TARBIYAH ONLINE: Filsuf Islam

Fiqh

Tampilkan postingan dengan label Filsuf Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Filsuf Islam. Tampilkan semua postingan

Senin, 19 September 2022

Filsafat; Ilmu atau Pendapat Para Filsuf yang Bermasalah

September 19, 2022


Tarbiyah Online - Salah satu sebab kenapa ulama melarang pembelajaran filsafat adalah karena buku-buku filsafat yang lebih cenderung menjelaskan pendapat para filsuf, sehingga dalam pembelajar tersebut sangat sulit membedakan mana filsafat murni yang dibahas sebagai ilmu dan mana mazhab filsafat yang merupakan pendapat pribadi para filsuf ketika melihat hakikat sesuatu. 


Hal ini berlangsung sampai datangnya Imam ar-Razy yang mulai mentanqih ilmu filsafat, sehingga kita pun dengan mudah dapat membedakan antara pembahasan filsafat murni dan pendapat kelompok filsuf dalam pembahasan itu. Makanya, setelah era ar-Razy kitab-kitab filsafat mulai diajarkan dalam dunia Islam tanpa perlu khawatir lagi terhadap murid yang mempelajarinya akan mudah terpengaruh dengan pendapat para filsuf. Karena mereka sudah lebih dahulu diajarkan alat-alat untuk mentanqih sendiri mana filsafat yang diajarkan sebagai ilmu dan mana yang dipelajari sebagai pendapat.


Ada beberapa kitab populer yang mendapat khidmah besar di dunia Islam, karena sering dijadikan kurikulum untuk membuka kunci ilmu filsafat, di antaranya Hidayah Atsiriyah  dan al-Hikmahnya al-Katiby. Kitab-kitab ini diajarkan secara berjenjang, jadi, thalib memang beneran bisa memahaminya. Makanya jangan heran, ketika filsafat Barat menyebar ke seluruh dunia melalui imperialisme di abad 19 M, yang paling sedikit terkena dampak pemikiran adalah dunia Islam dan madrasah-madrasah Islam yang waktu itu menjadikan filsafat sebagai kurikulum pendidikan.


Padahal waktu itu, sebagian dunia malah seperti mensucikan filsafat orang Barat, dan itu terjadi di mana saja, seperti di negara-negara Asia Timur, Anak Benua, Afrika Barat, Latin, Eropa Timur, dst. Bahkan para intelektual di sana menganggap itulah puncak ilmu pengetahuan, sehingga perjuangan-perjuangan kebebasan ala liberal, kesetaraan ala komunis atau sosialis, dll, menyebar di kalangan intelektual di seluruh dunia, bahkan ada yang rela mati untuk nilai-nilai itu. 


Di dunia Islam tentu saja ada yang terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran itu, tapi mereka yang terpengaruh kebanyakannya adalah orang-orang yang sebelumnya tidak pernah mempelajari filsafat yang sudah ditanqih. Sedangkan ulama yang sudah mempelajari filsafat secara berjenjang, mereka biasa saja melihat pemikiran-pemikiran itu, sama sekali tidak silau. Mereka mampu memilah mana yang benar dan mana yang salah, sebagian bahkan mengkonternya. Hal yang demikian sering terjadi, kita bisa membaca kisah-kisah perdebatan para ulama terhadap filsafat Barat, seperti perdebatan ulama al-Azhar ketika masa penjajahan prancis misalnya.


Tentu saja kita sedang membicarakan para ulama Mutakalimin yang mengkonternya setelah memahami mazhab yang dihadapinya tersebut. Bukan seperti sebagian dai yang mengkonter hanya dengan modal doktrin dan fanatisme terhadap perbedaan akidah, biasanya mereka mengkonter narasi pemikiran filsafat dengan retorika, di mana retorika -apalagi jika dilakukan oleh yang bukan ahli- seringkali tidak memakai argumen akal yang kuat, walaupun mampu mempengaruhi pemikiran pendengar, tapi nilai ilmiahnya sering berkurang.


Tentunya berbeda dengan para Mutakalimin seperti Asyraf Ali Tahanawi, Mustafa Shabry, dll, yang merupakan spesialis ilmu akliyat (logika). Mereka berhasil menjawab narasi mazhab yang disebarkan Barat dengan argumen logis yang kuat, sebagaimana ar-Razy dulu menjawabnya, dan sampai sekarang hujjah dan argumen mereka masih susah dilihat celah fallacynya. Kenapa mereka mampu? Karena mereka memahami apa yang dibicarakan, itu memang spesialis para Mutakalimin.


Mereka benar-benar menguasai ilmunya, ilmu yang sudah ditanqih, dipelajari secara berjenjang dan dipersiapkan memang agar mampu menghadapi segala aliran pemikiran baru secara ilmiah, tanpa perlu mengandalkan emosi. Hal ini disebabkan karena mereka sudah tahu apa itu filsafat, tahu cara kerjanya, tahu mana filsafat sebagai ilmu dan sebagai pendapat, mengetahui celah pendapat jika melihat fallacy atau kesalahan berpikir dalam suatu tesis atau argumen pada sebuah teori.


Karena, mereka begitu mengerti tentang tabiat filsafat, sampai ada perumpamaan masyhur di kalangan mereka. Ilmu filsafat diibaratkan sebagai lautan, lautan yang berbeda dengan lautan lainnya, di mana lautan filsafat itu pinggirnya dalam dan sering membuat orang tenggelam, tapi tengahnya dangkal dan bisa menjadi tempat rekreasi seperti pantai, jadi filsafat itu tidak bisa dinikmati saat kita berada di pantainya. Makanya, kalau mau menikmati filsafat, kita harus lebih dulu mempersiapkan sekoci penolong melalui kitab-kitab munaqahah, sehingga kita bisa mencapai tengah lautan dan berekreasi di sana, di pantai tengah laut.


Jadi, teman-teman yang mau mempelajari filsafat, tidak perlu terburu-buru mencobanya, kadang gak penting juga dipelajari, karena gak semua orang membutuhkannya. Kita bisa hidup dan berfilsafat tanpa perlu mempelajari dan membacanya, karena dalam menjalani hidup sehari-hari sebenarnya kita sudah berfilsafat. Adapun jika memang harus mempelajarinya, pasti karena ada kaitan dengan spesialisasi ilmu, seperti karena kita masuk jurusan ilmu sosial atau jurusan hukum, politik, dll, atau karena beberapa pembahasan sains yang membutuhkan filsafat sebagai landasan argumen keilmuan yang logis, atau karena harus mengurus negara. 


Atau karena masuk jurusan ilmu agama, dll, di mana kadang membutuhkan ilmu filsafat sebagai landasan keilmuan dan argumen, agar mampu membuktikan keilmiahan suatu dakwa. Jika memang harus mempelajarinya, maka pelajarilah secara berjenjang melalui buku-buku yang sudah ditanqih. Insyaallah, kita bisa berpikir filosofis atau bisa berfilsafat tanpa harus terpengaruh dengan pemikiran para filsuf yang sebenarnya cuma hasil buah pikir manusia. Walaupun mereka manusia pintar, tapi tetap saja manusia yang bisa salah dan yang tidak perlu diikuti mentah-mentah, apalagi sampai mempertahankannya mati-matian. Biasa saja lah. Wallahualam.


Oleh: Ustad Fauzan Inzaghi

Read More

Minggu, 18 September 2022

"Pembunuh Filsafat" Imam Al Ghazali Mengharamkan Filsafat

September 18, 2022


Tarbiyah Online - Imam Ghazali tidak pernah anti filsafat, yang beliau bantah adalah aliran pemikiran dalam filsafat, alias pemikiran seorang tentang beberapa permasalahan yang dibahas dalam ilmu filsafat. Karena filsafat hanyalah sebuah ilmu dan sebuah disiplin ilmu tidak mungkin dibantah. Membantah filsafat sama dengan membantah matematika sebagai sebuah ilmu, itu konyol untuk dilakukan, yang mungkin dilakukan hanyalah membantah kesalahan seorang dalam menjelaskan ilmu tersebut dan inilah yang dilakukan oleh ulama-ulama kita. 


Lalu, kenapa sebagian ulama ada yang melarang kita membaca buku filsafat? Ada banyak alasan untuk itu:


Pertama, ada banyak ilmu lain yang lebih penting bagi seorang muslim untuk dipelajari sebagai fardhu ain dibanding dengan ilmu filsafat, jadi memilih mana yang lebih prioritas dan bermanfaat bagi kehidupan kita terlebih dahulu. Jangan sampai, gara-gara masalah fardhu kifayah kita melupakan fardhu ain, jangan sampai gara-gara yang sunnah kita melupakan yang wajib. Jadi, 𝘢𝘸𝘭𝘢 𝘧𝘢 𝘢𝘸𝘭𝘢, yang terbaik dalam masalah ini adalah spesialisasi.


Kedua, ilmu filsafat itu ilmu yang detail dan rumit, di mana tujuan kita mempelajarinya untuk mengetahui hakikat sesuatu, jadi butuh beberapa alat untuk bisa memahaminya dengan benar. Sering kali thalibul ilmi ingin mempelajari filsafat tanpa alat yang memadai, karena ingin buru-buru memahaminya, akhirnya dia tidak bisa memahami filsafat dengan benar, yang ada dia hanya menjadi pembebek pendapat para filsuf tanpa nalar kritis. Kenapa? Karena dia tidak mempunyai alat yang memadai, paham filsafat enggak, ujung-ujungnya malah nyasar.


Ketiga, kurikulum atau buku filsafat biasanya ditulis dengan mazhab filsafat tertentu atau perbandingan antar mazhab filsafat. Tentu ini akan menjadi bumerang bagi murid yang belum bisa membedakan mana filsafat sebagai ilmu dan mana pendapat para filsuf. Di beberapa masa, jarang ada buku filsafat yang ditulis dengan membedakan mana pendapat filsuf dan mana ilmu filsafat murni, keadaan ini ditakutkan akan membuat murid kebingungan. Tak jarang si murid tersesat dari akidah yang benar dan malah mengikuti pendapat filsuf, itu akan menjadi masalah baru.


Nah, karena kurangnya buku seperti itu dan  rumit pula dalam mempelajarinya sebab perlunya alat berjenjang untuk memahami filsafat, maka sebagian para ulama berpendapat sebaiknya diharamkan saja membaca dan mempelajari buku filsafat bagi para murid, kecuali bagi yang sudah mempunyai dasar keilmuwan yang kuat. Masalahnya lagi, jika dikatakan demikian, banyak pula murid yang menganggap bahwa dirinya sudah memiliki dasar yang kuat, padahal belum. Maka dari itu, para ulama memutuskan bahwa lebih baik mengharamkannya secara keras.


Tapi pada masa mutaakhirin, saat para ulama mulai membersihkan kitab-kitab dasar (muqarar) filsafat dari pendapat filsuf, akhirnya para ulama punya solusi dan alternatif. Jangankan dibolehkan, bahkan kitab filsafat seperti al-Hidayah malah diajarkan dan dimasukan dalam kurikulum, sehingga setelah itu, para murid dibebaskan saja untuk membaca dan mempelajari filsafat semaunya. Karena kurikulum yang ada berhasil mencetak mereka untuk siap dalam membaca buku filsafat serta membahas permasalahannya, dan itu yang terjadi di era mutaakhirin sampai sekarang.


Jadi, apakah ulama Islam melarang filsafat? Jawabannya, ya dan tidak? Jika dilihat kembali, ulama-ulama yang ketat dalam hukum belajar filsafat pasti berasal dari daerah yang dalam kurikulum madrasahnya tidak ada pelajaran kitab-kitab filsafat yang ditulis oleh ulama kita seperti al-Hidayah. Dan, jika melihat kepada ulama yang membolehkannya, kebanyakan mereka berasal dari daerah di mana kitab seperti al-Hidayah dijadikan kurikulum. Jadi, murid lebih siap dalam mempelajarinya.


Apalagi ulama-ulama ilmu kalam seperti Imam al-Ghazali, ar-Razi dan imam-imam lain, mereka tidak anti filsafat. Jika mereka membantah, maka mereka sedang membantah pendapat para filsuf dengan ilmu alat yang menjadi timbangan ilmiyah, makanya nama kitabnya Tahafut Falasifah, bukan Tahafut Falsafah. Karena, sekali lagi, yang namanya ilmu tidak mungkin bisa dibantah. Jadi salah besar jika mengatakan Madrasah Sunniyah membuat ilmu filsafat mati, yang mati adalah hujjah para filsuf, karena hujjahnya lemah, sehingga dia tidak mampu bertahan. 


Lagian kita mau tanya, tanpa Imam Ghazali dan Imam Razi, apakah buku Ibnu Sina atau al-Farabi yang menjadi penghubung antara filsafat Yunani dan filsafat modern bisa bertahan dan bisa dipahami? Bacalah sejarah filsafat Islam, kita akan menemukan apa yang telah dilakukan dua imam besar ini.


Oleh: Fauzan Inzaghi


Read More

Jumat, 27 Desember 2019

Kenal Ulama: Biografi Ibnu Bajjah, Sang Filsuf Islam

Desember 27, 2019

Tokoh Ulama | Dialah Abu Bakar Muhammad Ibn Al Sha’igh at-Tujibi bin Bajjah atau yang lebih dikenal dengan nama Ibn Bajjah, yang dimana orang orang barat lebih mengenalnya dengan nama Avenpace.

Beliau lahir ditempat yang sama dengan Ibn Rusyd (Filsuf), yakni di Al Andalusia atau yang sudah dikenal dengan nama Spanyol atau yang lebih tepatnya di Saragossa, pada abad ke 5 H atau ke 11 M.

Mendengar namanya yang sering kali muncul dibuku buku filsafat bukan berarti beliau hanya seorang filsof saja, melainkan dalam beberapa literatur menjelaskan bahwasanya beliau adalah seorang yang menguasai beberapa disiplin ilmu seperti astronom, filsuf, sastrawan, musisi, dokter, fisikawan, botanis, psikolog dan ilmuwan Muslim.

Maka tak heran jikalau Ibn Khaldun mensejajarkan Nama Ibn Bajjah dengan tokoh tokoh yang berpengaruh lainnya seperti Ibn Rusyd, Ibn Sina maupun dengan Al Farabi.

Selama hidupnya, beliau dikenal aktif dalam dunia politk, bahkan dari keaktifan dan kepiawaiannya dalam dunia politik, beliau mendapatkan perhatian dari sang Gubernur pada waktu itu yakni Abu Bakar Ibrahim (Gubernur Saragossa Daulat Al Murabith), dan berangkat dari sanalah Ibn Bajjah diangkat sebagai seorang Menteri.

Tidak berlangsung lama, beliau harus berpindah profesi dengan menjadi seorang dokter di kota Seville via Valencia. Tepatnya saat kota Sarahossa jatuh ke tangan Alfonso 1 di Aragon pada tahun 512 H/1118 m.

Kemudian dari sana beliau kembali pindah dari kota Seville via Valencia ke Granada kemudian memilih untuk berangkat ke Afrika Utara yang merupakan pusat Kerajaan Dinasti Murhabith Barat .

Namun sayangnya ketika tiba di Syatibah, beliau malah ditangkap karena dituduh kafir oleh penguasa Al Murabith, dan ini lagi lagi terjadi karena pemikiran filsafatnya yang tidak dapat diterima dikalangan masyarakat pada waktu itu. Hingga pada akhirnya beliau kembali melakukan perjalanan ke Fez, Maroko.

Di kota inilah beliau diangkat menjadi seorang Wazir oleh Abu Bakar Yahya Ibn Yusuf Ibn Tashfin selama 20 tahun (Madjid Fakhry, A History of Muslim Philoshopy, terj. Muliadi Kartanegara [Jakarta: Pustaka Jaya, 1998], h. 397), sampai pada akhirnya beliau menutup usia disana pada tahun 533 H/1138 M.

Selain itu, jika kita menoleh pemikiran Ibn Bajjah maka kita akan disuguhkan dengan beberapa pembahasan, dan berikut ulasannya

1. Metafisika (Ketuhanan)
Adapula pemikiran Ibn Bajjah tekait al maujudat (segala yang ada) dibaginya atas dua bentuk yakni antara yang bergerak dan tidak bergerak.

Yang bergerak adalah materi yang sifatnya terbatas (finite) yang merupakan Jisim (Materi), gerak ini terjadi dari perbuatan yang menggerakkan terhadap yang digerakkan. Gerakan ini tentunya digerakkan pula oleh gerakan yang lain, yang pada akhirnya rentetan gerakan ini digerakkan oleh penggerak yang tidak bergerak.

Yang tidak bergerak disini maksudnya ialah mengarah pada sesuatu yang tidak berubah (berbeda dengan jisim/materi) dan bersifat Azali, Ibn Bajjah menyebutnya dengan ‘aql.

‘aql inilah yang disebut dengan Allah (‘aql, ‘aqil dan ma’qul), sebagaimana yang dikemukakan oleh Al Farabi dan Ibn Sina. Sehingga berangkat dari sini, Ibnu Bajjah beranggapan bahwasanya Allah adalah Azali dan gerakkannya tidak terbatas.

2. Materi dan Bentuk
Pada pemikiran ini, Ibn Bajjah beranggapan bahwasanya Materi (al Hayula) tidak mungkin bereksistensi tanpa bentuk (al Shurat). Sedangkan dalam memahami bentuk, bagi Ibn Bajjah bentuk hanya bisa ditangkap dengan akal dan bukan dengan panca indera. Yang dimana pada bentuk pertamanya ialah suatu bentuk abstrak yang bereksistensi dalam materi dan dikatakannya sebagai tidak mempunyai bentuk.

3. Jiwa
Membahas terkait jiwa, pastilah setiap manusia memiliki jiwa begitu pun yang dikatakan oleh Ibn Bajjah, yang dimana jiwa tersebut tidak mengalami perubahan sebagaimana dengan jasamani. Dikatakan pula bahwasanya jiwa adalah jauhar rohani, akan kekal setelah mati. Dan di akhirat jiwalah yang akan menerima pembalasan, baik balasan kesenangan (surga) maupun balasan siksaan (neraka).

4. Akal dan Ma’rifah
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwasanya akal adalah sesuatu yang paling penting dalam melengkapi diri manusia itu, karena dengannyalah maka manusia akan mengetahui segala sesuatu itu. Terkait akal, Ibn Bajjah membaginya menjadi dua bentuk

Akal Teoritis, yakni hanya bisa diperoleh berdasarkan pemahaman terhadap sesuatu yang konkret atau abstrak.
Akal Praksis, yakni akal yang diperoleh melalui penyelidikan sehingga menemukan pengetahuan.
Sehingga dari pengetian diatas dapat disimpulkan bahwasanya pengetahuan diperoleh dengan dua jenis yakni, ada yang memerlukan pemahaman dan penghayatan dan adapula yang tidak membutuhkan penghayatan namun memerlukan eksperimen atau penyelidikan sehingga menguatkan dari pengetahuan itu.

Sedangkan dalam mencapai tingkat Ma’rifah, Ibn Bajjah beranggapan bahwa puncak dari ma’rifat ialah jika ia telah dapat terlepas dari sifat kerendahan dan keburukan keburukan masyarakat, serta dapat memakai kekuatan pikirannya demi memperoleh ma’rifat dan ilmu sebesar mungkin.

5. Akhlak
Dalam hal ini, Ibn Bajjah membaginya atas dua bentuk yakni perbuatan manusiawi yang didasari dengan perbuatan rasio dan kemauan yang bersih lagi luhur, dan adapula perbuatan hewani yang didasari oleh dorongan naluri demi memenuhi kebutuhan dan keinginan hawa nafsu.

Sehingga dari sini, menurut Ibn Bajjah selayaknya manusia melakukan perbuatannya seusai dengan akal atau untuk memuaskan akal, dan dari perbuatan inilah yang disebut dengan perbuatan Ilahy. Dan tentu ini sudah menjadi keutamaan karena secara tidak langsung jiwa telah menekan keinginan jiwa hewani yang selalu menentangnya.

6. Politik
Pandangannya terkait dunia politik, Ibn Bajjah dipengaruhi oleh pandangan politik Al- Farabi. Sebagaimana Al-Farabi, dalam buku Ara’ Ahl al Madinat al-Fadhilat.

Meskipun dianggap memiliki pandangan yang sama terkait dunia politik itu, rupanya tidak menjamin bahwa semua pandangan politik dari Ibn Bajjah benar benar ikut dengan pandangan Al Farabi.

Dan kita bisa lihat pada titik penekanan masing masing yang rupanya tidak sama dalam dunia pemerintahan. Dimana Al Farabi titik tekannya pada kepala negara, sedangkan Ibn Bajjah titik tekannya pada warga negara (masyarakat).

7. Manusia penyendiri
Manusia penyendiri merupakan filsafat Ibn Bajjah yang cukup populer, dan pemikiran ini termuat dalam Kitab Tadbir al-Mutawahhid.

Jika lafal Tadbir yang berasal dari bahasa Arab yang berartikan mengatur perbuatan perbuatan untuk mencapai tujuan yang diinginkan atau dengan kata lain aturan yang sempurna.

Maka tak salah jika dikatakan bahwa al tadbir ini hanya dapat dilakukan oleh manusia. Karena faktanya hanya akal lah kita bisa melakukan perbuatan perbuatan yang mengarah pada tujuan yang telah direncanakan sebelumnya.

Sedangkan istilah al-Mutawahhid ialah ditujukan pada manusia penyendiri, yakni dengan cara mengasingkan diri dan tidak berhubungan dengan orang lain.

Namun yang perlu diklarifikasi dalam hal ini ialah menurut Ibn Bajjah seorang filsof yang hidup pada suatu negara yang tidak sempurna, maka tentu mereka harus mengasingkan diri dari perbuatan sekelilingnya yang tidak baik/ buruk itu. Mereka cukup berhubungan dengan orang orang yang memang memiliki sifat dan sikap yang baik dalam bermasyarakat.

Oleh Nonna, Mahasiswa UIN Alauddin Makassar, Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.
Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org
Read More