TARBIYAH ONLINE: tauhid

Fiqh

Tampilkan postingan dengan label tauhid. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tauhid. Tampilkan semua postingan

Senin, 22 April 2024

"Tajsim dan Mujassim", Istilah Ilmiah, Tidak Perlu Merasa Diserang

April 22, 2024

 


Tarbiyah Online | Ilmu aqidah tidak bisa dilepaskan dari pembahasan tentang alam semesta, karena dari alam semesta lah manusia bisa mengetahui bahwa apakah alam semesta ini butuh pada penciptaan atau tidak. Makanya ulama aqidah dalam ๐˜ต๐˜ข๐˜ณ๐˜ช๐˜ฒ๐˜ข๐˜ฉ Mutakalimin selalu membahas alam semesta terlebih dahulu sebelum membahas tentang penciptanya.


Nah, untuk mengetahui apakah alam semesta membutuhkan penciptanya, maka ulama harus lebih dahulu mencari tahu apa hakikat alam semesta dan apa saja yang ada di dalamnya. Setelah melihat (๐˜ช๐˜ด๐˜ต๐˜ช๐˜ฒ๐˜ณ๐˜ข') pada segala yang ada di alam semesta, ulama akhirnya mengambil satu kesimpulan bahwa, segala yang ada di alam semesta ini pada hakikatnya bisa diklasifikasikan menjadi dua kategori.


Pertama, sesuatu yang mengambil tempat/ruang, ini yang dinamakan dengan zat atau materi, seperti batu, angin, air, cahaya, bintang, materi gelap, blackhole, api, planet, dll. Ulama ilmu kalam menamakannya sebagai ๐—๐—ฎ๐˜‚๐—ต๐—ฎ๐—ฟ, kadang mereka juga memakai istilah ๐—๐—ถ๐˜€๐—บ atau ๐—๐—ถ๐—ฟ๐—บ. Kedua, sesuatu yang menjadi sifat dari Jauhar, seperti warna gelap, terang, bersatu, terpisah, bergerak, diam, cepat, lambat, lembut, keras, panas, dingin, cair, padat, bisa disentuh, tidak bisa disentuh, berubah, tetap, panjang, kecil, pipih, tebal, keberadaan di tempat tertentu, di waktu tertentu, dll. sifat itu semua dinamakan dengan ๐—”๐—ฟ๐—ฎ๐—ฑ๐—ต.


Misal praktisnya, sebuah benda dinamakan batu alam, dia sendiri dinamakan dengan Jauhar, karena dia mengambil ruang/space dari semesta, adapun sifatnya keras, padat, mengeluarkan energi dingin, berada di gunung, tidak bergerak, ukuran sekian meter, dll, itu dinamakan dengan Aradh. Gas misalnya, dia mengambil ruang tertentu, gas itu dinamakan Jauhar, sedangkan ringannya, warna bening tak terlihat, bau menyengat, bergerak, dll, itu dinamakan dengan aradh. Qiyaskan ini pada benda lain, mulai matahari, blackhole, atom, partikel cahaya, bumi, air, kudis, kurap, dll.


Kemudian ulama mencoba sedikit memerincikan klasifikasi terhadap materi, secara logika materi itu ada dua kemungkinan. Pertama, materi yang paling kecil yang dengannya terbentuk benda-benda besar. Jika dia sendiri dan tidak bisa dibagi/dipecah lagi maka itu dinamakan dengan ๐—๐—ฎ๐˜‚๐—ต๐—ฎ๐—ฟ ๐—™๐—ฎ๐—ฟ๐—ฑ bahasa jakselnya jauhar yang lagi jomblo ahhaha. Kedua, gabungan dua Jauhar Fard atau lebih yang membentuk materi yang lebih besar, dinamakan dengan ๐—๐—ถ๐˜€๐—บ. Kadang Jism itu bisa kita lihat dengan mata telanjang seperti debu, bola, bumi, bintang, dll. Kadang harus pakai alat bantu seperti atom, virus, sel, dll. Kadang kita belum punya alat bantu untuk melihatnya, seperti atom di masa lalu, bakteri sebelum ditemukan mikroskop, dll.


Dari kesimpulan di atas kita bisa pahami bahwa kata "Jism" bagi ulama kalam hanya sebuah istilah yang dipakai untuk mengungkapkan atau menamakan bagi "sesuatu" yang mengambil ruang/tempat. Jadi murni penamaan, kita bisa menamakannya dengan nama lain, dengan menerjemahkannya, atau apa saja tergantung disiplin ilmu, tapi ulama aqidah/ilmu kalam  menamakanya sebagai Jism. Jadi gak ada tendensi apa-apa dalam penamaan itu, murni istilah ilmiyah.


Kemudian ulama kita ketika membahas tentang ketuhanan, mereka menyimpulkan bahwa semesta secara logika wajib ada yang menciptakan, dengan dalil/argumen yang bukan sekarang pembahasannya. Lalu mereka juga menyimpulkan melalui dalil, bahwa pencipta semesta yang kita namakan dengan Tuhan tidak boleh sama dengan alam semesta ciptaannya (๐˜ญ๐˜ข๐˜ช๐˜ด๐˜ข ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฎ๐˜ช๐˜ด๐˜ญ๐˜ช๐˜ฉ๐˜ช ๐˜ด๐˜บ๐˜ข๐˜ช๐˜ถ๐˜ฏ), jika tidak maka dia juga butuh pencipta sebagaimana alam semesta juga butuh pencipta, karena ada kesamaan.


Karena tidak boleh ada kesamaan antara alam semesta dan Tuhan, maka ulama mengatakan bahwa tuhan pencipta alam ini bukan, bahkan tidak boleh Aradh, tidak boleh juga Jism/Jauhar, karena keduanya adalah semesta itu sendiri. Jadi, jika ada yang berpikir kalau Tuhan itu mempunyai tangan yang mengambil ruang sebagaimana jism, atau duduk di atas arasy besar yang mempunyai batas ruang, atau berada di atas secara fisik dari sebuah tempat/ruangan, maka itu semua dianggap sebuah bentuk ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ซ๐˜ช๐˜ด๐˜ช๐˜ฎ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ atau ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ซ๐˜ข๐˜ถ๐˜ฉ๐˜ข๐˜ณ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ Tuhan yang seharusnya berbeda segalanya dengan alam semesta.


Nah, perbuatan yang ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ซ๐˜ช๐˜ด๐˜ช๐˜ฎ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ Tuhan dinamakan dengan ๐—ง๐—ฎ๐—ท๐˜€๐—ถ๐—บ, dan orang yang menjisimkan Tuhan dinamakan Mujasimah. Jadi, Mujasimah bagi ulama Mutakalimin adalah penamaan bagi orang yang menganggap bahwa Tuhan itu punya bentuk fisik, atau bertempat secara fisik, bisa ditunjuk arahnya, punya ukuran fisik, dll, yang intinya punya kesamaan dengan jism atau dia punya sifat Jism/Aradh seperti bergerak, diam, dll. Jadi Mujasimah itu lintas agama, bukan tuduhan bagi kelompok tertentu karena rivalitas, bukan sekedar label karena membenci. Tapi itu murni istilah ilmiyah untuk orang yang berkeyakinan bahwa Tuhan ๐˜ฃ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ซ๐˜ช๐˜ด๐˜ฎ atau punya kesamaan dengan jism, di mana hal itu ditolak oleh ulama Ahlussunnah wa al-Jama'ah.


Jadi, istilah "Mujasim" bukan label, stempel, apalagi tuduhan karena kebencian pada kelompok atau orang tertentu. Tapi murni term/isitilah ilmiyah. Jadi tinggal dilihat aja apakah aqidah kita, kelompok yang kita ikuti, ustazd yang kita ikuti, kelompok lain atau agama lain tentang Tuhan seperti Mujasim atau tidak? Kalau iya, berarti orang/kelompok itu ya Mujasim, walau mereka mengaku Ahlusunnah dan menuduh orang lain sebagai Mujasim. Kalau tidak, maka mereka bukan Mujasim, walau seluruh dunia menuduh mereka Mujasim, bahkan jika mereka melabeli nama kelompok mereka sebagai Mujasim tetap aja mereka bukan Mujasim menurut term ulama ilmu kalam.


Jika kita memahami istilah itu, maka kita akan paham kapan seorang sedang menyifati suatu pemahaman aqidah dengan tajsim sesuai istilah dengan benar, kapan mereka sedang menuduh dan salah pakai istilah, atau bahkan tidak paham dengan istilah, atau hanya ikut-ikutan saja jadi gak serampangan. Nah, kalau ada sebagian orang membolehkan sifat jism bagi Tuhan, dia tidak mengangapnya salah, ya bebas saja, itu hak dia, berarti dia menganggap aqidah tajsim benar, walaupun dia tidak terima dinamakan Mujasim, bahkan menuduh orang lain sebagai Mujasim, orang seperti itu hanya tidak paham istilah saja, tapi aqidahnya tajsim dalam istilah Mutakalimin atau ulama aqidah.


Pada akhirnya aqidah dia berbeda dengan ulama yang menganggap Tajsim adalah sebuah kesalahan, dan dia berhak berbeda dan membela argumennya di dunia, tapi istilah jism, tajsim, dan mujasimah bagi ulama kalam tidak akan berubah, jism artinya ya sesuatu yang ngambil tempat. Seringkali orang gak paham istilah seperti ini berargumen untuk membela aqidah tajsimnya, walau dia tidak terima dinamakan mujasim, dalam debat dan diskusi ini agak aneh memang, tapi itu kenyataan yang sering kita temui.


Tapi jika aku boleh memberi saran, sebelum membela membabi buta atau menyerang lawan habis-habisan, aku menyarankan untuk sedikit merenung sendirian dengan istilah itu, apa benar aqidahku Mujasimah menurut istilah mereka? Atau orang yang aku bela Mujasimah? Atau mazhab yang aku bela Mujasimah? Ibnu Taimiyah Mujasimah? Karamiyah Mujasimah? Dst, bisa jadi memang iya, bisa jadi nggak. Jawabannya didapatkan hanya dengan perlu jujur pada diri sendiri, dan membuang ego, perhatikan istilah itu, lalu lihat apa yang ditulis dan diyakini orang/kelompok yang dituduh sebagai Mujassim.


Jawabannya ada dua, bisa jadi tuduhan itu salah, maka kita harus membela habis-habisan yang benar, dan membela yang dituduh karena itu bentuk membela kezaliman. Tapi bisa jadi juga tuduhan itu benar, maka kenapa kita harus membela sesuatu yang salah, egokah? Fanatikkah? Gengsikah? Bukankah ini perkara akhirat? Kenapa harus gengsi mengaku salah? Mau sampai kapan membela ego dan taashub? Nah, pada akhirnya semua orang punya hak dan bebas dalam memilih aqidah dan membela aqidahnya dengan argumen, kita cuma bisa mengatakan, bagiku agamaku dan bagimu agamamu. 

Ustadz Fauzan Inzaghi

Read More

Rabu, 25 Desember 2019

Sifat Jaiz Bagi Allah, I'tiqad dalam Aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah

Desember 25, 2019

Aqidah | Jaiz artinya boleh, dapat juga kita artikan dengan harus. Sifat Jaiz bagi Allah hanya satu, yaitu Memperbuat segala sesuatu yang mumkin/baharu atau meninggalkannya. Maksudnya, Allah Ta’ala boleh-boleh saja memperbuat sesuatu terhadap yang baharu/makhluk dan boleh-boleh saja tidak memperbuatnya.

Dalam I’tiqad 50, sifat Jaiz ini terdapat pada urutan ke-41 setelah 20 sifat yang wajib dan 20 sifat yang mustahil bagi Allah SWT.

Contoh Jaiz pada Allah adalah seperti menciptakan zat-zat tertentu, sifat-sifat, segala perbuatan, baik perbuatan idhtirari maupun ikhtiari, rezeki, menghidupkan, mematikan, mempertunjuk, menyesatkan, menghukum atau mengazab, memberi pahala, dan lain sebagainya. Semua itu adalah boleh atau Jaiz bagi Allah Ta’ala, tidak wajib dan tidak pula mustahil.

Maka dari itu dapat kita pahami yang bahwa azab atau hukuman adalah semata-mata dengan Keadilan Allah Ta’ala, dan pahala atau imbalan adalah semata-mata  dengan Karunia-Nya.

Berdasarkan tertibnya, pahala merupakan balasan terhadap keimanan dan keta’atan, sedangkan siksa atau azab merupakan balasan terhadap kemaksiatan.

Dua hal tersebut yaitu pahala dan siksa adalah semata-mata merupakan pilihan Allah SWT. Jikalau saja Allah membalikkan dua keadaan ini, dengan kata lain Allah memperbuatnya tidak berdasarkan tertib, maka hal tersebut adalah karunia/kebaikan Allah, bukanlah suatu kesalahan. Karena tidak wajib bagi Allah memperbuatnya berdasarkan tertib dan tidak pula mustahil.

Allah Ta’ala memiliki hak mutlak atas setiap ciptaan-Nya, Dia melakukan sesuatu atau merubah suatu keadaan kepada keadaan yang lain sesuai kehendak-Nya. 

Dalil ‘Aqli

Jika Allah Ta’ala wajib memperbuat sesuatu terhadap yang baharu atau katakanlah makhluk, maka menjadi wajiblah sesuatu yang baharu tersebut. Begitupula halnya bila Allah mustahil memperbuatnya, maka jadilah sesuatu itu mustahil. Dan ini adalah bathil (tidak benar), berdasarkan apa yang telah kita pelajari bersama melalui artikel-artikel sebelumnya.

Dalil Naqli

Surat Al-Baqarah ayat 284 :
ูَูŠَุบْูِุฑُ ู„ِู…َู†ْ ูŠَุดَุงุกُ ูˆَูŠُุนَุฐِّุจُ ู…َู†ْ ูŠَุดَุงุกُ

“Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya”

Surat Al-Qashas ayat 68 :
ูˆَุฑَุจُّูƒَ ูŠَุฎْู„ُู‚ُ ู…َุง ูŠَุดَุงุกُ ูˆَูŠَุฎْุชَุงุฑُ

“Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya”

Demikian sekelumit pembahasan tentang sifat Jaiz bagi Allah Ta’ala. Insyaallah pada artikel berikutnya akan kita lanjutkan perihal yang berkaitan dengan para Rasul, yakni 4 sifat yang wajib, 4 yang mustahil dan satu yang jaiz bagi mereka ‘alaihimusshalaatu wassalaam.

Bila kita jumlahkan semua yang sudah kita pelajari selama ini melalui artikel-artikel saya tentang I’tiqad 50 Tauhid dasar Ahlussunnah wal-jama’ah mulai dari 20 sifat yang wajib dan 20 sifat yang mustahil, maka pada artikel ini kita sudah sampai pada masalah I’tiqad yang ke-41 yakni meyakini adanya sifat Jaiz bagi Allah.

Wallahua’lambisshawaab!

Oleh Muhammad Haekal, S.Pd.I Pengajar at Pesantren Tradisional Dayah Raudhatul, juga tayang di Pecihitam.org
Read More

Sabtu, 07 September 2019

Awas! Aswaja Dan Muhibbin Sufi Palsu: Guruku Lebih Mulia Daripada Sahabat Nabi

September 07, 2019

Tarbiyah.online - Sebuah fenomena baru dari sebagian orang yang mengaku ahlussunnah wal jamaah dan pencinta sufiyyin menganggap bahwa ajaran aswaja dalam menghormati dan mencintai sahabat nabi radhiyallahu 'anhum ajma'in hanya doktrin turunan belaka, bukan karena mereka pantas dihormati, melainkan gak enak sama guru mereka.

Sebenarnya dalam hati mereka ingin memaki Saiyidina Muawiyah radhiyallahu 'anh yang sepengatahuan mereka beliau itu seorang penjahat. Atau ingin menggunjingi Saiyidina Usman radhiyallahu 'anh dengan berbagai macam alasan, misal. Dan lagi, satu-satunya yang membuat mereka ngerem untuk melakukan itu adalah kembali karena gak enak sama doktrin guru.

Dimata mereka, Waliyullah selain daripada Sahabat Nabi itu jauh lebih mulia dibanding Sahabat Nabi, hanya saja mereka tidak berani mengungkapkan.

Hal ini tampak ketika mereka aka sangat marah jika guru mereka dikatakan salah, tapi untuk menyalahkan mawqif sahabat itu sangat mudah, tak jarang mereka menganggap maqam guru mereka lebih tinggi daripada sahabat alhabib radhiyallahu 'anhum ajma'in.

Mereka seolah lupa jika dalam dunia kesufian atau muhibbin ada sebuah kaidah masyhur "nihayatul awliya bidayatul wahsyy", akhir dari maqam auliya awal dari makam Wahsyi (yang hanya bisa memandangi sayidina rasulullah saq dari jauh). Tentu saja para awliya tidak membuat kaidah ini karena doktrin. Tapi kaidah itu setelah meraka mempelajari sirah sahabat dengan detail ditambah lagi kasyaf mereka dari karamah mereka.

Mereka menghormati Saiyidina Muawiyah atau Saiyidina Amru bin 'Ash serta sahabat lainnya bukan karena doktrin, tapi karena muhibbin dan sufi yang merupakan arbab ASWAJA itu, sangat mengenal para sahabat, merekalah manusia yang paling sering membaca manaqib para sahabat nabi, tak ada yang mengenal sahabat nabi melebihi mereka.

Sehingga mereka sadar maqam dari didikan Saiyidina Rasulullah SAW, setelah mempelajari sejarah para sahabat dengan benar dan teliti, mereka sampai pada kesimpulan bahwa debu disepatu sahabat nabi yang semuanya pernah meneguk nikmatnya Nur Muhammadiyah itu jauh lebih mulia daripada mereka semua.

Dan kini datang sekolompok manusia yang mengaku sufiyin, muhubbin, sunniyin, saat berbicara tentang para Sahabat Nabi, seperti berbicara tentang pak RT dikampung mereka, bahkan kadang terhadap pak RT pun lebih sopan, yang menghalangi diri mereka berkata lebih dari itu hanya karena gak enak sama guru, tidak lebih. Sesungguhnya mereka benar-benar tidak mengenal sufiyin, sunniyin dan muhibbin kecuali hanya nama saja.

Hal yang paling gila yang bisa mereka lakukan adalah menuduh kalau perintah tawaquf (diam dulu) saat ada musykil (masalah) dalam sejarah sahabat adalah doktrin!

Tidak kawan! Itu bukan doktrin!

Level terendah dalam buku tarikh yang diajarkan memerintahkan tawaquf dan berhusnuzhan karena memang tahap pertama mengenal mereka itu singkat. Tapi ada tahap selanjutnya, dimana semuanya dibahas dengan rinci dan agak panjang.

Dan tak jarang ada yang sotoy ilmiyah, kalau mereka merasa lebih banyak tahu daripada guru mereka, menganggap bahwa guru mereka tidak tahu masalah musykil ini (tentu didepan guru mereka gak berani ngomong hal ini).

Tidak kawan!! Guru kalian yang punya sanad keilmuan tarikh sahabat itu, pasti tahu masalah musykil itu, dan bahkan lebih dari itu, mereka bahkan tahu dengan detail masalah ini, dan jika kalian bertanya pasti mereka tahu jawaban musykil itu, maka dari itu sampai sekarang makin hari mereka semakin yakin secara ilmiyah dan zauqiyah bahwa menghormati sahabat itu kewajiban.

Saat mereka tidak menjelaskan secara detail pada kalian tentang masalah musykil dalam tarikh sahabat, itu karena waktu itu pembahasan tinggi belum level kalian, tapi tentu seorang guru bersanad telah memberi nasehat pada kalian dalam menghadapi masalah ini. Jika kalian mau naik level saat belajar tarikh sahabat maka datanglah ke guru yang bersanad, jika kalian tidak mau naik level maka cukupkan tawaquf (diam) dan husnuzhan.

Tapi sayangnya kalian melanggar semuanya. Ke guru bersanad kalian tidak datangi, tawaquf juga tidak. Kalian malah ngoceh dan su'uzan. Benar-benar tidak beradab.

Akhirnya malah jauh sekali lari dari manhaj guru mereka yang sufi, muhibbin dan aswaja, dan anehnya mereka masih merasa bahwa mereka mewakili guru mereka.

Tentu benar sebuah kaedah dalam ilmu tasawuf, siapa yang belajar tanpa guru maka setanlah yang akan jadi gurunya. Jika gurunya setan? Lanjut sendiri...!

Sebaliknya jika kamu punya guru, dan gurumu bersanad dan kamu ikuti nasehatnya In syaa Allah kita bisa selalu dalam manhaj yang diajarkan Saiyidina Nabi SAW.

Oleh Ustadz Fauzan, Mahasiswa Program Magister di Suriah
Read More

Selasa, 27 Agustus 2019

Almarhum atau Rahimahullah? Jangan Salah, Ini Penjelasan Yang Benar!

Agustus 27, 2019

Tarbiyah.onlineSering mendapat peerbandingan gambar dengan keterangan singkat berisikan satu dua ayat atau hadits untuk melegitimasi ?

Beberapa meme berbentuk tulisan seperti contoh diatas sering kita dapati. Sebelumnya InsyaAllah vs Insha Aah pernah viral (di blog ini, tulisan tersebut drafting, belum dipublis kembali).

Nah, untuk kalimat RAHIMAHULLAH sama statusnya dgn AL-MARHUM, artinya bisa diartikan sebagai doa (ุงู„ุฅู†ุดุงุก) dan bisa juga diartikan sebagai pernyataan (ุงู„ุฎุจุฑ)

Kalau alasannya tidak boleh diucapkannya kalimat AL-MARHUM adalah krn kalimat tsb bentuk pernyataan bahwa org tsb telah dirahmati Allah swt, maka apa bedanya dengan kalimat RAHIMAHULLAH, toh secara bentuk, kalimat tsb adalah khabariyah (pernyataan). 

Kalau alasannya boleh mengucapkan kalimat RAHIMAHULLAH adalah krn kalimat tsb bentuk doa, artinya berdoa supaya Allah swt merahmatinya, maka apa bedanya dgn kalimat AL-MARHUM, toh kalimat tsb bisa juga dimaksudkan sbg doa. Dalam istilah ilmu Ma'ani disebut dengan istilah Khabriyah lafzhan Insyaiyah ma'nan (ุฎุจุฑูŠุฉ ู„ูุธุง ุงู†ุดุงุฆูŠุฉ ู…ุนู†ู‰).

Jadi, kesimpulannya, boleh dan sunnah hukumnya mengucapkan lafazh Al-Marhum, jika dimaksudkan sebagai doa. 

Bagaimana kalau dimaksudkan kalimat tsb sebagai pernyataan? 

Hukumnya juga boleh dan bahkan sunnah. Knp demikian? Krn pernyataan tsb, maksudnya adalah memuji mayyit bahwa ia termasuk org yg telah mendapatkan Rahmat Allah swt. Atau bisa juga dimaksudkan sebagai kesaksian terhadap si mayyit bahwa dia termasuk org yg telah mendapatkan Rahmat Allah swt. Kedua-duanya (sanjungan dan kesaksian) bisa bermanfaat terhadap si mayit, sebagaimana yg dijelaskan Imam Al-'Aini Al-Hanafi dalam kitab Umdatul-Qari, halaman 197, juz 8.

Pertanyaannya: Bagaimana "kesaksian atau sanjungan baik" terhadap mayit yang tidak sesuai realitanya, artinya mayit tsb org jahat? 

Syaikh Zainuddin berkata: KESAKSIAN BAIK MEMBERI DAMPAK POSITIF TERHADAP MAYIT, WALAUPUN ITU TIDAK SESUAI DENGAN REALITANYA. 

Umdatul-Qari, halaman 197, juz 8.

ูุฅู† ู‚ู„ุช: ู‡ู„ ูŠู†ูุน ุงู„ุซู†ุงุก ุนู„ู‰ ุงู„ู…ูŠุช ุจุงู„ุฎูŠุฑ ูˆุฅู† ุฎุงู„ู ุงู„ูˆุงู‚ุน ุฃู… ู„ุง ุจุฏ ุฃู† ูŠูƒูˆู† ุงู„ุซู†ุงุก ุนู„ูŠู‡ ู…ุทุงุจู‚ุง ู„ู„ูˆุงู‚ุน؟ ู‚ู„ุช: ู‚ุงู„ ุดูŠุฎู†ุง ุฒูŠู† ุงู„ุฏูŠู†، ุฑุญู…ู‡ ุงู„ู„ู‡: ููŠู‡ ู‚ูˆู„ุงู† ู„ู„ุนู„ู…ุงุก ุฃุตุญู‡ู…ุง ุฃู† ุฐู„ูƒ ูŠู†ูุนู‡، ูˆุฃู† ู„ู… ูŠุทุงุจู‚ ุงู„ูˆุงู‚ุน ู„ุฃู†ู‡ ู„ูˆ ูƒุงู† ู„ุง ูŠู†ูุนู‡ ุฅู„ุง ุจุงู„ู…ูˆุงูู‚ุฉ ู„ู… ูŠูƒู† ู„ู„ุซู†ุงุก ูุงุฆุฏุฉ

Ada banyak hadis yg dinukilkan dalam kitab tsb, saya menukil salah satunya saja. Selebihnya silahkan lihat dan murajaah kitab tsb. 

Anas bin Malik berkata: para sahabat pernah melewati jenazah. lalu mereka menyanjungnya dan menyebut kebaikannya. Maka Nabi saw bersabda: "Pasti baginya." 

Kemudian mereka melewati jenazah yang lain. lalu mereka mencelanya dan menyebut keburukannya. Maka Beliau pun bersabda: "Pasti baginya." 

Kemudian Umar bin Khatab bertanya: "Ya Rasulullah, Apa yang pasti baginya?

Beliau menjawab: "Jenazah pertama kalian sanjung dengan kebaikan, maka pasti baginya masuk surga. Sedangkan jenazah kedua kalian menyebutnya dengan keburukan. Maka pasti baginya masuk neraka. Karena kalian adalah saksi-saksi Allah di muka bumi." (HR. Bukhari. 1278)

Kesimpulannya, mengucapkan Al-Marhum adalah sunnah. 

Note: Lajnah Daimah, sumber yg disebutkan dlm gambar tsb, adalah website wahabi. Hati-hati!!

Oleh Teungku Muhammad Hafidh Al Bakri, dewan guru di Dayah Darul Ma'arif (Mamplam Golek) Lam Ateuk, Aceh Besar.
Read More

Sabtu, 14 April 2018

MI'RAJ TIDAK MENUNJUKKAN ALLAH BERTEMPAT DI LANGIT

April 14, 2018
Tarbiyah.OnlineBeberapa teman dari kalangan Salafi/ Wahabi menuliskan beberapa status di berbagai sosial media yang mereka punya dengan makna yang hampir senada, "Isra' dan Mi'raj diperingati, tapi Allah di Langit diingkari."


Nah, dengan diketemukannya beberapa suara dan tulisan yang menurut kami merupakan sebuah syubhat baru -sejauh yang kami ketahui- yang disasarkan oleh teman-teman Salafi ini, teman-teman dari santri Aswaja, terutama komunitas pemuda Raisul Fata dan At-Thalib meminta kepada kami untuk menuliskan sedikit tulisan, bisa berupa pengumpulan kutipan dalil-dalil, perkataan ulama atau pun juga bantahan analogi. Karena syubhat baru ini dinilai perlu direspon walau selakadar.

Pertama, hal yang ingin kita sampaikan adalah, kita belum menemukan dalil tentang mukjizat peristiwa Isra' dan Mi'raj digunakan sebagai dalil yang menyatakan Allah SWT di langit.

Klaim atau syubhat ini tidak diketemukan di zaman sebelumnya -sejauh pengetahuan kami-, jika tidak pasti ia telah menjadi perbincangan ulama dalam memberi bantahan. Selama ini kaum Salafi/Wahabi selalu berkutat dengan dalil Surah Thaha ayat 5 dan hadits Nabi tentang seorang wanita yang ditanya oleh Nabi tentang Allah SWT lalu dijawab di Langit.

Mengenai klaim tafsiran berdalilkan Ar-Rahman 'Alal 'Arsyi istawa dan hadits tersebut, sungguh telah diuraikan dengan sangat panjang lebar oleh Ulama Ahlussunnah Al Jama'ah, baik dari sisi bahasa, perbandingan serta penggabungan berbagai ayat dan hadits yang dijadikan dalil, dengan takwilan yang tidak mengotori sifat kesucian Allah SWT.
 
Kedua, jika memang syubhat tersebut masih terus disasarkan kepada kaum muslimin secara liar, maka perlu kita tanggapi sedikit. Bahwasanya, dalam sejarah peristiwa luarbiasa yang disebut dengan Isra dan Mi'raj, tidak ada satupun ulama yang menyatakan Allah berada di Sidratul Muntaha (di luar lapisan langit ketujuh, tempat tertinggi yang bahkan Jibril, Mikail dan Israfil pun tidak bisa mendekatinya). Melainkan itu adalah tempat dimana Nabi SAW menerima wahyu tentang syari'at shalat 5 waktu dalam sehari semalam.

Adapun riwayat yang menceritakan tentang bolak-baliknya Nabi Muhamad SAW ketika bernegosiasi (dari 50 waktu awalnya menjadi 5 waktu) di langit ketiga ketika menjumpai Nabi Musa AS, sungguh tidak bisa serta merta dijadikan dalil Allah bertempat. Melainkan, Rasulullah kembali ke tempat yang mulia itu, karena disanalah tempat yang seharusnya Nabi Muhammad SAW menerima wahyu berupa (belas kasih sifat Rahiim Allah) jawaban atas kegundahan dan permintaan hati Rasulullah SAW demi umatnya.


Kenapa demikian?
Hal ini senada dengan apa yang dilakukan oleh Nabi Musa AS ketika naik ke atas bukit Tursina yang amat sangat terjal, lalu memohon kepada Allah untuk membuka hijab pandangannya (Musa AS) agar bisa melihat wujud Allah SWT (hingga detail riwayat, gunung meleleh dalam sekejap karena tidak mampu menahan cahaya Allah yang Agung padahal masih terhijab dengan puluhan hijab (ghaib) Musa AS mendapatkan 10 ajaran utama dalam syari'atnya). Riwayat dan kisah Nabi Musa AS yang berbicara dengan Allah SWT di bukit Tursina, tidak menjadikan Tursina sebagai tempat yang ditempati oleh Allah SWT.

Sama halnya juga dengan kisah Nabi Ibrahim yang disebutkan dalam Al Quran kisah agungnya, ketika ia ditanya hendak kemana, ia menjawab hendak bertemu dengan Rabb nya, Allah SWT. Padahal, pada pandangan kasat mata, ia beranjak ke Palestina, dimana Baitul Maqdis berada saat ini. -Q.S Ash-Shaffat:99-. Bukankah Baitul Maqdis juga tidak dikatakan dimana Allah bertempat dan bersemayam. Demikian juga dengan Ka'bah Baitullah yang jika diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai rumah Allah. Dan rumah adalah tempat dimana penghuninya tinggal disana.

Demikian, pemaknaan terhadap dalil, harus mengacu kepada kaidah memaknai dalil -tafsir- yang tepat. Ia tidak bisa berada sendiri, atau direka-reka sesuka hati.

Ada masanya, akal bisa dijadikan dalil. Namun dalil 'aql (akal) dituntut tidak boleh bertentangan dengan dalil naql (khabar: ayat quran dan sunnah). Dalam keilmuan ahlussunnah wal jama'ah kajian tauhid dan kalam telah dirumuskan dengan sangat rapi tanpa cacat melalui Sifat 20 atau I'tiqad 50, dimana akal dan khabar berjalan beringan dan saling menguatkan.

Maka dari itu, syubhat yang menyatakan Isra' dan Mi'raj adalah dalil bagi Allah mengambil tempat di langit telah tertolak dengan ayat-ayat yang menceritakan mukjizat Nabi Musa AS di Tursina, dan perjalanan Nabi Ibrahim AS ke Baitul Maqdis.

Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah meyakini Allah Ada Tanpa Bertempat. Karena baginya Laitsa Kamitslihi Syaiun (Tidak Serupa Bagaimana di (sesuatu pun) dengan apa pun)

Wallahu 'alam bish-shawab.
Read More

Memaknai Mukjizat Peristiwa Isra' dan Mi'raj (Mukjizat dan Kepahaman Tauhid)

April 14, 2018

Tarbiyah.OnlineHampir seluruh umat muslimin tahu tentang kisah isra dan mi'raj ini, atau setidaknya pernah mendengar meski sekali saja dalam hidupnya. Yaitu, perjalanan di malam hari dari kota mekah (mesjidil haram) ke yarussalem (masjidil aqsa). Dan perjalanan menuju sidratul muntaha (menembus lapis langit ke tujuh) dengan mengendarai satu makhluk bernama Buraq yang ukurannya sedikit lebih besar dari keledai, kecepatannya sejauh mata memandang. Rasulullah Muhammad SAW ditemani malaikat Jibril AS sepanjang perjalanan, kecuali ketika ia sampai di Sidratul Muntaha.

Dimana dalam perjalanan tersebut Rasul SAW dibebankan syari'at shalat 5 waktu sehari semalam, di tempat yang sangat istimewa. Dimana Malaikat dan Jin sekalipun tak dapat menembus hijab tersebut. Yaitu sidratul muntaha.

Kisah Isra' dan Mi'raj ini diterangkan oleh Allah dalam firman-Nya, Surah Al Isra dimulai dari ayat pertama. Demikian pula dalam hadits-hadits shahih yang diriwayatkan secara panjang dalam kitab shahih bukhari dan muslim.

Di siang hari, Rasul SAW bercerita tentang kisahnya di hadapan kaum Quraiys, namun banyak diantara mereka yang memungkiri, mendustakan apa yang dikatakan oleh Nabi SAW.

Dalam riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan, Rasulullah Saw bersabda:

ู„ู…ّ ูƒุฐّุจุชู†ูŠ ู‚ุฑูŠุด ู‚ู…ุช ูู‰ ุงู„ุญุฌุฑ ูุฌุนู„ّู‰ ุงู„ู„ู‡ ู„ู‰ ุจูŠุช ุงู„ู…ู‚ุฏุณ ูุทูู‚ุช ุฃุฎุจุฑู‡ู… ุนู† ุงูŠุชู‡ ูˆุงู†ุง ุงู†ุธุฑูˆ ุงู„ูŠู‡.
"Ketika kaum Quraisy mendustakan aku. Aku berdiri di Hijr Ismail, lalu Allah memperlihatkan Baitul Maqdis padaku. Kemudian aku kabarkan kepada mereka tentang tiang-tiangnya daripada apa yang aku lihat."

Ketika berita ini didengar oleh kaum Quraiys. Mereka datang kepada Abu Bakar dan menceritakan hal tersebut dengan harapan Abu Bakar akan ikut mendustakan apa yang Muhammad sampaikan seperti hal keadaan mereka lakukan. Namunya ternyata Abu Bakar menjawab, "Jika memang benar Muhammad yang mengatakan hal tersebut, maka dia telah berkata benar, dan sungguh aku akan membenarkannya lebih dari pada itu". Ini pula yang menjadikan Abu Bakar mendapat gelar Ash-Shiddiq (membenarkan Nabi SAW secara mutlak).

Setelah peristiwa Isra dan Mi'raj, pada pagi harinya malaikat Jibril turun kepada Nabi SAW di setiap waktu-waktu tertentu sebagai penanda masuk dan batas waktu shalat. Dan diajarkannya shalat sebagaimana shalat yang disyari'atkan kepada Muhammad SAW, setelah sebelumnya ibadah/ ritual shalat yang dilakukan oleh Nabi SAW adalah mengikuti syari'at shalat Nabi Ibrahim AS.

Ibrah dari Peristiwa Mukjizat Isra dan Mi'raj yang dapat kita petik antara lain:

1. Ketika kita menyebutkan Isra' dan Mi'raj sebagai mukjizat, maka banyak perihal logika tertembusi. Kejadian luar biasa yang ada pada Nabi SAW dan Para Rasul AS lainnya disebut dengan Mukjizat.

Jumhur ulama (hampir semuanya) mengatakan Perjalanan yang dilakukan pada malam itu dilakukan dengan jasad dan ruh, maka perjalanan tersebut juga bukan sebuah mimpi, sebagaimana yang disebutkan oleh para orientalis dan pemuja logika. Karena Nabi SAW mampu menceritakan sebegitu detailnya peristiwa tersebut dan dirasakan oleh tubuhnya yang mulia menembusi alam ruh.

Mustahil? Tidak ada yang mustahil  bagi Allah, sebagaimana firman-Nya dalam Surah Al An'am ayat 109: "...Katakanlah,"Sesungguhnya, mukjizat-mukjizat itu hanya berada di sisi Allah....".

Dalam Syarhul Muslim, Imam Nawawi berkata, "Pendapat yang benar menurut kebanyakan kaum muslimin, ulama salaf, fuqaha, ahli hadits dan ilmu tauhid adalah bahwa Nabi SAW di-Isra dan Mi'raj-kan dengan ruh dan jasadnya. Semua nash menunjukkan hal ini dan tidak boleh ditakwil zahirnya kecuali dengan adanya dalil." (Jilid 2 halaman 29).

Demikian halnya dengan Imam Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Bari Syarah 'ala Bukhari, "Sesungguhnya, Isra dan Mi'raj terjadi pada satu malam, dalam keadaan sadar dengan jasad dan ruhnya. Pendapat inilah yang diikuti oleh jumhur ulama, ahli hadits, ahli fiqh, dan ahli ilmu kalam. Semua arti zahir dari hadits-hadits shahih menunjukkan pengertian tersebut, dan tidak boleh dipalingkan kepada pengertian lain karena tidak ada sesuatu yang mengusik akal untuk mentakwilnya." (Fathul Bari 7/136-137)

2. Kedudukan Baitul Maqdis yang mulia bagi umat islam di sisi Allah SWT. Betapa kaum muslimin harus menjaga keberadaan Baitul Maqdis dari tangan-tangan keji dan bernajis Yahudi.

3. Keagungan Syari'at Shalat 5 Waktu. Satu-satunya syari'at diantara pilar agama yang paling penting, diterima oleh Nabi SAW di tempat selain bumi adalah shalat. Seolah Nabi SAW dijamu oleh Allah SWT di tempat yang agung di langit sana. Tempat dimana hanya Nabi SAW saja yang mampu menembusinya. Bahkan Jibril, Mikail dan Israfil (konon menjadi makhluk yang paling dekat dengan Allah) pun tidak mampu berdiri bahkan mendekat kepada Sidratul Muntaha tersebut. Disinilah Allah mewahyukan kepada Muhammad apa yang telah diwahyukan (syari'at shalat).


Syari'at shalat yang didapat Rasul SAW seolah berkesan dijemput oleh Nabi SAW ke tempat yang mulia. Shalat juga disebut menjadi media pendekatan (mi'raj)-nya umat kepada Allah SWT. Disebutkan dalam hadits yang panjang riwayat Bukhari dan Muslim, syari'ah shalat awalnya dibebankan oleh Allah SWT kepada umat Muhammad sebanyak 50 (waktu) kali dalam sehari. Namun para Nabi, terutama Nabi Musa AS yang dijumpai oleh Nabi Muhammad SAW menyarankan kepada Rasulullah SAW untuk meminta keringanan waktu. Sehingga dengan sifat Rahiim-Nya Allah, menjadi 5 waktu saja dalam sehari semalam dibebankannya kewajiban shalat, dengan porsi pahala yang sama dengan 50 waktu.

Untuk membaca sejarah peristiwa Isra dan Mi'raj, banyak sekali buku dan kitab-kitab yang meriwayatkan kisah Isra dan Mi'raj secara detail. Namun, demikian tidak menutup kemungkinan ada riwayat yang bercampur dengan kabar-kabar palsu. 

Dalam Buku Fiqh Sirah oleh Syeikh Asy-syahidul Mimbar Muhammad Sa'id Ramadhan al Buthi disebutkan juga agar berhati-hati kepada kitab Mi'rajul Ibni Abbas, dimana banyak sekali kisah dalam kitab tersebut yang disandarkan kepada Sahabat sekaligus sepupu dari Nabi SAW (Abdullah bin 'Abbas bin Abdul Mutthalib). Kata Syeikh, setiap orang yang berakal dan terpelajar (agama) pasti mengetahui bahwa Ibn Abas terbebas dari segala kedustaan yang dituliskan didalam buku tersebut. (Terj. Fiqh Sirah: Sirah Nabawiyah 142).

Syeikh Al Buthi juga mengatakan, sejarah peristiwa luar biasa ini hanya bisa didapat dan dipercaya melalui riwayat-riwayat shahih. Karena keghaiban yang terjadi di dalamnya. Hindarilah riwayat-riwayat palsu yang menyesatkan umat.

Wallahu a'lam bis-shawab.
Read More

Minggu, 03 Desember 2017

Kedudukan Ahlul Bait Nabi SAW Dalam Aqidah Islam Ahlussunnah wal Jama'ah

Desember 03, 2017
(foto kaligrafi ahlulbait dari wikipedia)

Tarbiyah.online – Siapakah ahulbait, dan apa pentingnya mencintai keluarga Nabi SAW beserta keturunannya? Bagaimana batasan cinta kepada mereka? Dimana titik perbedaan antara cinta dan fanatik buta yang tercela? Dan tidakkah itu menyamakan kita dengan syi’ah yang sesat?

Pertanyaan ini kiranya penting untuk diajukan kepada ulama-ulama besar yang masih hidup di zaman ini, yang keilmuan mereka diakui, baik dikarenakan kelurusan aqidahnya maupun keluasan ilmunya dengan sanad keilmuan yang berterusan hingga kepada imam-imam mazhab yang muktabar hingga kepada Nabi Muhammad SAW.

Untuk menjawab pertanyaan diatas, ada baiknya kita mengintip satu diantara hadits yang disabdakan oleh Nabi SAW yang berisikan perintah untuk mencintai keluarga Nabi SAW dan ikut berpegang teguh kepada mereka.

“....Amma ba’d, Ingatlah, wahai sekalian manusia. Sesungguhnya aku adalah manusia yang hampir didatangi utusan Tuhanku lalu aku penuhi panggilannya. Aku meninggalkan kepada kalian dua perkara berat nan berharga. Pertama adalah Kitabullah. Di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya, maka ambillah dan berpegangteguhlah kepadanya. Lalu Nabi SAW melanjutkan, Dan Ahlul bait, keluarga ku. Aku mengingatkan kalian tentang Allah pada Ahlulbait ku. Aku mengingatkan kalian tentang Allah pada Ahlulbait ku.”
Hushain lalu bertanya,”siapakah ahlulbait beliau wahai Zaid? Apakah istri-istri beliau termasuk ahlul bait? Zaid menjawab,”Istri-istri beliau termasuk ahlulbait. Akan tetapi, ahlulbait yang dimaksud adalah orang-orang yang haram menerima zakat setelah beliau. “Dan siapakah mereka? “keluarga ‘Ali, keluarga ‘Aqil dan keluarga ‘Abbas.
“Mereka semua haram diberi zakat?”
“Ya” (H.R. Ahmad dan Muslim)

Sedangkan Sabda Nabi SAW yang lainnya, “Wahai manusia, Sesungguhnya aku meninggalkan kepad kalian sesuatu yang jika kalian ambil maka tidak akan sesat, yakni Kitabullah dan sanak keluargaku, Ahlulbait.” (H.R. Ahmad dan Turmidzi).

Maka dari itu kita sepatutnya mencintai ahlulbait Nabi SAW. Melihat turunannya, dari mencintai Allah maka kita mencintai Nabi SAW sebagai pemangku segala kebaikan dan rahmat bagi seluruh alam dari Allah SWT. Kemudian, dari mencintai Rasul SAW maka kita mencintai ahlulbaitnya dimana beliau telah berwasiat tentangnya, mereka juga memiliki ketamaan yang mulia dan kebaikan yang bertambah. Maka mencintai ahlulbait mesti lahir dari lubuk hati seorang Muslim sebagai wujud cintanya kepada Nabi SAW.

Baca juga kemuliaan nasab beliau

Fanatisme

"Dalam cinta, kata fanatisme tidak didapati." Kata-kata tersebut sering diucapkan oleh Syeikh Buthi rahimahullah. Seorang ulama Suriah. Namun fanatisme terdapat pada perihal keyakinan, aqidah. Maka ketika aqidahnya benar, tidak akan salah cintanya kepada Rasul SAW dan ahlulbaitnya. Kita yang beraqidah bahwa tiada tuhan melainkan Allah dan Muhammad adalah Rasulullah. Seluruh para Nabi dan Rasul-Rasul berstatus ma’shum, yaitu terlepas daripada segala dosa. Sedangkan selain mereka mempunyai kemungkinan melakukan perbuatan dosa, hatta ahlulbaitnya, namun mereka punya kemungkinan hanya berstatus mahfuzh, sebagaimana yang didapati orang-orang shalih, yaitu penjagaan dari Allah SWT terhadap mereka. Secara syari’ah mereka bisa saja melakukan pekerjaan dosa, namun mereka mendapat penjagaan dari Allah SWT.

Nah, selama aqidah seorang muslim masih lurus dalam hal ini, maka seyogyanya ia juga akan mencintai Nabi beserta ahlulbait dengan sepenuh jiwa. Dan, ketika cinta kepada ahlulbait telah merekah, itu menunjukkan derajatnya telah semakin mendekati derajat shalih. Sebab wujud cinta kepada ahlulbait adalah wujud kesempurnaan cinta kepada Rasul, dan wujud cinta kepada Rasul adalah wujud cinta kepada Allah. Tentu saja saipa yang mencintai Allah, akan diangkat derajatnya kepada derajat orang-orang shalih.

Zaman ini mudah mengenal keturunan-keturunan ahlulbait terutama yang berasal dari Hadramaut, Yaman. Karena kebanyakan dari mereka digelari Habib. Dan diantara mereka banyak yang menjadi Ulama besar dan Awliyaillah yang taqwa dan shalih. Namun demikian, tidak sedikit keturunan Rasul SAW yang tidak digelari Habib seperti kebanyakan di Mesir. Padahal ulama-ulama besar di Mesir seperti Syeikh Ahmad Thayib yang merupakan Syeikhul Azhar saat ini dan Syeikh Ali Jum'ah yang mpernah menjabat sebagai ufti Mesir juga merupakan salah satu dari ahlulbaitnya Rasul SAW. Jika di Saudi, gelaran untuk para keturunan ahlulbait adalah Sayyid, seperti Abuya Sayyid Muhammad Alwi Al Maliki Al Makki yang masyhur, dan memiliki ribuan murid dari tanah air Indonesia.

Banyak kitab-kitab yang menceritakan tentang keagungan keturunan ahlulbaitnya Rasul SAW. Ada kitab yang disusun oleh Al Imam Jalaluddin As Suyuthi berjudul Ihya’ul Mayyit fii Fadhilati Ahlul Bayt yang berisikan 60 Hadits keutamaan AhlulBayt. Kebetulan saya mendapatkan versi terjemahannya -pdf-, namun ketika saya membacanya, ada sedikit berbau kesyi’ahan. Bukan hendak mendiskreditkan Imam Suyuthi, hanya saja, dari kitab terjemahan yang saya dapatkan secara bebas di internet, saya tidak berani menjadikannya referensi utama. Karena memahami isi kitab tidak sembarang dengan cara autodidak, tanpa guru pembimbing dan/ atau juga tanpa pembanding.



Disadur dari beberapa referensi, terutama Al Bayan, karya Syeikh Ali Jum'ah.
Read More