November 2019 - TARBIYAH ONLINE

Fiqh

Sabtu, 30 November 2019

Kisah Waliyullah: Imam Ja'far Shadiq, Karamah dan Hikmahnya

November 30, 2019

Kisah | Membaca Kisah Kisah Waliyullah sangat di anjurkan karena memiliki manfaat yang luar biasa bagi kita dalam menjalani kehidupan. banyak hal yang bisa kita contoh dari mereka baik dalam hal ibadah, mu’amalah dan mu’asyarah (pergaulan). Kita mulai dengan kisah seorang Ahlul bait Nabi SAW yang mulia, yakni Sayyidina Ja’far Shadiq r.a

Imam Ja’far Shadiq, Karomah dan Kalam Hikmahnya

Lahir di Madinah 17 Rabi’ul Awal tahun 83 H. Beliau merupakan keturunan Rasulullah SAW melalui jalur Sayyidina ‘Ali dan Sayyidatina Fathimah anak perempuan Nabi SAW. Nama beliau adalah Ja’far bin Muhammad bin ‘Ali Zainal ‘Abidin bin Saydina Husein bin Sayyidina ‘Ali suami dari Siti Fathimah binti Sayyidina Muhammad Rasulullah SAW.

Kun-yah atau panggilannya adalah Abu ‘Abdillah. Beliau memiliki banyak gelar/laqab, antara lain yang paling masyhur As-Shaadiq. Di gelari demikian karena kejujuran dan kebenaran yang ada padanya, baik pada tutur katanya, hadits-hadits yang diriwayatkannya beserta perilaku dan perbuatannya yang mencerminkan kebenaran dan keta’atan.

Imam Ja’far Shadiq meninggal di Madinah pada tahun 148 H dan dimaqamkan di Baqi’ berdekatan dengan maqam ayah, kakek, dan datuknya (Semoga Allah Meridhai Mereka semua).

Karamah

Ketika kita membaca setiap kisah waliyullah, tentulah tidak terlepas dari karomah atau kemuliaan yang Allah Berikan kepada mereka. Demikian pula halnya dengan Sayyidina Ja’far Shadiq, beliau memiliki banyak karomah (kemuliaan), diantara lain sebagai berikut :

Beliau adalah seorang tokoh shufi yang tinggi Ma’rifatnya dan memiliki ilmu sangat luas, mujtahid fiqih, bersifat wara’ dan sifat terpuji lainnya.

Memiliki ribuan murid dari golongan ulama-ulama tersohor seperti Abu Hanifah (Pendiri mazhab Hanafi), Imam Malik bin anas (pendiri mazhab Maliki), Sufyan At-tsauri salah seorang tokoh sufi ternama, Daud At-Tha-I juga tokoh sufi ternama, Dan banyak lagi lainnya.

Imam Ja’far Shadiq pernah berkata “Hadits-hadits yang aku riwayatkan adalah dari bapakku, bapakku meriwayatkannya dari kakekku, setiap hadits dari kakekku adalah dari ‘Ali bin Abi Thalib dan hadits-hadits dari Amirul Mukminin adalah dari Rasulullah SAW, dan Hadits-hadits Rasulullah adalah Allah ‘Azza wa Jalla”

Dalam kitab Tazkiratul Auliya karya Syeikh Fariduddin ‘Athar terdapat satu kisah: Pada Suatu malam khalifah Al-Manshur yang berkuasa pada saat itu hendak mencelakai Imam Ja’far Shadiq. Ia berkata kepada salah seorang menterinya: “carilah Ja’far dan bawa kehadapan ku!”, lalu sang mentri menjawab:
“Wahai amirul mukminin, beliau adalah seorang yang suka menyendiri dari manusia dan lebih memilih beribadah kepada Allah SWT, ia tidak pernah bermaksud mengincar kepemimpinan anda”. Namun sang khalifah tetap bersikeras dengan tujuannya, yakni membunuh Imam Ja’far Shadiq. Sang mentri pun mencari Imam Ja’far dan memohon agar kiranya dapat memenuhi undangan khalifah tuk datang kerumahnya.

Singkat cerita, akhirnya sang khalifah pun tidak jadi membunuhnya karena ketika Imam Ja’far masuk kerumahnya, khalifah melihat ada seekor ular yang sangat besar yang ikut masuk bersama beliau dan seolah olah hendak melahap rumah beserta seluruh isinya. Sang khalifah menjadi takut dan gemetar lalu memberi isyarah kepada prajuritnya untuk membiarkan Imam Ja’far kembali pulang ke kediamannya dengan selamat.

Sayyidina Ja’far Shadiq orang yang maqbul doanya. Dalam kitab Shafatusshafwah karya Imam Jamaluddin bin Al-Jauzi, terdapat satu riwayat dari Al-Laits bin sa’ad ia bercerita: pada tahun 113 H aku mendatangi mekkah untuk melaksanakan ibadah haji.

Pada suatu hari setelah melaksanakan shalat ‘ashar aku naik ke puncak jabal Abi Qubais. Tiba tiba aku melihat ada seseorang yang sedang duduk bersimpuh sambil berdoa:
“Ya Allah Ya Allah, Wahai Tuhan, Ya Hayyu Ya Qayyum, Ya Rahim, Ya Arhamaraahimin, Ya Allah aku ingin sekali makan buah anggur segar, ku mohon berilah!, dan pakaian ku sudah sangat lusuh…!”.

Al-Laits melanjutkan kisahnya: Demi Allah, sebelum doanya habis, tiba-tiba aku melihat satu keranjang dipenuhi dengan anggur segar padahal saat itu bukanlah musim anggur. Dan aku juga melihat dua helai pakaian yang sangat indah.

Kalam Hikmah

Setiap membaca Kisah Waliyullah, tak lengkap rasanya bila tidak mengetahui kalam-kalam hikmah mereka. Ada banyak kalam hikmah beliau, diantaranya :

  • Barangsiapa yang tidak murka terhadap kekerasan, maka ia tidak mensyukuri nikmat.
  • Setiap maksiat yang berawal dari rasa takut dan akhirnya keozoran (keberatan), maka maksiat seperti itu dapat membawaki si hamba mendekat kepada Allah. Sedangkan segala keta’atan yang awalnya rasa aman dan akhirnya timbul ‘ujub akan dapat menjauhkan si hamba dari Allah. Karena sesungguhnya orang yang ta’at disertai sifat ‘ujub adalah ahli maksiat, sedangkan Orang yang Maksiat disertai dengan keozoran (keberatan/halangan) adalah Ahli Ta’at.
  • Ibadah tidak akan sah melainkan dengan Taubat, karena Allah Ta’ala mendahulukan taubat diatas ibadah dalam firmannya: {التَّائِبُونَ الْعَابِدُونَ}
  • Al-‘isyq adalah merupakan Gila Ilahi/Ketuhanan (Gila kepada Tuhan), ia tidaklah dihukum lagi tidak tercela.
  • Mukmin adalah orang yang berdiri ia bersama dirinya sedangkan ‘Arif adalah orang yang berdiri bersama (ridha) Allah.
  • Allah Ta’ala memiliki syurga dan neraka di dunia ini. Adapun Syurga di dunia adalah Kesejahteraan sedangkan Neraka di dunia adalah Bala/Musibah. kesejahteraan adalah menyerahkan sepenuhnya setiap urusan kepada Allah, sedangkan Bala adalah ketiadaan berserah diri kepada-Nya.
  • Orang Fakir yang Sabar lebih utama ketimbang Orang Kaya yang Syukur. Karena hati orang fakir sibuk dengan mengingat Allah, sedangkan hati orang kaya sibuk dengan harta.

Demikian tulisan yang sangat ringkas tentang Kisah Sayyidina Ja’far Shadiq r.a, semoga kita termasuk dalam golongan orang-orang yang mencintai Nabi SAW beserta seluruh ahlul baitnya dan sekalian Wali-wali Allah di atas permukaan bumi. Mudah-mudahan Kisah Waliyullah ini dapat bermanfaat buat kita semua, amiin ! Wallaahua’lambisshawab!

Oleh Muhammad Haekal, Alumni Ponpes Moderen Babun Najah Banda Aceh juga Santri di Dayah Raudhatul Hikmah Al-Waliyyah, Banda Aceh.
Artikel ini juga telah tayang di Pecihitam.org
Read More

Rabu, 06 November 2019

Siapa Sangka, Ternyata Dialah Orang Pertama Kali Merayakan Maulid Nabi Saw

November 06, 2019

Tarbiyah.onlineHampir setiap tahun di bulan Rabiul Awal atau yang lebih sering disebut Bulan Maulid, komunitas anti Maulid Nabi nyiyir di media sosial. Mereka mengklaim Peringatan Maulid tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan sahabat. Padahal jika mereka memahami dalil, justru orang pertama yang merayakan maulid adalah Nabi sendiri.

Orang anti Maulid Nabi akan marah besar ketika ada kalimat “Yang pertama kali merayakan Maulid adalah Nabi sendiri”. Mereka langsung secara otomatis teriak ‘bid'ah, ghuluw, sesat dan semacam kecaman nista sejenis.

Padahal jika mereka mau membaca tidak hanya dari satu refrensi dan mau fair belajar, tidak taklid buta pada ustadz-ustadz yang memang tidak suka Maulid, maka mereka akan menemukan banyak dalil tentang kebaikan yang ada dalam peringatan Maulid Nabi.

Lalu apa yang menjadi dasar bahwa Nabi sendirilah orang pertama yang memperingati hari kelahirannya itu?

Mari pahami dengan hati yang sehat sabda Nabi berikut. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dikatakan bahwa Rasulullah SAW mensyukuri hari kelahirannya dengan berpuasa.

عَنْ أَبِي قَتَادَتَ اْلاَنْصَارِيِّ اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الْاِثْنَيْنِ فَقَالَ فِيْهِ ولُدِتْ ُوَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ

“Diriwayatkan dari Abu Qatadah al-Anshari RA bahwa Rasulullah pernah ditanya tentang puasa senin, maka beliau menjawab:” Pada hari itulah aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku.” (HR. Muslim).

Nah, Nabi saja bahagia dan mensyukuri hari kelahirannya dengan melakukan puasa serta menganjurkan ummatnya untuk berpuasa pada Hari Senin yang merupakan hari kelahirannya. Bagaimana mungkin kita sebagai ummatnya yang dicintai oleh beliau tidak mensyukuri hari kelahirannya?

Lebih dari itu, kita ummat Islam diperintahkan untuk mensyukuri dan menyambut bahagia setiap anugerah dan kasih sayang Allah kepada kita, sebagaimana firman-Nya

قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَالِكَ فَلْيَفْرَحُوْا

"Katakanlah (Muhammad), sebab anugerah dan rahmat Allah (kepada kalian), maka hendaknya mereka bergembira". (QS.Yunus ayat 58).

Sementara kita tahu bahwa kelahiran Nabi Muhammad merupakan fadlah atau anugerah Allah terbesar. Sebagaimana disebutkan dalam syair

يا هنانا بمحمد # ذلك الفضل من الله

"Betapa beruntungnya kami dengan lahirnya Nabi Muhammad".
"Dia (Muhammad) merupakan anugerah dari Allah."

Dan Nabi Muhammad SAW pun merupakan rahmat atau kasih sayang Allah terbesar, bahkan bukan hanya untuk manusia, melainkan untuk seluruh alam. Bukankah Allah SWT berfirman

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ

"Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam". (QS. Al-Anbiya’ ayat 107)

Maka karena Nabi sendiri yang telah pertama kali mulai merayakan Maulid, maka sudah sepatutnya kita sebagai ummatnya lebih semangat merayakannya. Karena hakikat dari peringatan Maulid Nabi adalah bentuk sukur atas lahirnya Nabi Muhammad SAW.

Sebagaimana hal ini dianjurkan sendiri oleh Rasulullah dalam hadis yang diriwayatkan Ibnu Asakir dan sanadnya dinilai shahih oleh pakar hadis, Imam Adz-Dzahabi.

مَنْ عَظَمَ مَوْلِدِيْ كُنْتُ شَفِيْعًا لَهُ يَوْمَ اْلِقيَامَةِ

"Barangsiapa menghormati hari lahirku, tentu aku akan memberikan syafa’at kepadanya dihari Kiamat."

Bahkan Umar bin Khattahab menilai orang yang memperingati Maulid Nabi sebagai orang yang menghidupkan syiar Islam. Ini dapat dilihat dalam Madarij as-Su’ud Syarh Al-Barzanji halaman 16.

وَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَنْ عَظَمَ مَوْلِدِ النَّبِي صَلًّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَدْ اَحْيَا الْاِسْلَامَ

"Umar mengatakan: Barangsiapa menghormati hari lahir Rasulullah, maka sungguh ia telah menghidupkan syiar Islam."

Maka dengan sederet penjelasan di atas, tidak ada alasan lagi bagi kita untuk meninggalkan apalagi menolak Peringatan Maulid. Lagi pula seperti yang dikatakan Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki, “Peringatan Maulid Nabi tidak butuh pada dalil yang shahih, tapi ia hanya butuh pada hati yang sehat”.

Ini sindiran keras bagi mereka yang mengaku berjalan di atas sunnah, tapi mengingkari agungnya peringatan kelahiran Nabi. Bukankah cinta Nabi pada kita tanpa syarat, lalu mengapa kita ummatnya masih perlu alasan untuk mencintainya? Begitukah cara kita membalas cinta?

Oleh Usatdz Faisol Abdurrahman, Alumni dan Staff Pengajar di Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Al-Khaliliyah. Artikel ini juga tayang di Pecihitam.org
Read More

Senin, 04 November 2019

Perayaan Maulid Lebih dari Sekedar Mengenal Nama dan Nasab Nabi Saw

November 04, 2019

Tarbiyah.onlineApa hikmah dari memperingati perayaan maulid Nabi Muhammad SAW? apakah hanya sekedar makan-makan? Adakah hal lain yang perlu diperhatikan?

Kelahiran Baginda Rasulullah SAW adalah merupakan suatu nikmat besar lagi sangat berharga. Karena dengan lahirnya Pemuda Arab yang suci lagi mulia ini, kita dapat mengenal Allah melalui perantaraan beliau SAW.

Oleh karena inilah kita ummat Islam sedunia walaupun tidak semuanya, membuat perayaan Maulid Nabi SAW, sebagai bentuk rasa syukur kita terhadap nikmat yang agung tersebut.

Namun yang sangat disayangkan adalah, jika kita perhatikan perkembangan ummat muslim sekarang ini dalam memperingati maulid Nabi, kebanyakan hanya sekedar menyanjung-nyanjung nama Rasulullah SAW, menyebut nasab keturunannya , bercerita kisah-kisah perjalanan hidupnya dan menyampaikan ajaran yang dibawanya.

Hanya sekedar itu saja, sangat kurang yang mengamalkan ajaran yang dibawanya secara komplit

Yang dimaksud dengan kata-kata “secara komplit”, adalah sebagaimana Firman Allah SWT yang tersebut didalam  Al-Quran:

قَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

“Sungguh Allah Telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. (QS. Ali Imran: 164)

Cobalah kita perhatikan dengan seksama ayat tersebut diatas. Maka dapat disimpulkan bahwa hikmah diutusnya Rasul tersebut adalah untuk menyampaikan tiga perkara kepada orang-orang quraisy dan kita semua, tiga perkara itu adalah :

1. Tentang keberadaan Allah/tanda-tanda keberadaan-Nya. Inilah yang dimaksud dengan Tauhid atau aqidah.

2. Tazkiyah (penyucian jiwa), yakni membersihkan nafsu dari segala macam sifat tercela dan dari syirik khafi (halus/tersembunyi) yang bersarang didalam bathin. tazkiyah Inilah yang disebut dengan tasawwuf dan kesufian.

3. Mengajarkan Kitab (hukum syari’at) dan hikmah atau kebijakan dalam mejalanai kehidupan didunia yang fana ini.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa, perayaan maulid Nabi tersebut bukan hanya sebatas mengetahui nama dan nasab keturunan, sejarah kelahiran dan kehidupan beliau saja. Akan tetapi Maulid Nabi itu dirayakan untuk memahami dan mengikuti ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi SAW.

Memahami ajaran-ajaran tersebut dengan pemahaman yang benar, untuk kemudian mengamalkannya dengan baik. Jadi bukanlah hanya sekedar membangga-banggakan Sosoknya saja, tanpa mengikuti ajaran yang dibawanya.

Ibrahim bin Adham, seorang tokoh ulama shufi, Waliyullah terkenal. Beliau pernah ditanya oleh murid-muridnya perihal ayat yang berarti “Berdoalah kepada-Ku niscaya akan Kuterima”. muridnya berkata:

“Wahai guru, Kami senantiasa berdoa kepada Allah, akan tetapi sampai saat ini doa kami tersebut belum terwujudkan, belum diterima. Lalu bagaimana ayat tersebut dapat terbukti wahai guru? apa maksud ayat itu sebenarnya? dan apa kesalahan kami sehingga sampai saat ini doa kami belum  juga diterima Allah SWT?”

Sang guru, Ibrahim bin Adham pun menjawab beberapa hal yang menjadi pencegah diterimanya doa seorang hamba oleh Allah. Salah satunya adalah “Kalian membangga-banggakan Nabi Muhammad, kalian kagum padanya, bahkan kalian siap berperang bila namanya direndahkan, tetapi sayangnya kalian tidak mau mengikuti sunnah dan ajaran-ajarannya. inilah penyebab doa kalian tidak diterima” kata beliau.

Makanya Allah SWT menghikayahkan didalam Al-Quran ucapan Nabi Ibrahim as. Nabi Ibrahim berkata:

فَمَنْ تَبِعَنِي فَإِنَّهُ مِنِّي

“…maka barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku”. (QS. Ibrahim: 36)

Pertama sekali yang kita pahami dari ayat ini adalah siapa yang mengikut maka dia termasuk golongan ku, dan yang kedua merupakan kebalikan dari itu, yakni siapa yang tidak mengikutiku maka bukanlah dari golonganku.

Maka oleh karena itu, ketika Nabi Nuh as berkata kepada Allah tentang putranya yang durhaka:
فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي

“…maka ia (Nuh) berkata : Ya Tuhanku, Sesungguhnya anakku termasuk keluargaku” (QS. Hud: 45)

Kemudian Allah SWT pun menjawab kegelisahan Nabi  Nuh, pada ayat selanjutnya Allah SWT Berfirman:

قَالَ يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ ۖ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ

“Allah Berfirman: Wahai Nuh, sesungguhnya dia bukan termasuk keluargamu, sesungguhnya (perbuatan)nya tidak baik”. (QS. Hud: 46)

Padahal anak itu adalah anak kandung Nabi Nuh as, Nabi Nuh sendiri yang mengakui itu. Ketika beliau berkata demikian kepada Allah. Namun Allah menjawab bahwa bukanlah ia termasuk dalam golongan Nabi Nuh, karena ia memiliki amalan yang buruk, tidak mengikuti ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi Nuh as. Meskipun ia (Kan’an) berasal dari darah dagingnya sendiri, anak kandungnya.

Makanya jika dalam masalah agama, bukanlah masalah hubungan darah semata. Akan tetapi masalah ikut atau tidak.

Sebagaimana pada contoh lainnya, yaitu salah seorang sahabat Nabi yang mulia, Salman al-Farisi. Beliau bukanlah dari keluarga Nabi Muhammad SAW, tidak ada hubungan nasab, bahkan tidak berasal dari Mekkah. Tetapi Nabi SAW pernah berkata tentang sosoknya.

Rasulullah SAW bersabda: “Salman Farisi adalah keluargaku”. Ini dikarenakan Salman al-Farisi mengikuti ajaran-ajaran Nabi SAW (Mutaba’ah). Oleh karena ini, dalam agama bukan masalah hubungan darah, tetapi masalah mutaba’ah.

Jadi silahkan saja bila kita ingin membuat kenduri maulid, tetapi inti yang dimaksud dari perayaan maulid Nabi itu adalah sebagaimana yang telah disebutkan diatas. Bukan hanya sebatas mengundang orang untuk datang dan makan bersama, lantas ajaran-ajaran Nabi SAW yang kita rayakan hari kelahirannya itu tidak kita ikuti/amalkan.

Yang perlu kita tekankan disini adalah tazkiyah (penyucian jiwa) yang ada pada surat Ali Imran ayat 164 pada awal pembahasan tadi. Ini sudah sangat kurang pembahasannya dikalangan pemuda-pemudi Islam saat ini. Apalagi dalam hal pengamalannya, sungguh jauh panggang dari api.

Kita dituntut untuk berakhlak mulia, menghilangkan ananiyah/ keakuan, dan untuk bersuhbah (berhubungan baik) dengan Allah dan semua makhluk-Nya. Dan ini semua tidak dapat kita lakukan melainkan dengan bimbingan seorang Mursyid (guru rohani). Begitulah penjelasan dari seluruh ahli sufi terdahulu yang bisa kita baca dalam berbagai kitab-kitab tashawwuf/kesufian.

Bukan hanya dengan membaca-baca saja kitab tasawuf, kemudian kita menjadi sufi, tidaklah demikian. Kesufian (tazkiyah) ini butuh kepada riyadhah lahir dan batin dibawah bimbingan seorang Mursyid yang Kamil.

Demikianlah, semoga kita dapat memetik pelajaran berharga dari tulisan ini untuk kemudian menjadi bahan renungan kedepannya, bagaiman caranya agar perayaan maulid Nabi SAW tidaklah hanya sekedar makan-makan, mengetahui nasab Nabi SAW, tempat tanggal lahir, tempat wafatnya dan kisah hidupnya.

Akan tetapi kita juga harus tahu dan mengamalkan Syariat dan Thariqatnya/hadap hatinya dan akhlak prilakunya.

Allah SWT Berfirman:

فَالَّذِينَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ ۙ أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“…Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. Al-A’raf: 157)

Bahkan lebih dari itu, dalam ayat diatas barusan kita juga dituntut untuk mencintai, memperjuangkan dan membela ajaran-ajarannya, tentunya dengan segala kemampuan yang kita miliki walaupun nyawa sebagai taruhannya.

Jika tidak demikian, maka sungguh perayaan maulid tersebut hanya sebatas perayaan, sedikit sekali manfaatnya atau bahkan na’uzubillah!, tidak bermanfaat sama sekali. Wallahua’lambisshawab!

[Disarikan dari ceramah khutbah Jum’at di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh tanggal 1 November 2019, yang disampaikan oleh Abu. H Syukri Daud Pango, Pimpinan Dayah (Ponpes) Raudhatul Hikmah Al-Waliyyah]

Oleh Teungku Muhammad Haekal, S.Pd.I Pengajar at Pesantren Tradisional Dayah Raudhatul. Artikel ini juga tayang di Pecihitam.org

Read More