Februari 2020 - TARBIYAH ONLINE

Fiqh

Jumat, 14 Februari 2020

Kenal Ulama: Imam al Mawardi, Ilmuwan Muslim Peletak Dasar Ilmu Politik Islam

Februari 14, 2020

Tokoh Ulama | Imam al Mawardi, ialah sang pemikir ulung terkait konsep kenegaraan dan hukum yang pernah ada. Bahkan pemikiran beliau dibidang politik tertuang banyak dalam karya besarnya yang salah satunya berjudul al ahkaam al Shultoniyah (Hukum dan Prinsip kekuasaan) sekaligus menjadi masterpiece-nya yang sempat diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa.

Abu al Hasan Ali bin Habib al Mawardi, atau yang sering disebut dengan nama Imam al Mawardi. Beliau lahir di kota pusat peradaban Islam Klasik (Baghdad) pada tahun 386 H/975 M. Dalam menempuh pendidikan pertamanya, beliau tetap menjadikan tanah kelahirannya sebagai tempat belajar terutama pada ilmu hukum dari (ahli hukum yang bermazhabkan Imam Asy Syafi’i).

Usai itu, beliau berpindah ke Baghdad dalam menuntut ilmu-ilmu lainnya seperti tata bahasa dan kesusastraan dari Abdullah al Bafi dan Syaikh Abdul Hamid al Isfrani. Sebagai penuntut ilmu yang memang memiliki kecerdasan yang luar biasa, tentu membuat al Mawardi menguasai berbagai disiplin ilmu dalam waktu yang singkat.

Dari kepiawaiannya inilah mengantarkan beliau pada kedudukan penting diantara sarjana sarjana muslim pada waktu itu. Bahkan beliau mendapatkan pengakuan sebagai seorang ahli hukum terbesar di zamannya (dalam pemerintahan Daulah Abbasiyyah).

Sedangkan sumbangsih lainnya, beliau mengemukakan fiqh mazhab Syafi’i dalam karyanya al Hawi yang digunakan sebagai sumber rujukan tentang  Mazhab Syafi’i oleh para ahli hukum.

Saat memasuki tahun 1037 M, Khalifah pada masa itu yakni al Qadir atau yang bernama lengkap Ahmad bin Ishaq bin Al-Muqtadir mengundang empat ahli hukum mewakili keempat mazhab fikih (Mazhab Hanafi, Malik, Syafi’i dan Hanbali). Keempat ahli hukum ini rupanya diminta untuk menulis sebuah buku fikih, dan rupanya al mawardi terpilih dalam menulis buku fikih Mazhab Syafi’i.

Dan setelah selesai perintah sang khalifah, diantara keempat ahli hukum hanya ada dua orang yang memenuhi atas dasar yang diperintah Khalifah. Yakni al Quduri dalam bukunya al Mukhtashor dan al Mawardi dengan kitabnya kitab al igna’.

Tidak sampai disana, kitab yang disusun al Mawardi pada saat itu diperintahkan oleh sang raja untuk kepada para penulis untuk menyalin kitabnya, berhubung kitab dari al Mawardi ini dinilai sebagai kitab terbaik. 

Pemikirannya tentang Seorang Imam (Pemimpin)

Adapun pandangan atau pemikiran Imam al Mawardi terkait seorang Imam (Raja, Presiden ataupun Sultan) maka baginya itu adalah suatu keniscayaan. Artinya sesuatu yang memang sangat dibutuhkan dalam bermasyakarat dan bernegara, karena tanpa seorang Imam tentulah kehidupan bermasyarakat akan mengalami kekacauan dan tak terkontrol.

Mengingat seorang imam adalah seorang pemimpin bagi rakyat rakyatnya, tentulah kepemimpinan ini harus dipegang oleh orang benar benar terpercaya dan dapat mengembang amanah guna membentuk negara yang tata hidup masyarakat didalamnya aman, tenteram damai dan sejahtera.

Maka tak salah jika Imam al Mawardi beranggapan bahwa Imamah (Kepemimpinan) dibentuk untuk menggantikan fungsi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia.

Memandang hal ini, al Mawardi memiliki beberapa syarat bagi seorang pemimpin yang hendak dipilih,

1. Adil dalam arti yang luas, punya ilmu untuk dapat melakukan ijtihad didalam menghadapi persoalan persoalan dan hukum.
2. Sehat pendengaran mata dan lisannya supaya dapat berurusan langsung dengan tanggung jawabnya.
3. Sehat badan sehingga tidak terhalang untuk melakukan gerakan dan melangkah cepat.
4. Pandai dalam mengendalikan urusan rakyat dan kemashalahatan umum.
5. Berani dan tegas membela rakyat dan menghadapi musuh, dan keturunan quraish.
6. Selain itu, beliau pun menentapkan 3 syarat yang perlu dimiliki oleh seorang pemilih imam, yakni
7. Kredibilitas pribadinya atau keseimbangan (al ‘Adalah) memenuhi semua kriteria.
8. Mempunyai ilmu sehingga tahu siapa yang berhak dan pantas memangku jabatan kepala negara dengan syarat syaratnya,
9. Dan memiliki pendapat yang kuat dan hikmah yang membuatnya dapat memilih siapa yang paling pantas untuk memangku jabatan kepala negara dan siapa yang paling mampu dan pandai dalam membuat kebijakan yang dapat mewujudkan kemashalahatan umat.

Sedangkan masalah pemecatan seorang pemimpin, beliau menyebutkan dua alasan yang dapat dijadikan sebagai patokan dalam pemecatan seorang pemimpin yaitu

Pertama, cacat akibat keadilannya dan itu karena syahwat ataupun karena syubhat
Kedua, cacat tubuh seperti hilang ingatan secara permanen dan hilang pengliatan. Selain itu cacat organ tubuh dan cacat tindakan. Adapun cacat yang tidak menghalanginya untuk dipilih atau diangkat menjadi seorang pemimpin ialah, seperti cacat hidung yang mengakibatkannya tidak mampu lagi mencium bau sesuatu dan cacat alat perasa seperti tidak lagi bisa membedakan rasa makanan.

Pemikirannya tentang konsep Jihad

Dalam konsep ini, al Mawardi tidak hanya beranggapna bahwa jihad yang dimaksud agama adalah jihad dalam memerangi orang orang kafir, melainkan mereka yang beragama Islam sekalipun yang dibaginya atas tiga bagian, diantaranya:

1. Jihad melawan orang orang murtad, bagi al mawardi orang orang murtad yang dimaksud dibagi atas dua kondisi, yakni mereka yang berdomisili negara Islam dan tidak memiliki wilayah otonom dan mereka yang memiliki wilayah otonom dan berada diluar wilayah Islam.
2. Jihad melawan para pemberontak yaitu Jihad dalam melawan pemberontak yang merupakan salah satu kelompok kaum muslimin kemudian menentang pendapat dari jamaah kaum muslimin dan menganut pendapat mereka sendiri.
Dan yang terakhir ialah Jihad dalam melawan para pengacau keamanan.

Oleh Nonna, Mahasiswa UIN Alauddin Makassar, Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org
Read More

Sabtu, 08 Februari 2020

Kenal Ulama: Al Khawarizmi, Matematikawan Muslim Penemu Angka Nol

Februari 08, 2020

Tokoh Ulama | Sebagai orang yang berkecimpung dalam dunia matematika, tentu kerap kali kita akan dipertemukan dengan deretan angka angka dan rumus matematika, dan tentu angka nol salah satu angka yang paling rajin muncul diberbagai lembaran matematika sekalipun nilainya adalah nol. Namun siapa sangka? Rupanya si pencetus dari angka tersebut adalah al Khawarizmi sang Matematikawan Muslim.

Dialah yang bernama lengkap Muhammad bin Musa al Khawarizmi atau yang dikenal pula dengan nama Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Yusoff. Sedangkan di dunia barat beliau dikenal dengan nama al Cowarizmi, al Karismi, al Goritmi dan sebutan lainnya.

Sedangkan waktu kapan beliau lahir beberapa sumber mengalami perbedaan pendapat, diantaranya ada yang mengatakan beliau lahir sekitar awal pertengahan abad ke 9 M, adapula yang mengatakan bahwa beliau lahir pada tahun 194 H/780 M di Uzbekistan dan wafat pada tahun 266 H/850 M.

Beliau hidup pada masa Khalifah al Ma’mun yang dimana pada waktu itu, Khalifah al Ma’mun adalah seroang khalifah yang sangat disenangi oleh para ilmuwan yang salah satunya oleh al Khawarizmi. Maka tak heran jikalau al Khawarizmi termasuk dalam salah satu anggota Baitul Hikmah Baghdad yang memang langsung didanai oleh Khalifah Dinasti Abbasiyah untuk melakukan penelitian terkait keilmuwan.

Selain itu, beberapa catatan sejarah mengatakan bahwa beliau merupakan satu satunya ahli astronomi yang diikutsertakan dalam proyek pimpinan al Ma’mun untuk mengukur panjang satu derajat lingkar bumi sepanjang satu busur.

Sedangkan jika kita menoleh pada karya-karya tulisnya yang mencakup tentang keilmuwan, diantaranya ialah Kitab al Jabr w’ al Muqabalah (The book of restoring and balancing) buku ini merupakan titik awal aljabar dalam dunia Islam.

Selain itu Kitab al Tam wa’l Tafriq bi Hisab al Hid (Book of Addition and Subtraction by the method of calculation) karya ini dikenal sebagai pelajaran pertama yang ditulis dengan menggunakan sistem bilangan decimal serta merupakan titik awal pengembangan matematika dan sains.

Kontribusi al Khawarizmi dalam Bidang Ilmu

Dalam matematika sendiri, beliau kerap kali dijuluki sebagai bapak Aljabar atau bapak ilmu pengetahuan Aljabar. Sekalipun konsep Aljabar telah ada sebelum al Khawarizmi mengembangkan teori tersebut menjadi teori yang lebih kompleks.

Adapun dalam beberapa sumber terselip nama Diophantus dari Yunani yang dipercaya sebagai penemu aljabar sekalipun belum dinamakan aljabar pada waktu itu, yang dimana teori Diaphontus sendiri lebih cenderung menggunakan aljabar untuk aplikasi teori teori bilangan.

Selain itu, beliau juga dikenal dengan teori algoritmanya dan sebagai orang yang memperkenalkan angka nol (0) dan menggunakannya sebagai basis baru dalam perhitungan.

Dari angka nol inilah kemudian orang orang barat menggunakan angka tersebut sekitaran dua abad kemudian. Tentu tidak bisa kita bayangkan tentang bagaimana jadinya dunia matematika itu tanpa angka nol bukan?

Sedangkan dalam dunia astronomi beliau berhasil membuat tabel khusus dalam pengelompokan ilmu perbintangan, maka tak heran jikalau beliau sempat mencoba untuk membuat ramalan tentang masa hidup Baginda Nabi Saw., melalui ilmu astronominya itu terlebih pada kepiawaiannya dalam dunia perbintangan.

Pandangan Para Ilmuwan

Sebagai orang hebat dibidang keilmuwan tentu Al Khawarizmi memiliki penilaian yang baik dimata para ilmuwan. Seperti dalam kacamata George Sarton (Seorang ahli kimia dan sejarawan Amerika yang berkelahiran Belgia) mengatakan bahwa Al Khawarizmi merupakan ilmuwan muslim terbesar dan terbaik sampai sampai menggolongkan periode antara abad ke 4 dan 5 M sebagai Zaman al Khawarizmi.

Sedangkan dalam pandangan David Eugene Smith (seorang ahli matematika, pendidik dan editor Amerika) dan Karpinski menggambarkan al Khawarizmi sebagai salah satu tokoh besar pada masa keemasan Baghdad, salah satu penulis muslim yang mampu menggabungkan antara ilmu matematika klasik barat dan timur serta sebagai tokoh peneliti yang sangat berkontribusi dalam perkembangan ilmu aljabar dan aritmatika.

Oleh Nonna, Mahasiswa UIN Alauddin Makassar, Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org
Read More

Kamis, 06 Februari 2020

Kenal Ulama: Al Battani, Ahli Astronomi Muslim Penemu Jumlah Hari

Februari 06, 2020

Tokoh Ulama | Al Battani atau jika di barat yang disebut dengan nama Albategnius atau Albagteni, sedangkan nama lengkap beliau ialah Abu ‘Abdullah Muhammad ibn Jabir ibn Sinan ar Raqqi al Harranni as Sabi’ al Battani. Ilmuwan Muslim satu ini lahir di Battan, Harran (Suriah) sekitar tahun 858 M.

Selain itu, keluarganya merupakan penganut sekte Sabbian yang menyembah Bintang, akan tetapi al Battani memilih untuk tidak ikut dengan pemahaman keluarganya itu melainkan memilih untuk memeluk Agama Islam.

Sedangkan jika kita berbicara terkait ketertarikan beliau dalam dunia Astronomi, itu tidak lain karena kecintaannya dengan benda benda langit yang kemudian dirinya terdorong untuk menekuni dunia astronomi.

Dan yang semakin menguatkan tekadnya dalam mempelajari dunia Astronomi ialah pendidikan dan darah keilmuan yang didapatkan dari sang ayah yang ternyata juga seorang ilmuwan yakni Jabir bin al Battani.

Selain itu, beliau hidup pada masa kejayaan ilmu Astronomi Arab dan masa ditemukannya berbagai penemuan ilmiah di Arab dalam bidang ini.

Namun sayangnya terkait guru dan masa pendidikan beliau tidak banyak dimuat dalam buku buku sejarah, paling tidak Ali bin Isa al Asthurlabi dan Yahya bin Abu Manshur yang merupakan ilmuwan muslim yang hidup pada masanya waktu itu memberikan kita kemungkinan bahwa Al Battani sempat berguru pada salah satunya, atau berguru pada sebagian muridnya.

Sedangkan menurut Ibnu al Nadim (Penulis dan seorang Ilmuwan muslim) dalam bukunya “Al Fihrist”  dijelaskan bahwasanya Al Battani baru memulai perjalanannya dalam dunia Astronomi sejak tahun 264 H/878 M.

Selain itu dikatakan pula bahwa beliau sempat membuat teropong bintang yang disebut dengan “Teropong al Battani” di kota Anthakiyyah (Utara Suriah).

Selain itu, beliau tahu banyak tentang dunia astronomi dari buku buku astronomi yang telah banyak terbit pada masanya, terutama buku Almagest karangan Ptolomeus, yang dimana beliau pernah melontarkan komentar dan kritikannya pada buku tersebut.

Selain Harran yang merupakan tempat kelahiran dan tempat belajarnya, beliau pun menjadikan Kota Raqqah (terletak di tepi Sungai Eufrat) sebagai tempat berbagai penelitian.

Hingga pada akhirnya dia menemukan berbagai penemuan cemerlang yang salah satunya menggunakan prinsip trigonometri, tepatnya ketika saat melakukan observasi astronomi di observatorium yang dibangun khalifah Makmun al Rasyid, Khalifah Dinasti Abbasyiah.

Bahkan karena Al Battani pada waktu itu sangat berjasa terhadap perkembangan astronomi, rupanya mendorong khalifah Makmun al Rasyid membangun sejumlah Istana di kota tersebut. Hingga pada akhirnya kota Raqqah tersebut menjadi pusat kegiatan baik pada ilmu pengetahuan maupun perniagaan yang cukup amat ramai.

Pandangan Ilmuwan lain

Di mata ilmuwan barat nama Al Battani sangat di hormati, bahkan beberapa pakar mengakui kehebatan al Battani yang beberapa diantaranya ialah pakar Astronomi.

Edmund Halley mengakui ketelitian al Battani dalam mengamati bintang bintang, begitupun dengan pakar sejarah George Sarton yang sangat mengagumi Al Battani sebagai Astronom terkemuka Arab.

Maka tak heran jikalau para ilmuwan barat turut mengapresiasi kehebatan beliau dengan mengabadikan namannya sebagai nama dari salah satu lembah di bulan.

Sebagaimana juga yang disebutkan dalam Ensiklopedia Marcmillan  yang berisi ilmu Astronomi (Macmillan Dictionary of Astronomy) bahwa Al Battani merupakan salah satu astronom terkemuka sepanjang sejarah.

Sedangkan dalam buku Al Fihrist milik Ibnu Nadim dikatakan bahwa Al Battani-lah yang merupakan ahli astronomi yang memberikan gambaran akurat terkait bulan dan matahari.

Adapun seorang pemikir Islam berkebangsaan India. Sayyid Amir Ali dalam bukunya “Ruhul Islam” dikatakan bahwa “Tabel astronomi yang dibuatnya dan diterjemahkan ke dalam bahasa Latin telah menjadi kaidah ilmu astronomi di Eropa selama berabad abad. Meskipun begitu, Al Battani lebih dikenal dalam sejarah ilmu matematika karena beliaulah yang pertama kali memasukkan sinus dan sinus sempurna sebagai ganti dari angka ganjil dalam ilmu hitung astronomi dan ilmu hitung trigonometri”

Kontribusi al Battani dalam dunia Astronomi

Mungkin yang sempat membuat kita bertanya tanya ialah apa sebenarnya pemikiran dari al Battani yang cukup terkenal dan mendapatkan pengakuan dunia? Dan jawabannya ialah pemikiran beliau terkait lamanya bumi mengelilingi matahari.

Berdasarkan perhitungannya beliau menyatakan bahwa lamanya bumi mengelilingi pusat tata surya tersebut dalam waktu 365 hari, 5 jam, 46 menit, dan 24 detik.

Adapun alat Gnom yang diciptakan oleh al Battani ternyata merupakan jalan bagi para ilmuwan untuk menciptakan satu persamaan waktu atau jam yang kita kenal saat ini.

Tidak hanya itu, beliau juga sukses membuat daftar label sinus, kosinus, tangen, dan kotangen dari 0 derajat dan 90 derajat secara cermat. Dimana tabel itu dengan tepat ia terapkan dalam operasi aljabar dan trigonometri untuk segitiga sferis, dan beliau pun juga menemuka sejumlah persamaan trigonometri.

Sedangkan jikalau kita merujuk pada karya karya beliau, maka buku yang terkenal darinya tentang astronomi ialah kitab al Zij. Buku ini diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa yang diantaranya bahasa latin pada abad ke 21, dengan judul De Scienta Stellerum u De Numeris Stellerum et Motibus oleh Plato dari Tivoli dan ke dalam bahasa Spanyol yang muncul pada abad ke 13 M.

Selain itu, hadir pula beberapa buku lainnya seperti yang membahas tentang Ilmu Falak (Ilmu tentang lintasan benda benda langit) seperti kitab Ma’rifat Matali Al Buruj Fi ma Bayna Arba’ al Falak, Risalah fi Tahqiq Akdar al Ittishalat, dan Syath al Maqalat Al Arba’ li Batlamius. Dan karya karyanya inilah yang cukup berpengaruh  bagi perkembangan ilmu pengetahuan di Eropa hingga datangnya masa pencerahan.

Oleh Nonna, Mahasiswa UIN Alauddin Makassar, Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org
Read More

Senin, 03 Februari 2020

Kenal Ulama: Biografi Singkat Habib Syech Bin Abdul Qodir Assegaf

Februari 03, 2020

Ulama Nusantara | Habib Syech Bin Abdul Qodir Assegaf, beliau adalah seorang Habib kelahiran Solo 20 September 1961. Beliau merupakan putra dari Habib Abdul Qadir bin Abdurrahman Assegaf seorang yang alim nan tawadhu’.

Habib Syech Bin Abdul Qodir Assegaf sedari kecil dulu sudah terbiasa menguras samudra keilmuan dari guru terbesarnya yang tidak lain adalah ayahnya. Ayah Habib Syekh memiliki 16 putra, dan Habib Syekh lah salah satunya.

Habib Syech Bin Abdul Qodir Assegaf mengenyam pendidikannya tidak dengan bermukim disuatu pondok, namun ia belajar secara istiqamah di masjid Assegaf, Wiropaten, Pasar kliwon Solo. Setelah ba’da maghrib menjelang isya. Beliau selalu mengabdi dengan merawat masjid pada usia-usia SD nya, mulai dari menyapu, mengepel dan membersihkan masjid.

Ayahnya bukanlah seorang yang terkenal dan juga masyhur, namun sang ayah adalah orang yang sangat mencintai masjid. Dalam keadaan apapun Habib Abdul Qadir selalu berusaha untuk mengimami. Hingga pada akhir usianya, beliau diwafatkan oleh Allah dalam keadaan bersujud pada saat shalat jum’at terahir, wafat dalam keadaan yang sangat mulia, yang di impi-impikan oleh hampir seluruh kaum muslimin.

Setelah ayahnya wafat, Habib Syekh dibimbing oleh paman beliau yaitu Habib Ahmad bin Abdurrahman Assegaf yang berasal dari Hadramaut. Beliau membimbing Habib Syekh bukan dengan hal yang lazim dilakukan oleh seorang guru kepada murid.

Pasalnya beliau membimbing Habib Syekh dengan cara mencaci, dan menyalahkan Habib Syekh padahal dia tidak melakukan kesalahan, bahkan hal itu hampir membuat Habib Syekh tidak kuat. Namun pada akhirnya Habib Syekh tahu bahwa itu merupakan suatu pendidikan untuk membentuk mental yang kuat terhadap dirinya.

Selain pamannya, Habib Syekh juga mendapatkan pendidikan dan perhatian oleh Habib Muhammad Anis bin Alwy Al-Habsyi seorang yang Arifbillah ia merupakan imam masjid Riyadh dan pemegang maqom al Habsyi.

Dari guru-gurunya itulah ia mempelajari islam yang ramah, yang penuh dengan cinta hingga sampai sekarang dakwah-dakwahnya bertajukan dakwah Mahabaturrasul. Dengan selalu melantunkan sholawat dan qasidah-qasidah yang membuat pendengarnya merasakan ketenangan dan kebahagiaan juga menambah cinta dengan Rasulullah.

Habib Syekh merupakan seorang yang istiqamah terbukti dari masjlisnya yang berdiri sejak tahun 1998 hingga sampai sekarang masih tetap eksis yaitu Majlis Ahbabul Mustafa yang dalam rutinannya diikuti oleh ribuan masyarakat.

Sebelumnya majlis Ahbabul Mustafa didirikian majlis ini berupa majlis Rotibul Hadad, Burdah dan maulid simtut duror yang berada di kampung Metodranan kota Solo. Adapun rutinan dari majlis Ahbabul Mustafa yaitu:

Setiap Malam Sabtu Kliwon di Purwodadi tepatnya Masjid Agung Makmur Purwodadi Setiap Malam Rabu Pahing di Kudus tepatnya Halaman Masjid Agung Kudus Setiap Malam Sabtu Legi Jepara di Halaman Masjid Agung Jepara Setiap Malam Minggu Pahing di Sragen tepatnya Masjid Assakinah, Puro Asri, Sragen Setiap Malam Jumat Pahing di Jogja tepatnya Halaman PP Minhajuttamyiz, Timoho di belakang Kampus UIN Sunan Kalijaga Setiap Malam Minggu Legi di Solo tepatnya Halaman Masjid Agung Surakarta.

Sudah banyak sekali shalawat dan qasidah-qasidah yang dibawakan oleh Habib syekh dan juga sudah banyak album-album rekaman yang dapat diakses melalui kaset maupun lewat kanal youtube.

Dalam pembawaannya, Habib Syekh menggunakan rebana sebagai pengiring shalwatnya, dan hal itu lebih sering pada saat acara live, sedangkan jika pada rekaman-rekaman beliau lebih sering menggunakan alat musik modern dan dipadukan dengan rebana. Semoga beliau selalu diberikan kesehatan dan kekuatan untuk terus berdakwah dengan cara lemah lembut dan penuh dengan kasih sayang.

Oleh Lukman Hakim Hidayat, Alumni Al-Iman Islamic Boarding School Purworejo
Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org
Read More

Sabtu, 01 Februari 2020

Kenal Ulama: Ibnu Miskawaih, Sang Pelopor Filsafat Etika

Februari 01, 2020

Tokoh Ulama | Ibnu Miskawaih, dialah salah satu cendekiawan Muslim yang cukup terkenal dengan berbagai pemikiran filsafatnya. Namun yang membuat namanya melejit di kalangan masyarakat ialah tentang filsafat etika atau rumusan rumusan darinya terkait dasar-dasar etika yang banyak dijelaskan beliau dalam beberapa kitabnya, terutama pada kitabnya yang berjudul Tahzhib al akhlaq.

Dialah Abu Ali al Kasim Ahmad bin Yaqub bin Miskawaih, beliau lahir di Rayy pada 330 H, namun beberapa sumber lainnya mengatakan bahwa beliau lahir di tahun 320 H dan wafat pada tahun 421 H. Selain itu, beliau hidup pada masa pemerintahan Dinasti Buwaihiyah (320-450 H).

Jika berbicara tentang pendidikan beliau, rupanya tidak banyak dijelaskan dalam catatan sejarah ataupun pada bacaan tentang biografinya. Namun paling tidak, diketahui bahwa beliau sangat memusatkan perhatiannya pada sejarah dan filsafat akhlak atau etika.

Dimana gurunya dalam bidang sejarah terutama pada Tarikh Ath Thabari ialah Abu Bakr Ahmad bin Kamil al Qadi, sedangkan di bidang filsafat beliau berguru pada Ibnu al Khammar. Adapun beliau mengkaji kimia bersama dengan Abu Ath Thayyib ar Razi.

Sepanjang hidupnya, beliau tidak hanya dikenal sebagai seorang filsof, melainkan sebagai seorang bendaharawan, pustakawan sebagaimana beliau pernah belajar sebagai pustakawan dengan sejumlah Wazir dan Amir Bani Buwaihi, ahli bahasa dan termasuk seorang tokoh yang cukup produktif dalam dunia tulis menulis.

Sebagaimana beberapa buku dan artikelnya yang tentu tidak luput dari kepentingan pendidikan akhlak (Tahzib al Akhlak). Diantara karyanya ialah

Al Fauz al Akbar (tentang keberhasilan besar)
al Fauz al Asghar (tentang keberhasilan kecil)
Tajarib al Umam (tentang pengalaman bangsa bangsa sejak awal sampai ke masa hidupnya)
Uns al Farid (Kumpulan Syair, peribahasan dan kata kata mutiara)
Tartib as Sa’adah (tentang akhlak dan politik)
al Musthafa (Syair syair pilihan)
as Siyar (tentang aturan hidup)
al jawab fi al masa’il as Salas (jawaban tentang tiga masalah)

Filsafat Ibnu Miskawaih dalam kitab Tahzib al Akhlaq

Seperti para filsof sebelumnya, tentu mereka dikenal dengan beberapa sumbangsi mereka terhadap corak pemikiran yang cukup berpengaruh terutama dalam dunia filsafat. Dan diantara pemikiran beliau dalam kitab Tahzib al Akhlaq.

Dalam kitab ini, beliau sempat memaparkan beberapa point penting dalam pemikiranya di dunia filsafat. Paling tidak, kitab ini memperlihatkan tentang bagaimana kita dapat memperoleh watak-watak yang lurus untuk menjalankan tindakan yang secara moral benar  terorganisasi dan tersistem.

Selain itu, beliau juga mengangkat sifat dasar jiwa sebagai dasar agumentasinya. Dijelaskannya bahwa jiwa adalah subtansi ruhani yang kekal dan tidak hancur dengan kematian jasad. Sehingga kebahagiaan dan kesengaraan yang dialami usai kematian hanya akan dirasakan oleh jiwa.

Adapun yang lainnya, beliau juga beranggapan bahwa dengan jiwa, kita sebagai manusia berbeda dengan binatang. Dengan jiwa, kita berbeda dengan manusia lainnya. Dengan jiwa, kita bisa memanfaatkan badan dan bagian bagiannya. Serta dengan jiwa, pula kita bisa menjalin hubungan dengan alam wujud yang lebih spritual dan lebih tinggi.

Kemudian bagian utama dari etika itu pun dimunculkan pada bab ketiga dari kitab ini. Sebelumnya dari konsep inilah, beliau sempat tersoroti oleh filsuf lainnya, terlebih bagi mereka yang merupakan filsuf Islam.

Dan ini lagi lagi karena sebagai Umat Islam, Akhlak atau etika memang menjadi kajian utama bagi umat Islam itu sendiri, mengingat Rasulullah Saw., diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia, sebagaimana Hadits dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah –shallallâhu ‘alayhi wa sallam– bersabda:

 “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.”

Dari sinilah Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa etika atau akhlak merupakan sikap mental, yang dimana sikap mental itu sendiri terbagi atas dua bagian. Yakni ada yang berasal dari watak dan ada yang berasal dari kebiasaan atau latihan.

Etika atau akhlak yang berasal dari watak dinilai sangat jarang menghasilkan akhlak yang terpuji, sebaliknya akhlak yang berasal dari kebiasaan atau latihan akan cenderung menghasilkan akhlak yang terpuji. Itulah mengapa beliau sangat menekankan pentingnya pendidikan demi membentuk akhlak yang baik.

Adapun masalah pokok yang dibicarakan beliau dalam kajian akhlak ialah meliputi Kebaikan (al Khair), kebahagiaan (al as’adah), dan keutamaan (al Fadhilah). Dari sini Ibnu Miskawaih mencoba untuk mengkorelasikan antara dua pandangan filsuf sebelumnya yakni Plato dan Aristoteles.

Dimana Plato dan beberapa tokoh lainnya beranggapan bahwa kebahagiaan yang mampu dialami oleh jiwa, oleh karenanya manusia yang masih bersama dengan jasadnya tak akan mengalami kebahagiaan.

Lain halnya dengan Aristoteles yang beranggapan bahwa kebahagaiaan dapat dinikmati di dunia walaupun jiwanya masih terkait dengan badannya.

Maka dalam mengkorelasikan dua anggapan yang saling bersebarangan seperti diatas, maka Ibnu Miskawaih beranggapan bahwa kebahagiaan meliputi antara badan dan jiwa, hanya saja kebahagiaan badan lebih rendah tingkatannya jika dibandingkan dengan kebahagiaan jiwa.

Adapun pada bab lain dari kitab ini ialah membahas tentang cinta. Cinta bagi Ibnu Miskawaih terbagi atas dua bentuk, yakni cinta kepada Tuhan yang tentu hanya orang orang yang terpilihlah dapat meraih cinta jenis ini.

Adapun cinta jenis kedua yakni cinta murid kepada guru bisa disetarakan antara cinta anak kepada orang tua. Dari cinta inilah beliau merasa bahwa cinta seorang murid kepada guru termasuk lebih mulia dan pemurah dikarenakan dengan gurulah mampu mengajarkan roh kita dan dengan petunjuk mereka kita memperoleh kebahagiaan sejati.

Itulah sepintas tentang Ibnu Miskawaih, semoga bermanfaat!

Oleh Nonna, Mahasiswa UIN Alauddin Makassar, Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org
Read More