TARBIYAH ONLINE: Tasawuf

Fiqh

Tampilkan postingan dengan label Tasawuf. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tasawuf. Tampilkan semua postingan

Minggu, 12 Mei 2024

Download Buku Bencana Ilmu, Abu Abdillah Muhammad Ruslan

Mei 12, 2024



Download | Pintu masuk setan dalam perbuatan berbeda-beda tergantung kadar keutamaan dan kadar buah yang dihasilkannya. Pintu-pintu masuk setan dalam ilmu terlalu banyak untuk dihitung dan terlalu mendalam untuk dikaji secara mendetail. Sebab, ilmu adalah amalan paling utama secara keseluruhan.


Al-Ghazali dalam Ihya, mengatakan, “Hal yang paling agung derajatnya bagi umat manusia adalah kebahagiaan abadi, dan perkara yang paling utama ialah sarana menuju kebahagiaan abadi itu. Sementara kebahagiaan tersebut tidak akan dicapai kecuali dengan ilmu dan amal shalih, dan amal itu sendiri tidak bisa dikerjakan kecuali dengan mengetahui tata cara pelaksanaannya. Pokok kebahagiaan di dunia dan akhirat adalah ilmu. Jadi, ilmu adalah amalan yang paling utama."


Dengan demikian, jalan ilmu itu diliputi dengan hal-hal yang tidak disukai dan berbagai kesulitan. Pintu-pintu masuk setan di dalamnya jumlahnya hanya dapat dihitung oleh Allah. Di antara pintu-pintu tersebut, ada yang untuk merusak ilmu itu sendiri pada diri pemiliknya, ada yang untuk merusak tujuan dan niatnya, dan ada pula yang untuk merusak jalan pencariannya. Orang yang selamat ialah siapa yang dipelihara oleh Allah. 


Karena itu, seorang penuntut ilmu seyogyanya mempelajari berbagai penyakit yang menimpa ilmu lalu merusaknya, merusak jalan pencarian ilmu terhadap penuntutnya, atau merusak niatnya. Sehingga tidak ada sedikit pun dari penyakit-penyakit itu yang mendekati ilmu tersebut.


Sebenarnya, banyak dari penyakit-penyakit ilmu ini yang sudah diperingatkan oleh syariat supaya dijauhi, dan agama telah menanamkan kebencian terhadapnya secara mutlak. Peringatan syariat terhadapnya semakin keras, dan agama semsikin menanamkan kebencian terhadapnya, pada saat suatu penyakit telah melekat pada ilmu tersebut. 


Karena ilmu sejati adalah ilmu berkenaan dengan agama Allah, Rabb sekalian makhluk. Ilmu adalah benteng dari berbagai penyakit ini; lantas bagaimana jadinya bila ilmu itu sendiri menjadi penyakit? Ilmu adalah benteng yang menghalangi seseorang terjerumus dalam berbagai keinginan nafsu; lantas bagaimana jika ilmu tersebut dijadikan kendaraan untuk memperoleh bencana? 


Saudaraku seiman, disini akan kami kemukakan kepada Anda sebagian penyakit tersebut dan sejumlah riwayat yang menyebutkan tentang peringatan agar berwaspada terhadapnya, dan memalingkan darinya. Penulis memohon kepada Allah dengan perantaraan Asma’- Nya yang indah dan sifat-sifat Nya yang mulia, agar mensucikan diri kita dari penyakit-penyakit tersebut, baik lahir maupun batin, yang tampak maupun yang tersembunyi. Allah Maha Penolong atas hal itu, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.

Download

Read More

Rabu, 24 April 2024

Download Buku Bahagia Tanpa Jeda, Mencerdaskan Jiwa Cara Sufi

April 24, 2024




Download | Kebahagiaan atau kedamaian diperoleh karena adanya keselarasan. Ketidaktenangan, sebaliknya, muncul akibat ketaksesuaian; antara harapan dan kenyataan, antara diri dan lingkungan, atau antara hati, kata, dan perbuatan. Maka, untuk bisa bahagia, kita perlu membuat segalanya serasi dan sejalan satu sama lain. Tipsnya: jangan terikat oleh keinginan. Semakin kita terbelenggu oleh keinginan, semakin besar peluang kita untuk menjumpai ketidakselarasan dan, karenanya, merasakan kepedihan.

Buku ini memandu pembaca memahami segi-segi terdalam dan hakiki dari kehidupan. Pikiran kita dibuka, kesadaran kita disentak. Penulis berhasil membeberkan rahasia di balik kecenderungan serta perilaku hidup manusia, dan akhirnya merekomendasikan pentingnya keberserahan diri dan pengamalan Islam sebagai "Jalan".

Download



Read More

Senin, 19 September 2022

Filsafat; Ilmu atau Pendapat Para Filsuf yang Bermasalah

September 19, 2022


Tarbiyah Online - Salah satu sebab kenapa ulama melarang pembelajaran filsafat adalah karena buku-buku filsafat yang lebih cenderung menjelaskan pendapat para filsuf, sehingga dalam pembelajar tersebut sangat sulit membedakan mana filsafat murni yang dibahas sebagai ilmu dan mana mazhab filsafat yang merupakan pendapat pribadi para filsuf ketika melihat hakikat sesuatu. 


Hal ini berlangsung sampai datangnya Imam ar-Razy yang mulai mentanqih ilmu filsafat, sehingga kita pun dengan mudah dapat membedakan antara pembahasan filsafat murni dan pendapat kelompok filsuf dalam pembahasan itu. Makanya, setelah era ar-Razy kitab-kitab filsafat mulai diajarkan dalam dunia Islam tanpa perlu khawatir lagi terhadap murid yang mempelajarinya akan mudah terpengaruh dengan pendapat para filsuf. Karena mereka sudah lebih dahulu diajarkan alat-alat untuk mentanqih sendiri mana filsafat yang diajarkan sebagai ilmu dan mana yang dipelajari sebagai pendapat.


Ada beberapa kitab populer yang mendapat khidmah besar di dunia Islam, karena sering dijadikan kurikulum untuk membuka kunci ilmu filsafat, di antaranya Hidayah Atsiriyah  dan al-Hikmahnya al-Katiby. Kitab-kitab ini diajarkan secara berjenjang, jadi, thalib memang beneran bisa memahaminya. Makanya jangan heran, ketika filsafat Barat menyebar ke seluruh dunia melalui imperialisme di abad 19 M, yang paling sedikit terkena dampak pemikiran adalah dunia Islam dan madrasah-madrasah Islam yang waktu itu menjadikan filsafat sebagai kurikulum pendidikan.


Padahal waktu itu, sebagian dunia malah seperti mensucikan filsafat orang Barat, dan itu terjadi di mana saja, seperti di negara-negara Asia Timur, Anak Benua, Afrika Barat, Latin, Eropa Timur, dst. Bahkan para intelektual di sana menganggap itulah puncak ilmu pengetahuan, sehingga perjuangan-perjuangan kebebasan ala liberal, kesetaraan ala komunis atau sosialis, dll, menyebar di kalangan intelektual di seluruh dunia, bahkan ada yang rela mati untuk nilai-nilai itu. 


Di dunia Islam tentu saja ada yang terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran itu, tapi mereka yang terpengaruh kebanyakannya adalah orang-orang yang sebelumnya tidak pernah mempelajari filsafat yang sudah ditanqih. Sedangkan ulama yang sudah mempelajari filsafat secara berjenjang, mereka biasa saja melihat pemikiran-pemikiran itu, sama sekali tidak silau. Mereka mampu memilah mana yang benar dan mana yang salah, sebagian bahkan mengkonternya. Hal yang demikian sering terjadi, kita bisa membaca kisah-kisah perdebatan para ulama terhadap filsafat Barat, seperti perdebatan ulama al-Azhar ketika masa penjajahan prancis misalnya.


Tentu saja kita sedang membicarakan para ulama Mutakalimin yang mengkonternya setelah memahami mazhab yang dihadapinya tersebut. Bukan seperti sebagian dai yang mengkonter hanya dengan modal doktrin dan fanatisme terhadap perbedaan akidah, biasanya mereka mengkonter narasi pemikiran filsafat dengan retorika, di mana retorika -apalagi jika dilakukan oleh yang bukan ahli- seringkali tidak memakai argumen akal yang kuat, walaupun mampu mempengaruhi pemikiran pendengar, tapi nilai ilmiahnya sering berkurang.


Tentunya berbeda dengan para Mutakalimin seperti Asyraf Ali Tahanawi, Mustafa Shabry, dll, yang merupakan spesialis ilmu akliyat (logika). Mereka berhasil menjawab narasi mazhab yang disebarkan Barat dengan argumen logis yang kuat, sebagaimana ar-Razy dulu menjawabnya, dan sampai sekarang hujjah dan argumen mereka masih susah dilihat celah fallacynya. Kenapa mereka mampu? Karena mereka memahami apa yang dibicarakan, itu memang spesialis para Mutakalimin.


Mereka benar-benar menguasai ilmunya, ilmu yang sudah ditanqih, dipelajari secara berjenjang dan dipersiapkan memang agar mampu menghadapi segala aliran pemikiran baru secara ilmiah, tanpa perlu mengandalkan emosi. Hal ini disebabkan karena mereka sudah tahu apa itu filsafat, tahu cara kerjanya, tahu mana filsafat sebagai ilmu dan sebagai pendapat, mengetahui celah pendapat jika melihat fallacy atau kesalahan berpikir dalam suatu tesis atau argumen pada sebuah teori.


Karena, mereka begitu mengerti tentang tabiat filsafat, sampai ada perumpamaan masyhur di kalangan mereka. Ilmu filsafat diibaratkan sebagai lautan, lautan yang berbeda dengan lautan lainnya, di mana lautan filsafat itu pinggirnya dalam dan sering membuat orang tenggelam, tapi tengahnya dangkal dan bisa menjadi tempat rekreasi seperti pantai, jadi filsafat itu tidak bisa dinikmati saat kita berada di pantainya. Makanya, kalau mau menikmati filsafat, kita harus lebih dulu mempersiapkan sekoci penolong melalui kitab-kitab munaqahah, sehingga kita bisa mencapai tengah lautan dan berekreasi di sana, di pantai tengah laut.


Jadi, teman-teman yang mau mempelajari filsafat, tidak perlu terburu-buru mencobanya, kadang gak penting juga dipelajari, karena gak semua orang membutuhkannya. Kita bisa hidup dan berfilsafat tanpa perlu mempelajari dan membacanya, karena dalam menjalani hidup sehari-hari sebenarnya kita sudah berfilsafat. Adapun jika memang harus mempelajarinya, pasti karena ada kaitan dengan spesialisasi ilmu, seperti karena kita masuk jurusan ilmu sosial atau jurusan hukum, politik, dll, atau karena beberapa pembahasan sains yang membutuhkan filsafat sebagai landasan argumen keilmuan yang logis, atau karena harus mengurus negara. 


Atau karena masuk jurusan ilmu agama, dll, di mana kadang membutuhkan ilmu filsafat sebagai landasan keilmuan dan argumen, agar mampu membuktikan keilmiahan suatu dakwa. Jika memang harus mempelajarinya, maka pelajarilah secara berjenjang melalui buku-buku yang sudah ditanqih. Insyaallah, kita bisa berpikir filosofis atau bisa berfilsafat tanpa harus terpengaruh dengan pemikiran para filsuf yang sebenarnya cuma hasil buah pikir manusia. Walaupun mereka manusia pintar, tapi tetap saja manusia yang bisa salah dan yang tidak perlu diikuti mentah-mentah, apalagi sampai mempertahankannya mati-matian. Biasa saja lah. Wallahualam.


Oleh: Ustad Fauzan Inzaghi

Read More

Minggu, 18 September 2022

"Pembunuh Filsafat" Imam Al Ghazali Mengharamkan Filsafat

September 18, 2022


Tarbiyah Online - Imam Ghazali tidak pernah anti filsafat, yang beliau bantah adalah aliran pemikiran dalam filsafat, alias pemikiran seorang tentang beberapa permasalahan yang dibahas dalam ilmu filsafat. Karena filsafat hanyalah sebuah ilmu dan sebuah disiplin ilmu tidak mungkin dibantah. Membantah filsafat sama dengan membantah matematika sebagai sebuah ilmu, itu konyol untuk dilakukan, yang mungkin dilakukan hanyalah membantah kesalahan seorang dalam menjelaskan ilmu tersebut dan inilah yang dilakukan oleh ulama-ulama kita. 


Lalu, kenapa sebagian ulama ada yang melarang kita membaca buku filsafat? Ada banyak alasan untuk itu:


Pertama, ada banyak ilmu lain yang lebih penting bagi seorang muslim untuk dipelajari sebagai fardhu ain dibanding dengan ilmu filsafat, jadi memilih mana yang lebih prioritas dan bermanfaat bagi kehidupan kita terlebih dahulu. Jangan sampai, gara-gara masalah fardhu kifayah kita melupakan fardhu ain, jangan sampai gara-gara yang sunnah kita melupakan yang wajib. Jadi, 𝘢𝘸𝘭𝘢 𝘧𝘢 𝘢𝘸𝘭𝘢, yang terbaik dalam masalah ini adalah spesialisasi.


Kedua, ilmu filsafat itu ilmu yang detail dan rumit, di mana tujuan kita mempelajarinya untuk mengetahui hakikat sesuatu, jadi butuh beberapa alat untuk bisa memahaminya dengan benar. Sering kali thalibul ilmi ingin mempelajari filsafat tanpa alat yang memadai, karena ingin buru-buru memahaminya, akhirnya dia tidak bisa memahami filsafat dengan benar, yang ada dia hanya menjadi pembebek pendapat para filsuf tanpa nalar kritis. Kenapa? Karena dia tidak mempunyai alat yang memadai, paham filsafat enggak, ujung-ujungnya malah nyasar.


Ketiga, kurikulum atau buku filsafat biasanya ditulis dengan mazhab filsafat tertentu atau perbandingan antar mazhab filsafat. Tentu ini akan menjadi bumerang bagi murid yang belum bisa membedakan mana filsafat sebagai ilmu dan mana pendapat para filsuf. Di beberapa masa, jarang ada buku filsafat yang ditulis dengan membedakan mana pendapat filsuf dan mana ilmu filsafat murni, keadaan ini ditakutkan akan membuat murid kebingungan. Tak jarang si murid tersesat dari akidah yang benar dan malah mengikuti pendapat filsuf, itu akan menjadi masalah baru.


Nah, karena kurangnya buku seperti itu dan  rumit pula dalam mempelajarinya sebab perlunya alat berjenjang untuk memahami filsafat, maka sebagian para ulama berpendapat sebaiknya diharamkan saja membaca dan mempelajari buku filsafat bagi para murid, kecuali bagi yang sudah mempunyai dasar keilmuwan yang kuat. Masalahnya lagi, jika dikatakan demikian, banyak pula murid yang menganggap bahwa dirinya sudah memiliki dasar yang kuat, padahal belum. Maka dari itu, para ulama memutuskan bahwa lebih baik mengharamkannya secara keras.


Tapi pada masa mutaakhirin, saat para ulama mulai membersihkan kitab-kitab dasar (muqarar) filsafat dari pendapat filsuf, akhirnya para ulama punya solusi dan alternatif. Jangankan dibolehkan, bahkan kitab filsafat seperti al-Hidayah malah diajarkan dan dimasukan dalam kurikulum, sehingga setelah itu, para murid dibebaskan saja untuk membaca dan mempelajari filsafat semaunya. Karena kurikulum yang ada berhasil mencetak mereka untuk siap dalam membaca buku filsafat serta membahas permasalahannya, dan itu yang terjadi di era mutaakhirin sampai sekarang.


Jadi, apakah ulama Islam melarang filsafat? Jawabannya, ya dan tidak? Jika dilihat kembali, ulama-ulama yang ketat dalam hukum belajar filsafat pasti berasal dari daerah yang dalam kurikulum madrasahnya tidak ada pelajaran kitab-kitab filsafat yang ditulis oleh ulama kita seperti al-Hidayah. Dan, jika melihat kepada ulama yang membolehkannya, kebanyakan mereka berasal dari daerah di mana kitab seperti al-Hidayah dijadikan kurikulum. Jadi, murid lebih siap dalam mempelajarinya.


Apalagi ulama-ulama ilmu kalam seperti Imam al-Ghazali, ar-Razi dan imam-imam lain, mereka tidak anti filsafat. Jika mereka membantah, maka mereka sedang membantah pendapat para filsuf dengan ilmu alat yang menjadi timbangan ilmiyah, makanya nama kitabnya Tahafut Falasifah, bukan Tahafut Falsafah. Karena, sekali lagi, yang namanya ilmu tidak mungkin bisa dibantah. Jadi salah besar jika mengatakan Madrasah Sunniyah membuat ilmu filsafat mati, yang mati adalah hujjah para filsuf, karena hujjahnya lemah, sehingga dia tidak mampu bertahan. 


Lagian kita mau tanya, tanpa Imam Ghazali dan Imam Razi, apakah buku Ibnu Sina atau al-Farabi yang menjadi penghubung antara filsafat Yunani dan filsafat modern bisa bertahan dan bisa dipahami? Bacalah sejarah filsafat Islam, kita akan menemukan apa yang telah dilakukan dua imam besar ini.


Oleh: Fauzan Inzaghi


Read More

Sabtu, 17 September 2022

Jangan Buru-Buru Menyelesaikan Masalah Umat, Bahaya!

September 17, 2022


Tarbiyah Online - Sebagian 𝘵𝘩𝘢𝘭𝘪𝘣 𝘪𝘭𝘮, terlalu fokus pada kampanye mengajarkan agama Islam yang bisa menyelesaikan problematika umat di era modern, bahkan sampai di level dia tidak lagi fokus pada apa yang semestinya ia lakukan sebagai seorang 𝘵𝘩𝘢𝘭𝘪𝘣 𝘪𝘭𝘮. Dia sibuk pada sesuatu yang bukan tugasnya. Akhirnya masalah tidak terselesaikan, kemampuan dasar keilmuwan pun tidak terbentuk.


Dia mulai membaca dan membahas permasalahan modern, mulai dari atheisme, takfiry, mujasimah, Islam politik, islamisasi pendidikan, persatuan umat, kontekstualisasi hukum, pluralisme, rafidhah, worldview Islam dalam ilmu pengetahuan, dll, yang intinya masalah yang dihadapi umat hari ini, dengan alasan ingin memahami masalah dan menyelesaikannya.


Salah satu sebabnya, dia mempunyai senior, guru atau ulama yang mampu menyampaikan ajaran Islam yang relevan untuk permasalahan hari ini, jadi dia ingin menjadi seperti mereka. Ingin jadi seperti mereka baik, tapi jangan sampai semangat membaca dan membahas masalah itu membuat 𝘵𝘩𝘢𝘭𝘪𝘣 𝘪𝘭𝘮 melupakan kewajiban utamanya. Apa itu? Asas atau dasar ilmu Islam!!


Tanpa dasar keilmuwan yang baik, kita tidak akan bisa memahami suatu permasalahan dengan baik secara islami. Lah, bagaimana caranya kita mau memahami pandangan Islam pada suatu permasalahan dengan benar, kita sendiri tidak menguasai dasar ajaran dan ilmu keislaman itu sendiri!!


Akibatnya apa? Kita menjawab permasalahan itu bukan sesuai dengan ajaran Islam, tapi sesuai dengan logika kita sendiri. Lebih bahayanya lagi, kita mempercayai logika itu sebagai ajaran Islam, dan saat kita menyampaikannya pada orang lain, kita mengatakan bahwa inilah ajaran Islam. Apanya yang ajaran Islam? kita bahkan tidak menguasai keilmuwan Islam!! Apalagi jika itu disampaikan oleh orang pandai berbicara, tentunya akan makin celaka dan mencelakakan. Adakah penipuan atas dasar Islam lebih besar dari ini?


Jadi solusinya apa? Ada dua. Pertama, katakanlah itu pendapat Anda pribadi, jadi seluruh pengikut mazhab berlepas dari Anda. Jadi, Anda hanya menjadi teman diskusi, tanpa berbaju mereka dari segi keilmuwan. Maka tidak ada penipuan terhadap awam di sini, karena Anda jujur kalau itu pendapat pribadi Anda, bukan ajaran yang ingin dipahami oleh umat atau 𝘴𝘢𝘸𝘢𝘥𝘶𝘭 𝘢'𝘻𝘢𝘮 dari umat Islam. Anda telah jujur secara ilmiyah dan tidak melakukan penipuan pada umat di sini. Masalah kemudian diterima atau tidak, itu urusan umat, yang penting Anda tidak melakukan penipuan.


Kedua, belajarlah dari dasar dengan berjenjang, sebagaimana ulama umat selama ini belajar, sehingga Anda memahami betul ajaran seperti apa yang dibawa oleh ulama kita dan ajaran seperti apa yang selama ini diterima umat. Dengan memahami itu, ketika berbicara - selama Anda iltizam dengan pandangan itu - maka Anda bisa mengatakan inilah pandangan Islam berdasarkan ajaran ulama yang selama ini diikuti umat pada permasalahan tertentu. Dengan begitu, kita telah jujur secara ilmiah.


Dan percayalah, itulah jalan yang ditempuh para ulama umat, para ustadz, para senior Anda yang menguasai ilmu agama dalam menjelaskan permasalahan kontemporer. Jadi, ketika pandangan Islam pada sebuah permasalahan aktual, itu beneran berdasarkan manhajnya para ulama, sehingga tidak bertentangan dengan apa yang selama ini umat yakini dan ikuti sebagai ajaran Islam.


Jadi, agar tetap relevan dan tidak keluar dari rel keilmuwan ulama, yang harus dilakukan adalah fokus lebih dahulu pada penguasaan ilmu dasar keislaman dengan menguasai kitab-kitab mu'tamad, seperti  Ushul Baidhawi, Akidah Sanusy, Mustalah Ibnu Salah, Itqan Suyuthi, dst. Itulah jalur yang benar. Tanpa menguasainya, maka jawaban Anda hanya akan menganggu tugas ulama, walaupun Anda berniat baik membantu mereka.


Setelah menguasai itu, baru mulai membaca dan mempelajari masalah kontemporer. Dengan begitu, kita bisa memahami bagaimana pandangan Islam yang dipahami ulama dalam menghadapi permasalahan kontemporer. Kalau tidak percaya, lihatlah betapa banyak orang yang selama ini mempunyai niat baik membantu ulama, malah jadi masalah baru bagi ulama. Dia bercita-cita tinggi, tapi sampai tua dia tidak pernah menjadi ulama


Kenapa seperti itu? Karena cara dia melihat permasalahan, selalu berkutat pada polemik, bukan pada inti masalah. Sebab apa? Dia tidak pernah belajar secara berjenjang, selamanya pandangan agama seperti itu akan jadi masalah bagi umat dan tidak akan pernah jadi solusi. Oh, jalan berjenjang ulama sulit? Ya, memang sudah seperti itu jalan keilmuwan, tidak ada yang mudah.


Lakukan saja tugas sesuai kewajibanmu, masalah rumit serahkan pada ahlinya. Ada waktunya bagimu untuk ikut bergabung dan membantu. Jangan terburu-buru menyelesaikan masalah umat, jika tidak, malah nambah masalah baru. Kita sudah cukup pusing dengan permasalahan yang ada, sekarang malah ditambah kamu. Tak selamanya niat baik menghasilkan yang baik, semua ada caranya kok. Wallahu a'lam.


Oleh: Ustad Fauzan Inzaghi

Read More

Rabu, 07 Oktober 2020

Bahaya Lisan Menurut Imām al-Ghazali dalam Kitab al-Arba‘in Fī Ushuliddīn

Oktober 07, 2020

Tasawuf | Pada hakikatnya manusia diciptakan dalam keadaan fitrah, namun banyaknya perbuatan-perbuatan yang dapat membuat hati kotor, dengan banyaknya pergaulan dalam kehidupan dapat menjurumuskan kita dalam sifat ria, iri dan dengki, Imam Ghazali berpendapat bahwa dengan banyak nya pergaulan akan menjdi pemicu hati kotor, namun perlu dipahami bahwa pergaulan disini berbeda halnya dengan pergaulan bersama alim Ulama, yang mana jika dalam perkumpulan itu terdapat majlis ilmu.


Hati yang kotor salah satunya disebabkan oleh lemah nya iman, terutama diakibatkan oleh lisan, karena lisan seperti pedang, disini dapat dilihat betapa bahayanya lisan ketika berbicara, kebohongan-kebohongan yang diucapkan oleh lisan serta mengunjing orang lain atau ghibah yang berasal dari lisan.


Sebagaimana Allah berfirman dalam surat, al-Nisa ayat 114 sebagai berikut.


 لَا خَيْرَ فِيْ كَثِيْرٍ مِّنْ نَّجْوٰىهُمْ اِلَّا مَنْ اَمَرَ بِصَدَقَةٍ اَوْ مَعْرُوْفٍ اَوْ اِصْلَاحٍۢ بَيْنَ النَّاسِۗ وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ ابْتِغَاۤءَ مَرْضَاتِ اللّٰهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيْهِ اَجْرًا عَظِيْمًا

Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Barangsiapa berbuat demikian karena mencari keridaan Allah, maka kelak Kami akan memberinya pahala yang besar.


Menurut Imam al-Ghazali dalam Kitab Arba’in fi Ushul al-Din Yang dimaksud adalah janganlah berbicara jika tidak bermanfaat, dan bicarakanlah pada hal-hal yang penting, maka akan mendapat keselamatan, selanjutnya, keteuhilah perkara bencana yang menimbulkan dosa ialah : berbohong, ghibah, ingin dipuji dan banyak bercanda. Maka tidak lepas seorang hamba yang berbohong dan berusaha untuk terus berbohong sampai Allah akan menetapkan dirinya sebagai seorang pembohong, bahwa berbohong itu haram dalam segala perkara, kecuali dalam keadaan darurat, sebagaimana seorang wanita kepada anak kecil.


Namun terdapat keringanan apabila berbohong itu lebih baik daripada jujur seperti dalam perkara dibolehkan bagi sesorang yang apabila meninggalkan perkara itu akan mendapatkan perkara yang bahaya akan datang apabila tidak melakukannya seperti memakan bangkai, sebagaimana dikatakan oleh Ummu Kultsum r.a, Rasulullah SAW tidak memberikan keringanan dalam kebohongan kecuali tida perkara:

– Seseorang yang berkata dalam maksud kebaikan

– Seseorang yang berkata dalam peperangan, disini dapat digaris bawahi disini guna melindungi seseorang dari lawan

– Dan seorang suami yang berbicara kepada istri (berkata baik kepada istri agar tidak menyakiti hatinya).


Menurut Imam Ghazali, ghibah secara istilah berarti tidak hanya melakukan pengungkapan aib seseorang secara lisan, melainkan termasuk pula pengungkapan melalui perbuatan, seperti melalui isyarat tangan, mata, tulisan, cerita dan sebagainya yang dapat dimengerti maksudnya. Di antara aib tersebut adalah kekurangan seseorang pada tubuh, keturunan, akhlak, perbuatan, ucapan, agama, pakaian, tempat tinggal,kendaraan, dan lain sebagainya, begitupulah dengan seseorang yang mendengarkan ghibah yang terkadang tampak jelas menyukai dari perkatan seorang yang ghibah sampai bertambah semangatnya dalam ghibah (Imam al-Ghazali Kitab al-Arba’in Fi Ushul al-Din Beyrut hlm.84-85)


Akibat dari ghibah ialah dapat melukai hati seseorang, menimbulkan permusuhan, mengacaukan hubungan kemasyarakatan, dan memunculkan rasa saling curiga, berbagai potensi dampak ini kemudian mendorong Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa terkait gosip atau gibah di media social (Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 24 Tahun 2017, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hlm. 1-20) adanya fatwa dari lembaga Majelis Ulama Indonesia tidak lantas menghentikan perilaku masyarakat dalam bergosip baik melalui media sosial maupun secara langsung. Membicarakan keburukan sesama manusia seolah telah menjadi sebuah kewajaran di masa kini dengan adanya tayangan-tayangan yang menyajikan acara gossip, Sebagaimana dalam surat al-Hujurat ayat 12.


يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ


Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.


Sama halnya dengan pendapat Yusuf Al Qardhawi mengharamkan ghibah Karena ghibah merupakan perbuatan yang menunjukan kelicikan Ini menunjukan kelicikannya, sebab sama dengan menusuk dari belakang, sikap semacam ini salah satu bentuk daripada penghancuran. Sebab pengumpatan ini berarti melawan orang yang tidak berdaya. Ghibah disebut juga suatu ajakan merusak, sebab sedikit sekali orang yang lidahnya dapat selamat dari cela dan cerca (Yusuf Al Qardhawi, Al Halal Wa al Haram Fi al Islam, hal. 305).

Namun dalam beberapa hal tertentu, ada bentuk ghibah yang wajib untuk di lakukan, seperti hal nya menggungkapkan keburukan orang lain saat menjadi saksi di pengadilan. Namun dalam hal ini penulis tidak membahas mengenai tentang kewajiban seorang saksi.


Oleh Ulfah Nur Azizah, Mahasiswi Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Pegiat Kajian Keislaman dan Al-Qur'an, dan Muballigh Koordinasi Dakwah Islam DKI Jakarta.


Artikel ini telah tayang di situs Harakatuna pada September lalu.

Read More

Kamis, 02 Juli 2020

4 Hal Yang Membuat Ilmu Hilang Berkah dan Tidak Bermanfaat

Juli 02, 2020

Tasawuf | Mencari ilmu bagi orang Islam hukumnya adalah wajib. Hal ini ditegaskan melalui sabda Nabi Muhammad yang berbunyi “Mencari ilmu merupakan kewajiban bagi orang Islam baik laki-laki maupun perempuan”.


Banyak sekali keistimewaan para pencari Ilmu, dalam Al-Quran sendiri disebutkan bahwa Allah akan mengangkat derajat orang yang berilmu. Karena keistimewaan ini, bahkan orang Islam sangat dianjurkan untuk mencari ilmu walaupun harus sampai ke Negeri China, begitulah sabda Nabi Muhammad.


Para mencari ilmu selalu berharap kepada Allah SWT semoga ilmu yang didapatkan akan bermanfaat baik untuk dirinya, agamanya, bangsanya, negaranya dan masyarakat tentunya. Seorang bijak bestari yang juga merupakan kekasih Allah, Syeikh Abu Hasan As-Syadzili menyatakan tidak akan bermanfaat ilmu seseorang selama masih dibarengi dengan empat hal, yaitu:


1. Cinta Dunia

Cinta dunia merupakan pangkal dari segala kerusakan yang ada di dunia ini, Nabi Muhammad bersabda

حب الدنيا رأس كل خطيئة

Artinya: “Cinta dunia merupakan pangkal dari kerusakan dan kesalahan”. [HR. Baihaki].


Orang yang sudah cinta dunia biasanya dan kebanyakan akan lupa kepada kehidupan akhirat. Mereka yang sudah terlenakan dengan cinta dunia akan terus menerus mengejar dunia. Mereka menyangka bahwa harta dunia bisa membuatnya abadi, padahal tidak, justru harta benda akan menghancurkannya seperti kisah Qorun.


Dalam Al-Quran sendiri orang telah cinta dunia akan terus mengejar harta benda dan yang bisa menghentikan semua itu adalah kematian. Padahal sebagaimana diketahui bahwa dunia adalah tempat sementara dan akhirat adalah tempat keabadian.


Dengan demikian orang yang masih memiliki sifat cinta dunia ilmu tidak akan bermanfaat karena ilmu yang dimiliki akan kalah dengan godaan dunia berupa uang pangkat dan jabatan.


2. Lupa Kehidupan Akhirat.

Ilmu yang dimiliki seseorang tidak akan bermanfaat apabila dalam hatinya ada rasa lalai terhadap kehidupan akhirat. Lupa terhadap akhirat ini diawali dengan rasa cinta kepada dunia yang berlebihan.


Sejatinya hadirnya agama Islam di dunia ini selain untuk menyempurnakan ahlak juga untuk memberi tahu manusia akan kehidupan yang abadi. Sehingga orang yang hidup didunia ini bisa menahan untuk berbuat maksiat karena setiap hal yang dilakukan akan dimintai pertanggung jawaban.


3. Takut Akan Kemiskinan

Ilmu yang dimiliki seseorang juga tidak akan pernah bermanfaat apabila dalam dirinya juga bersemayan rasa takut akan kemiskinan. Pada umumnya orang yang takut miskin akan melakukan segala hal yang menjadikanya kaya. Ia tidak lagi mempedulikan lagi mana batasan halal dan haram dalam mencari rezeki. Padahal mencari harta yang halal adalah kewajiban bagi setiap orang Islam.


Jika telah demikian, bagiamana mungkin ilmunya akan bermanfaat apabila ia menerjang ketentuan-ketentuan yang telah diatur agama…?


4. Takut Kepada Manusia

Orang yang takut kepada manusia biasanya ilmunya juga tidak bermanfaat. Biasanya orang seperti ini akan tunduk kepada ketentuan-ketentuan manusia lainnya, sehingga ilmu yang dimilikinya akan kalah tunduk dengan ketentuan-ketentuan manusia.


Orang yang takut pada manusia sudah tentu akan melakukan sesuatu yang diridhoi oleh manusia. Padahal mencari ridho atau kesenangan manusia terhadap dirinya adalah hal yang mustahil.


Demikian empat hal yang apabila dimiliki oleh orang yang berilmu, ilmunya tidak akan pernah bermanfaat. Semoga Allah selalu memberkahi ilmu yang kita miliki dan menjauhkan dari empat hal ini, Amin.

Oleh Khalwani Ahmad, Pemerhati Sejarah Peradaban Islam Nusantara.

Artikel ini telah tayang di Harakatuna pada Juni lalu.

Read More

Minggu, 08 September 2019

Ternyata Ada Bahaya Besar Dibalik Kalimat "Jangan Merasa Sok Suci"

September 08, 2019

Tarbiyah.onlineSering mendapati kalimat "Jangan Merasa Paling Suci, Kita Cuma Berbeda Jalan Dalam Memilih Dosa…?“ atau "Jangan Merasa Sok Suci" ...?

Kalimat dalam status atau komentar para saudara kita begitu mengusik nalar dan menggelitik hati. Sadar atau tidak, opini dan timpalan kalimat seperti ini akan menggiring orang untuk tidak lagi merasa jijik dengan maksiat dan kasihan kepada pelaku maksiat.

Padahal dalam sebuah hadits disebutkan bahwa tanda serendah-rendah iman adalah merasa benci dengan maksiat dan pelakunya. Oleh karenanya, kalimat "JANGAN MERASA PALING SUCI" secara tidak langsung telah menabrak hadits.

Memang benar, ada ayat Al Qur an yang berbunyi:
لا تزكوا انفسكم هو أعلم بمن اتقى
Janganlah kamu menganggap dirimu suci, Dia lebih mengetahui siapa yang paling bertakwa (QS: An Najm: 32)

Sekilas, kalimat "JANGAN MERASA PALING SUCI" dalam status atau komentar saudara kita sesuai dengan bunyi ayat di atas. Namun ketika kembali direnungkan lebih jauh ternyata ada qarinah (indikator) lain yang menegaskan bahwa kalimat di atas justru telah fitalbis (dicampurkan antara haq dan batil) dengan licik.

Ayat diatas bermaksud agar orang muslim itu tidak 'ujub dengan kebaikan yang dilakukannya. Jangan mengatakan bahwa diri kita paling baik. Ayat ini difirmankan oleh ALLAH SWT yang kebenarannya tidak diragukan lagi dan tidak bercampur dengan kedustaan sedikitpun.

Sedangkan kalimat "JANGAN MERASA PALING SUCI" dalam status ini telah dicampur dengan "bangkai" yang berbunyi "KITA HANYA BERBEDA DALAM MEMILIH DOSA". Berarti kalimat "JANGAN MERASA PALING SUCI" ini diucapkan oleh pelaku dosa. Bayangkan bila semua pelaku dosa bebas mengucapkan seperti ini. Efek yang muncul begitu mengerikan. Misalnya:
1. Ada guru menghukum muridnya yang bandel dengan berdiri di depan kelas, lantas muridnya berkata "jangan merasa diri paling suci, kita hanya berbeda dalam memilih dosa".

2. Polisi syari'at (Wilayatul Hisbah/ WH) menegur pelaku perjudian dan wanita berpakaian ketat, lantas penjudi dan wanita itupun berkilah, "jangan merasa paling suci, kita hanya berbeda dalam memilih dosa".

3. Suami menegur istrinya agar jangan suka chatingan negatif sama non mahram, istri pun berujar, "jangan merasa paling suci, kita hanya berbeda dalam memilih dosa".

Bayangkan, betapa bahayanya pemikiran yang telah terjangkiti virus liberal tanpa batas ini. Semoga Allah menjaga kita semua dari virus liberal.

Wallahua'lam bishshawab.

Oleh: Mahfudh Muhammad Ahmad
Read More

Sabtu, 07 September 2019

Awas! Aswaja Dan Muhibbin Sufi Palsu: Guruku Lebih Mulia Daripada Sahabat Nabi

September 07, 2019

Tarbiyah.online - Sebuah fenomena baru dari sebagian orang yang mengaku ahlussunnah wal jamaah dan pencinta sufiyyin menganggap bahwa ajaran aswaja dalam menghormati dan mencintai sahabat nabi radhiyallahu 'anhum ajma'in hanya doktrin turunan belaka, bukan karena mereka pantas dihormati, melainkan gak enak sama guru mereka.

Sebenarnya dalam hati mereka ingin memaki Saiyidina Muawiyah radhiyallahu 'anh yang sepengatahuan mereka beliau itu seorang penjahat. Atau ingin menggunjingi Saiyidina Usman radhiyallahu 'anh dengan berbagai macam alasan, misal. Dan lagi, satu-satunya yang membuat mereka ngerem untuk melakukan itu adalah kembali karena gak enak sama doktrin guru.

Dimata mereka, Waliyullah selain daripada Sahabat Nabi itu jauh lebih mulia dibanding Sahabat Nabi, hanya saja mereka tidak berani mengungkapkan.

Hal ini tampak ketika mereka aka sangat marah jika guru mereka dikatakan salah, tapi untuk menyalahkan mawqif sahabat itu sangat mudah, tak jarang mereka menganggap maqam guru mereka lebih tinggi daripada sahabat alhabib radhiyallahu 'anhum ajma'in.

Mereka seolah lupa jika dalam dunia kesufian atau muhibbin ada sebuah kaidah masyhur "nihayatul awliya bidayatul wahsyy", akhir dari maqam auliya awal dari makam Wahsyi (yang hanya bisa memandangi sayidina rasulullah saq dari jauh). Tentu saja para awliya tidak membuat kaidah ini karena doktrin. Tapi kaidah itu setelah meraka mempelajari sirah sahabat dengan detail ditambah lagi kasyaf mereka dari karamah mereka.

Mereka menghormati Saiyidina Muawiyah atau Saiyidina Amru bin 'Ash serta sahabat lainnya bukan karena doktrin, tapi karena muhibbin dan sufi yang merupakan arbab ASWAJA itu, sangat mengenal para sahabat, merekalah manusia yang paling sering membaca manaqib para sahabat nabi, tak ada yang mengenal sahabat nabi melebihi mereka.

Sehingga mereka sadar maqam dari didikan Saiyidina Rasulullah SAW, setelah mempelajari sejarah para sahabat dengan benar dan teliti, mereka sampai pada kesimpulan bahwa debu disepatu sahabat nabi yang semuanya pernah meneguk nikmatnya Nur Muhammadiyah itu jauh lebih mulia daripada mereka semua.

Dan kini datang sekolompok manusia yang mengaku sufiyin, muhubbin, sunniyin, saat berbicara tentang para Sahabat Nabi, seperti berbicara tentang pak RT dikampung mereka, bahkan kadang terhadap pak RT pun lebih sopan, yang menghalangi diri mereka berkata lebih dari itu hanya karena gak enak sama guru, tidak lebih. Sesungguhnya mereka benar-benar tidak mengenal sufiyin, sunniyin dan muhibbin kecuali hanya nama saja.

Hal yang paling gila yang bisa mereka lakukan adalah menuduh kalau perintah tawaquf (diam dulu) saat ada musykil (masalah) dalam sejarah sahabat adalah doktrin!

Tidak kawan! Itu bukan doktrin!

Level terendah dalam buku tarikh yang diajarkan memerintahkan tawaquf dan berhusnuzhan karena memang tahap pertama mengenal mereka itu singkat. Tapi ada tahap selanjutnya, dimana semuanya dibahas dengan rinci dan agak panjang.

Dan tak jarang ada yang sotoy ilmiyah, kalau mereka merasa lebih banyak tahu daripada guru mereka, menganggap bahwa guru mereka tidak tahu masalah musykil ini (tentu didepan guru mereka gak berani ngomong hal ini).

Tidak kawan!! Guru kalian yang punya sanad keilmuan tarikh sahabat itu, pasti tahu masalah musykil itu, dan bahkan lebih dari itu, mereka bahkan tahu dengan detail masalah ini, dan jika kalian bertanya pasti mereka tahu jawaban musykil itu, maka dari itu sampai sekarang makin hari mereka semakin yakin secara ilmiyah dan zauqiyah bahwa menghormati sahabat itu kewajiban.

Saat mereka tidak menjelaskan secara detail pada kalian tentang masalah musykil dalam tarikh sahabat, itu karena waktu itu pembahasan tinggi belum level kalian, tapi tentu seorang guru bersanad telah memberi nasehat pada kalian dalam menghadapi masalah ini. Jika kalian mau naik level saat belajar tarikh sahabat maka datanglah ke guru yang bersanad, jika kalian tidak mau naik level maka cukupkan tawaquf (diam) dan husnuzhan.

Tapi sayangnya kalian melanggar semuanya. Ke guru bersanad kalian tidak datangi, tawaquf juga tidak. Kalian malah ngoceh dan su'uzan. Benar-benar tidak beradab.

Akhirnya malah jauh sekali lari dari manhaj guru mereka yang sufi, muhibbin dan aswaja, dan anehnya mereka masih merasa bahwa mereka mewakili guru mereka.

Tentu benar sebuah kaedah dalam ilmu tasawuf, siapa yang belajar tanpa guru maka setanlah yang akan jadi gurunya. Jika gurunya setan? Lanjut sendiri...!

Sebaliknya jika kamu punya guru, dan gurumu bersanad dan kamu ikuti nasehatnya In syaa Allah kita bisa selalu dalam manhaj yang diajarkan Saiyidina Nabi SAW.

Oleh Ustadz Fauzan, Mahasiswa Program Magister di Suriah
Read More

Minggu, 25 Agustus 2019

Masyarakat Muslim Adalah Panglima Sekaligus Pelopor Perdamaian

Agustus 25, 2019

Kisah | Kondisi terakhir pemikiran dan pendapat dunia tentang Islam dan kaum muslim adalah sebuah paham kekerasan dan kaum teroris. Adapun "mujamalah" mereka dengan mengatakan umat muslim adalah saudara kami hanyalah omong kosong belaka.

Negara minoritas muslim manapun di muka bumi sekarang ini sudah menganggap Islam adalah sebagai sebuah paham yang menjadi ancaman dimana pun berada. Umat muslim sudah dipahami sebagai biang kerusuhan dan terorisme dimana pun mereka tinggal. Hampir tidak ada lagi hal baik dari Islam yang muncul di dalam benak mereka, bahkan muslim arab yang kaya sudah dianggap sebagai manusia haus nafsu seksual yang sudah biasa membeli perempuan kulit putih di eropa timur.

Ya memang begitu lah anggapan mereka saat ini.

Lalu anda berseru,"Itu semua adalah strategi yahudi dan nasrani untuk menghancurkan nama baik Islam, padahal Islam tidak demikian.".

Benar, Islam memang tidak demikian, namun fakta dan kenyataannya saat ini menunjukkan demikian. Selayak perkataan Muhammad Abduh "Al-Islamu mahjubun bil muslimin" yakni Keagungan Islam tertutupi oleh orang-orang muslim adalah benar adanya.

Sahabat ku, kita paham, kita mengerti bahwa Islam tidak mengajarkan terorisme, pengerusakan dan hal-hal buruk lainnya. Tetapi sadarilah bahwa mereka (orang Eropa) tidak mengerti yang demikian karena mereka tidak mempelajari Islam. Seandainya mereka mempelajari keindahan Islam tentu mereka tidak beranggapan bahwa Islam adalah paham terorisme. Dan sadarilah saudaraku, bahwa ketika mereka tidak mengetahui isi ajaran Islam, mereka akan menilai Islam dari umat muslim. Tentu saja anggapan mereka tentang Islam begitu buruk karena buruknya kelakuan kaum muslim.

Mari menjadi muslim sejati dengan mengamalkan hadits baginda Saw yang diriwaytkan oleh Bukhari dan Muslim yang amat sarat akan makna berikut :


عن عبد الله بن عمرو ـ رضي الله عنهما ـ عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده، والمهاجر من هجر ما نهى الله عنه.

Dari Abdullah bin Amru r.a dari Rasulullah Saw bersbda: "Muslim adalah yang selamat umat muslim lainnya dari lisan dan tangannya, dan  Muhajir (orang yang hijrah) adalah yang berhijrah dari apa yang dilarang Allah terhadapnya" (Muttafaqun alaih)


Menjadi muslim sejati adalah dengan bersikap baik agar umat muslim lain tidak tersakiti olehnya secara langsung. Dan lebih dari itu, jagalah sikap kita sebagai muslim agar umat muslim lainnya tidak disakiti oleh umat lain akibat perbuatan kita yang mengganggu dan merusak kedamaian umat lainnya.

Sadar atau tidak, perilaku sebagian umat Islam yang merusak, membunuh, membom dan menghancurkan kedamaian umat lain akan menciptakan aksi balasan. Hal ini adalah sebuah sunnatullah, dimana setiap ada aksi akan terjadi reaksi. Perilaku buruk yang terjadi kepada muslim minoritas di dunia bisa jadi merupakan tindakan balasan terhadap perilaku buruk yang diterima umat lain yang minoritas di negara muslim. Kecurigaan terorisme yang dialami oleh umat muslim minoritas di eropa, amerika dan australia adalah akibat tindakan ekstrimis muslim yang membunuh semena-mena, membom dan meledakkan diri sesukanya, menghancurkan dan mengancam keamanan orang-orang yang berada di sekitarnya.

Saudaraku, pahamilah bahwa Islam mengajarkan kedamaian. Maka jadilah panglima kedamaian di muka bumi untuk menjaga keselamatan umat Islam lainnya di negara yang minoritas muslimnya. Karena setiap tindakan akan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan-Nya.

Mari menjdi muslim sejati dengan menyelamatkan muslim lainnya dari tindakan kita secara langsung atau aksi balas terhadap tindakan kita secara tidak langsung.

Oleh Ustad Suryandi Temala (Ustad Fesbuker)
Read More

Minggu, 07 Juli 2019

Sisi Lain Tafsir Hadits: Dunia Penjara Bagi Orang Beriman dan Surga Bagi Kafir

Juli 07, 2019

Tarbiyah.online Selama ini kebanyakan dari kita memahami sebuah hadis hanya berdasarkan fiqh dan dan hukum lahiriyah saja. Tentu saja itu tidak salah, bahkan hal tersebut menjadi sebuah dalil hukum yang sama sekali tidak bisa kita kesampingkan, sedikit pun. Namun, beberapa hadis Rasulullah kadang perlu ditinjau dari sisi psikologis dan kejiwaan.

Sebuah hadis yang amat terkenal, "Dunia adalah penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir" (H.R Muslim), tentu familiar di telinga kita.

Secara zahir, setiap mukmin dibatasi oleh hukum halal-haram. Dan segala yang diharamkan bisa dinikmati sepuasnya di kehidupan mendatang (akhirat kelak). Sebagaimana pengharaman atas sex bebas dan arak. Di dunia (penjara) ini, setiap orang beriman dilarang oleh syari'at untuk mendekati (apalagi melakukan) hal-hal yang diharamkan.

Parahnya, ada beberapa yang memahami hadis ini bahwa orang beriman harus hidup penuh derita dan menyedihkan selama di dunia. Sedangkan segala bentuk kesenangan hanya boleh dinikmati oleh orang kafir saja. Tentu saja pemahaman seperti ini buntung, dan tidak tepat.

Namun demikian, sisi lain dalam memaknai penjara dunia ini tidaklah sekedar pembatasan halal dan haram saja.

Penggunaan analogi penjara oleh Rasulullah untuk menggambarkan hakikat dunia bagi orang beriman ternyata lebih luas lagi yang bahkan bisa dimengerti oleh orang awam sekalipun (jika ia membuka ketajaman rasanya).

Penjara adalah hal yang sangat tidak disukai oleh siapapun. Selain karena adanya pembatasan, tentu saja sebab penjara bukanlah tempat yang seharusnya bagi jiwa kita. Tempat yang seharusnya bagi orang beriman adalah surga yang tiada batas, yang dikelilingi oleh kesenangan dan tempat seharusnya jiwa berada.

Jiwa kita tahu persis dimana seharusnya tempatnya berada. Jika seorang mukmin sadar, bahwa tempat bagi jiwanya adalah surga, maka otomatis ia akan menganggap dunia sebagai tempat pengasingan. Karakter jiwa kita dibentuk oleh alam pikir dan rasa.

Allah berfirman dalam Surah Yunus ayat 7, "Sesungguhnya oranghorang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat Kami".

Terang dalam ayat tersebut Allah menyebutkan bahwa orang kafir meyakini dunia ini adalah surga bagi jiwanya. Dimana ia bisa bebas melakukan apa saja dan juga merasa aman di dunia.

Sedang bagi orang beriman, dunia adalah penjara. Jiwanya akan terus merasa gusar di dunia dan 'berontak' ingin kembali ke rumahnya (surga).

Itulah juga orang beriman ketika nyawanya dicabut oleh malaikat, ia merasa senang. Karena saat jiwa terpisah dari raga duniawi, ia berasa terlepas dari penjara dan kembali menuju rumahnya. Bagaikan seorang tahanan yang divonis bebas, ia diantar oleh penjaga (sipir) keluar dari penjara. Betapa bahagianya ia melihat alam yang luas, menikmati kebebasannya.

Sedang jiwa orang kafir akan merenggang kesakitan sebab berontak pergi dari surga dunia nya. Firman Allah "Demi (malaikat-malaikat) yang mencabut nyawa dengan keras." (An Nazi'at: 1). Selain tidak rela meninggalkan surga dunianya, ia pun baru tersadar bahwa ternyata dunia ini bukanlah surga.

Disadur dari buku Reclaim Your Heart, Yasmin Mogahed
Wallahu a'lam
Read More

Rabu, 24 April 2019

SYA'BAN WAKTU TERBAIK UNTUK MEMPERBANYAK SHALAWAT

April 24, 2019

Tarbiyah.online - Pernah dengar kalau Sya'ban sering disebut sebagai bulannya Nabi SAW? Ya, dalam sebuah hadits Qudsi disebutkan, Rajab adalah bulan Allah, Rajab adalah Muhammad, dan Ramadhan adalah bulannya Ummat Muhammad.

Jika Anda percaya dengan hadits dan keutamaan bulan Sya'ban, tentu Anda akan menjadikan shalawat keatas baginda nabi sebagai amalan utama yang mengisi dan menghiasi sebulan penuh ini.

Salah satu hadist tentang kelebihan shalawat yang di sebutkan  dari Ubayy bin Ka’ab Ra ia berkata: Aku berkata: “Wahai Rasulullah, sungguh saya memperbanyak bershalawat atas engkau. Lantas berapa dari shalawatku itu yang saya jadikan untuk engkau?” Rasulullahshallallahu alaihi wasallam menjawab, “Terserah kamu” aku berkata: “Seperempat?”

Beliau bersabda: “Terserah kamu, bila kamu menambahnya maka itu lebih baik”  aku berkata: “Separuh?” Beliau bersabda: ““Terserah kamu, bila kamu menambahnya maka itu lebih baik”aku berkata: “Saya menjadikan seluruh shalawat saya untuk engkau” Beliau bersabda:“…Jika begitu maka kamu dicukupi keinginanmu dan diampuni dosamu.” (HR Turmudzi)

Dalam hal ini, Imam Nawawi rahimahullah berkata: Maksud ungkapan (sungguh saya memperbanyak bershalawat atas engkau. Lantas berapa dari shalawatku itu yang saya jadikan untuk engkau?) adalah: “Saya memperbanyak berdo’a maka berapa banyak saya harus bershalawat  atas engkau dalam do’a saya?”

Sementara itu Abu Laits As Samarkand rahimahullah berkata: Andai dalam bershalawat atas Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak ada pahala sama sekali kecuali mengharapkan Syafa’at maka wajib bagi orang berakal untuk tidak melupakannya.

[Apalagi dalam bershalawat ada ampunan dosa – dosa, ada shalawat dari Allah],  Abu Laits melanjutkan: [Jika ingin mengetahui bahwa bershalawat atas Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah ibadah yang paling utama maka renungkanlah firman Allah,:

 “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS al Ahzab:56.)

Seluruh ibadah telah Allah perintahkan kepada para hambaNya. Sementara shalawat atas Nabi shallallahu alaihi wasallam maka sungguh diriNya telah bershalawat dan kemudian Memerintahkan orang beriman agar mereka bershalawat atasnya. Ini menetapkan bahwa Shalawat atas Nabishallallahu alaihi wasallam adalah ibadah yang paling utama.

Imam Nawawi berkata: [Jika seseorang bershalawat kepada Nabishallallahu alaihi wasallam maka hendaknya menggabungkannya dengan ucapan salam (Taslim) dan tidak hanya menyebutkan salah satunya].

Imam al Ghazali menceritakan: [Pernah aku menulis sebuah hadits dan sekaligus bershalawat atas Nabi shallallahu alaihi wasallam, tetapi tidak mengucapkan salam. Maka aku bermimpi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan Beliau bersabda kepadaku, “Kenapa tidak kamu sempurnakan bershalawat atasku dalam kitabmu?” maka mulai setelah itu tidak kutulis shalawat kecuali menyertakan salam]

Imam Nawawi berkata: "[Disunnahkan bagi pembaca hadits atau lainnya yang semakna, jika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam disebut agar mengeraskan suara bacaan shalawat dan salam atas Beliau  dan jangan sampai mengeraskan dengan suara yang terlalu keras sehingga terkesan jelek. Di antara tokoh yang menyatakan dan menganjurkan mengeraskan suara ini adalah al Imam al A’zham al Hafizh Abu Bakar al Khathib al Baghdadi serta juga para tokoh ulama yang lain]”.

Abu Bayan al Ashfihani berkata: [Aku bermimpi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan bertanya kepada Beliau: “Kenapa engkau tidak memberikan manfaat kepada anak pamanmu As Syafi’i dengan sesuatu atau mengistimewakannya dengan sesuatu?” Beliau bersabda:

“Ia, aku memohon kepada Tuhanku agar tidak menghisabnya” aku bertanya: “Sebab apa?” Beliau bersbda: “Sebab ia telah bershalawat kepadaku dengan shalawat yang belum pernah aku mendapat shalawat seperti itu” aku bertanya: “Apakah itu?” Beliau bersabda: “Ia (Syafii) mengucapkan: “Ya Allah berikanlah shalawat kepada Muhammad selama orang – orang yang ingat menyebutnya dan selama orang – orang yang lupa lalai dari menyebutnya”]

Ibnu Abdul Hakam berkata: Dalam mimpi aku melihat Syafi’i dan bertanya: “Apakah yang dilakukan Allah kepadamu?” ia menjawab: “Dia Memberiku nikmat dan Mengampunikun dan dan aku diarak di surga layaknya pengantin diarak serta ditaburkan atasku seperti halnya ditaburkan atas pengantin” aku (Ibnu Abdil Hakam) bertanya: “Dengan apakah kamu menggapai derajat ini?” ia menjawab:

“Sebab ucapanku dalam kitab Ar Risalah;“Dan semoga Allah bershalawat atas Muhammad sesuai bilangan orang pengingatan orang – orang yang ingat dan sesuai bilangan kelalaian orang – orang yang lupa mengingatnya”

Beranjak dari itu mari kita perbanyak bershalawat di bulan Syakban yang hanya tinggal beberapa hari lagi. Semoga keberkahan dan keridhaan Allah SWT menghampiri kita. Semoga.

Teungku Helmi Abu Bakar, M.Ag, Dewan Guru Senior Dayah MUDI Mesra.
Read More

Jumat, 22 Juni 2018

DUA PERKARA UTAMA DALAM AGAMA

Juni 22, 2018

Tarbiyah.Online -  Agama kita memiliki prinsip utama yang mengajarkan ummatnya untuk menjadi insan kamil, manusia yang sempurna dalam pandangan syari'at. Dalam kitab Nashaihul 'Ibad disebutkan, ada 2 perkara utama yang harus dimiliki dan diamalkan oleh setiap muslim untuk mencapai kesempurnaan iman.

Diriwayatkan sesungguhnya Nabi SAW bersabda:

خصلتان لا شئ افضل منهما الايمان بالله والنفع للمسلمين

"Ada dua perkara, yang tidak ada sesuatu yang lebih utama dari dua perkara tersebut, yaitu iman kepada Allah dan berbuat kebajikan kepada sesama muslim (baik dengan ucapan atau kekuasaannya atau dengan hartanya atau dengan badannya)."

Dalam hadits yang lain Rasulullah SAW juga bersabda, "Barang siapa yang pada waktu pagi hari tidak mempunyai niat untuk menganiaya terhadap seseorang maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Dan barang siapa pada waktu pagi hari memiliki niat memberikan pertolongan kepada orang yang dianiaya atau memenuhi hajat orang islam, maka baginya mendapat pahala seperti pahala haji yang mabrur".

Dalam hadits diatas Rasulullah mengabarkan tentang keutamaan berbuat baik kepada seluruh makhluk Allah. Berbuat baik dikategorikan kepada dua perkara: yang pertama kebaikan yang berlaku pasif (yaitu tidak melakukan keburukan) dan kedua kebaikan yang aktif (membantu oranglain dengan segala daya semampunya).

Dan Nabi SAW bersabda "Hamba yang paling dicintai Allah SWT adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Dan amal yang paling utama adalah membahagiakan hati orang mukmin; dengan menghilangkan laparnya, atau menghilangkan kesusahannya, atau membayarkan hutangnya. Dan selain itu juga terdapat dua perkara yang tidak ada sesuatu yang lebih buruk dari dua tersebut yaitu syirik kepada Allah dan mendatangkan bahaya kepada kaum muslimin".


Sebagaimana kebaikan diketjakan dengan anggota tubuh badan, pikiran atau pun juga harta. Kejahatanan juga berlaku sama (baik membahayakan atas badannya, atau hartanya). Dua hal tersebut merupakan hal yang paling buruk. 

Karena dari sesungguhnya seluruh perintah Allah selalu tergolong kepada dua perkara tersebut (pengagungan kepada Allah dan menebar kasih sayang kepada makhluk-Nya). Mengagungkan Allah dan berbuat baik kepada makhluknya, sebagaimana firman Allah Ta’ala. "Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat." (Q.S Al Baqarah:43). Dan melanggar keduanya adalah dosa yang teramat besar.

Dan dalam surat yang lain firman Allah Ta’ala, "Hendaklah kamu bersyukur kepadaKu dan kepada kedua orang tuamu." (Q.S. Luqman :14)

Disarikan daripada Kitab Nashaihul 'Ibad karya Syeikh Nawawi Bantani.
Read More