninggal. Namun kecintaan Nabi SAW kepadanya tidak
luntur sedikit pun. Pada kesempatan lain, Nabi SAW terkenang kepada perjalanan
hidup yang mereka berdua lalui semasa istrinya hidup. Mengingat pahit dan
manisnya perjuangan bersama-sama dahulu. Itulah salah satu ekspresi cinta yang
ditunjukkan Nabi SAW kepada istrinya yang
telah mendahuluinya untuk berjumpa Rabb SWT.
Maka, iman yang sehat dan nalar yang cemerlang menuntut
kita untuk terus mengingat dan mengenang kisah hidup serta kebesaran cinta
rahmat yang disebarkan oleh Nabi SAW selaku manusia yang seharusnya paling
dicintai. Bahkan melebihi cinta kepada pasangan, orangtua ingga diri sendiri.
Cukuplah sebagai dalil hadits riwayat Imam Bukhari, saat Umar bin Khattab R.A mendatangi Nabi SAW dan berkata,” Wahai Rasulullah, engkau lebih kucintai daripadda segala sesuatu kecuali diriku sendiri. Maka Rasulullah bersabda,”Tidak sempurna iman salah satu diantara kalian hingga aku lebih dicintai daripada dirinya sendiri.” Umar pun tersadar dan berucap, “Sekarang, demi Allah sesungguhnya engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” Lalu beliau SAW bersabda,”Sekarang wahai Umar, cintamu telah sempurna.”
Cukuplah sebagai dalil hadits riwayat Imam Bukhari, saat Umar bin Khattab R.A mendatangi Nabi SAW dan berkata,” Wahai Rasulullah, engkau lebih kucintai daripadda segala sesuatu kecuali diriku sendiri. Maka Rasulullah bersabda,”Tidak sempurna iman salah satu diantara kalian hingga aku lebih dicintai daripada dirinya sendiri.” Umar pun tersadar dan berucap, “Sekarang, demi Allah sesungguhnya engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” Lalu beliau SAW bersabda,”Sekarang wahai Umar, cintamu telah sempurna.”
Bahkan Ulama besar dari mazhab
Hanbali yaitu Ibn Rajab al Hanbali berkata,”Mencintai Rasulullah SAW termasuk
dari prinsip-prinsip iman. Mencinai beliau berarti sama dengan mencintai Allah
SWT. Sungguh Allah telah menyertakan cinta kepada-Nya dengan cinta kepada Nabi
SAW. Serta mencela orang-orang yang mengedepankan cita kepada harta, keluarga,
kerabat, tanah air dan lainnya. Sebagaimana tertera dalam AL Quran sura taubah
ayat 24.”
Salah seorang ulama besar dari Al
Azhar, Mesir, Syeikh Ali Jum’ah yang pernah menduduki jabatan Mufti negara
Mesir pun tak absen menjadi target penanya. Beliau dengan tegas mengatakan,
”Peringatan hari kelahiran Rasulullah SAW adalah amalan yang paling utama dan
termasuk ibadah paling agung, karena hal tersebut adalah ekspresi kegembiraan
dan cinta kepada Beliau. Dan cinta kepada Rasulullah adalah prinsip dari semua
dasar iman.”
Memang tidak ada sebuah dalil
khusus yang menyatakan “Peringatilah oleh kalian akan hari lahir ku.” Atau yang
senada dengannya. Hanya saja, banyak sekali hadits maupun ayat yang secara umum
dan memiliki kaitan erat dengan melakukan suatu ibadah khusus dengan sebab
cinta, gembira dan rasa syukur.
Diantaranya adalah sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, “Dari Umar bin Khattab R.A ia berkata,
“Nabi SAW ditanya mengenai puasa di hari senin. Beliau SAW lantas menjawabm
“Itu adalah hari dimana aku dilahirkan, dan hari dimana aku diutus menjadi
Rasul (atau hari pertama aku mendapat wahyu).”
Dalam hadits tersebut terdapat
isyarat yang sangat tampak bahwa Rasul SAW bersyukur kepada Allah SWT atas
nikmat kelahirannya ke dunia ini dengan cara berpuasa di hari Senin. Nabi SAW
merayakan hari lahirnya setiap Senin dengan cara berpuasa. Itu adalah bentuk
syukur beliau. Namun yang demikian bukan berarti memperingati kelahiran Nabi
SAW hanya dilakukan dengan cara berpuasa. Karena, ulama terdahulu sejak aabad
keempat hijrah, telah mengadakan perayaan maulid, dengan melakukan berbagai
macam ibadah. Seperti memberi makan, membaca alQuran, berzikir, serta
melantunkan sya’ir yang berisikan pujian kepada Nabi SAW. Realitas ini diungkap
oleh banyak sekali ulama pakar sejarah, seperti Ibnul Jauzi, Ibn Katsir, Al
Hafizh Ibn Dhihyah al Andalusi, Al Hafizh Ibn Hajar Al Asqalani dan ulama
hadits Imam As-Shuyuthi. Rahimahumullahu ajma;in.
Ibn Hajar Al Asqalani menjadikan
hadits Nabi SAW tentang puasa Asyura yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan
Muslim sebagai dalil kebolehan dan kesunnahan Maulid. ”Suatu ketika Nabi SAW
datang ke Madinah dan menjumpai orang-orang Yahudi berpuasa di hari ‘Asyura,
yaitu 10 Muharam. Beliau SAW lalu bertanya kepada mereka, dan mereka menjawab,
“ini adalah hari dimana Allah menenggelamkan Fir’un dan menyelamatkan Musa.
Maka kami berpuasa pada hari ini karena bersyukur kepada Alah SWT.”
Dari hadits tersebut, kata Ibn
Hajar, “Dapat diambil faedah tentang amalan sebagai wujud syukur kepada Allah
atas apa yang Dia anugerahkan pada hari tertentu dengan diberi nikmat atau
terolajkna suatu bencana. Dan amalan itu diulani setiap tahunnya di hari/anggal
yang sama. Bentuk syukur dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti
bersujud, puasa, sedekah dan membaca Al Quran. Selama itu adalah bentuk ibadah.
Dan tentu saja, nikmat apa yang lebih agung daripada nikmat kehadiran dan
kewujudan Rasulullah Muhammad SAW sang pembawa rahmat?.”
Sebagian ulama pakar fiqh bahkan
menuliskan kitab mengenai kesunnahan dan keharusan melakukan perayaan maulid.
Mereka memaparkan dalil-dalil dalam kitabnya. Seperti kitab Al- Madkhal yang
ditulis ulama dari mazhab Maliki Ibn Hajj. Menuliskan secara panjang lebar
mengenai keistimewaan dan keutamaan perayaan maulid.
Dalam mazhab Syafi’i, Imam
As-Suyuthi bahkan menulis kitab khusus berjudul Husn al Maqashiq fi ‘Amal al
Maulid. Didalam sana mbeliau menjawab pertanyaan secara lugas, “Apa hukum
perayaan Maulid secara syari’ah, terpuji atau tercela, pelakunya mendapatkan
pahala atau malah dosa karena bid’ah?”
Singkatnya, Imam As-Suyuti
berkata, ”Perayaan Maulid tidak bertentangan dengan Quran, Sunnah, Atsar dan
Ijma’. Perayaan ini tidak tercela, sebagaimana dikatakan oleh Imam Syafi’i
(yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi,”Perkara baru dalam agama ada dua macam.
Pertama dibuat idak sesuai Quran, Sunnah Atsar dan Ijma’, maka itu adalah
bid’ah yang tercela. Kedua perkara baru yang baik, yang tidak ditentang seorang
pun, maka hal ini tidak tercela. Sebagaimana Ijma’Sahabat atas perkara baru
yang dilakukan Khalifah Umar tentang Shalat malam di bulan ramadhan.) ia adalah
perkara baik yang belum dikenal di awal-awal islam. Sesungguhnya bersedekah
makanan yang tidak dibarengi dengan perbuatan dosa adalah perbuatan baik.
Karena itu Maulid dianggap sebagai bid’ah (perkara baru) yang disunnahkan,
sebagaimana pernyataan Sultanul Ulama, imam ‘Izzuddin bin Abdussalam.”
Ulama besar masa ini seperti
Abuya Sayyid Alwi Al Maliki rahimahullah mengajukan satu soalan kepada orang
yang mempertanyakan dalil peringatan dan perayaan Maulid Nabi SAW, “Adakah
kalian mempertanyakan dan melarang kami memperingati dan merayakan hari yang
menjadi sebab kita semua mengenal dan beribadah kepada Allah SWT? Sungguh
Kelahiran Nabi SAW adalah sebab awal adanya ajaran Islam yang mengajak kita
kepada Tauhid dan mengenalkan kita kepada rahmat.”
Syeikh Sa’id Muhammad Ramadhan Al
Buthi rahimahullah pun terheran kepada orang-orang yang mencela peringatan
Maulid Nabi SAW dengan pernyataan yang hampir sama, ”Memperingati Maulid adalah
salah satu ekspresi cinta. Mengkhususkan suatu waktu dari kesibukan pikiran
untuk menginga, mengenang dan kembali mengenal bagaimana Teladan terbaik itu
hidup. Serta mensyukuri atas segala nikmat yang Allah berikan bersebab darinya.
Bukankah Islam dan Tauhid adalah nikmat terbesar yang tiada banding? Lalu
dimana letak salahnya memperingati kewujudan pembawa nikmat itu?”
Syeikh Atthiyah Saqqar
rahimahullah yang merupakan manan ketua komisi fatwa Azhar berujar dengan
pertimbangan keadaan sosial saat ini, “Menurut saya, perayaan Maulid itu boleh
dan harus. Menimbang, generasi muda saat ini semakin jauh dengan agama dan pengetahuan
akan keteladanan yang luhur. Maka Maulid akan menjadi momentum baginya untuk
mengenal Teladan yang terbaik sepanjang zaman (Rasulullah SAW). Dan pun, saat
ini betapa banyak perayaan-perayaan yang menyesatkan yang tidak punya nilai
islami sedikit pun bahkan telah menghijabi perayaan-perayaan besar dalam Agama
Islam. Maka perayaan Maulid dinilai harus diadakan setidaknya setiap tahunnya.”
Yang harus diingat, bahwasanya
Peringatan Maulid Nabi SAW setahun sekali adalah salah satu bentuk ekspresi
cinta dan rindu kepada Beliau SAW. Ia harus diisi dengan berbagai ibadah.
Seperti sedekah kepada fakir miskin, memberi makan kepada kekasih Rasulullah
(anak yatim) dan kaum muslimin umumnya, berkumpul dengan para waris Nabi yaitu
para ‘alim ulama, berzikir memuji mengingat Allah, membaca Al Quran, atau
berpuasa, bersujud syukur atas nikmat, mempelajari ilmu agama dan memperdalam
pengetahuan tentang Rasulullah juga membacakan sya’ir berupa pujian atas
keindahan Rasulullah. Itu semua adalah ibadah yang tentu nilainya baik.
Terakhir. Kadang ada pertanyaan
nakal yang menjerat pikiran, “Kenapa harus setahun sekali mengekspresikan cinta
kepada Nabi SAW. Seharusnya kan setiap saat?” Ya. Pertanyaan tersebut benar
adanya. Dan jawabannya sudah tentu, kita harus mencintai Nabi SAW di setiap
denyut jantung. Karena ia adalah prinsip iman. Sesaat ia menghilang, sesaat itu
pula iman akan menjadi goyah. Hanya saja, bukankah ketika suatu waktu yang
dapat mengingatkan kita kepada sebuah nikmat yang besar yang pernah terjadi,
akan menambah rasa rindu yang lebih besar dan semakin kuat? Maka bagi yang
mencintai Nabi SAW dan mengetahui kelahirannya di tanggal 12 rabiul awal, tentu
akan memaknai tanggal itu sebagai sebuah tanggal dan hari yang besar serta
istimewa. Karena sekuntum memori akan menancap semakin dalam bersebabkan ziarah
tempat dan pengulangan waktu.
Bagi yang pernah merasakan cinta
dan sering diselimuti rindu, tentu tahu bagaimana besar pengaruh pengulangan
waktu dan jejak tempat. Demikian untuk melengkapi pertnyataan para ulama yang
‘arif yang hatinya selalu dekat dengan zikir kepada Allah, yang statusnya
adalah pewaris Nabi yang keilmuannya telah diakui oleh dunia.
Disadur dari berbagai referensi:
Terutama Kitab Al Bayaan Li Maa Yasyghal al
Adzhaan & Al Mutasyaddidun Manhajuhum wa Munaqasyatu Ahammi Qadhayaahum
karya Syeikh Ali Jum’ah (Terj). dan Ceramah Syeikh Ramadhan Al Buthi dan Abuya
Sayyid Muhammad Al Maliki di Youtube.