2019 - TARBIYAH ONLINE

Fiqh

Selasa, 31 Desember 2019

Kenal Ulama: Biografi Imam Tirmidzi, Penyusun Kitab Sunan At Tirmidzi

Desember 31, 2019

Tokoh Ulama | Nama lengkapnya adalah Muhammad bin ‘Isa bin Saurah bin Musa bin adl Dlahhak atau lebih terkenal dengan nama Imam Tirmidzi. Nasab Beliau adalah As Sulami, yaitu nisbah kepada satu kabilah yang dijadikan sebagai afiliasi beliau, dan nisbah ini merupakan nisbah keakraban. Kemudian kata At Tirmidzi, dinisbahkan kepada negeri tempat beliau di lahirkan (Tirmidz), yaitu sebuah kota yang terletak di selatan dari sungai Jaihun, bagian selatan Iran.

Kelahiran

Para pakar sejarah tidak menyebutkan tahun kelahiran Imam Tirmidzi secara pasti, akan tetapi sebagian yang lain memperkirakan bahwa kelahiran Imam Tirmidzi pada tahun 209 hijriah. Sedang Adz Dzahabi berpendapat dalam kisaran tahun 210 hijriah. Imam Tirmidzi beliau pernah bercerita bahwa kakeknya adalah orang Marwa, kemudian berpindah dari Marwa menuju ke Tirmidz, dengan ini menunjukkan bahwa beliau lahir di Tirmidzi.

Ada satu berita yang mengatakan bahwa Imam Tirmidzi dilahirkan dalam keadaan buta, padahal berita yang akurat adalah, bahwa Imam at-Tirmidzi mengalami kebutaan di masa tua, setelah mengadakan lawatan ilmiah dan penulisan Imam at-Tirmidzi terhadap ilmu yang ia miliki. Masa kecil beliau tumbuh di daerah Tirmidz mendalami ilmu di daerah ini sebelum memulai rihlah ilmiah beliau.

Menimba Ilmu

Berbagai literatur-literatur yang ada tidak menyebutkan dengan pasti kapan imam Tirmidzi memulai mencari ilmu, akan tetapi yang tersirat ketika kita memperhatikan manaqib beliau, bahwa beliau memulai aktifitas mencari ilmunya setelah menginjak usia dua puluh tahun. Maka dengan demikian, beliau kehilangan kesempatan untuk mendengar hadits dari sejumlah tokoh-tokoh ulama hadits yang kenamaan, meski tahun periode beliau memungkinkan untuk mendengar hadits dari mereka, tetapi beliau mendengar hadits mereka melalui perantara orang lain. Yang nampak adalah bahwa beliau memulai rihlahnya pada tahun 234 hijriah.

Beliau memiliki kelebihan hafalan yang begitu kuat dan kemampuan otak yang cepat menangkap ilmu pelajaran. Sebagai permisalan yang dapat menggambarkan kecerdasan kecerdasan dan kekuatan hafalan beliau adalah, satu kisah perjalanan beliau ketika menuju Mekkah, yaitu :

“Pada saat aku dalam perjalanan menuju Mekkah, ketika itu aku telah menulis dua jilid berisi hadits-hadits yang berasal dari seorang syaikh. Kebetulan Syeikh tersebut berpapasan dengan kami. Maka aku bertanya kepadanya, dan saat itu aku mengira bahwa “dua jilid kitab” yang aku tulis itu bersamaku. Tetapi yang kubawa bukanlah dua jilid tersebut, melainkan dua jilid lain yang masih putih bersih belum ada tulisannya. Aku memohon kepadanya untuk memperdengarkan hadits kepadaku, dan ia mengabulkan permohonanku itu. Kemudian ia membacakan hadits dari lafazhnya kepadaku. Di sela-sela pembacaan itu ia melihat kepadaku dan melihat bahwa kertas yang kupegang putih bersih. Maka dia menegurku: ‘Tidakkah engkau malu kepadaku? Maka aku pun memberitahukan kepadanya perkaraku. Dan aku berkata: ‘Aku telah menghafal semuanya’, maka syeikh tersebut berkata: ‘bacalah!’, maka aku pun membacakan kepadanya seluruhnya, tetapi dia tidak mempercayaiku, maka dia bertanya: ‘Apakah telah engkau hafalkan sebelum datang kepadaku?’ ‘Tidak’ jawabku. Kemudian aku meminta lagi agar dia meriwayatkan hadits yang lain. Ia pun kemudian membacakan empat puluh buah hadits, lalu berkata: ‘Coba ulangi apa yang kubacakan tadi’ Lalu aku membacakannya dari pertama sampai selesai tanpa salah satu huruf pun.”

Rihlah Beliau

Imam At Tirmidzi keluar dari tempat kelahirannya menuju ke Khurasan, Iraq dan Haramain dalam rangka menuntut ilmu. Di sana beliau mendengar ilmu dari kalangan ulama yang beliau temui, sehingga dapat mengumpulkan hadits dan memahaminya. Akan tetapi sangat di sayangkan beliau tidak masuk ke daerah Syam dan Mesir, sehingga hadits-hadits yang beliau riwayatkan dari ulama kalangan Syam dan Mesir harus melalui perantara, kalau sekiranya beliau mengadakan perjalanan ke Syam dan Mesir, niscaya beliau akan mendengar langsung dari ulama-ulama tersebut, seperti Hisyam bin ‘Ammar dan yang lainnya.

Para pakar sejarah berbeda pendapat tentang masuknya imam At Tirmidzi ke daerah Baghdad, sehingga mereka berkata : “Kalau sekiranya dia masuk ke Baghdad, niscaya dia akan mendengar dari Imam Ahmad bin Hanbal.”

Al Khathib tidak menyebutkan at Tirmidzi (masuk ke Baghdad) di dalam tarikhnya, sedangkan Ibnu Nuqthah dan yang lainnya menyebutkan bahwa beliau masuk ke Baghdad. Ibnu Nuqthah menyebutkan bahwasanya beliau pernah mendengar di Baghdad dari beberapa ulama, diantaranya adalah : Al Hasan bin AshShabbah, Ahmad bin Mani’ dan Muhammad bin Ishaq Ash Shaghani.

Sehingga kemudian diprediksi bahwa beliau masuk ke Baghdad setelah wafatnyanya Imam Ahmad bin Hanbal, dan ulama-ulama yang disebutkan oleh Ibnu Nuqthah meninggal setelah sang Imam Ahmad. Sedangkan pendapat Al Khathib yang tidak menyebutkannya, itu tidak berarti bahwa beliau tidak pernah memasuki kota Baghdad sama sekali, sebab banyak sekali dari kalangan ulama yang tidak disebutkan Al Khathib di dalam tarikhnya, padahal mereka memasuki Baghdad.

Setelah pengembaraannya, Imam At Tirmidzi kembali ke negerinya, kemudian beliau masuk Bukhara dan Naisapur, dan beliau tinggal di Bukhara beberapa saat.

Negeri-negeri yang pernah dimasuki Imam At Tirmidzi adalah:

Khurasan
Bashrah
Kufah
Wasith
Baghdad
Makkah
Madinah
Ar Ray

Guru-Guru Beliau

Imam at Tirmidzi menuntut ilmu dan meriwayatkan hadits dari ulama-ulama kenamaan. Di antara mereka adalah :

Qutaibah bin Sa’id
Ishaq bin Rahuyah
Muhammad bin ‘Amru As Sawwaq al Balkhi
Mahmud bin Ghailan
Ismai’l bin Musa al Fazari
Ahmad bin Mani’
Abu Mush’ab Az Zuhri
Basyr bin Mu’adz al Aqadi
Al Hasan bin Ahmad bin Abi Syu’aib
Abi ‘Ammar Al Husain bin Harits
Abdullah bin Mu’awiyyah al Jumahi
‘Abdul Jabbar bin al ‘Ala’
Abu Kuraib
‘Ali bin Hujr
‘Ali bin Sa’id bin Masruq al Kindi
‘Amru bin ‘Ali al Fallas
‘Imran bin Musa al Qazzaz
Muhammad bin Aban al Mustamli
Muhammad bin Humaid Ar Razi
Muhammad bin ‘Abdul A’la
Muhammad bin Rafi’
Imam Bukhari
Imam Muslim
Abu Dawud
Muhammad bin Yahya al ‘Adani
Hannad bin As Sari
Yahya bin Aktsum
Yahya bin Hubaib
Muhammad bin ‘Abdul Malik bin Abi Asy Syawarib
Suwaid bin Nashr al Marwazi
Ishaq bin Musa Al Khathami
Harun al Hammal

Murid-Murid Beliau

Kumpulan hadits dan ilmu-ilmu yang dimiliki Imam Tirmidzi banyak yang meriwayatkan, diantaranya adalah :

Abu Bakr Ahmad bin Isma’il As Samarqandi
Abu Hamid Adullah bin Daud Al Marwazi
Ahmad bin ‘Ali bin Hasnuyah al Muqri’
Ahmad bin Yusuf An Nasafi
Ahmad bin Hamduyah an Nasafi
Al Husain bin Yusuf Al Farabri
Hammad bin Syair Al Warraq
Daud bin Nashr bin Suhail Al Bazdawi
Ar Rabi’ bin Hayyan Al Bahili
Abdullah bin Nashr saudara Al Bazdawi
‘Abd bin Muhammad bin Mahmud An Safi
‘Ali bin ‘Umar bin Kultsum as Samarqandi
Al Fadhl bin ‘Ammar Ash Sharram
Abu al ‘Abbas Muhammad bin Ahmad bin Mahbub
Abu Ja’far Muhammad bin Ahmad An Nasafi
Abu Ja’far Muhammad bin Sufyan bin An Nadlr An Nasafi al Amin
Muhammad bin Muhammad bin Yahya Al Harawi al Qirab
Muhammad bin Mahmud bin ‘Ambar An Nasafi
Muhammad bin Makki bin Nuh An Nasafi
Musbih bin Abi Musa Al Kajiri
Makhul bin al Fadhl An Nasafi
Makki bin Nuh
Nashr bin Muhammad bin Sabrah
Al Haitsam bin Kulaib

Karya-Karyanya

Imam Tirmidzi menitipkan ilmunya di dalam hasil karya beliau, diantara buku-buku beliau ada yang sampai kepada generasi kita dan ada juga yang tidak sampai.

Diantara hasil karya beliau yang sampai kepada kita adalah :

Kitab Al Jami’, atau terkenal dengan sebutan kitab Sunan at Tirmidzi
Kitab Al ‘Ilal
Kitab Asy Syama’il an Nabawiyyah
Kitab Tasmiyyatu ashhabi rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Adapun karangan beliau yang tidak sampai kepada kita adalah :

Kitab At-Tarikh
Kitab Az Zuhd
Kitab Al Asma’ wa al kuna

Pujian Para Ulama

Para ulama banyak memberikan kesaksian terhadap keilmuan dan kecerdasan Imam Tirmidzi, yang antara lain adalah;

Al Hafiz ‘Umar bin ‘Alak menuturkan; “at-Tirmidzi meninggal, dan ia tidak meninggalkan di Khurasan orang yang seperti Abu ‘Isa dalam hal ilmu, hafalan, wara’ dan zuhud.”

Ibnu Hibban menuturkan; “Abu ‘Isa adalah sosok ulama yang mengumpulkan hadits, membukukan, menghafal dan mengadakan diskusi dalam hal hadits.”

Abu Ya’la al Khalili menuturkan; “Muhammad bin ‘Isa at-Tirmidzi adalah seorang yang tsiqah menurut kesepatan para ulama, terkenal dengan amanah dan keilmuannya.”

Abu Sa’d al Idrisi menuturkan; “Imam Tirmidzi adalah salah seorang imam yang di ikuti dalam hal ilmu hadits, Imam at-Tirmidzi telah menyusun kitab al jami’, tarikh dan ‘ilal dengan cara yang menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang alim. Imam Tirmidzi ialah seorang ulama yang menjadi contoh dalam hal kuatnya hafalan.”

Al Mubarak bin al Atsram menuturkan; “Imam Tirmidzi merupakan salah seorang imam hafizh dan tokoh.”

Al Hafizh al Mizzi menuturkan; “Imam Tirmidzi adalah salah seorang imam yang menonjol, dan termasuk orang yang Allah jadikan kaum muslimin mengambil manfaat darinya.

Adz Dzahabi menuturkan; “Imam Tirmidzi adalah seorang hafizh, alim, dan imam yang cakap.

Ibnu Katsir menuturkan: “Imam Tirmidzi adalah salah seorang imam dalam bidangnya pada zaman Imam at-Tirmidzi.”

Wafatnya Beliau

Setelah perjalanan panjang beliau dalam mencari ilmu, mencatat, berdiskusi dan bertukar pikiran serta mengarang kitab, pada akhir hayatnya beliau mendapat musibah kebutaan, dan dalam beberapa tahun lamanya beliau hidup sebagai tuna netra. Dan dalam keadaan seperti inilah akhirnya Imam At-Tirmidzi wafat. Beliau wafat di kampung halamannya Tirmidz pada malam Senin 13 Rajab tahun 279 H bertepatan dengan 8 Oktober 892, dalam usia beliau pada saat itu 70 tahun.

Oleh Arif Rahman Hakim, Pengurus PWCINU dan LAZIZNU Okinawa - Jepang Tahun 2017
Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org
Read More

Jumat, 27 Desember 2019

Kenal Ulama: Biografi Ibnu Bajjah, Sang Filsuf Islam

Desember 27, 2019

Tokoh Ulama | Dialah Abu Bakar Muhammad Ibn Al Sha’igh at-Tujibi bin Bajjah atau yang lebih dikenal dengan nama Ibn Bajjah, yang dimana orang orang barat lebih mengenalnya dengan nama Avenpace.

Beliau lahir ditempat yang sama dengan Ibn Rusyd (Filsuf), yakni di Al Andalusia atau yang sudah dikenal dengan nama Spanyol atau yang lebih tepatnya di Saragossa, pada abad ke 5 H atau ke 11 M.

Mendengar namanya yang sering kali muncul dibuku buku filsafat bukan berarti beliau hanya seorang filsof saja, melainkan dalam beberapa literatur menjelaskan bahwasanya beliau adalah seorang yang menguasai beberapa disiplin ilmu seperti astronom, filsuf, sastrawan, musisi, dokter, fisikawan, botanis, psikolog dan ilmuwan Muslim.

Maka tak heran jikalau Ibn Khaldun mensejajarkan Nama Ibn Bajjah dengan tokoh tokoh yang berpengaruh lainnya seperti Ibn Rusyd, Ibn Sina maupun dengan Al Farabi.

Selama hidupnya, beliau dikenal aktif dalam dunia politk, bahkan dari keaktifan dan kepiawaiannya dalam dunia politik, beliau mendapatkan perhatian dari sang Gubernur pada waktu itu yakni Abu Bakar Ibrahim (Gubernur Saragossa Daulat Al Murabith), dan berangkat dari sanalah Ibn Bajjah diangkat sebagai seorang Menteri.

Tidak berlangsung lama, beliau harus berpindah profesi dengan menjadi seorang dokter di kota Seville via Valencia. Tepatnya saat kota Sarahossa jatuh ke tangan Alfonso 1 di Aragon pada tahun 512 H/1118 m.

Kemudian dari sana beliau kembali pindah dari kota Seville via Valencia ke Granada kemudian memilih untuk berangkat ke Afrika Utara yang merupakan pusat Kerajaan Dinasti Murhabith Barat .

Namun sayangnya ketika tiba di Syatibah, beliau malah ditangkap karena dituduh kafir oleh penguasa Al Murabith, dan ini lagi lagi terjadi karena pemikiran filsafatnya yang tidak dapat diterima dikalangan masyarakat pada waktu itu. Hingga pada akhirnya beliau kembali melakukan perjalanan ke Fez, Maroko.

Di kota inilah beliau diangkat menjadi seorang Wazir oleh Abu Bakar Yahya Ibn Yusuf Ibn Tashfin selama 20 tahun (Madjid Fakhry, A History of Muslim Philoshopy, terj. Muliadi Kartanegara [Jakarta: Pustaka Jaya, 1998], h. 397), sampai pada akhirnya beliau menutup usia disana pada tahun 533 H/1138 M.

Selain itu, jika kita menoleh pemikiran Ibn Bajjah maka kita akan disuguhkan dengan beberapa pembahasan, dan berikut ulasannya

1. Metafisika (Ketuhanan)
Adapula pemikiran Ibn Bajjah tekait al maujudat (segala yang ada) dibaginya atas dua bentuk yakni antara yang bergerak dan tidak bergerak.

Yang bergerak adalah materi yang sifatnya terbatas (finite) yang merupakan Jisim (Materi), gerak ini terjadi dari perbuatan yang menggerakkan terhadap yang digerakkan. Gerakan ini tentunya digerakkan pula oleh gerakan yang lain, yang pada akhirnya rentetan gerakan ini digerakkan oleh penggerak yang tidak bergerak.

Yang tidak bergerak disini maksudnya ialah mengarah pada sesuatu yang tidak berubah (berbeda dengan jisim/materi) dan bersifat Azali, Ibn Bajjah menyebutnya dengan ‘aql.

‘aql inilah yang disebut dengan Allah (‘aql, ‘aqil dan ma’qul), sebagaimana yang dikemukakan oleh Al Farabi dan Ibn Sina. Sehingga berangkat dari sini, Ibnu Bajjah beranggapan bahwasanya Allah adalah Azali dan gerakkannya tidak terbatas.

2. Materi dan Bentuk
Pada pemikiran ini, Ibn Bajjah beranggapan bahwasanya Materi (al Hayula) tidak mungkin bereksistensi tanpa bentuk (al Shurat). Sedangkan dalam memahami bentuk, bagi Ibn Bajjah bentuk hanya bisa ditangkap dengan akal dan bukan dengan panca indera. Yang dimana pada bentuk pertamanya ialah suatu bentuk abstrak yang bereksistensi dalam materi dan dikatakannya sebagai tidak mempunyai bentuk.

3. Jiwa
Membahas terkait jiwa, pastilah setiap manusia memiliki jiwa begitu pun yang dikatakan oleh Ibn Bajjah, yang dimana jiwa tersebut tidak mengalami perubahan sebagaimana dengan jasamani. Dikatakan pula bahwasanya jiwa adalah jauhar rohani, akan kekal setelah mati. Dan di akhirat jiwalah yang akan menerima pembalasan, baik balasan kesenangan (surga) maupun balasan siksaan (neraka).

4. Akal dan Ma’rifah
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwasanya akal adalah sesuatu yang paling penting dalam melengkapi diri manusia itu, karena dengannyalah maka manusia akan mengetahui segala sesuatu itu. Terkait akal, Ibn Bajjah membaginya menjadi dua bentuk

Akal Teoritis, yakni hanya bisa diperoleh berdasarkan pemahaman terhadap sesuatu yang konkret atau abstrak.
Akal Praksis, yakni akal yang diperoleh melalui penyelidikan sehingga menemukan pengetahuan.
Sehingga dari pengetian diatas dapat disimpulkan bahwasanya pengetahuan diperoleh dengan dua jenis yakni, ada yang memerlukan pemahaman dan penghayatan dan adapula yang tidak membutuhkan penghayatan namun memerlukan eksperimen atau penyelidikan sehingga menguatkan dari pengetahuan itu.

Sedangkan dalam mencapai tingkat Ma’rifah, Ibn Bajjah beranggapan bahwa puncak dari ma’rifat ialah jika ia telah dapat terlepas dari sifat kerendahan dan keburukan keburukan masyarakat, serta dapat memakai kekuatan pikirannya demi memperoleh ma’rifat dan ilmu sebesar mungkin.

5. Akhlak
Dalam hal ini, Ibn Bajjah membaginya atas dua bentuk yakni perbuatan manusiawi yang didasari dengan perbuatan rasio dan kemauan yang bersih lagi luhur, dan adapula perbuatan hewani yang didasari oleh dorongan naluri demi memenuhi kebutuhan dan keinginan hawa nafsu.

Sehingga dari sini, menurut Ibn Bajjah selayaknya manusia melakukan perbuatannya seusai dengan akal atau untuk memuaskan akal, dan dari perbuatan inilah yang disebut dengan perbuatan Ilahy. Dan tentu ini sudah menjadi keutamaan karena secara tidak langsung jiwa telah menekan keinginan jiwa hewani yang selalu menentangnya.

6. Politik
Pandangannya terkait dunia politik, Ibn Bajjah dipengaruhi oleh pandangan politik Al- Farabi. Sebagaimana Al-Farabi, dalam buku Ara’ Ahl al Madinat al-Fadhilat.

Meskipun dianggap memiliki pandangan yang sama terkait dunia politik itu, rupanya tidak menjamin bahwa semua pandangan politik dari Ibn Bajjah benar benar ikut dengan pandangan Al Farabi.

Dan kita bisa lihat pada titik penekanan masing masing yang rupanya tidak sama dalam dunia pemerintahan. Dimana Al Farabi titik tekannya pada kepala negara, sedangkan Ibn Bajjah titik tekannya pada warga negara (masyarakat).

7. Manusia penyendiri
Manusia penyendiri merupakan filsafat Ibn Bajjah yang cukup populer, dan pemikiran ini termuat dalam Kitab Tadbir al-Mutawahhid.

Jika lafal Tadbir yang berasal dari bahasa Arab yang berartikan mengatur perbuatan perbuatan untuk mencapai tujuan yang diinginkan atau dengan kata lain aturan yang sempurna.

Maka tak salah jika dikatakan bahwa al tadbir ini hanya dapat dilakukan oleh manusia. Karena faktanya hanya akal lah kita bisa melakukan perbuatan perbuatan yang mengarah pada tujuan yang telah direncanakan sebelumnya.

Sedangkan istilah al-Mutawahhid ialah ditujukan pada manusia penyendiri, yakni dengan cara mengasingkan diri dan tidak berhubungan dengan orang lain.

Namun yang perlu diklarifikasi dalam hal ini ialah menurut Ibn Bajjah seorang filsof yang hidup pada suatu negara yang tidak sempurna, maka tentu mereka harus mengasingkan diri dari perbuatan sekelilingnya yang tidak baik/ buruk itu. Mereka cukup berhubungan dengan orang orang yang memang memiliki sifat dan sikap yang baik dalam bermasyarakat.

Oleh Nonna, Mahasiswa UIN Alauddin Makassar, Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.
Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org
Read More

Rabu, 25 Desember 2019

Sifat Jaiz Bagi Allah, I'tiqad dalam Aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah

Desember 25, 2019

Aqidah | Jaiz artinya boleh, dapat juga kita artikan dengan harus. Sifat Jaiz bagi Allah hanya satu, yaitu Memperbuat segala sesuatu yang mumkin/baharu atau meninggalkannya. Maksudnya, Allah Ta’ala boleh-boleh saja memperbuat sesuatu terhadap yang baharu/makhluk dan boleh-boleh saja tidak memperbuatnya.

Dalam I’tiqad 50, sifat Jaiz ini terdapat pada urutan ke-41 setelah 20 sifat yang wajib dan 20 sifat yang mustahil bagi Allah SWT.

Contoh Jaiz pada Allah adalah seperti menciptakan zat-zat tertentu, sifat-sifat, segala perbuatan, baik perbuatan idhtirari maupun ikhtiari, rezeki, menghidupkan, mematikan, mempertunjuk, menyesatkan, menghukum atau mengazab, memberi pahala, dan lain sebagainya. Semua itu adalah boleh atau Jaiz bagi Allah Ta’ala, tidak wajib dan tidak pula mustahil.

Maka dari itu dapat kita pahami yang bahwa azab atau hukuman adalah semata-mata dengan Keadilan Allah Ta’ala, dan pahala atau imbalan adalah semata-mata  dengan Karunia-Nya.

Berdasarkan tertibnya, pahala merupakan balasan terhadap keimanan dan keta’atan, sedangkan siksa atau azab merupakan balasan terhadap kemaksiatan.

Dua hal tersebut yaitu pahala dan siksa adalah semata-mata merupakan pilihan Allah SWT. Jikalau saja Allah membalikkan dua keadaan ini, dengan kata lain Allah memperbuatnya tidak berdasarkan tertib, maka hal tersebut adalah karunia/kebaikan Allah, bukanlah suatu kesalahan. Karena tidak wajib bagi Allah memperbuatnya berdasarkan tertib dan tidak pula mustahil.

Allah Ta’ala memiliki hak mutlak atas setiap ciptaan-Nya, Dia melakukan sesuatu atau merubah suatu keadaan kepada keadaan yang lain sesuai kehendak-Nya. 

Dalil ‘Aqli

Jika Allah Ta’ala wajib memperbuat sesuatu terhadap yang baharu atau katakanlah makhluk, maka menjadi wajiblah sesuatu yang baharu tersebut. Begitupula halnya bila Allah mustahil memperbuatnya, maka jadilah sesuatu itu mustahil. Dan ini adalah bathil (tidak benar), berdasarkan apa yang telah kita pelajari bersama melalui artikel-artikel sebelumnya.

Dalil Naqli

Surat Al-Baqarah ayat 284 :
فَيَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ

“Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya”

Surat Al-Qashas ayat 68 :
وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ

“Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya”

Demikian sekelumit pembahasan tentang sifat Jaiz bagi Allah Ta’ala. Insyaallah pada artikel berikutnya akan kita lanjutkan perihal yang berkaitan dengan para Rasul, yakni 4 sifat yang wajib, 4 yang mustahil dan satu yang jaiz bagi mereka ‘alaihimusshalaatu wassalaam.

Bila kita jumlahkan semua yang sudah kita pelajari selama ini melalui artikel-artikel saya tentang I’tiqad 50 Tauhid dasar Ahlussunnah wal-jama’ah mulai dari 20 sifat yang wajib dan 20 sifat yang mustahil, maka pada artikel ini kita sudah sampai pada masalah I’tiqad yang ke-41 yakni meyakini adanya sifat Jaiz bagi Allah.

Wallahua’lambisshawaab!

Oleh Muhammad Haekal, S.Pd.I Pengajar at Pesantren Tradisional Dayah Raudhatul, juga tayang di Pecihitam.org
Read More

Jumat, 20 Desember 2019

Kenal Ulama: Abu Ibrahim Woyla, Waliyullah Dari Aceh

Desember 20, 2019

Ulama Nusantara | Abu Ibrahim Woyla adalah seorang Ulama  sufi pengembara asal Aceh. Beliau lebih dikenal dengan sebutan Abu Beurahim Keuramat. Memiliki nama lengkap Teungku (ustadz) Ibrahim bin Teungku Sulaiman bin Teungku Husein. Woyla sendiri adalah nama salah satu kecamatan di kabupaten Aceh Barat.

Abu Ibrahim Woyla lahir di kampung Pasie Aceh, kecamatan Woyla, Aceh Barat pada tahun 1919 M. menempuh pendidikan formal dimasa kecilnya hingga tamat di SR (Sekolah Rakyat). selanjutnya beliau sepenuhnya terjun kedalam pendidikan dayah/pesantren tradisional sekitar hampir 25 tahun lamanya.

Pendidikannya

Dalam sejarah pendidikan dayahnya, beliau pernah belajar pada Syeikh Mahmud, seorang Ulama asal Lhok Nga, Aceh Besar selama 12 tahun di dayah Bustanul Huda. Beliau juga pernah berguru kepada Abu Calang (Syekh Muhammad Arsyad), Teungku Bilyatin suak dan Abuya Syekh Muhammad Waly Al-Khalidy (Abuya Mudawaly).

Kehidupannya

Menurut satu riwayat dari menantunya yakni Teungku Nasruddin, Abu Ibrahim pernah menghilang sebanyak 3 kali dimasa hidupnya. Kali yang pertama beliau menghilang selama 2 bulan, kedua beliau menghilang selama 2 tahun dan yang terakhir kalinya Abu Ibrahim menghilang selama 4 tahun, hilang tidak tahu kemana perginya.

Abu Ibrahim Woyla dikenal sebagai sosok ulama yang agak pendiam, hal tersebut memang sudah menjadi bawaannya semenjak kecil hingga masa tua. Beliau hanya berbicara apabila ada hal yang sangat penting untuk disampaikan sehingga banyak orang yang tidak berani bertanya terhadap hal-hal yang terkesan aneh yang dilakukan oleh Abu Ibrahim.

Beliau memiliki dua orang isteri,  yang pertama bernama Rukiah, dari hasil pernikahan ini Abu Ibrahim dikaruniai 3 orang anak, seorang laki-laki dan 2 perempuan. yang laki-laki bernama Zulkifli dan yang perempuan bernama Salmiah dan Hayatun Nufus. Sementara pada isteri keduanya yang beliau nikahi di Peulantee, Aceh Barat, dua tahun sebelum beliau meninggal tidak dikaruniai anak.

Bila kita mendengar kisah kehidupan Abu Ibrahim Woyla, persis seperti kita membaca kisah para sufi dan ahli tashawwuf. Banyak sekali tindakan aneh bin ajaib yang dikerjakan Abu Ibrahim semasa hidupnya yang terkadang tidak dapat dicerna dengan logika, karena kejadian yang diperankannya termasuk di luar jangkauan akal pikiran manusia.

Untuk mengenal prilaku Abu Ibrahim Woyla  kita mesti menggunakan pikiran alam yang berbeda sehingga menemukan jawaban  terhadap apa yang dilakukan Abu Ibrahim itu benar adanya dan ada hikmah tersendiri dibalik tingkah lakunya itu.

Beliau memilik banyak karamah yang dalam bahasa aceh disebut Keuramat, oleh karena inilah beliau juga dikenal dengan sebutan Abu Beurahim/Ibrahim Keuramat.

Sebagian ulama di Aceh menilai bahwa Abu Ibrahim Woyla adalah seorang ulama ‘Arifbillah yang sudah mencapai tingkat Waliyullah. hal itu diakui Teungku Nasruddin, memang banyak sekali laporan yang diterima oleh keluarga dari masyarakat yang menceritakan seputar  peristiwa ajaib dalam kehidupan Abu Ibrahim Woyla.

Menurut pengakuan Tgk Nasruddin , dilihat dari kehidupannya, Abu Ibrahim Woyla seakan-akan tidak lagi membutuhkan hal-hal yang bersifat duniawi. Ia mencontohkan, kalau misalnya beliau memiliki uang, uang tersebut bisa habis begitu saja dalam sekejap, dibagikan kepada orang yang membutuhkan.

Biasanya Abu Ibrahim Woyla membagikan uang itu kepada anak-anak  dengan tidak memperhitungkan jumlahnya. Begitulah kehidupan Abu Ibrahim dalam kehidupan sehari-hari.

Abu Ibrahim Woyla berpulang ke Rahmatullah pada hari sabtu pukul 16.00 WIB tanggal 18 Juli 2009 di rumah anaknya di kampung Pasie Aceh Kecamatan Woyla Induk, Kabupaten Aceh Barat. Beliau tutup usia pada umur 90 tahun.

Dihari wafatnya Abu Ibrahim, ribuan orang datang melayat, dan ini terjadi selama hampir 30 hari setelah kepergiannya. Ribuan masyarakat Aceh berduyun-duyun datang ke kampung Pasie Aceh untuk berziarah. Bahkan sampai saat ini pun makam beliau tidak pernah sepi dari penziarah setiap harinya.

Demikian sekilas tentang sosok Waliyullah yang sangat masyhur di Aceh. Sebenarnya sangat banyak cerita-cerita ajaib nan aneh yang terjadi pada beliau, namun disini saya hanya menuliskan sejarah singkat tentang kelahiran beliau, pendidikan, dan kehidupannya saja dengan sangat ringkas. Semoga bermanfaat untuk menambah khazanah para pembaca. Wallahua’lambisshawab!

(Referensi: dari berbagai sumber bacaan dan diperkuat dengan cerita masyarakat sekitar)

Oleh Muhammad Haekal, Alumni Ponpes Moderen Babun Najah Banda Aceh sekaligus Santri di Dayah Raudhatul Hikmah Al-Waliyyah, Banda Aceh
Artikel ini juga telah tayang di Pecihitam.org
Read More

Selasa, 17 Desember 2019

Kenal Ulama: Abidah al-Madaniyah, Budak Wanita yang Menjadi Ulama Hadits Terkemuka

Desember 17, 2019

Tokoh Ulama | Harta dan kedudukan dikejar manusia untuk menaikkan status sosial. Namun, sejatinya bukan materi yang bisa menaikkan derajat seorang hamba. Akan tetapi ilmu agamalah yang bisa mengubah kedudukan orang menjadi mulia di mata manusia dan di hadapan Allah SWT, seperti kisah Abidah al-Madaniyah seorang atbaut tabiin dari budak menjadi ulama.

Allah menjanjikan dan menjamin orang yang beriman dan berilmu untuk diangkat derajatnya, seperti firmanNya dalam surah (Mujadalah: 11), “…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.  Dan Allah Maha Mengetahui atas apa yang kamu kerjakan.”

Ilmu agama pula yang mengangkat derajat hidup Abidah al-Madaniyyah. Ia awalnya hanya seorang hamba sahaya [budak] dari Muhammad bin Yazid, namun kegigihannya belajar ilmu sangat kuat hingga di akhir hayat, maka ia terus dikenang sebagai ulama wanita dan ahli hadis terkemuka.

Imam Khatib al-Baghdadi dalam kitab Tarikh Baghdad menyebutkan bahwa Abidah al-Madaniyah sebagai salah satu dari tiga nama perawi hadis wanita pada era 200-300 H. Ia dikenal karena memiliki hafalan yang kuat dan kecerdasan di atas rata-rata.

Ketika masih kecil Abidah adalah budak Muhammad ibn Yazid di Madinah. Namun statusnya sebagai hamba sahaya tak menghalanginya untuk menuntut ilmu agama. Ia aktif  belajar dari ulama-ulama hadis di Madinah. Setiap hari selepas menyelesaikan pekerjaan rumah, ia berangkat menuju majelis ilmu. Aktivitas itu terus ia kerjakan hingga ia dapat  menghafal hampir 10.000 hadis dan memiliki sanad dari guru-gurunya yang berada di Madinah.

Suatu ketika, Muhammad ibn Yazid bertemu dengan ulama hadis dari Andalusia, Habib Dahhun, saat menunaikan ibadah haji. Muhammad ibn Yazid menceritakan tentang sosok Abidah yang sangat cerdas dan menguasai banyak jalur periwayatan hadis. Habib Dahhun tertarik dengan sosok Abidah. Ia pun meminta agar Abidah mengikuti majelis ilmu yang digelar Habib Dahhun selama menunaikan ibadah haji.

Mengetahui bakat dan kecerdasan Abidah, Muhammad ibn Yazid merasa sosok Habib Dahhun tepat menjadi guru Abidah. Kemudian Ia pun memerdekakan Abidah. Setelah merdeka, Habib Dahhun lantas menikahinya. Abidah pun ikut bersama Suaminya kembali ke Andalusia, Spanyol, mereka menjalani kehidupan rumah tangga disana. Dan Abidah mengembangkan ilmu bersama suaminya. Berkat bimbingan sang suami, keilmuan Abidah di bidang hadis sangat diakui.

Dr Mohammad Akram Nadwi dalam bukunya Al-Muhaddithat: The Women Scholars in Islam mengungkapkan ada hampir 8.000 Muslimah  yang menjadi perawi hadis. Ia menempatkan sosok Abidah al-Madaniyah sebagai wanita dari kalangan atbaut tabiin nomor empat yang paling banyak meriwayatkan hadis, setelah Ummu ad-Darda dan Amrah binti Abdurrahman.

Periwayatan hadis dari Abidah diterima karena ia adalah sosok perawi yang tepercaya. Abidah tumbuh menjadi ulama yang salihah, alim, jujur, dan jauh dari dusta. Di masa itu, banyak sosok wanita yang mengukir prestasi sebagai ulama hadis. Mereka berasal dari latar belakang yang sangat beragam. Termasuk kehadiran Abidah yang awalnya adalah seorang budak dan akhirnya menjadi ulama.

Sosok seperti Abidah dan perawi hadis wanita di masanya, seperti Abdah bin Bishr, Ummu Umar ath-Thaqafiyyah, Khadijah Ummu Muhammad, Abdah binti Abdurrahman dan lainnya, membuktikan ilmu Islam bisa dipelajari siapa saja. Termasuk dari kalangan wanita. Bahkan tidak sedikit laki-laki yang berguru untuk mengambil hadis dari para perawi hadis Muslimah ini. Seperti halnya yang dilakukan Imam Syafi’i kepada Sayyidah Nafisah binti al-Hasan.

Abidah al-Madaniyyah sering menjadi acuan bahwa Islam juga memberikan porsi besar kepada wanita dalam hal pendidikan. Ilmu hadis yang mensyaratkan sosok perawi secara ketat membuktikan, Abidah dan perawi hadis Muslimah lainnya bisa menyamai laki-laki dalam hal ilmu.

Setelah hidup di Andalusia, tidak banyak catatan yang mengisahkan kehidupan Abidah hingga akhir. Dan tidak di ketahui secara pasti, dimana Abidah dimakamkan dan kapan beliau wafat

Dari kisah Abidah al-Madaniyah, terbuka satu wawasan baru bahwa dalam khazanah keilmuan Islam, perempuan juga memiliki peran penting sebagai pembawa tongkat ilmu pengetahuan agama, khususnya hadis. Perempuan juga tidak hanya menjadi murid. Namun, mereka juga mampu menjadi guru dari para ulama’ laki-laki terkemuka. Wallahu A’lam.

Oleh Nur Faricha, Aktivis at LPM Nabawi Darus-Sunnah, Santri Pondok Pesantren Darus Sunnah | Mahasiswa Fakultas Dirosat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah

Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org
Read More

Minggu, 15 Desember 2019

Kenal Ulama: Biografi Syeikh Ibrahim Al Bajuri Penyusun Hasyiyah Al Bajuri

Desember 15, 2019

Tokoh Ulama | Nama lengkap beliau adalah Burhanuddin Ibrahim al-Bajuri bin Syeikh Muhammad al-Jizawi bin Ahmad. Beliau di lahirkan di desa Bajur dari propinsi al-Munufiya Mesir tepat pada tahun 1198 H/1783 M. Sejak kecil beliau hidup di kalangan orang-orang shalih karena orang tua beliau juga seorang ulama yang alim dan shalih pula.

Tahun 1212 H beliau berangkat ke al-Azhar untuk mengambil ilmu dari para syeikh-syeikh di Universitas tertua tersebut. Pada tahun 1213 H/1798 M Perancis telah menduduki Mesir sehingga membuat beliau keluar dari al-Azhar dan tinggal di Jizah selama beberapa tahun, dan beliau kembali lagi ke al-Azhar setelah Perancis keluar dari Mesir pada tahun 1216 H/1801 M.

Guru-gurunya

Diantara guru-guru beliau di al-Azhar adalah :

1. Syeikh Muhammad al-Amir al-Kabir al-Maliki, seorang ulama terkenal di Mesir, seluruh ulama mesir ketika itu mengambil ijazah dan sanad kepadanya. Syeikh Ibrahim al-Bajuri mendapat ijazah seluruh yang ada dalam kitab tsabat beliau.

2. Abdullah asy-Syarqawi, beliau merupakan ulama yang alim dan terkenal di Mesir dan di dunia islam, karangannya yang banyak membuat nama beliau meroket di seantero dunia, terlebih lagi beliau mendapat jabatan memimpin al-Azhar dan menjadi Syeikhul Azhar.

3. Syeikh Dawud al-Qal’i, beliau adalah ulama yang arif dan bijaksana.

4. Syeikh Muhammad al-Fadhali, beliau seorang ulama al-Azhar yang alim dan sangat mempengaruhi jiwa Syeikh Ibrahim al-Bajuri.

5. Syeikh al-Hasan al-Quwisni, beliau adalah seorang ulama yang hebat sehingga di beri tugas untuk menduduki kursi kepemimpinan al-Azhar dan dilantik menjadi Syeikhul azhar pada masanya.Beliau memiliki semangat yang besar dalam belajar dan mengajar. Beliau menghabiskan waktu dari pagi hari hingga waktu isya malam hanya bersama pelajar mengajar mereka dan menulis kitab. Setelah itupun beliau masih menyempatkan untuk membaca al-quran dengan suara beliau yang merdu sehingga banyak orang yang datang untuk mendengarkannya.

Karangan Imam Ibrahim Al-Bajuri

Dalam masa yang begitu muda Syaikh Ibrahim al-Bajuri telah mampu menghasilkan beberapa buah karya yang begitu bernilai, hal ini tentu saja disebabkan kepintaran dan keberkatan ilmu beliau, diantara kitab-kitab yang beliau karang adalah :

1. Asyiyah Ala Risalah Syeikh al-Fadhali, merupakan ulasan dan penjelasan makna ” La Ilaha Illa Allah “, kitab ini merupakan kitab yang pertama sekali beliau karang, ketika itu umur beliau sekitar 24 tahun.
2. Hasyiyah Tahqiqi al-Maqam `Ala Risalati Kifayati al-`Awam Fima Yajibu Fi Ilmi al-Kalam, kitab ini selesai pada tahun 1223 H.
3. Fathu al-Qaril al-Majid Syarh Bidayatu al-Murid, selesai di karang pada tahun 1224 H.
4. Hasyiyah Ala Maulid Musthafa Libni Hajar, selesai pada tahun 1225 H.
5. Hasyiyah `Ala Mukhtasor as-Sanusi (ummul Barahain), selesai pada taun 1225 H.
6. Hasyiyah `Ala Matni as-Sanusiyah fil mantiq, selesai pada tahun1227 H.
7. Hasyiah `ala Matan Sulama fil Mantiq.
8. Hasyiah `ala Syarh Sa`ad lil aqaid an-Nasafiyah.
9. Tuhfatu al-Murid `Ala Syarhi Jauharatu at-Tauhid Li al-Laqqani, selesai pada tahun 1234 H.
10. Tuhfatu al-Khairiyah `Ala al-Fawaidu asy-Syansyuriyah Syarah al-Manzhumati ar-Rahabiyyah Fi al-Mawarits, selesai pada tahun 1236 H.
11. Ad-Duraru al-Hisan `Ala Fathi ar-Rahman Fima Yahshilu Bihi al-Islam Wa al-Iman, selesai pada tahun 1238 H.
12. Hasyiyah Ala Syarhi Ibnu al-Qasim al-Ghozzi Ala Matni asy-Syuja’, selesai di tulis pada tahun 1258 hijriyah. Ini merupakan kitab yang di pelajari di al-Azhar dan seluruh pesantren di Nusantara hingga sekarang. Kitab ini beliau tulis di Makkah tepat di hadapan Ka`bah dan sebagiannya di Madinah tepat di samping mimbar Rasulullah SAW dalam masjid Nabawi.
13. Fathul Qarib Majid `ala Syarh Bidayah Murid fi ilmi Tauhid, selesai beliau karang tahun 1222 H.
14. Manh al-Fattah `ala Dhau’ al-Mishabah fin Nikah.
15. Tuhfatul Basyar, ta`liqat `ala Maulid Ibnu Hajar al-Haitami.
16. Ta`liqat `ala tafsir al-Kisyaf.
17. Hasyiah `ala Qashidah Burdah.
18. Fathul Khabir Lathif fi ilmi Tashrif.
19. Risalah fi ilmi Tauhid yang kemudian di syarah oleh ulama Nusantara, Syeikh nawawi al-bantani dengan nama kitab beliau Tijan Ad-Daruri.
20. Hasyiah `ala Qashidah Burdah lil Bushiry. Dan lain-lain

Menjadi Grand Syeikh Al-Azhar

Setelah Syaikh Ibrahim al-Bajuri mendapatkan ilmu yang banyak dari para gurunya, akhirnya beliau diangkat menjadi seorang tenaga pendidik di al-Azhar.

Dengan tekun dan keikhlasan beliau mengajar dan belajar, hingga pada akhirnya pada tahun 1263 H/1847 M. beliau mendapat posisi yang tinggi diangkat menjadi Syeikhul al-Azhar ke 19 menggantikan Syaikh Ahmad al-Shafti yang telah wafat.

Pada saat itu pemimpin Mesir Abbas I beberapa kali mengikuti pengajian beliau di al-Azhar dan mencium tangan beliau.

Di zaman pemerintahan Said Pasha, Syaikh Ibrahim al-Bajuri jatuh sakit. Hingga beliau kerepotan mengurus al-Azhar. Al-Azhar tidak mengangkat Syeikh Al-azhar lain sehingga beliau wafat.

Setelah menebarkan ilmunya kepada generasi selanjutnya, akhirnya Imam Ibrahim al-Bajuri menghembuskan nafas terakhirnya meninggalkan dunia yang fana menghadap Allah SWT dengan tenang dan ridha.

Beliau meninggal duani pada hari kamis tanggal 28 Dzulqa`idah tahun 1276 H bertepatan pada 19 juli 1860 M, beribu pelayat hadir untuk menyalatkan Imam besar Ibrahim al-Bajuri. Beliau di shalatkan di Masjid al-Azhar asy-Syarif dan di kuburkan di kawasan Qurafah al-Kubra masyhur dengan sebutan al-Mujawarin.

Pemegang Teguh Aqidah Asy`ariyah

Pada masa hidup Syaikh Ibrahim al-Bajuri mazhab Asy`ariyah berkembang sangat pesat, tidak berbeda dengan masa masa pemerintahan Salahuddin al-Ayyubi sampai hilangnya al-Ayyubiyyah dan bertukar menjadi pemerintahan Mamalik.

Mazhab `Asy`airiyah merupakan mazhab ahlussunnah yang berkembang dari negeri barat didaerah Maroko sampai negeri Indonesia. Pada masa Ibrahim al-Bajuri sudah mulai terdengar dan hidup mazhab yang berbeda dari mazhab ahlussunnah Wal Jama`ah, yaitu mazhab Wahabi di bahagian timur negeri Hijaz.

Ketika itu mereka belum dapat menguasai semenanjung Arab, aqidah mereka sangat bertentangan dengan mazhab Ahlusunnah Wal Jama`ah yang di bawa oleh ulama-ulama terdahulu, mereka berpendapat ulama-ulama Ahlussunnah yang bermanhaj `Asy`ariyyah adalah sesat lagi menyesatkan dan mesti dibasmi habis.

Tetapi madzhab wahabi ketika itu belum bisa berkembang di sebabkan adanya kekhalifahan Utsmaniyah yang menjaga mazhab ahlussunnah Wal Jama`ah al-`Asy`ariyyah.

Diantara hasil tulisan Imam al-Bajuri yang membicarakan tentang tauhid didalam minhaj al-`Asy`ariyyah adalah:

1. Hasyiyah Kifayatu al-`Awam yang di beri nama Tahqiqul al-Maqam. kitab ini merupakan karangan guru Imam al-Bajuri yaitu Syeikh Muhammad al-Fadhali. Kitab ini di pelajari oleh pelajar-pelajar al-Azhar dan di pondok-pondok pesantren dan dayah-dayah di Nusantara. Kitab ini menjelaskan sifat dua puluh yang wajib bagi Allah, dua puluh sifat yang mustahil bagi Allah, dan satu sifat yang boleh bagi Allah, kemudian di terangkan sifat-sifat yang wajib, mustahil dan boleh bagi para Rasul-Rasul Allah, kitab ini sangat bagus sekali di pelajari bagi pelajar ilmu tauhid tingkat pemula.

2. Al-Fathu al-Qarib Majid Syarah Bidayat al-Murid, kitab ini adalah karangan al-Imam as-Siba`i, didalamnya memuat tauhid aqidah al-`Asya`irah, Imam Ibrahim mencoba mensyarah dan menjelaskan isi kitab ini agar mudah di fahami oleh para pelajar.

3. Hasyiyah `Ala Matni as-Sanusiyah, kitab Matan as-Sanusiyah di karang oleh Imam Sanusi, seorang ulama mazhab Maliki yang teguh berpegang kepada mazhab Asy`ari dalam aqidah.

4. Tuhfatu al-Murid `Ala Syarah Jauharatu at-Tauhid, kitab ini merupakan Syarah dari matan manzhumah Jauharatu at-Tauhid yang sangat terkenal di kalangan para penuntut ilmu agama, hasil karya Syeikh Ibrahim al-Laqqani.

Imam al-Bajuri mencoba menumpukan segala kemampuannya dan keahliannya untuk mensyarahkan kitab ini, dengan cara mengulas dan memutuskan mana yang tepat dan rajih dikalangan ulama Ahlussunnah.

Beliau juga mengisinya dengan dalil naqal dan akal, kemudian beliau juga menyebutkan perbedaan pendapat diantara `Asy`ariyyah dan Maturidiyyah didalam sebahagian permasalahan.

Empat kitab diatas adalah ilmu tauhid, sehingga dapat kita simpulkan bahwa beliau seorang ulama `Asy`ariyyah yang kuat dan memiliki peranan dalam mengembangkan mazhab `Asya`irah.

Keahlian beliau bukan saja didalam tauhid bahkan didalam segala disiplin ilmu agama seperti Fiqih, Tafsir, Hadis, Bayan, Mantiq, Fara`idh dan lain-lainnya.

Disebutkan dalam manaqibnya, Syeikh Ibrahim Al-Bajuri adalah seorang ulama yang amat mencintai dzurriyah Rasulullah SAW. Ia rajin mengunjungi dan berziarah kepada para ahli bait, baik yang masih hidup mau­pun yang sudah wafat. Bukti kecintaannya terlihat dari salah satu karyanya, Hasyiyah ‘Ala Syarh Ibn Qasim.

Al-Bajuri menampakkan kecintaannya dan semangatnya bertabarruk dengan ahlul bait Nabi SAW dan ulama salaf shalih, khususnya Sayyid Ahmad Al-Badawi. Dalam kitab karyanya tersebut, secara khusus ia menyarankan kepada siapa pun yang mengkhatamkan kitab tersebut itu untuk membacakan hadiah Fatihah bagi Sayyid Ahmad Al-Badawi karena beliau mengkhatamkan penulisan kitab tersebut tepatnya pada hari haul maulid Sayyidi Ahmad al-Badawi.

Oleh Arif Rahman Hakim, Pengurus PWCINU dan LAZIZNU Okinawa - Jepang Tahun 2017

Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org
Read More

Rabu, 11 Desember 2019

Kenal Ulama: Syeikh Ahmad Khatib Sambas, Sufi Kelahiran Kalimantan

Desember 11, 2019

Tokoh | Menjadi seorang pengkaji dalam dunia persufian, terkadang membuat kita berkesimpulan bahwa tokoh tokoh sufi hanya berasal dari Persia, Al Andalusia dan sekitarnya.

Padahal jikalau kita mencoba membuka sejarah, rupanya di Indonesia sendiri hidup para sufi yang berasal dari berbagai penjuru, yang sekalipun kiblat mereka adalah para sufi terdahulu.

Salah satunya seperti Hamzah al Fansuri yang berkelahiran Sumatera Utara dan Yusuf al Makassari yang berasal dari Makassar, dan kini penulis akan paparkan terkait kisah hidup dari syaikh Ahmad Khatib Sambas yakni seorang Syaikh berkelahiran Kalimantan.

Syaikh Ahmad Khatib Sambas yang bernama lengkap Syaikh Muhammad Khatib bin Abdul Ghaffar As Sambasi, beliau lahir pada tahun 1217 Hijriah di Sambas, Kalimantan Barat.

Beliau lahir dari keluarga perantau yang mana ayahnya bernama Abdul Ghaffar bin Abdullah bin Muhammad bin Jalaluddin. Pada saat itu Kalimantan Barat memang masih menjadikan tradisi perantauan sebagai cara hidup bermasyarakat.

Pada masa kecilnya beliau diasuh oleh pamannya yang terkenal alim di wilayahnya, hingga dari sini beliau tergerak untuk mempelajari ilmu ilmu Agama, dengan berguru dari satu ke yang lainnya.

Beberapa gurunya yakni Syaikh Dawud bin Abdullah bin Indris al Fantani (w. ± 1843), Syaikh Syamsuddin, Syaikh Muhammad Arsyad al Banjari (w. 1812), Syaikh Ibn ‘Ali al Sanusi (w. 1859), Syaikh ‘abd al Hafiz ‘ajami, Utsman bin Hasan Ad Dimyathi (w. 1849), dan lainnya.

Atas kepiawaian beliau dalam menuntut Ilmu dikatakan bahwa diantara murid Syaikh Syamsuddin rupanya, Syaikh Ahmad Khatib Sambas lah yang mencapai pada tingkat kemampuan dan wewenang tertinggi. Maka tak heran jika pencapaian spritualnya ini menjadikan beliau sebagai Syaikh yang terhormat di zamannya dan berpengaruh di seluruh Indonesia.

Bahkan beliau juga ditetapkan sebagai Syaikh Mursyid Kamil Mukammil dalam lingkungan tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyah yang berasal dari ajaran Syaikh Syamsuddin.

Itulah mengapa jika dalam pandangan Muhammad Naquib al Attas (cendekiawan dan filsuf muslim yang berasal dari Malaysia) mengatakan bahwa Syaikh Ahmad Khatib adalah Syaikh yang telah mengkombinasikan antara tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyah.

Dan siapa sangka? Pengkombinasian tarekat ini rupanya sangat berpengaruh di Melayu dan Indonesia. Selain itu ada tiga pesantren besar di Jawa yang malah merupakan pusat tarekat ini yakni Pesantren Suryalaya di Tasikmalaya (Jawa Barat), Pesantren Futuhiyah di Mranggen (Jawa Tengah) dan di Pesantren Darul Ulum di Peterongan (Jawa Timur). 

Adapun pokok pokok ajaran dari tarekat dari  tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyah yakni;

Kesempurnaan Suluk

Yang perlu diketahui terlebih dahulu ialah pengertian dari suluk itu, suluk dalam artian tasawufnya ialah menepuh jalan menuju Allah. Sehingga dalam menempuh kesempurnaan suluk rupanya perlu meracik tiga istilah atau term dalam satu ajaran, dan ketiga istilah tersebut yakni Iman, Islam dan Ihsan.

Adab

Pada ajaran ini tentu membuktikan bahwa Adab atau etika dianggap sangat penting, karena tanpa adab tentu seorang salik tidak akan mungkin mencapai tujuan suluknya. Dan memandang ruang lingkup adab yang dipraktikkan oleh seorang salik yakni meliput pada Adab kepada Allah dan Rasul-Nya, kepada Syaikh, kepada Ikhwan dan adab kepada diri sendiri.

Dzikir

Dalam tarekat Dzikir yang dikembangkan oleh Syaikh Ahmad Khatib inilah yang membedakan tarekatnya dengan tarekat yang lain. Yang dimana pada aktivitas tarekat ini  meliputi aktivitas lidah baik itu pada lidah fisik maupun lidah batin yang tak hentin hentinya mengingat dan menyebut Asma Allah

Muraqabah

Muraqabah sendiri dalam pandangan tasawuf diartikan sebagai kontemplasi kesadaran seorang hamba yang secara terus menerus diawali Allah disetiap keadaan. Dan tentu pada pelaksaan Muraqabah ini dilaksanakan dalam setiap rangka latihan psikis demi menerima limpahan karunia dari Tuhan sehingga menjadi mukmin yang sesungguhnya.

Disisi lain, melalui muraqabah inilah seseorang akan terus mengawasi hati mereka dan memperoleh wawasan tentang hubungan hati dengan penciptanya dan lingkungannya sendiri.

Namun yang menjadi catatan pentingnya ialah, ternyata Syaikh Ahmad Khatib Sambas tidak lama di Indonesia. Karena dalam catatan sejarah sendiri dikatakan bahwasanya pada usia 19 tahun beliau melanjutkan studi dan menikah dengan seorang waita Arab keturunan Melayu. Beliau menetap di Makkah sampai pada akhirnya beliau wafat disana pada tahun 1289 Hijriah.

Itulah sekilas kisah hidup dari Syaikh Ahmad Khatib Sambas, semoga bermanfaat.

Oleh Nonna, Mahasiswa UIN Alauddin Makassar, Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org
Read More