September 2020 - TARBIYAH ONLINE

Fiqh

Selasa, 29 September 2020

Adakah Dengan Mandi Wajib, Hadats Kecil Ikut Hilang?

September 29, 2020


Fiqh Bersuci | Secara bahasa, hadats artinya sesuatu yang baru. Menurut istilah fikih, disebutkan Imam asy-Syarbaini dalam al-Iqna fi Halli Alfazh Abi Matn Abi Syuja‘, hadats adalah:

أمر اعتباري يقوم بالأعضاء يمنع من صحة الصلاة حيث لا مرخص

Suatu perkara yang tidak bisa diindera, yang ada pada anggota tubuh, yang menegah sahnya shalat, sekira tak ada keringanan.


Karena hadats tidak bisa diindera, maka para ulama hanya menjelaskan penyebab seseorang berhadats. Ada dua kategori hadats, yaitu hadats kecil dan hadats besar. Termasuk bersuci dalam syariat Islam bertujuan mengangkat hadats, baik hadats kecil maupun hadats besar. Bersuci dari hadats kecil adalah dengan berwudhu. Sementara bersuci dari hadats besar dengan cara mandi Wajib.


Hadats kecil, disebabkan oleh:

-Keluar sesuatu dari qubul (kemaluan) dan dubur.

-Hilang akal (termasuk tidur).

-Bersentuhan kulit lawan jenis yang tidak semahram.

-Menyentuh kemaluan dengan telapak tangan.


Adapun hadats besar, disebabkan oleh:

-Meninggal dunia.

-Haidh.

-Nifas.

-Melahirkan.

-Berhubungan seks.

-Keluar air mani.


Syekh Badruddin Al-Bakri dalam al-I’tina di al-Furuq wa al-Istitsna menegaskan bahwa setiap orang yang berhadats besar, niscaya ia juga berhadats kecil, terkecuali:

-Berhubungan seks dengan binatang.

-Membungkus kemaluannya ketika berhubungan seks, sehingga tidak bersentuhan kulit dengan perempuan.

-Menyetubuhi dubur pria.

-Keluar air mani karena mengkhayal.

-Mimpi basah dan keluar air mani, namun dalam kondisi tidur berduduk yang tetap kedudukannya.


Masalahnya kemudian adalah, apakah dengan mandi janabat sudah langsung otomatis suci dari hadats kecil?


Ada sebuah hadits yang diriwayatkan dari Sayyidatina Aisyah, bahwa Nabi -shallallahu ‘alaih wa aalih wa sallam- tidak berwudhu setelah mandi (janabat).

Hadits yang ditakhrij oleh Imam Ahmad, Abu Daud, an-Nasai, Ibn Majah, dan At-Tirmidzi ini dipandang hasan shahih oleh Imam at-Tirmidzi. Hadits ini memberi petunjuk bahwa seseorang yang telah mandi janabat tidak perlu lagi berwudhu.


Pertanyaannya, apakah Rasulullah shallallahu ‘alaih wa aalih wa sallam tidak berwudhu lagi lantaran sudah berwudhu sebelum mandi janabat, ataukah karena memang secara otomatis terangkat hadats kecil dengan mandi janabat?


Imam Nafi’ meriwayatkan dari Ibn ‘Umar, bahwa beliau pernah ditanya tentang wudhu setelah mandi, jawabnya, “adakah wudhu (mengangkat hadats) yang lebih umum selain mandi?”.


Dalam kaidah fikih, ulama menetapkan:

إذا اجتمع أمران من جنس واحد، ولم يختلف مقصودهما، دخل احدهما فى الآخر غالبا

Bila terhimpun dua perkara sejenis, yang tidak berbeda tujuannya, maka biasanya salah satunya masuk ke yang lain.


Kendati demikian, orang mandi janabat disunnahkah berwudhu. Wudhu boleh dilakukan sebelum, pertengahan, atau setelah selesai mandi.


Sayyid Hasan bin Ahmad al-Kaf dalam at-Taqrirat as-Sadidah:

الحدث الأصغر يندرج ويرتفع، ولو لم ينو، إذا اغتسل غسلا واجبا (كغسل الجنابة) ولم ينتقض وضوؤه أثناء الغسل، ولا يندرج ولا يرتفع الحدث الأصغر إذا اغتسل غسلا مسنونا، فلا بدّ أن يتوضّأ قبل الغسل أو بعده او فى أثنائه، مع ملاحظة الترتيب

Hadats kecil masuk dan terangkat, meski tidak diniatkan secara khusus, bila seseorang mandi wajib (seperti mandi janabat) dan tidak batal wudhu (tidak melakukan yang membatalkan wudhu) di pertengahan mandi. Namun, tidak masuk dan tidak terangkat hadats kecil bila seseorang mandi sunnah. Maka (ketika mandi sunnah) mestilah seseorang (yang ingin hadats kecilnya terangkat) berwudhu sebelum, atau sesudah, atau pertengahan mandi, dengan melaksanakan tertib wudhu.


Dengan demikian, orang yang telah mandi janabat, tidak wajib lagi berwudhu, karena hadats kecilnya sudah ikut suci. Hanya saja, tetap disunnahkan untuk berwudhu. Terkecuali ia mengerjakan sesuatu yang menyebabkannya berhadats kecil di saat mandi. Bila demikian, wajib berwudhu kembali.


Wallahul Muwaffiq Ilaa Aqwamith Thariiq.

Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org pada September 2109 oleh Ust. Khairullah Zainuddin.

Pengurus at LDNU Kab. Banjar, Alumni Pondok Pesantren Hidayaturrahman, Jurusan Fiqhiyyah Ma'had 'Aly Darussalam Martapura | Mulazamah Talaqqi Kajian Ilmu Tasawuf di Majelis Ar-Raudhah (KH. Muhammad Zaini Bin Abdul Ghani al-Banjari) 1994-2004

Read More

Kamis, 17 September 2020

Mudah Tapi Wajib Tahu! Begini Tata Cara Mandi Wajib yang Benar

September 17, 2020


Fiqh Bersuci | Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa hadats besar merupakan hadats yang mewajibkan pelakunya mandi besar. Dalam istilah akrabnya adalah mandi wajib.


Jenis mandi ini diwajibkan apabila seorang yang berhadats hendak melaksanakan ibadah yang diwajibkan untuk suci dari hadats besar dalam pelaksanaannya, seperti shalat, membaca Alquran dan lainnya.


Seperti ibadah yang lainnya, mandi wajib juga memiliki beberapa ketentuan dan tata cara yang menjadi keharusan bagi pelaksananya. Syekh Muhammad Hasan pengarang Syarh Matan Abi Syuja’ menyebutnya sebagai rukun. Dalam kitab Fiqh lain diistilahkan dengan fardhu.


Baik rukun maupun fardhu, keduanya merupakan istilah yang sama dalam bab ini. Jika salah satunya tidak ditunaikan, jelas tidak sah mandi wajibnya. Dengan demikian, seseorang harus mengulangnya.


Adapun fardhu/rukun mandi wajib ada tiga. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Syekh Muhammad Hasan Abdul Ghaffaar dalam kitab Syarh Matan Abu Syuja 21/1-3.

ﻭﻓﺮاﺋﺾ اﻟﻐﺴﻞ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﺷﻴﺎء: اﻟﻨﻴﺔ، ﻭﺇﺯاﻟﺔ اﻟﻨﺠﺎﺳﺔ ﺇﻥ ﻛﺎﻧﺖ ﻋﻠﻰ ﺑﺪﻧﻪ، ﻭﺇﻳﺼﺎﻝ اﻟﻤﺎء ﺇﻟﻰ ﺟﻤﻴﻊ اﻟﺸﻌﺮ ﻭاﻟﺒﺸﺮﺓ

Artinya: Fardhu mandi wajib ada 3 macam, yaitu niat; menghilangkan najis dari badan; membasahi seluruh rambut dan kulit dengan air secara merata.


Agar tidak terjadi kesalahpahaman, tentu penulis akan membahasnya satu persatu tata cara mandi wajib tersebut:

1. Niat

Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab juz 1 hal 222 menjelaskan bahwa niat ini tergantung pada hal apa yang mewajibkan pelakunya mandi wajib, seperti karena junub, haid, nifas dan sebagainya.


Berikut ini contoh-contoh minimal lafaz niat mandi wajib bagi laki-laki dan perempuan, disarikan dari kitab al-Majmu’ Imam Nawawi:

نويت رفع الجنابة

Nawaitu raf’al jinaabati

Artinya: Aku berniat menghilangkan hadats junub


نويت الغسل لاستباحة الصلاة

Nawaitul ghusla tistibaahatishshalaati

Artinya: Aku berniat mandi agar diperbolehkan melaksanakan shalat


ﻧﻮﺕ ﺭﻓﻊ ﺣﺪﺙ الحيض

Nawaitu raf’a hadatsil haidhi

Artinya: Aku berniat menghilangkan hadats haid


نويت الغسل لاستباحة الوطء

Nawaitul ghusla listibaahatil wath i

Artinya: Aku berniat mandi agar diperbolehkan untuk disetubuhi


2. Menghilangkan najis dari badan dan membasahi seluruh rambut dan kulit dengan air secara merata.

Penulis menggabungkan fardhu yang kedua dengan fardhu yang ketiga karena dalam teknisnya kedua fardhu ini dilaksanakan secara bersamaan, atau  saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya.


Oleh karenanya, tidak heran jika Syekh Muhammad Hasan menggabungkan pembahasan kedua fardhu ini dalam sebuah interpretasi yang perinci.

ﺗﻌﻤﻴﻢ اﻟﺠﺴﺪ ﺑﺎﻟﻤﺎء، ﻭﻫﻮ ﺇﻓﺎﺿﺔ اﻟﻤﺎء ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﻋﻀﻮ ﻭﺇﺭﻭاء اﻟﺒﺸﺮﺓ ﺑﺎﻟﻤﺎء، ﻓﻠﻮ ﻗﺎﻡ اﻟﺮﺟﻞ ﻣﻦ ﻧﻮﻣﻪ ﺟﻨﺒﺎ، ﻓﺪﺧﻞ اﻟﺒﺤﺮ ﻣﺜﻼ ﻭﻧﻮﻯ ﺭﻓﻊ اﻟﺤﺪﺙ ﻭﻋﻤﻢ ﺟﺴﺪﻩ ﺑﺎﻟﻤﺎء ﻭﺃﺭﻭﻯ ﺑﺸﺮﺗﻪ ﺑﺎﻟﻤﺎء، ﻓﻠﻪ ﺃﻥ ﻳﺨﺮﺝ ﻓﻴﺼﻠﻲ، ﻭﻗﺪ ﺭﻓﻊ ﺣﺪﺛﻪ

Artinya: Memeratakan seluruh tubuh dengan air maksudnya menyebarluaskan/ mengguyurkan/ menyiramkan air ke seluruh permukaan tubuh dan kulit (membasahinya). Apabila seseorang bangun tidur dan kedapatan dalam bahwa dirinya junub, kemudia ia menveburkan diri ke laut misalnya disertaj niat menghilangkan hadats, maka yang demikian hadatsnya dianggap hilang dan apabila ia melaksanakan shalat, maka sah shalatnya. Dengan catatan, seluruh anggota tubuh dan kulitnya terbasahi oleh air laut tersebut. Dalam arti lain, dari ujung kepala hingga ujung kaki harus terbasahi oleh air secara merata.


Lantas, anggota tubuh bagian yang terlebih dahulu terkena air? Menurut Syekh Muhammad Hasan dalam kitab yang sama bahwa tertib dalam memeratakan air (mendahulukan sesuatu terhadap sesuatu yang lain) tidak berlaku.

ﻓﻲ ﻏﺴﻞ ﺃﻋﻀﺎء اﻟﻐﺴﻞ ﺃﻭ ﺃﻋﻀﺎء اﻟﻐﺴﻞ ﻛﻠﻬﺎ ﻛﻌﻀﻮ ﻭاﺣﺪ, ﻭاﻟﺘﺮﺗﻴﺐ ﺳﺎﻗﻂ ﻓﻲ ﻣﺴﺄﻟﺔ اﻻﻏﺘﺴﺎﻝ

Artinya: Dalam membasuh anggota mandi atau seluruh anggota mandi itu seperti halnya satu anggota tubuh saja. Dengan demikian, maka tertib gugur dengan sendirinya dalam masalah mandi ini.


Kalau begitu, berarti tidak disyaratkan menggosoknya dengan bath spon/spons mandi atau dengan tangan? Tidak, karena menggosok badan saat mandi wajib hukumnya sunnah.

ﺇﻓﺎﺿﺔ اﻟﻤﺎء ﺩﻭﻥ اﻟﺪﻟﻚ ﺗﻜﻔﻲ، ﻭاﻟﺪﻟﻚ ﻣﺴﺘﺤﺐ ﻭﻟﻜﻨﻪ ﻻ ﻳﺸﺘﺮﻁ

Artinya: Memeratakan air ke seluruh bagian tubuh tanpa menggosoknya telah dianggap cukup, karena menggosok tubuh pada saat mandi hukumnya sunnah dan tidak disyaratkan.


Kesunnahan menggosok tersebut merupakan pandangan madzhab Syafi’i. Adapun menurut madzhab Maliki, hukum menggosoknya adalah disyaratkan dalam mandi wajib.


Demikian, semoga bermanfaat. Wallaahu a’lam bishshawaab.

Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org pada Oktober 2019 oleh Azis Arifin, Alumni Ponpes Assyafe'iyyah Purwakarta, Jawa Barat | Lulusan UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Read More

Selasa, 01 September 2020

Hukum Suami Memasukkan Jari ke Dalam Lubang Vagina Istri

September 01, 2020

Fiqh Nikah | Sebagaimana saat pasangan suami dan istri bercinta, dengan alasan mencari kepuasan seksual, tidak sedikit yang melakukan variasi dalam hubungan intim. Gaya dan variasi ketika hubungan suami istri ini sangat bermacam-macam, salah satunya adalah suami memasukkan jari tangan ke miss v istri. Lantas bolehkah hal demikian?


Pertanyaan seputar hubungan suami istri memang sangat banyak yang menggelitik meski sebagian ada yang dianggap tabu. Namun bukan Islam namnya bila tak membahas detail hingga perkara yang seperti itu.


Dalam Islam, pada prinsipnya saling memberikan kesenangan antara suami dan istri saat bercinta itu merupakan suatu yang dijunjung tinggi oleh agama. Itu sebabnya bercinta adalah salah satu ibadah yang berpahala bagi pasangan suami istri.


Bahkan begitu pentingnya hubungan suami istri, Rasulullah Saw pun mengajarkan doa agar kegiatan tersebut menjadi kegiatan yang baik dan dijauhi dari pengaruh setan di dalamnya. Hal ini seperti yang disebutkan dalam hadis riwayat Imam Bukhari dari Ibn ‘Abbas ra,


لَوْ أَنَّ أَحَدَهُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِيَ أَهْلَهُ قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبْ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا ، فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِي ذَلِكَ لَمْ يَضُرَّهُ شَيْطَانٌ أَبَدًا

Jika seseorang ingin bercinta dengan ahl ( pasangannya), berdoalah, “Allahumma Jannib as-Syaiton wa jannib as-Syaithona maa razaqtanaa”, maka sesungguhnya ketika ditakdirkan ada keturunan dari hubungan intim itu, setan tidak bisa membahayakan sang buah hati.


Kembali kepada soal memasukkan jari tangan ke miss v istri. Pada dasarnya hukum bervariasi saat berhubungan intim adalah boleh termasuk suami memasukkan jari tangan ke dalam miss V Istri untuk memberikan kesenangan saat bercinta. Hal tersebut dinukilkan sebagaimana terdapat dalam surah Al Baqarah ayat 223:


نِسَآؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُواْ حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُواْ لأَنفُسِكُمْ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّكُم مُّلاَقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ


Artinya, “Isteri-isterimu adalah ladangmu, maka datangilah ladangmu kapan saja dengan cara yang engkau sukai. Dan utamakanlah (yang baik) untuk dirimu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa engkau (kelak) akan menemui-Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang beriman,” (QS. Al-Baqarah: 223)


Dalam kitab Mughni Al-Muhtaj, Imam Khattib As-Syarbini mengutip riwayat dialog antara Abu Hanifah dan muridnya Abu Yusuf yang membicarakan hal ini;


سَأَلَ أَبُو يُوسُفَ أَبَا حَنِيفَةَ عَنْ مَسِّ الرَّجُلِ فَرْجَ زَوْجَتِهِ وَعَكْسِهِ ، فَقَالَ : لَا بَأْسَ بِهِ ، وَأَرْجُو أَنْ يَعْظُمَ أَجْرُهُمَا

“Abu Yusuf bertanya kepada Abu Hanifah tentang seorang lelaki yang menyentuh (untuk merangsang) kemaluan istrinya dan sebaliknya. Abu Hanifah menjawab; Tidak mengapa, dan saya berharap pahala keduanya besar” (Mughni Al-Muhtaj, vol. 12 hlm 68).


Hal ini menunjukkan saat behubungan intim suami boleh merangsang istrinya dengan memasukkan jari ke dalam miss V, tentunya selama hal itu tidak membahayakan.


Dalam persoalan hubungan suami istri, Islam hanya melarang dua hal, yaitu memasukan penis ke vagina istri dalam kondisi haid, dan memasukkan penis atau yang lain semisal jari atau alat bantu seks ke anus atau dubur (anal seks). Ini sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Zainuddin al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in,


يجوز للزوج كل تمتع منها بما سوى حلقة دبرها ولو بمص بظرها أو استمناء بيدها لا بيده وإن خاف الزنا خلافا لأحمد ولا افتضاض بأصبع ويسن ملاعبة الزوجة إيناسا وأن لا يخليها عن الجماع كل أربع ليال مرة

Boleh bagi suami untuk bersenang-senang saat bercinta dengan istri kecuali melakukan anal seks, meski dalam bentuk mencium klitoris, onani dengan tangan istrinya tapi tidak dengan tangannya sendiri meskipun karena tujuan takut jatuh kedalam perzinahan. Ini berbeda dengan pendapat Imam Ahmad (yang memakruhkannya), dan tidak boleh merobek selaput dara dengan jari. Dan disunnahkan foreplay (pemanasan) terlebih dahulu dengan istri, untuk menyenanginya dan tidak membiarkan tidak bercinta lebih dari empat hari.


Wallahu a’lam bisshawab.

Arif Rahman Hakim, Pengurus PWCINU dan LAZIZNU Okinawa - Jepang Tahun 2017

Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org pada Juli lalu.

Read More

Hukum Menjimak Istri Ketika Sedang Masa Istihadhah

September 01, 2020

Nikah | Ada beberapa kondisi dimana aktivitas seksual itu dilarang bagi suami. Seperti ketika istri sedang dalam keadaan puasa fardu, ihram, umrah atau haji, sedang haid atau nifas dan sebagainya. Lantas, bagaimana hukum jimak ketika sang istri sedang istihadhah?


Istihadhah adalah darah kotor yang keluar dari rahim di luar hari-hari haid dan nifas, atau dengan kata lain, darah selain haid dan nifas yang berasal dari rahim wanita. Terkait dengan hukum jimak ketika istri sedang masa istihadah, ada dua pendapat.


Pendapat pertama mengatakan boleh

Bersetubuh dengan istri yang sedang mengeluarkan darah istihadah hukumnya boleh dan tidak ada kemakruhan dalam hal ini. Pendapat ini dikatakan oleh jumhur ulama’ baik dari kalangan sahabat, tabiin maupun imam madzhab. Mereka memiliki dasar yang kuat, di antaranya adalah:

Pertama, darah istihadah adalah bukan darah haid. Sehingga, darah istihadah tidak bisa disamakan dengan hukumnya darah haid. Sebagaimana jelas disabdakan oleh Rasulullah saw.


إنما ذلك عرق وليس بالحيضة

Darah istihadah itu hanyalah keringat (suci), bukan (seperti) darah haid” (HR. Al Bukhari dan Muslim).

Kedua, penyakit atau gangguan yang ditimbulkan saat bersetubuh dengan istri yang haid tidak berlaku saat bersetubuh dengan istri yang istihadah.


Ketiga, Istihadah itu dihukumi suci, oleh karena itu bagi wanita yang mengeluarkan darah istihadah ia tetap wajib melakukan semua ibadah seperti salat dan puasa. Mak dari itu, bersetubuh dengan suamipun boleh baginya, karena posisinya sama dengan wanita yang suci.


Imam Ibnu Hajar Al-Haitami mengatakan dalam kitab Alfatawa Alfiqhiyah Alkubro sebagai berikut;


يَجُوزُ عِنْدَنَا وَطْءُ الْمُسْتَحَاضَةِ في الزَّمَنِ الْمَحْكُومِ بِأَنَّهُ طُهْرٌ وَإِنْ كان الدَّمُ جَارِيًا وَهَذَا لَا خِلَافَ فيه عِنْدَنَا 

“Boleh menurut kami bersetubuh dengan istri yang sedang istihadhah dalam masa di mana ia dihukumi suci meskipun darahnya masih mengalir. Ini tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama kami.”


Dalam kitab Mughnil Muhtaj juga disebutkan;

ويجوز وطء المستحاضة في الزمن المحكوم عليه بأنه طهر ولا كراهة في ذلك وإن كان الدم جاريا

“Boleh bersetubuh dengan istri dalam kondisi sedang istihadhah di masa ia dihukumi dalam keadaan suci dan hal demikian tidaklah makruh meskipun darahnya sedang mengalir.”


Bahkan di dalam kitab Sunan Abu Dawud, terdapat sebuah riwayat yang menceritakan bahwa sahabat perempuan, Ummu Habibah dan Hamnah pernah bersetubuh dengan suaminya dalam keadaan istihadah.


عَنْ عِكْرِمَةَ قَالَ : كَانَتْ أُمُّ حَبِيبَةَ تُسْتَحَاضُ فَكَانَ زَوْجُهَا يَغْشَاهَا.


Dari Ikrimah, ia berkata: “Ummu Habibah saat istihadah, suaminya mencumbuinya.” (HR. Abu Dawud)


عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنْ حَمْنَةَ بِنْتِ جَحْشٍ، أَنَّهَا كَانَتْ مُسْتَحَاضَةً وَكَانَ زَوْجُهَا يُجَامِعُهَا.


Dari Ikrimah, dari Hamnah bint Jahsy, bahwasannya ia saat istihadah suaminya mencumbuinya. (HR. Abu Daud).


Ummu Habibah adalah istri Abdurrahman bin Auf sedangkan Hamnah merupakan istri Thalhah bin Ubaidillah. Mereka berdua adalah sahabat perempuan yang meriwayatan hadis tentang hukum istihadah.


Pendapat kedua adalah tidak boleh

Pendapat ini dikatakan oleh Ibnu Sirrin, An Nakhai dan Hakam. Mereka menyandarkan pada riwayat Aisyah ra. sebagaimana yang termaktub dalam kitab Sunan Al Baihaqi


عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: ” الْمُسْتَحَاضَةُ لَا يَغْشَاهَا زَوْجُهَا “


Dari Aisyah ra, ia berkata: “Wanita yang istihadah itu tidak boleh dicumbui suaminya.” (HR. Al Baihaqi).


Namun Imam Nawawi mengatakan dalam kitab Al Majmu’ Syarh Muhadzhab bahwa riwayat Aisyah ra. tersebut tidak shahih, sehingga kurang kuat dijadikan dalil.


Demikianlah hukum jimak ketika istri sedang istihadhah. Pendapat yang paling kuat adalah boleh dan tidak ada kemakruhan didalamnya. Karena wanita yang mengeluarkan darah istihadah itu tidak pada masa haid dan nifas, sehingga ia dihukumi suci.


Namun, terlepas dari hukum kebolehannya, jika istri merasa kurang nyaman, atau ada hal-hal yang dikhawatirkan baik dari segi kesehatan maka sebaiknya berhubungan dihindari terlebih dahulu. Karena dari sisi medis pun istihadhah merupakan darah kotor, yang kemungkinan punya dampak kurang baik entah untuk istri maupun suami.


Wallahua’lam bisshawab.


Lukman Hakim Hidayat, Alumni Al-Iman Islamic Boarding School Purworejo

Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org pada Maret lalu.


Read More